Lompat ke isi

Untukmu Ibu

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Tokoh[sunting]

  1. Aku (Ira)
  2. Ayah
  3. Ibu
  4. Bu Indah (Bunda)
  5. Anita
  6. Rini
  7. Sitha

Lokasi[sunting]

Di sebuah desa, di mana tradisi dan budaya masyarakatnya masih terjaga dan selalu dijaga

Sinopsis[sunting]

Ibuku adalah seorang penari. Sejak kecil, aku senang sekali melihatnya latihan menari. Dan tanpa kusadari, aku juga mengikuti caranya menggerakkan tubuh dengan anggun. Aku suka menari. Namun, sejak ibuku meninggal, aku patah semangat untuk melanjutkan menari. Mampukah diriku bangkit lagi?

Cerita Pendek[sunting]

Masa Lalu[sunting]

Dulu, saat umurku lima tahun, aku senang sekali melihat ibuku latihan menari. Ibu adalah seorang penari yang luar biasa, menurutku. Lambaian tangannya, langkah kakinya, gerakan kepala dan pundaknya... Semua dilakukannya dengan luwes, sangat anggun. Perlahan, aku mengikuti cara ibu menggerakkan tubuh sesuai alunan musik tari. Dan aku mulai menyadari kalau tarian telah menjadi bagian dari diriku.

Suatu hari, aku terpana saat mengamati tarian ibu. Saking terpananya sampai aku terlambat menghindar saat selendang biru ibu mengenai kepalaku.

"Aah!"

Ibu bergegas menghampiri dan duduk di sampingku. Tangannya yang hangat mengusap rambutku, lalu menciumnya.

"Masih sakit, Ira?"

"Tidak, kok," aku nyengir. "Gerakan leher Ibu tadi unik sekali!"

"Oh, itu... Namanya pacak gulu. Caranya dengan menggerakkan lehermu ke samping kanan dan kiri berulang kali."

"Aku mau coba!"

Ibu tersenyum seindah bulan sabit.

"Kamu perlu banyak latihan, Ira. Pacak gulu bukanlah gerakan yang mudah, tapi Ibu yakin kalau kamu pasti bisa."

Kemudian ibu memelukku, dan aku mendengar ibu berbisik.

"Percayalah jika suatu saat nanti kamu akan menjadi penari yang hebat, Ira, bahkan bisa melebihi Ibu."

Namun, aku tak menyangka. Ketika umurku beranjak 10 tahun, ibu meninggal. Tentu saja aku sedih. Aku tak sempat mengucapkan terima kasih karena telah melahirkanku, merawatku, dan membesarkanku. Aku tak sempat mengatakan bahwa aku mencintainya.

Sejak saat itu, ayah yang menggantikan peran ibu. Memasak, mencuci piring, membersihkan rumah, sekaligus bekerja adalah rutinitas harian ayah. Bahkan, ayah juga bersedia mendengarkan ceritaku tentang sekolah dan teman-teman. Dan ayah tak pernah memarahiku. Sama sekali tidak pernah. Bagiku, kehadiran ayah terasa seperti angin segar yang berhembus.

Pertanyaan Ayah[sunting]

"Ira, ayo sarapan dulu."

"Iya, Yah."

Setelah berganti seragam merah putih, aku menuju meja makan. Sepiring nasi goreng hangat telah disiapkan untukku. Aku duduk dan mulai makan.

"Masakan Ayah selalu juara!"

Ayah tersenyum sambil menarik kursi.

"Ira, Ayah ingin bertanya padamu."

"Apa, Yah?"

"Sepertinya kamu sudah lama tidak menari lagi. Ada apa?"

Aku diam saja. Memang benar bahwa aku berhenti menari sejak ibu tiada. Rasanya berbeda saat menari tanpa sosok ibu di depanku. Iringan musik sekarang terdengar menyakitkan di telingaku.

"Ira?"

"Aku tak sanggup menari lagi, Yah."

