Lompat ke isi

Tuan Olipolipo

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis

[sunting]

Cerita tentang tokoh imajiner bernama Tuan Olipolipo, yang mendampingi saudara kembar Aru dan Nika membaca buku, mengakrabi kata-kata, sehingga membuat membaca bagi mereka adalah kegiatan yang menyenangkan.

Lakon

[sunting]

Tuan Olipolipo

Aru

Nika

Kungkang Kangkung

Cerita Pendek

[sunting]

Ada seorang lelaki tua menyenangkan dari buku yang kami baca. Namanya Tuan Olipolipo.

Ia muncul pertama kali setelah kami membaca sebagian isi buku yang dihadiahkan Ibu.

Awalnya kami takut. Tubuhnya tinggi besar dan suaranya berat. “Halo, apa kabar?”

Di kamar kami sudah berdiri seorang lelaki memakai tuksedo hitam, celana hitam, kacamata hitam, dan berdasi hitam. Hanya kemeja di balik jasnya yang berwarna putih. Aku pernah dimarahi Ibu karena mengintip Ayah menonton film gangster dan sekarang aku mengira seorang gangster sudah keluar dari TV dan mengikutiku.

Aku menunduk. Nika, saudari kembarku, ikut menunduk.

Eh, sepatu orang itu mirip sepatuku, sepatu kets yang warnanya biasa diejek Nika sebagai warna “tahi cicak”: solnya, talinya, dan ujung depannya berwarna putih, dan selebihnya hitam.

“Dia pakai sepatumu,” bisik Nika.

“Ini sepatuku, Nona,” turun suara berat dari atas.

Aku mendongak.

Ia tersenyum lebar sekali, selebar kumisnya yang memang panjang dan lebat, kumis teraneh dan terlucu yang pernah kulihat. Kedua ujungnya melengkung ke atas seperti tanduk banteng.

“Jangan heran, aku ini mantan matador,” katanya tersenyum lalu menggoyang-goyangkan kepalanya. “Harrrr!!”

Aku dan Nika hampir terjatuh dari ranjang.

“Anda siapa?” kata Nika.

“Nama panjangku sepanjang yang kaumau: Olipolipolipolipolipolipolipolipolipo dan seterusnya dan sesukamu,” katanya. “Tapi kau bisa memanggilku Olipolipo saja.”

Rambut Tuan Olipolipo gimbal-beruban sampai ke pundak. Itu membikin aku mencari-cari gagang dari kayu atau apa pun itu di atas kepalanya untuk meyakinkanku rambutnya bukan alat pel milik Ibu. Sepertinya dia tak berbahaya. (Aku menyebut nama Tuhan dalam hati, seperti pesan Ayah selalu, dan aku bertambah tenang.)

Kami berkenalan. Aku menyebutkan namaku dan nama kembaranku.

“Bila digabung, nama kami Arunika,” kataku.

“O, tentu, tentu aku tahu artinya Arunika,” kata Tuan Olipolipo. “Sinar matahari pagi.”

“Tapi Anda tentu tak tahu kenapa kami dinamai begitu,” kata Nika.

“O, tentu, tentu aku tak tahu.”

Aku dan Nika bergantian bercerita, seperti dua orang menyusun puzzle bersama-sama. Puzzle yang pernah diberikan Ayah-Ibu kepada kami.

Kami sebenarnya punya kakak. Tapi dia meninggal saat masih di perut Ibu. Ibu jadi sangat sedih. Dunianya gelap, mendung selalu. Saat kami lahir, laki-laki dan perempuan, mendung itu terangkat dan dunia Ibu kembali cerah. Makanya, ia memberi kami nama Arunika, sinar matahari pagi.

Ibu dan Ayah sangat bahagia. Mereka selalu bersyukur kepada Tuhan atas kehadiran kami. Salah satu cara Ibu bersyukur yaitu dengan memberi kami hadiah. Setiap bulan, sejak kami belum mengenal huruf, ia memberi kami buku.

“O, tentu, tentu,” kata Tuan Olipolipo. “Dari salah satu buku itulah aku muncul. Jadi, secara tak langsung, aku adalah salah satu wujud syukur ibumu.”

Sejak itu Tuan Olipolipo selalu hadir saat kami membaca buku.

Tapi tunggu… apakah aku sudah bilang kalau dia punya koper? Kalau belum, baiklah, sekarang aku bilang.

