Tuung Kuning

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Tuung Kuning

Luh Putri Andriyani

Pada zaman dahulu kala, hiduplah sepasang suami-istri, meraka hidup serba pas-pasan dan terkesan miskin. Sang suami bernama I Landra dan sang istri bernama Sulasih. Mereka tinggal di sebuah desa yang sangat kecil dan jauh dari keramaian. Selain itu, rumah I Landra juga jauh dari pemukiman penduduk. Rumahnya sangat terpencil dan terletak di pinggir hutan yang sangat lebat dan hanya memiliki beberapa tetangga saja. Pasangan suami-sitri itu belum mempunyai anak.

I Landra adalah seorang lelaki yang sangat malas. Setiap hari kerjanya hanya bermalas-malasan, makan, tidur, hura-hura, serta minum-minum dengan temannya. Salah satu kegemarannya adalah berjudi, yaitu menyabung ayam.

Hanya Sulasihlah yang bekerja keras sehingga mereka berdua dapat makan dan melanjutkan hidup. Sulasih bekerja sebagai pedagang sayur-sayuran dan kayu bakar. Setiap pagi buta, ketika ayam jago baru saja berkokok, Sulasih sudah bangun dan bersiap-siap berangkat ke pasar. Ketika sampai di pasar, dia pun mulai berjualan -dan menggelar dagangannya. Setelah dagangannya habis, dia pun membeli keperluan, yaitu bersa dan lauk-pauk. Jika sudah selesai, ia langsung pulang. Setelah sampai di rumah, dia memanggil-manggil suaminya.

“Beli ... ! Beli! Oi mana? Saya sudah pulang dari pasar dan ini saya membawakan beberapa makanan kecil untuk Beli." Panggil Sulasih ketika dia baru datang dari pasar dan sedang membuka pintu. Namun, tidak ada sahutan dari dalam rumah dan tampaknya rumah sedang sepi. Dia mencari-cari suaminya ke seluruh ruangan, tetapi tetap tidak ditemukan. Dia memutuskan untuk mencari kayu bakar ke hutan. Ia segera mengambil kapak yang ada di dapur. Sulasih langsung menuju ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar.

Matahari sudah mulai terbenam ketika Sulasih pulang dari hutan. Ia memikul seikat besar kayu bakar di pundaknya. Setelah sampai di rumah, dia mencari beberapa sayuran dan buahbuahan untuk barang dagangannya. Ketika semua sudah selesai, baru dia mandi dan sembahyang. Sulasih adalah orang yang taat beragama dan beribadah. Sulasih berbeda dengan suaminya yang selalu acuh tak acuh tentang halhal keagamaan. Malam hari Sulasih mengikat barang dagangannya dan menaruhnya di tempat yang sudah disiapkan. Karena malam sudah larut dan juga seluruh badannya sudah sang at Ieiah, Sulasih memutuskan untuk tidur. I Landra belum juga pulang, kalau perutnya tidak lapar, dia tidak akan pulang. Tidak jarang I Landra menginap di salah satu rumah temannya.

Bunyi jangkrik di halaman saling bersahutsahutan dengan bunyi serangga yang lain. Ketika sedang tidur nyenyak, Sulasih dikejutkan oleh suara ketukan pintu dan teriakan-teriakan I Landra memanggil namanya.

“Sulasih ... , cepat buka pintunya. Jangan tidur melulu kerjamu, cepat bukakan pintu untuk suamimu ini," panggil I Landra dengan suara keras, bahkan kedengaran seperti teriakan marah.

“Ya ... tunggu, segera akan saya bukakan,” jawab Sulasih dengan takut karena mendengar nada suara suaminya yang terkesan tinggi. Dengan setengah berlari, Sulasih membukakan pintu suaminya. Tampak suaminya sedang mabuk berat dan mulutnya bau minuman keras. I Landra sudah tidak bisa berdiri tegak. Dia berjalan dengari sempoyongan. Sulasih membantu suaminya masuk ke dalam rumah dan langsung memapahnya ke dalam kamar. Di pembaringan dia merebahkan suaminya. Dia mengambilkan minum untuk suaminya. I Landra tampak seperti orang gila, berbicara sesuatu yang tidak jelas, kadang tertawa, atau marah-marah. Begitulah kehidupan I Landra dan Sulasih.