Tanpa menghabiskan sarapan, aku langsung berangkat ke sekolah. Ya, aku berjalan kaki. Sesekali, aku menendang kerikil di jalan yang belum beraspal. Batinku kesal. Kenapa ayah mengajukan pertanyaan seperti itu? Ayah menyinggung topik yang sensitif tanpa mau tahu perasaanku. Dan kenapa harus hari ini, di hari pertamaku sebagai murid kelas lima SD Langit Senja?

Amarahku memuncak. Kemudian, aku berhenti untuk menarik napas panjang. Yah, setidaknya aku masih bisa memandang hijaunya sawah yang menyejukkan mata. Pikiranku kembali tenang.

Aku melanjutkan perjalanan.

Saat aku sampai di kelas, bel berbunyi nyaring. Aku meletakkan tas di kursi, lalu menuju ke halaman sekolah untuk mengikuti upacara.

Pencerahan[sunting]

"Ira pulang," ucapku sembari melepas sepatu. Rumahku kosong. Bisa ditebak bahwa ayahku belum pulang kerja.

Aku segera berganti pakaian di kamar.

"Iraa! Iraa!"

Aku berlari ke pintu ruang depan dan melihat teman-temanku. Anita, Rini, dan Sitha.

"Ayo ikut ke sanggar tari dekat sini," Anita mengajak.

"Tapi, aku-"

"AYO!"

Mereka menyeretku tanpa ampun.

Sanggar tari yang mereka maksudkan berjarak 20 langkah dari rumahku. Saat kami sampai di sana, sebuah papan bertuliskan " Sanggar Tari Sekarang Enom" terpampang di depan tirai bambu rumah tersebut.

Kami disambut dengan suara musik tari yang khas. Dan dari pintu ruang depan yang terbuka, kami melihat seorang penari bergerak luwes mengikuti alunan musik. Wanita dengan selendang biru.

Tiba-tiba aku teringat akan ibu. Aku terduduk di teras rumah itu, tak sanggup berkata apapun. Air mataku menetes.

"Ira, kenapa nangis? Kamu jatuh? Yuk, aku bantu berdiri."

Alunan musik berhenti. Penari itu menghampiri kami.

"Eh, Anak-anak sudah datang. Mari masuk."

Di sebuah kursi panjang, beliau duduk di sebelahku.

"Duh, anak cantik kenapa menangis?"

Aku memulainya dengan kisah tentang ibuku, tentang pertanyaan ayah, dan terakhir tentang diriku.

"Sebelumnya, Ibu turut berdukacita atas meninggalnya Ibumu, Nak. Rasanya pasti berat bagimu kehilangan seseorang yang selalu memberikan semangat sekaligus menjadi panutanmu dalam menari. Ibu memahami perasaanmu."

Aku mengangguk. Entah kenapa aku tak keberatan mendengar beliau menyinggung soal tarian. Apakah karena aku merasakan betapa lembut tangannya mengusap pipiku?

Beliau adalah malaikat penolongku.

Lalu aku mendengar beliau berkata dengan lembut.

"Anak-anak, tarian daerah adalah sebuah seni dan juga budaya bangsa Indonesia. Sejak dahulu, nenek moyang kita menciptakan tarian dengan gerak yang khas untuk mengekspresikan perasaan mereka. Itulah kenapa gerakan dalam tarian seperti ngithing, ukel, mendhak, pacak gulu, dan semacamnya memiliki makna dan filosofi masing-masing.

"Nah, tarian diteruskan secara turun-temurun dan akhirnya sampai ke generasi kita sekarang. Maka, kita wajib melestarikan tarian daerah agar generasi selanjutnya masih bisa melihat indahnya budaya kita."

"Bu, apakah hanya tarian daerah saja yang termasuk budaya kita?" tanya Sitha.

"Tidak, Nak. Kalau diibaratkan, budaya adalah sebuah semangka, sementara tarian adalah salah satu irisannya. Itu berarti masih ada irisan atau bagian dari budaya yang lainnya, seperti rumah adat, makanan khas, lagu-lagu daerah, alat musik tradisional, dan masih banyak lagi."

"Kenapa tidak buah apel saja, Bu?" Anita memprotes.

"Mangga!" sahut Anita dan Sitha.