Dia punya koper kulit warna cokelat. Bila kami membaca buku, dia akan membuka kopernya di lantai atau di ranjang dan kemudian meniup koper itu. HUF! Koper menganga seperti mulut dinosaurus dan, setelah ditiup, di langit-langit mulut dino itu terbukalah sebuah pemandangan. ZIM…! Ia terbuka pelan-pelan, mulai dari tengah dan melebar-lebar-lebar-lebar dan tahu-tahu kami sudah berada di dalamnya. Kalau yang sedang kami baca itu dongeng binatang, kami akan berada di pemandangan sebuah hutan, hutan yang menyeramkan sekaligus indah, indah penuh warna. Kalau kami membaca buku tentang jalan-jalan, kami akan dibawa ke tengah kota atau kampung yang digambarkan dalam buku itu. Membaca jadi seperti menonton!

Bahkan, lebih baik lagi daripada menonton. Kami bisa berhenti di mana saja di tengah cerita, bertanya-tanya, mengobrolkan bagian-bagian yang tak kami pahami, tanpa mesti takut ketinggalan jalan ceritanya. Dan Tuan Olipolipo selalu jadi tempat bertanya yang bisa diandalkan. Ia tahu arti semua kata yang sulit dimengerti, dan ia bisa membuat kami mengerti dengan mudah.

Aku pernah bertanya bagaimana dia tahu arti semua kata itu.

Dia malah bernyanyi main-main: “Waktu kecil kupernah kurus… dan ibuku memberi kamus… kumakan kamus dengan rakus… dan otakku menyala terus... PIUF PIUF!

“O, tentu, tentu kalian tak tahu artinya kamus,” katanya. “Ia buku tebal berisi semua kata dan artinya.”

“Anda makan semuanya?” tanya Nika.

“Ya, semuanya.”

“Bagaimana rasanya?” tanyaku.

“O, tentu, tentu, rasanya fantastis!”

“Apa itu fantastis?” tanyaku lagi.

Dia mengangkat satu telunjuknya, lalu mengeluarkan satu buku tebal dari kopernya. Dan saat itulah aku pertama kali belajar menggunakan kamus. Sekarang aku masih kelas 5, tapi sudah bisa menggunakan kamus sendiri.

Ada banyak sekali kata dalam kamus. Ada kata fantastis yang artinya ‘sangat luar biasa’; ada tuksedo yang artinya ‘jas pria berwarna hitam’; dan matador, ‘orang yang bertarung dengan banteng’. Hanya kungkang kangkung yang tidak ada di kamus.

Tunggu… apakah aku sudah bilang soal Kungkang Kangkung? Kalau belum, baiklah, sekarang aku bilang.

Di samping kelas kami, ada pohon jambu tua. Di dekat jambu itu, ada jendela kaca. Dan di dekat jendela itu, ada meja Nika. Dan di meja Nika, tentulah ada Nika. Nika sering melihat ke luar jendela dan pasti yang dilihatnya pertama-kali adalah jambu itu.

Suatu hari, kami mengerjakan tugas menghafal nama-nama provinsi dan ibukotanya. Nika melemparkan pandangan ke luar seperti biasa.

“Aceh, ibukotanya Banda Aceh...”—mata Nika melihat batang jambu berwarna cokelat.

“Sumatera Utara ibukotanya…”—mata Nika bergerak ke atas.

“Sumatera Barat…”—makin ke atas.

Dia sudah sampai DKI Jakarta saat melihat ujung ekor berbulu yang seketika membuat hafalannya buyar. Bisa jadi, saat itu bila ditanya ibukota Aceh, Nika akan menyebut Kendari. Bahkan bisa jadi tidak menjawab, karena dari saat itu sampai pulang sekolah, Nika diam saja. Saat giliran ia diuji oleh Bu Guru pun, ia tak menjawab sama sekali.

Barulah saat keluar dari kelas, ia menarikku ke bawah jambu dan menceritakan kejadian itu.

Aku sendiri tak melihat satu pun binatang di jambu itu.

Sampai di rumah, aku menceritakannya kepada Tuan Olipolipo. Nika sendiri tak tertarik menceritakannya. Kupikir saat itulah dia mulai tak tertarik melakukan apa-apa. Dia hanya menjawab pertanyaan dengan “ya” dan “tidak”.

“Apakah matanya seperti mengantuk?” tanya Tuan Olipolipo.

“Ya,” jawab Nika.

“Di sekitar matanya ada bulatan hitam lonjong ke atas?”

“Ya.”

“Mulutnya senyam-senyum selalu?”

“Ya.”

“Kukunya tiga dan seperti gancu?”

“Ya.”

“Bulunya lebat?”

“Ya.”

“Gerakannya lamban?”

“Ya.”

“Sangat lamban?”

“Ya.”

“Super-duper lamban?”

“Ya-ya-ya.”

“Terakhir: apakah bulunya berwarna jingga?”

“Tidak.”

“O, tentu tidak, karena sebenarnya aku tahu warna sesungguhnya adalah... hijau seperti kangkung. Iya, kan?”