Setelah enam tahun pernikahan mereka, tiba-tiba Sulasih merasa tidak enak badan dan merasa tubuhnya dalam keadaan lain. Dia selalu merasa pusing, mual-mula, dan mulai tidak enak badan. Badannya menjadi lemas dan dia sudah tidak kuat lagi untuk bekerja seperti dulu. Dia yakin bahwa dia sedang hamil karena Ciri-ciri yang dimilikinya sama dengan orang yang sedang hamil. Untuk membuktikan dugaannya, dia memeriksakan diri di dukun beranak.

“Mbah ... bagaimana keadaan saya, Mbah. Benar saya hamil, Mbah?" Tanya Sulasih dengan perasaan cemas ..

“Ya, Nak, kau sekarang sedang hamil dua bulan. Jaga kandunganmu baik-baik. lngat makan harus teratur dan makan makanan yang bergizi untuk pertumbuhan bayinya," saran Mbah dukun kepada Sulasih.

“Terima kasih, Mbah. Kalau begitu saya permisi dulu ya!" pamit Sulasih.

“Sama-sama," jawab Mbah dukun.

Sulasih pulang dengan perasaan bahagia. Setelah sampai di rumah, dia segera memberitahukan berita bahagia ini kepada suaminya. Akan tetapi, I Landra bersikap dingin dan terkesan tidak peduli atas berita yang disampaikan istrinya.

“Aku sama sekali tidak peduli. Apakah kauhamil atau tidak? Menurutku jika kauhamil, maka tanggungan hidup kita akan semakin besar. Bukankah kautahu sendiri jika hidup kita sekarang ini sudah sangat pas-pasan. Kalau ditambah satu orang lagi, hidup kita akan semakin melarat. Apalagi, nanti setelah hamil, kau pasti tidak akan bekerja, dari. mana kita dapat uang untuk makan sehari-hari?" jawab I Landra tidak peduli.

“Tapi Beli, nanti setelah anak kita dewasa, dia dapat membantu kita untuk bekerja sehingga dapat memperoleh uang," usul Sulasih.

“Betul juga katamu. Tapi jika yang kaumaksud adalah anak laki-laki yang mempunyai tenaga yang besar, bisa diandalkan untuk bekerja, dan juga bisa saya ajak jika saya pergi menyabung ayam ke desa tetangga. Tapi bagaimana jika anakmu yang lahir itu perempuan? Dia akan sangat menyulitkan dan merepotkan karena umumnya anak perempuan itu lemah dan tidak mampu bekerja. Setelah dewasa, anak perempuan akan meninggalkan rumah ini karena akan bersuami. Jadi, akan rugi kita jika melahirkan saorang anak perempuan. Jadi, ingat pesanku. Jika anak yang lahir ini perempuan, kauharus membunuhnya,” kata I Landra.

“Daripada kita tidak punya anak sama sekali, apa pun anak yang diberikan Tuhan kepada kita patut k1ta syukuri. Beli harus ingat bahwa segala sesuatu yang ada diciptakan oleh Tuhan karena beliau Mahakuasa."

“Pokoknya aku tidak setuju. Jika kau tidak melaksanakan perintahku, aku sendiri yang akan melakukannya. Aku akan pulang beberapa tahun kemudian. Jika kau tidak membunuh anak itu ketika itu masih kecil, aku akan membunuhnya ketika dia sudah besar. Apa kautega melihat anakmu yang beberapa tahun kaupelihara akan mati aku bunuh? Jadi, kaubunuh saja ketika ia baru lahir."

“Baiklah kalau begitu, aku akan menuruti perintah Beli."

“Memang begitu seharusnya dan itu adalah salah satu putusan yang pintar.”

Beberapa minggu kemudian, I Landra pergi ke kerajaan tetangga, karena ada pengumuman bahwa di sana akan ada aduan ayam yang secara besar-besaran. Sebelum pergi, ia kembali mengingatkan istrinya.

"Ingat pesanku! Jika anak kita laki-laki, kau harus merawat dan membesarkannya. Namun, jika anak kita perempuan, kaubunuh saja dan kauberikan kepada Si Merah."

“Aku akan menuruti perintah Beli."

“Aku tidak tahu sampai kapan aku akan menetap di sana. Mungkin sampai beberapa tahun. Karena sudah mulai siang, aku berangkat dulu."

“Hati-hati di jalan, Beli." Sulasih mengantar kepergian suaminya sampai di depan pagar rumah. Dia pun masuk ke dalam rumah ketika tubuh suaminya sudah lewat di belokan depan rumahnya.

