Tugas KLiping Dilam

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Dilam adalah seorang anak yang menggunakan tangan kiri untuk beraktivitas. Dia sedang berusaha menyelesaikan tugas klipingnya, tapi banyak tantangan yang dialami.

Tokoh[sunting]

Dilam dan Azki

Setting[sunting]

Gudang yang terpisah dari rumah.

Gudang, tempat Dilam membuat kliping.


Cerita Pendek[sunting]

Tugas Kliping Dilam

oleh Sitta Arah


Deadline jam delapan malam. Titik!

Dilam mengibaskan tangan kirinya. Baru saja dia menulis tentang deadline membuat kliping di atas selembar kertas. Itu sebagai pengingat jika ada tugas kliping dari sekolah yang harus diselesaikan malam ini juga. Sebabnya, Dilam tidak ingin dihukum membaca buku di depan kelas.


“Huuh, hukuman yang bikin kesal. Sekarang kepalaku pusing,” keluhnya.

Dilam lalu duduk sambil memeluk lutut. Punggungnya bersandar pada tembok kamar. Dia sedang memikirkan caranya membuat kliping yang mungkin susah, tapi bisa juga mudah. Dilam melihat jam dinding di kamarnya. Sudah pukul 10 pagi. Berarti 10 jam lagi, gumam Dilam dalam hati.

Walau sedang resah, Dilam menyiapkan peralatannya dengan enggan. Tangannya mulai mengambil gunting, lem, spidol, penggaris, stapler, kertas HVS serta kertas sampul dan membiarkan poninya menghalangi penglihatan. Sejenak, Dilam mengingat langkah-langkah membuat kliping membuatnya bertambah pusing.  Apalagi bahan-bahan kliping pun belum tersedia. Kata bu guru, membuat kliping tidak asal jadi, meskipun pembuatannya sederhana.


“Ah, aku tahu,” serunya saat mempunyai ide tema kliping yang dipikirkan. Dilam keluar dari kamar. Badannya yang pendek dan gemuk, tapi matanya jeli melihat ada sepiring combro di atas meja makan. Dilam membawa sepiring combro itu, lalu mendekati ayah yang sedang bekerja, walau hari Minggu.

“Ayah, combro hangatnya telah siap,” ucapnya sambil memindahkan sepiring olahan makanan dari singkong itu ke tangan kanan, kemudian diberikan kepada ayah. Meskipun, Dilam lebih nyaman menggunakan tangan kiri untuk beraktivitas, tapi selalu diajari ketika memberikan sesuatu kepada orang lain harus menggunakan tangan kanan.

“Ehm... ehm...” Ayah berdehem. “Ayah tahu, ada udang di balik batu.”


Dilam memicingkan mata. Anak yang hobinya menggambar itu tidak paham dengan peribahasa yang diucapkan ayahnya.

“Artinya ada maksud tersembunyi,” kata ayah seolah tahu apa yang dipikirkan anaknya. Namun, ternyata Dilam belum paham juga.

“Kamu bawa combro buat Ayah, Ayah kira ada maunya,” selidik ayah sambil mencolek bahu Dilam.

“Hihi, Ayah tahu aja.”

Dilam pun mengutarakan tujuannya. Dia ingin meminjam ponsel ayah untuk beselancar di internet. Namun, ayah belum mengizinkan, karena ponselnya sedang dipakai kerja.

“Di gudang banyak majalah dan koran. Kamu bisa mendapat bahan kliping dari sana,” ujar ayah memberi saran.

“Enggak mau. Di gudang banyak kecoa. Lagian mencari informasi dan gambar dari internet lebih mudah dan praktis. Ayolah, Ayah!” rengek Dilam, tapi ayah kembali kerja.


Tek… tek … tek …tektektek.

Belum selesai berbicara dengan ayah, Dilam mendengar suara latto-latto yang dimainkan dari luar.

“Oiya, latto-lattoku mana ya?” Dilam gelagapan teringat latto-lattonya di mana.

“Assalamu’alaikum Dilam, Dilam…”

Dilam tak menjawab salam dari Azki, temannya. Dia mau izin ayah dulu, tapi belum juga Dilam minta izin, ayah sudah melarang.

“Bermain itu sangat menyenangkan, tapi PR itu kewajiban.’

Dilam cemberut. Sindiran ayah berhasil mengurungkan niatnya ikut bermain. Dia juga menyesal, karena keasikan main latto-latto jadi lupa waktu. Tugas klipingnya pun belum selesai. Tiba-tiba Dilam tersenyum simpul. Dia mendapatkan sebuah ide.


Dilam berlari ke arah dapur.

“Ibu, aku mau cari bahan kliping di tempat fotokopiannya kak Giat, tapi uangnya kurang. Aku minta tambahan uang boleh apa enggak, Bu?” pintanya.