“Ya.”

“Tidak salah lagi.”

“Siapa dia?” tanyaku.

“Kungkang Kangkung,” jawab Tuan Olipolipo berbisik.

“Siapa itu Kungkang Kangkung?” tanyaku lagi, juga berbisik.

Tuan Olipolipo mengangkat telunjuknya. Awalnya kukira dia hendak mengambil kopernya. Ternyata dia menuntunku memperhatikan Nika, yang saat itu berjalan ke ranjangku (ranjang Nika sebenarnya di kamar sebelah), masih berseragam putih-merah, bahkan masih berkaos kaki, lalu berbaring memunggungi kami dan tidur.

“Kita tunggu Nika bangun dan lihat adakah yang berubah darinya,” bisik Tuan Olipolipo. “Aku masih berharap yang dilihatnya bukan Kungkang Kangkung.”

“Memangnya siapa dia?” bisikku lagi.

Tak biasanya Tuan Olipolipo membiarkan pertanyaanku lewat begitu saja. Dia hanya bilang, “Orang sabar disayang tuuukang nasi bungkus.”

Tak biasanya pula aku jengkel pada leluconnya.

Memang, itu hari yang serba tak biasa.

Tak biasanya Nika tidur lama sekali. Sampai-sampai duhur dan asar terlewati. Ia bangun menjelang magrib dan ikut salat berjamaah, tapi matanya redup, seperti lampu merah saat hujan deras malam-malam.

Kami makan malam dan malam itu Nika makan dengan lesu. Dia makan sepotong tahu, sepotong saja, dan tahu-tahu dia bilang kenyang, seolah-olah ingin memberitahu orang serumah bahwa perutnya hanya sebesar potongan tahu itu.

Lalu, kami belajar. Dia ikut hanya sebentar. Dia keluar ke kamar kecil dan tak masuk lagi ke kamarku melanjutkan belajar. Yang masuk ke kamarku hanya suara dengkurannya dari kamar sebelah.

“O, tentu, tentu orang mengorok tidak bisa diajak belajar,” kata Tuan Olipolipo. “Terjadilah yang tidak diharapkan terjadi, Aru.”

“Karena Kungkang Kangkung?” kataku.

“O, jelas-jelas karena kungkang itu,” katanya.

“Jadi, bagaimana sekarang?”

“Tenang saja. Meski tidak diharapkan, ini bukanlah pertama kali bagiku.”

Tuan Olipolipo membuka kopernya. Dia meniup koper itu dan sebuah pemandangan pun terbuka di kopernya. Di situ aku bisa melihat sosok Kungkang Kangkung. Oh, ia sepertinya lucu.

“Jangan melihatnya lama-lama,” kata Tuan Olipolipo. “Atau kau akan seperti kembaranmu.”

Dia menutup kopernya cepat dan pemandangan itu pun menghilang.

Tuan Olipolipo bercerita. Kekuatan Kungkang Kangkung ada di matanya. Bila kau melihat matanya lama, kau akan tersihir. Dan otakmu akan tertidur. Itu membuat gerakanmu lambat, tak bersemangat, dan selalu rindu tempat tidur.

Ia sebenarnya tidak jahat. Ia hanya kesepian dan ingin mendapatkan teman, yang sama lamban dan sama tukang tidurnya. Bila menemukan orang seperti itu, ia akan bahagia karena merasa tidak sendirian.

“Kita harus membantu Nika,” kata Tuan Olipolipo. “Bila tidak…”

“Bila tidak, apa?” kataku.

“Otaknya akan mati.”

Hah? Otak mati?

“Apa yang akan kita lakukan?” kataku.

“Tenanglah, tenang, Aru,” kata Tuan Olipolipo. “Kita akan mencoba cara ini.”

“Apa?”

“Kita akan bermain.”

Tuan Olipolipo memberitahuku rencananya. Dan kami akan mulai esok hari.

Sepulang sekolah keesokan harinya, aku mengajak Nika ke kamarku dan memaksanya tetap duduk dan tidak tidur. Aku berulang-kali mengagetkannya, menanya-nanya-nanyainya seperti detektif, atau menyanyi-nyanyi-nyanyi dengan mengganti huruf vokal lagu-lagu TK kami dengan ‘o’ semua.

“Bolonko odo lomo, ropo-ropo wornonyo….”

Nika menguap. Matanya sayu dan ia terlihat bosan. Namun, aku tetap berusaha membuatnya terjaga sampai Tuan Olipolipo memulai rencananya.

“Ahhai, Nika!” kata Tuan Olipolipo. “Hari ini kita akan bermain. Aku tahu kau suka kata-kata dan kau pasti menyukai permainan ini. Jangan tidur dulu ya!”