Kandungan Sulasih sudah genap sembilan bulan dan dia sudah mau melahirkan. Di rumahnya sudah tidak ada siapa-siapa lagi, tetapi untunglah masih ada beberapa tetangga yang mau menolongnya untuk membantu mempersiapkan kelahiran sang bayi. Pada suatu hari, Sulasih merasa badannya tidak enak terutama bagian perutnya yang selalu mules-mules. Dia yakin bahwa dirinya akan segera melahirkan. Kemudian, dia memanggil tetangga terdekatnya sekaligus satu-satunya tetangga yang dia miliki, karena penduduk yang lain rumahnya jauh dari rumah Sulasih.

Tetangga Sulasih segera memanggil dukun beranak yang terdekat. Setelah dukun itu sampai di rumah Sulasih, dia segera menyiapkan berbagai peralatan yang dibutuhkan untuk membantu proses kelahiran. Ternyata, Sulasih sangat sulit melahirkan. Sulasih kehabisan tenaga, tetapi di detik-detik terakhir Sulasih melahirkan dengan selamat dengan bantuan dari Mbah dukun. Setelah mendengar tangisan bayi yang sangat nyaring, Mbah dukun segera memandikan bayi itu dan dia memberitahu Sulasih bahwa anak yang lahir adalah perempuan.

“Selamat, Nak, kau sudah melahirkan seorang anak yang sehat dan kau sudah berhasil melewati rintangan ini dengan selamat. Memang bagi perempuan, melahirkan itu adalah hal yang paling sulit. Anakmu ini adalah perempuan dan dia kelihatan sangat cantik."

“Apa, jadi anakku perempuan?" tanya Sulasih dengan nada terkejut.

"Iya, dia sangat mirip denganmu. Lalu, kenapa kauterkejut seperti itu?" tanya Mbah dukun sambil memperlihatkan bayi itu kepada Sulasih. Ketika melihat anak itu, Sulasih tiba-tiba menangis, dia tidak tega untuk membunuh anaknya. Bayi itu masih sangat palos dan belum memiliki dosa sedikit pun. Akan tetapi, Sulasih juga harus menuruti kata-kata suaminya, jika tidak, anak ini akan dibunuh juga oleh suaminya jika sudah besar.

Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya Sulasih memiliki ide untuk melindungi anaknya. Dia akan menitipkan anaknya di rumah ibunya yang terletak di desa yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Pada malam hari, ketika kondisi badannya sudah membaik dan tetangga yang menolongnya sudah pulang, Sulasih kembali membongkar ari-ari (plasenta) yang sudah ditanamnya pada pagi hari. Dia pun memotong-motong ari-ari tersebut dengan menggunakan pisau dapur dan memberikannya kepada Si Merah yang merupakan ayam kesayangan suaminya. Dan pada keesokan harinya, Sulasih pergi ke rumah ibunya. Dia harus melewati dan mendaki bukit, menuruni jurang dan lembah, serta harus melewati hutan rimba. Setelah dua hari dua malam, baru dia sampai di rumah ibunya.

Ibu Sulasih adalah seorang janda yang telah ditinggal mati oleh suaminya karena terperosok ke dalam jurang. Dan, Sulasih adalah anak satu-satunya yang dia miliki. Ketika mendengar penuturan Sulasih tentang nasibnya dan nasib anaknya, janda itu hanya bisa menangis sambil berusaha menghibur. Ia juga menasihati agar Sulasih tetap sabar dalam menerima cobaan yang diberikan Tuhan. Akhirnya, Sulasih pulang ke rumahnya dengan lega karena anak yang dia beri nama Tuung Kuning akan tetap hidup aman dan bahagia bersama neneknya.

Sepuluh tahun kemudian, I Landra baru pulang dari menyabung ayam. Dia pulang dalam keadaan yang sangat menyedihkan dan dia bercerita kepada istrinya bahwa dia sudah kehilangan seluruh harta benda yang dimilikinya. Kemudian, dia teringat dengan kehamilan istrinya.

“Bagaimana dengan kandunganmu? Tentu anak itu sudah lahir bukan, lakl atau perempuan?"

“Anak kita perempuan, Beli. Dan, aku sudah membunuhnya dan memberikannya kepada Si Merah. Lihat saja Si Merah, dia masih bisa bertahan dan terus hidup setelah sepuluh tahun lamanya serta dia semakin sehat," jawab istrinya dengan agak gagap dan tersendat-sendat. Akan tetapi, dia berusaha untuk bersikap tenang di hadapan suaminya.