Dilam berdiri di samping ibu yang sedang menggoreng combro. Lalu, ibu meniriskan combro dan berbicara kepada Dilam sambil berhadap-hadapan.

“Kalau bisa memanfaatkan yang ada, kenapa enggak. Itu namanya hemat, Lam. Sisa uang jajan kamu bisa buat yang lain.”

“Ih, Ibu!”

Dilam jengkel. Dia paham dengan maksud ibu yang setuju dengan saran ayah. Akhirnya, bergegas pergi ke gudang yang terpisah dari rumah. Namun, sebelumnya dia menemui Azki di luar.

“Assalamu’alaikum Dil …,” ulang Azki mengucapkan salam.

Dilam keluar rumah dengan lesu. Dia menceritakan tentang kliping serta menolak bermain latto-latto.

“Eh, enggak papa Dilam. Diselesaikan dulu klipingnya baru main.”

Dilam lega. Teman bermain, tapi beda sekolah itu sangat pengertian. Dia mengajak Azki masuk rumah menuju gudang yang berada di dalam rumah.

Dilam membuka pintu gudang yang tidak terkunci. Mulut dengan bibirnya yang tipis tersenyum lebar saat pintu gudang terbuka. Gudang sangat bersih. Tidak ada debu yang membuat bersin, juga sarang laba-laba.

“Wah, gudang rumahmu sangat bersih, Dil!” puji Azki.

“Iya. Aku juga baru tahu,” jawab Dilam.


Dilam tidak menyangka kalau gudangnya tak menyeramkan seperti yang dibayangkan. Di dalam gudang tampak tumpukan buku tertata rapi di atas meja. Juga, banyak barang-barang lain yang memenuhi gudang. Kata ayah, suatu saat nanti buku-buku ini akan ada lemarinya sendiri. Jadi, untuk sementara waktu masih menumpang di gudang. Makanya, sedikit ruang kosong di sana.


“Whoa … ada kliping!” seru Dilam saat melihat tumpukan paling atas adalah kliping. Dia mengusap satu set kliping yang tertera nama ayah.

“Kliping yang bervariasi,” kata Dilam takjub dengan ayah yang rapi dalam menjilid kliping. Ada banyak tema, seperti tema olahraga, tema masakan nusantara, tema berita utama dan lain sebagainya.

“Ayah kamu keren!” seru Azki lantang ikut senang.


Dilam membuka setiap lembar halaman kliping sampai habis dan dipisah dari tumpukan buku. Lalu, fokus mencari data dari koran. Dia berharap ada informasi dengan tema bahasa di dalamnya. Setiap lembar halaman dibuka dan dibaca dengan teliti, tapi tak menemukan apa yang dicari.

“Rumit,” keluhnya.

Dilam menyerah dan ingin memakai kliping ayah saja. Kliping yang ditemukan diberikan kepada ayah.

“Azki, kamu tunggu di sini dulu, ya! Aku tanya Ayahku dulu!” pinta Dilam. Azki mengangguk. Dilam segera berlari keluar gudang, lalu mencari ayahnya.

“Ayah, aku mau pakai kliping Ayah. Cuma diganti sampulnya saja. Bagaimana, Ayah?”

“Menurut Dilam, bagaimana?” Ayah tanya balik. “Misalnya, ada teman kamu yang menyetorkan tugas dan dapat nilai bagus, eh enggak tahunya bukan hasil karyanya sendiri. Apa perasaan kamu?”

“Kesal Ayah, itu namanya curang.”

“Nah, itu jawabannya, Lam.”

“Huuh, Ayah. Waktu membuat klipingnya, kan, sudah mepet. Bagaimana kalau enggak selesai?” gerutunya.

“Kamu bisa Lam, kalau mau berusaha.”


Dilam hilang semangat. Mengumpulkan data yang mendukung tidaklah mudah. Juga, butuh kecermatan. Dia kembali ke gudang untuk melanjutkan pencariannya. Tumpukan majalah, koran dan buku lainnya dibuka. Dibaca acak setiap lembar halamannya.


“Dilam ada kolom bahasa ini,” kata Azki memperlihatkan halaman majalah yang ada kolom bahasanya.

Dilam mendekat. “Ada lagi Az?” tanyanya sangat antusias karena sesuai dengan tema yang sedang diincarnya. Azki mengangguk dan bilang ada. Mereka membuka majalah berikutnya.

“Az, bentar ya. Aku mau tanya kakak dulu.”

Dilam membawa majalah langganan kakaknya ke ruang Televisi. Majalah yang sering dilihat, tapi jarang dibaca olehnya. Akan tetapi, dia ragu-ragu bertanya. Soalnya, banyak tulisan Kak Wita yang dimuat di sana.