"Sudah, sudah. Itu 'kan hanya pengibaratan saja. Kalian boleh menggunakan nama buah apapun yang kalian sukai, asalkan maknanya tidak berubah."

Aku berkata, "Oh, iya. Saya sampai lupa menanyakan nama Ibu."

"Nama saya Bu Indah. Kalian boleh memanggil saya Bunda. Nah, sekarang giliran kalian memperkenalkan diri."

Teman-temanku menyebutkan nama mereka satu per satu, dan aku berada di urutan terakhir.

"Oke, sudah siap menari, Anak-anak?"

"Siap, Bunda!"

Kemudian Bunda menoleh padaku.

"Ira, Bunda tidak memaksamu untuk mengikuti kami. Bunda hanya berpesan padamu agar menuruti kata hatimu."

Selesai mengatakan itu, Bunda bangkit untuk memimpin tarian mereka. Speaker di pojok ruangan kembali berbunyi. Aku mengamati mereka sambil memikirkan sesuatu.

Satu Permintaan[sunting]

Ketika aku sampai di rumah, hari telah menjelang sore. Aku melihat sepatu ayah di luar rumah.

"Darimana, Ira?" tanya ayah yang berdiri di samping meja makan.

Aku ragu-ragu sesaat, lalu menjawab, "Bermain, Yah."

"Ayah sudah memasak sayur orak-arik kesukaanmu. Ditambah bonus roti brownies hasil masakan ayah sendiri. Coba Ira cicipi."

Aku tak bergerak. Rasa kesalku pada ayah telah menghilang, digantikan oleh perasaan bersalah saat menatap ayah.

"Ayah, aku minta maaf soal kelakuanku tadi pagi."

"Tidak apa-apa, Ira. Duduklah."

Kami duduk berhadapan.

"Yah, aku ingin mengikuti sanggar tari. Boleh, ya?"

Ayah mengerjap, lalu tertawa lepas.

"Ira berubah pikiran?"

"Iya, karena dorongan teman-teman dan seorang penari yang hebat," aku mulai menyendokkan makanan ke mulut.

Kurasakan ada sesuatu yang kembali bangkit dalam diriku. Semangat. Dan aku rindu untuk menari lagi. Aku tak akan mengecewakan ibuku yang berharap agar diriku menjadi penari.

Ayah menatapku.

"Ayah tahu, tidak? Budaya daerah wajib kita lestarikan agar tidak menghilang seiring perkembangan zaman. Salah satu caranya yaitu dengan mempelajarinya lalu mengajarkannya kepada generasi muda sepertiku supaya mereka bisa berbangga dengan budaya tersebut. Nah, balik ke topik sanggar tari. Ayah hanya perlu mengizinkanku untuk mengikuti sanggar tari itu, Yah."

"Makan dulu, Ira. Bicaranya nanti."

Aku menghabiskan makan 10 menit kemudian.

"Apa nama sanggar tarinya?" Ayah bertanya.

"Sanggar tari Sekar Enom."

"Gurunya?"

"Bu Indah."

"Apakah Ira yakin kalau Ira ingin terus menari, apapun yang terjadi?"

"Yakin, Yah. Karena aku juga melanjutkan apa yang dilakukan oleh Ibu. Aku akan mempersembahkan tarianku yang terbaik untuk Ibu."

"Baiklah. Ayah mengabulkan permintaan Tuan Putri Ira."

"Terima kasih, Ayah!"

Aku berdiri, mengitari meja, lalu melingkarkan tangan di bahu ayah.

Besoknya sepulang sekolah, aku dan ayah pergi ke "Sanggar Tari Sekar Enom", sebuah tempat di mana aku menggali kembali apa yang telah terpendam sekian lama. Sungguh, aku rindu menari.

"Permisi, Bunda," aku mengetuk pintu.

Tidak lama berselang, Bunda membukakan pintu.

"Ira..." Bunda berkata dengan wajah berseri-seri. " Bunda yakin kalau suatu hari kamu akan berkunjung ke sini lagi. Selamat datang kembali, Nak."

TAMAT