“Si Merah bukanlah ayam sembarangan. Dia adalah salah satu ayam jagoanku dan aku tidak akan pernah membiarkan sesuatu yang buruk menimpanya. Jadi, aku tidak pernah membawanya keaduan.”

Tiba-tiba terdengar suara kokokan ayam jantan, yaitu suara Si Merah.

“Kukuruyuuukk ... Sulasih melahirkan anak perempuan. Dia tidak membunuh anaknya dan tidak memberikannya kepadaku. Aku hanya diberi ari-arinya saja. Dan anaknya. Sulasih dititipkan di rumah neneknya. Kukuruyuuukkk," suara si ayam. Sepasang suami istri itu terkejut mendengar suara Si Merah. Dan yang lebih terkejut lagi adalah Sulasih. Ketika dia melihat suaminya, tampak I Landra merah padam mukanya menahan geram dan marah karena istrinya sudah berani melanggar perintahnya.

I Landra memukul istrinya beberapa kali, sedang Sulasih hanya bisa menangis tersedu-sedu sambil menahan sakit. Setelah dia puas memukul istrinya, dia pun berkata, "Cepat kaubawa pulang anak itu. Jika tidak, kau pun akan kubunuh. Jika kau tidak mau, aku yang akan pergi."

“Baiklah, aku akan mengajak pulang Tuung Kuning.”

Sulasih segera berangkat ke rumah ibunya. Di rumah ibunya, Tuung Kuning sedang membantu neneknya menyelesaikan pekerjaan rumah. Tuung Kuning tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik juga baik hatinya. Dia juga sudah biasa menenun untuk membantu membiayai kehidupan mereka. Neneknya sudah sangat tua dan sangat sayang kepada Tuung Kuning.

Beberapa hari kemmudian, Sulasih sampai di rumah ibunya. Saat itu Tuung Kuning sedang menenun sebuah kemben. Dia sudah merasa bakal terjadi sesuatu karena kemarin malam dia bermimpi dihanyutkan oleh banjir dan terseret hingga tenggelam. Ibunya memanggil-manggil Tuung Kuning dan mengajaknya pulang ke rumah dengan alasan ayahnya ingin bertemu. Selama sepuluh tahun ini, Sulasih sering mengunjungi anaknya di rumah ibunya sehingga di antara ibu dan anak ini sudah terjalin hubungan yang sangat erat dan penuh kasih sayang. Sebagai anak yang penurut, Tuung Kuning menuruti kemauan ibunya untuk pulang ke rumah menemui ayahnya.

Setelah beberapa hari melakukan perjalanan, Tuung Kuning dan ibunya sampai di rumah. Ayahnya menunggu kedatangan mereka dengan hati gelisah. Ketika Tuung Kuning sampai di depan rumah, ayahnya langsung menyeretnya ke tengah hutan dengan membawa sebilah parang. Sulasih yang ingin mencegah maksud suaminya segera dipukul oleh I Landra. Sulasih hanya bisa menangis melihat anaknya dibawa pergi. Tuung Kuning yang melihat ibunya disiksa sedemikian rupa meminta kepada ayahnya agar tidak menyakiti ibunya lagi dengan menangis tersedu-sedu.

“Ayah tolong jangan pukul ibu lagi. Aku akan menerima ke mana pun ayah membawaku, tetapi jangan ayah siksa ibu."

“Kau jangan banyak bicara dan jangan panggil aku ayah karena aku bukanlah ayahmu,” jawab I Landra dengan sengit.

I Landra terus menyeret Tuung Kuning dengan paksa. Tuung Kuning selalu berdoa agar ayahnya menyadari perbuatannya. Tuung Kuning berdoa agar ibu dan juga neneknya selamat. Dia sudah sangat pasrah. Dia sama sekali tidak memikirkan keselamatan dirinya sendiri, tetapi memikirkan orang-orang yang sangat disayanginya.

Setelah sampai di pinggir hutan, tepatnya di bawah sebuah pohon yang besar, I Landra menyuruh Tuung Kuning untuk berdiri di sana karena sebentar lagi akan dia habisi. Pada saat itu, hari sudah malam dan hanya diterangi oleh cahaya bulan purnama. Tuung Kuning memejamkan matanya dan berdoa agar setelah dia meninggalkan dunia ini, orang-orang yang dia sayangi bisa memperoleh kebahagiaan. Ketika I Landra bersiap menancapkan parangnya ke tubuh Tuung Kuning, keajaiban pun terjadi. Muncul beberapa bidadari dari kahyangan yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Dia mengambil tubuh Tuung Kuning dan menggantinya dengan batang pisang. I Landra pun memotong-motong batang pisang tersebut yang dikira tubuh Tuung Kuning.

