Lompat ke isi

Vietnam: Why Did We Go?/Bab 15

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

BAB 15—Akhir Kediktatoran Katolik Diem

Pembunuhan Dua Presiden Katolik

Bagi Vatikan, Vietnam adalah kesempatan lain untuk penanaman otoritarianisme Katolik di wilayah asing melawan kehendak mayoritas penduduk. Vatikan adalah pembimbing yang memakai kesempatan militer dan politik untuk memajukan kebijakan-kebijakannya sendiri, yang artinya perluasan Gereja Katolik yang terwakili. Untuk mempromosikan kebijakan semacam itu, seperti aturan yang akan dipakai orang-orang yang taat beragama untuk menjalankan operasi agama dan politiknya.

Kasus Diem adalah contoh klasik. Vatikan mendukung Diem karena ia adalah Katolik taat, AS mendukungnya karena ia adalah anti-komunis setia. Pada masa itu, semenjak kebijakan Gereja Katolik sepenuhnya menjadi anti-komunis, seorang Katolik taat akan mengikuti Gereja-nya dan menjadi anti-komunis setia seperti yang dikehendaki.

Sehingga, bagi Menlu AS dan Vatikan, ketaatan agama dan asektisisme Diem adalah landasan terbaik Diem yang akan mengeksekusi kebijakan bersama mereka dengan kesetiaan menonjol, dan dengan ini mereka benar, seperti halnya peristiwa-peristiwa yang kemudian terjadi. Namun, orang-orang yang lebih mengetahui tidaklah beropini sama dengan pendirian Diem. Contohnya, Kedubes Amerika menentangnya dari awal. Peringatan kedubes dihiraukan sepenuhnya oleh Washington, dan meskipun Kemenlu sendiri menentang pilihan tersebut, Cabang Operasi Khusus Pentagon mengangkat Diem. Itulah yang terjadi. Apa alasannya? Sebuah kelompok tertentu di Pentagon, yang terinspirasi oleh kelompok lain di CIA dengan hubungan dekat dengan lobi Katolik di Washington dan kardinal tertentu di AS, dan kemudian sepemahaman dengan Vatikan, memutuskan untuk mengerahkan seorang Katolik taat di Vietnam Selatan.

Ini sangat mengingatkan bahwa ini adalah masa ketika perang Dingin berada pada keadaan terburuknya. Para pemicu besarnya, Dulles bersaudara—yang satu di Kemenlu dan lainnya di CIA—dan Pius XII di Vatikan menjalin strategi diplomatik, politik dan ideologi besar bersama yang menyerukan agar Barat dan Timur Jauh yang meliputi Vietnam adalah bagian integral.

Pilihan tersebut menimbulkan bencana bagi Vietnam Selatan dan kebijakan Asia AS. Seperti yang mereka lihat, masalah agama kemudian mematikan semangat seluruh susunan strategi Amerika besar disana.

Dua presiden Katolik, Diem dan Kennedy, menjadi dua kepala negara yang berhubungan dekat dalam perang paling kontroversial. Dari sudut pandang Vatikan, ini memiliki kemungkinan tak terbatas untuk promosi rencananya di Asia. Dalam keadaan berbeda, berbagi kepercayaan agama umum dapat membantu dalam pelaksanaan kebijakan umum, karena kepentingan politik dua negara tersebut berjalan selaras.

Namun, dengan Katolik Diem melakukan penindasan agama anakronistik semacam itu, Katolik Kennedy makin merasa mudah tersakiti, karena ia merupakan politikus yang terlalu cerdik untuk mempromosikan karir politiknya atau mengorbankan kepentingan AS demi Katolik sejawat yang, setelah semua kejadian tersebut, menimbulkan rasa hina sebagian besar orang Amerika, kebanyakan diantaranya masih memandang Kekatolikkan Kennedy dengan curiga. Sehingga, pemberkatan Pemerintahan Kennedy usai pelengseran rezim Diem. ini seringkali menjadi kasus dengan Katolik dalam otoritas yang ketika keadaan membolehkan dan tidak ada batasan oleh klausa-klausa konstitusional atau pengecekan lainnya, mereka merencakan kebijakan yang lebih dan lebih nyaring dengan jiwa agama mereka. Hasilnya adalah dengan memadukan kepentingan negara mereka dengan Gereja mereka, lebih sering ketimbang tidak, mereka menciptakan kecurangan sosial dan politik yang tak produktif.

Ketika keadaan perkara ini menjadi nyaris krisis, memberlakukan perlawanan terhadap lawan non-Katolik, kemudian orang-orang katolik yang menghimpun kekuatan politik atau militer tak akan berniat untuk memakai kekuatan melawan orang-orang yang menentang mereka. Pada tahap ini, kepentingan kehendak Gereja Mereka, sesuai perannya, menggema di negara mereka.

Perumusan ini dibenarkan dalam kasus Vietnam Selatan. Presiden Diem, yang menimbulkan krisis semacam itu, tak menyelarasakn kepentingan negara dan orang-orang pelindungnya, AS, untuk mewujudkan apa yang ia anggap merupakan kepentingan gerejanya.

Meskipun faktor politik dan militer tak memiliki peran penting yang memainkan bagian utama dalam tragedi mutlak tersebut, faktor agama merupakan pendorong tujuan politik dan militer Presiden Diem dan membawanya menuju marabahaya. Baru dua puluh tahun sebelumnya, di Eropa, Katolik lainnya, Ante Pavelich, menciptakan negara Katolik Kroasia yang menjunjung Gereja Katolik ketimbang agama lainnya. Seperti Diem, Pavelich membenarkan totalitarianisme Katolik atas dasar bahwa kediktatoran Katolik adalah pertahanan terbaik melawan komunisme. Menurut konsep semacam itu, yang mendorongnya untuk meluncurkan tak hanya penindasan seseorang atau sesuatu yang bukan Katolik, dalam kasusnya Gereja Ortodoks, namun juga pemusnahan lebih dari 600.000 pria, wanita dan anak-anak—salah satu peristiwa paling mengerikan pada Perang Dunia II.