“Kak, aku mau bikin tugas kliping. Nah, di majalah Kakak ada kolom bahasa yang aku pengin jadikan kliping. Apakah boleh, satu halaman ini digunting?” tanyanya yang disampaikan dengan jelas dan tetap tenang. Lalu, menyodorkan majalah kepada Kak Wita yang sedang fokus nonton Televisi.

“Iya, boleh kok,” jawab Kak Wita.

“Yuhuui, Kakak memang yang terbaik.”


Dilam sangat girang dan semangat. Deadlinenya semakin dekat. Dia harus tepat dan cepat.

“Yaah, bentuk garisnya tidak beraturan.” Dilam menarik napas panjang. Dia gemas sekaligus kesal, karena pola garis tepinya bergelombang.

“Apa aku bisa memotongnya?” katanya yang lebih suka menggunting garis lurus-lurus.

“Bisa, coba dulu saja,” Azka menyemangati.


Tangan kanan memegang majalah. Sedangkan tangan kiri memegang gunting. Gunting dengan gagang dan bilah terbalik sedang hilang. Dia pun menggunakan gunting biasa dan mulai memotong setiap gambar dan tulisan. Namun, hasilnya kurang rapi. Asalkan gambar dan tulisannya masih jelas terbaca.


“Ada yang mau dibantu, Lam?”

Dilam menoleh. “Mau banget. Itu yang aku mau, hehe.”


Dilam sangat beruntung memiliki teman yang ringan tangan. Mereka berdua saling membantu. Dia mengibaskan lagi tangan kirinya. Menggunakan tangan kiri untuk beraktivitas membutuhkan tenaga yang lebih besar. Sehingga, tangannya mudah lelah. Namun, sangat senang saat gambar dan tulisannya selesai dipotong. Kini, tinggal menyusun dan menempelkan di atas kertas.


“Tempel, tempel, tempel sangat gampang.”

Tangan kirinya sangat lihai mengoleskan lem pada bagian belakang gambar dan tulisan untuk ditata rapi di atas kertas. Urutannya adalah potongan gambar dulu baru tulisan. Tulisan yang terdiri dari kata bahasa indonesia, bahasa inggris dan bahasa arab letaknya di bawah gambar.

“Mmm, menulis daftar isi atau menghias sampul dulu, ya?” ucapnya bingung. Dia menimbang-nimbang apa yang harus dikerjakan terlebih dulu.

“Kalau punya Ayah daftar isinya panjang,” katanya membuka kembali kliping ayah.

“Hmm, tapi aku mau menghias sampul dulu aja, sih, yang asik. Eh, kok enggak ada meja?”

Dilam tiduran tengkurap di lantai. Lalu, berganti duduk. Namun, posisinya tidak membuatnya nyaman menulis. Dia memperhatikan sekeliling gudang. Kemudian, menurunkan semua buku, majalah dan koran sisa yang dipilah tadi dari atas meja ke lantai. Meja yang sama dengan meja di kamarnya sangat pas untuknya. Mejanya tidak melebihi tinggi badan, tidak membuatnya menjinjit atau membuat tubuhnya membungkuk.

“Aku bantu nulis daftar isinya aja, ya,” kata Azki tidak kalah semangat membantu.

“Oke, tapi kamu pindah ke sini, ya?”

Dilam canggung menyuruh Azki pindah ke sebelah kanannya. Saat duduk berdekatan posisi badannya yang nyaman adalah di samping kiri temannya. Supaya siku tidak bentrok dan membuatnya leluasa menulis.

“Oiya. Oke siap.”

Azki menepuk Dahi. Dia lupa dengan Dilam yang kidal. Apapun itu, tak menjadi masalah bagi mereka.

Dilam meletakkan kertas cover di sisi kiri sebelah atas. Dilanjutkan dengan menghias sampul. Membuat gambar bintang yang berdekatan. Ada yang besar dan yang kecil. Di dalam bintang yang besar diberi identitas dirinya. Dalam gambar bintang yang lain diisi dengan tulisan zona bahasa. Sedangkan, Azki menulis daftar isi.

Sampul dari kertas warna kuning dengan hiasan gambar bintang yang berwarna-warni telah jadi. Tulisan ZONA BAHASA sebagai judul kliping pun diberi hiasan. Di atas huruf O dan S diberi gambar topi.

“Yes! Alhamdulillaah, klipingnya selesai sebelum Deadline,” ungkapnya sangat puas. Dia memeluk kliping hasil karyanya yang sudah dijilid rapi.

“Terima kasih sudah membantuku, Azki!” ucap Dilam.

“Sama-sama, Dilam!”

Dilam senang sekali. Anak yang baru kelas lima SD itu berjanji, tidak menunda-nunda lagi mengerjakan tugas sekolah. Kalau cepat selesai, hati juga tenang.

Gudang, tempat Dilam membuat kliping