Pada saat membuka matanya, Tuung Kuning terkejut. Dia belum mati, dia berada di tempat yang sangat asing, yaitu di tengah hutan yang sangat lebat. Dia berusaha mencari jalan keluar, tetapi tidak dapat karena hari sudah sangat malam. Ia pun memutuskan untuk tidur di dahan salah satu pohon yang ada di hutan tersebut. Lain halnya dengan I Landra yang pulang ke rumahnya dengan hati puas dan lega karena sudah berhasjl membunuh Tuung Kuning serta dapat melampiaskan kemarahannya karena kalah berjudi.

Keesokan harinya, Tuung Kuning terbangun ketika mendengar suara burung yang berkicau riang seolah membangunkannya. Matahari pagi sudah bersinar terang. Dia pun melanjutkan perjalanan untuk mencari jalan keluar. Tiba-tiba dia mendengar suara langkah kaki dari balik rerimbunan semak-semak. Ketika mendekatinya, dia merasa sangat senang karena di dalam hutan yang sangat lebat ini masih ada orang. Orang itu adalah seorang nenek tua yang sedang mengumpulkan kayu bakar. Tuung Kuning segera menyapanya.

“Selamat pagi, Bi."

“Pagi, Nak. Siapa kamu dan mengapa saorang diri berada di dalam hutan ini?"

“Saya seorang diri, Bi. Saya sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi dan tersesat di dalam hutan ini. Saya tidak menemukan jalan keluar untuk pulang."

“Kasihan kau, Nak. Kalau begitu mari ikut bibi. Rumah bibi dekat dari sini. Oh ya nama bibi, Bibi Emban. Jadi, kamu bisa memanggilku Bibi Em ban."

“Terima kasih atas pertolongan Bibi.”

Akhirnya, Bibi Emban mengangkat Tuung Kuning menjadi anaknya. Bibi Emban adalah seorang janda yang tidak mempunyai seorang anak, maka ia sangat menyayangi Tuung Kuning. Bibi Emban merasa sangat beruntung mempunyai anak angkat seperti Tuung Kuning karena dia rajin dan juga pintar dalam segala hal. Sejak kehadiran Tuung Kuning, kayu bakar yang dikumpulkannya selalu laris. Akhirnya, dia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan juga membelikan Tuung Kuning alat tenun yang selama ini selalu diidam-idamkannya.

Tuung Kuning berusaha menambah penghasilan keluarga dengan menjual kain tenun yang dibuatnya. Tenunannya sangat bagus dan banyak peminatnya. Akhirnya, kain tenun buatan Tuung Kuning sangat dikenal oleh masyarakat luas.

Diceritakan di Kerajaan Kahuripan, tinggallah seorang raja dengan permaisurinya. Dia memiliki seorang putra makhota yang sangat disayanginya. Pada suatu hari putra makhota itu bermimpi kejatuhan bulan. Dia pun bertanya tentang mimpi tersebut kepada Paman Patihnya.

“Paman Patih, kemarin Ananda bermimpi yang sangat aneh. Ananda bermimpi bahwa Ananda kejatuhan bulan yang sangat terang dan indah cahayanya. Menurut Paman apa maksud mimpi itu?"

“Kalau hamba tidak salah Gusti Pangeran, jika bermimpi kejatuhan bulan, orang yang bermimpi tersebut akan mendapat rejeki dan juga keuntungan. Sekarang musim semi, musim berburu. Jika berburu, Pangeran akan mendapat buruan yang sangat banyak."

“Kalau begitu menurut Paman, baiklah segera siapkan peralatan dan beberapa prajurit karena besok pagi-pagi sekali kita sudah berangkat ke hutan untuk berburu."

“Daulat, Gusti Pangeran.”

Keesokan harinya pasukan dari Kerajaan Kahuripan tersebut beriringan keluar kerajaan untuk berburu ke tengah hutan. Memang benar, setelah sampai di hutan, mereka melihat banyak sekali binatang buruan. Prajurit yang lain sibuk menangkap buruannya, tetapi Pangeran itu sibuk memperhatikan burung yang sedang bertengger di salah satu pohon di hutan tersebut. Burung itu memiliki warna yang sangat cantik dan juga suaranya sangat merdu. Kemudian, burung itu terbang dan pangeran mengikutinya. Dia terus mengikuti sampai burung itu bertengger di salah satu atap rumah. ltulah rumah Bibi Emban. Jadi, hutan tempat berburu Pangeran adalah hutan yang sama tempat tinggalnya Bibi Emban.