“Emmm…,” suara Nika.

Permainan pertama kami bernama N+7.

Setelah Tuan Olipolipo menjelaskan tantangannya, aku mengambil buku teks bahasa Indonesia-ku dan menemukan peribahasa ‘di mana ada asap, di situ ada api’. Tuan Olipolipo membantuku mengenali kata benda di dalamnya, yakni asap dan api. Aku membuka kamus dan mengajak Nika mencari kata asap. Kami menemukannya! Di belakang kata itu ada huruf n (kata Tuan Olipolipo, kata benda di kamus memang diberi tanda n). Bersama-sama kami mulai menunjuk-nunjuk dan menghitung ke bawah tujuh kali n: asar1, asar2, asas, asbak, asbes, asbestos, dan… asbut (campuran asap dan kabut). Lalu, kami mencari api dan menghitung: api-api, apigenin, apilan, apion, apison, apit, dan… apit-apit (burung pipit).

Peribahasa ‘di mana ada asap, di situ ada api’ pun berubah menjadi ‘di mana ada asbut, di situ ada apit-apit’. Hem, aku tersenyum kecut. Namun, kulihat sudut bibir Nika sedikit terangkat. Aku jadi bersemangat.

Kucari peribahasa lain dari buku itu dan kami mengulangi cara tadi.

Berikutnya kami menemukan:

Air susu dibalas air tuba’ menjadi ‘aji susun dibalas aji tubruk’.

Kebersihan adalah sebagian dari iman’ menjadi ‘kebersihan adalah sebagian dari imbuhan’.

Ada gula ada semut’ menjadi ‘ada gubal ada senapan’.

Lepas dari mulut buaya, jatuh ke mulut harimau’ menjadi ‘lepas dari munazara bubung, jatuh ke munazara harmoni’.

“Wah, ini pasti tentang tukang batu ikut rapat,” kataku. “Munazara artinya diskusi, bubung itu puncak rumah, dan harmoni itu keserasian, kerukunan. Jadi, tukang bangunan itu baru pulang dari mendiskusikan puncak rumah yang dibangunnya, lalu pulang-pulang begini dia ikut rapat… emm… menyelesaikan…”

“Pertengkaran di RT-nya,” timpal Nika.

“Ha-ha!” Tuan Olipolipo tertawa, mengedipkan mata ke arahku.

Aku ikut tertawa. Dan Nika tersenyum. Aku gembira.

Itu baru hari pertama. Hari-hari berikutnya Tuan Olipolipo memberi kami permainan-permainan baru. Ada KALIMAT ABC (Andi dan Berto Curi Dodol di Empang Firman, dan Gali Harta Impian Jutawan, tapi Kurang Laku Manakala Noni Omong ke Pak Qamar, yang Resek dan Suka Teriak-teriak, Untuk Vaksinasi Wanita di Xerik Yang Zalim), METODE DELMA (‘Doni suka lompat dari pohon durian’ menjadi ‘Coni suka lompat cari pohon curian’), HOMOKONSONANTISME (‘Besar pasak daripada tiang’ menjadi ‘Bosor pesek dan pede tanggung’), BOLA SALJU (‘O ia dan adik pergi panjat Gunung Rinjani? Betulkah pendakian memerlukan determinasi berdampingan keberuntungan?’) dan lawannya BOLA SALJU MENCAIR (‘Keberanian ditepikan manakala seorang bokser ingin tahu dia KO y’), dan banyak lagi, dengan nama-nama aneh yang bikin lidah terputar bila mengucapkannya. Tak percaya? Cobalah sendiri: PANGRAM, ISOPANGRAM, PALINDROM, VENTRILOKUIS BARU, NORDEN DAN MUIR, ELIMINASI ALFABET, ALFABET MEMORI-JOGING… ah, cukup.

Pokoknya semua permainan itu seru dan bikin ketagihan. Kadang-kadang, kami melanjutkannya dalam perjalanan pergi atau pulang sekolah, atau muncul ide baru saat sedang bersantai, seperti yang kutemukan ini: A… BECEK DEH, EFEK GEMBEL HAMPIR INJEK KABEL, EMOSI ENCER, O PEKIR, EROSI ES TEH, U… VEGAN WEWE, EKS YE… ZETTER. Nika bilang ini “maksa”, tapi aku tak peduli.

Pada hari ketujuh, Nika pun kembali seperti sediakala, riang dan penuh semangat.

Begitulah Tuan Olipolipo. Ia membuat kami gembira selalu.

Tunggu… apakah aku sudah bilang kalau dia menyenangkan?

O, sepertinya aku sudah bilang. Aku sudah bilang semua.