Bibi Emban sedang menyapu di halaman. Pangeran melihatnya dan segera menyapanya. Ketika melihat pakaian bangsawan yang dikenakan oleh Pangeran, Bibi Emban segera bersujud. Akan tetapi, Pangeran melarangnya. Pangeran tidak menyukai kebiasaan seperti itu, yaitu membungkuk di hadapan keluarga raja. Pangeran mempercayai bahwa manusia ini diciptakan sederajat oleh Tuhan, tetapi apa boleh dikata, itu sudah aturan yang mesti dijalankan. Dari dalam rumah, Pangeran mendengar suara perempuan menyanyi yang diselingi bunyi alat tenun.

“Bibi, siapa gerangan yang menenun sambit menyanyi di dalam rumah. Suaranya sangat merdu, ingin saya menemui orang tersebut."

“Oh .... ltu anak perempuan saya, dia memang sangat senang menyanyi. Sebentar Gusti Pangeran, saya akan memanggil anak saya itu.”

Kemudian, Bibi Emban masuk ke dalam rumah. Sesaat kemudian, dia keluar sambil menggandeng Tuung Kuning. Tuung Kuning segera bersujud di hadapan Pangeran.

"Ini anak perempan hamba Gusti, namanya Tuung Kuning.”

Pangeran tersenyum melihat Tuung Kuning. Baru kali ini dia melihat gadis secantik Tuung Kuning. Walaupun Cuma gadis desa, kecantikan Tuung Kuning mengalahkan putri-putri kerajaan. Ketika melihatnya pertama kali, Pangeran sudah langsung jatuh cinta. Begitu juga Tuung Kuning. Pertama kalinya Tuung Kuning merasakan seluruh tubuhnya gemetaran ketika bertemu dengan seorang laki-laki. Bibi Emban yang mengetahui keadaan tersebut memberikan kesempatan kedua sejoli itu untuk berbincang-bincang.

Ketika Pangeran akan pulang kembali ke istana, dia meminta izin kepada Bibi Emban untuk mengajak Tuung Kuning ke istana dan memperkenalkannya kepada kedua orang tuanya. Bibi Emban menyetujui karena dia yakin ini sudah ditakdirkan Tuhan. Bibi Emban tetap sedih karena harus berpisah dengan orang yang sangat disayanginya.

Tuung Kuning dan Pangeran tiba di istana. Seluruh anggota istana tercengang karena kecantikan Tuunng Kuning. Wajahnya yang bersih dan putih, dengan perpaduan rambut yang panjang dan hitam. Hidungnya yang mancung dengan bibir tipis yang selalu merah dan selalu tersenyum kepada setiap orang, juga ada lesung pipit di pipinya. Raja dan Permaisuri menyetujui rencana Pangeran untuk menjadikan Tuung Kuning sebagai istrinya. Mereka pun menentukan hari dan tanggal pernikahannya. Sebelum pernikahan berlangsung datang utusan kerajaan yang menjemput Bibi Emban, Sulasih dan ibunya untuk pergi ke istana. Dari ibunya Tuung Kuning tahu bahwa ayahnya sudah meninggal karena diterkam oleh binatang buas. Pada suatu hari, I Landra pergi ke desa tetangga karena di sana ada judi menyabung ayam. Dia pergi dengan membawa Si Merah dan harus melewati hutan rimba yang sangat angker. Keesokan harinya beberapa penduduk desa yang sedang mencari kayu bakar menemukan tubuh I Landra terkoyakkoyak dengan semua isi perutnya keluar. Di sampingnya juga terdapat tubuh Si Merah yang mengalami nasib serupa. Menurut penduduk desa, kemungkinan besar, I Landra dan ayamnya diterkam harimau ketika melewati hutan pada saat malam hari.

Pernikahan antara Tuung Kuning dan Pangeran berlangsung dengan sangat meriah dan bahagia. Akhirnya, Tuung Kuning beserta orang-orang yang dicintainya hidup bahagia selamanya.

  • Beli: sebutan untuk orang laki-laki yang lebih tua atau yang lebih dihormati. Misalnya, kakak laki-laki, suami, orang lain yang lebih tua