Di Kroasia, kebanyakan populasinya adalah Katolik. Di Asia, keadaannya terbalik, dan mesin politik dan militer Diem dinaungi oleh kekuatan besar, AS, sehingga keputusan semacam itu bersifat rentan. Sehingga, kedinian penindasan agama dan kamp konsntrasi menandakan bahwa apa yang terjadi tak seturut opini dunia dan pengaruh pembatasan AS tak terjamah. Namun, ambisi agama dan politik dua diktator Katolik dan hubungan mereka dengan Gereja Katolik berjalan selaras. Sehingga, ketika pergerakan politik dan militer dikendalikan oleh diktator Vietnam Selatan dan Kroasia melenceng dari Gereja Katolik, Gereja Katolik menempatkan pergerakan spiritual dan gerejawinya tak selaras dengan dua diktator tersebut yang membuat siapapun dan setiap hal merendahkan totalitarianisme agama dan politiknya.

Diem dan Pavelich sama-sama mendorong tiga tujuan:


1) penyingkiran musuh politik, seperti komunisme;

2) pembenaran untuk penyingkiran gereja musuh, seperti Gereja Ortodoks Serbia dalam kasus Pavelich dan Buddha dalam kasus Diem;

3) pengangkatan tirani politik dan agama Katolik di setiap negara.


Tidak dalam keadaan latar belakang geografi dan budaya berbeda, susunan dua rezim tersebut pastinya sama: hal apapun dan siapapun yang tak selaras atau mewakili Katolik dimusnahkan tanpa ampun lewat penangkapan, penindasan, kamp konsentrasi dan eksekusi. Hasilnya adalah menyelaraskan kepentingan negara mereka dengan latar belakang, sehingga untuk meneruskan kepentingan agama mereka, kedua diktator tersebut akhirnya membawa wilayah mereka ke jurang.

Dalam kasus Presiden Diem, ketika ia mula-mula menempatka Katolik, ia tak hanya menyudutkan sebagian besar masyarakat Vietnam Selatan, namun bahkan lebih berbahaya lagi, sebagian besar tentara Vietnam Selatan merupakan orang Buddha dan awalnya mendukungnya secara politik. Berpotensi dan membahayakan frontanti-komunisterhadap kebijakan yang dibentuk oleh Diem, hal ini akhirnya menciptakan pergerakan campur tangan militer AS, dengan seluruh hasil yang buruk pada masa selanjutnya.

Meskipun Diem masih menjadi pendamping politik AS, dengan memajukan kebijakan yang terinspirasi oleh kebesaran agama pribadinya sendiri, dan dengan mengacuhkan kepentingan diplomatik dan politik tertentu yang berkaitan dengan strategi militer umum AS, ia membahayakan seluruh kebijakan AS di Asia Tenggara. Ini menjadi makin parah, tak hanya karena menimbulkan kerusuhan yang ditimbulkan olehnya di seluruh belahan negara tersebut, namun secara keseluruhan, karena penindasan agamanya telah mengancam keefektifan tentara.

Perlu diingat bahwa sebagian besar pasukan Vietnam Selatan adalah orang Buddha. Usai menyaksikan agama mereka ditindas, biksu mereka ditangkap, para kerabat mereka dilempar ke kamp-kamp, mereka menjadi resah, dan bahkan memberontak. Terdapat peningkatan kasus ketidakhadiran, pembelotan, dan bahkan pemberontakan. Hakibat hal tersebut bukanlah perang agama yang menimpa rezim Diem sendiri, namun lebih buruknya, perhitungan militer AS sangat terancam.

Seluruh masalah pada penghujung tersebut bahkan menjadi lebih tragis, karena pada waktu itu AS telah memilih presiden Katolik pertamanya, dan bahkan terlebih lagi, karena tingkat pribadinya, Kennedy sendiri, sebelum masuk Gedung Putih, telah menjadi pendukung setia Katolik Diem. Selain itu, ia menjadi salah satu anggota paling berpengaruh dari lobi Katolik yang telah menyetir AS pada Perang Vietnam.

Karena keadaan domestik dan militer di Vietnam Selatan menjadi lebih buruk, para manipulator Asia tenggara menjadikannya jelas, dengan dukungan penuh otoritas militer ditempat, yang beberapa hal drastis telah dilakukan untuk menghindari keretakan tentara Vietnam Selatan. Ketegangan yang timbul dari Rusia Soviet dan Tiongkok Merah membuat pergerakan dari Washington menjadi keharusan dan mendesak, semenjak pengikisan militer dan dalam negeri lanjutan memprovokasi seluruh front anti-komunis untuk dijatuhkan dari dalam.

Tekanan menjadi tak tertahan dan langkah-langkah buruk pertama diambil. Subsidi-subsidi kepada Pasukan Khusus Vietnam ditangguhkan. Pengarahan rahasia diberikan kepada berbagai cabang yang sangat terhubung dengan bagian dalam antara AS dan rezim Diem. Buntutnya, pada 4 Oktober 1963, John Richardson, kepala CIA di Vietnam dipecat dan ditarik ke Washington. Orang-orang tertentu memahami bahwa mereka diberikan kebebasan untuk mengkudeta Diem.

Sebuah kudeta berjalan sukses. Presiden Diem dan saudaranya, kepala kepolisian rahasia yang dibenci melarikan diri mereka. Mereka ditemukan oleh pasukan pemberontak yang bersembunyi di sebuah Gereja Katolik kecil. Tertangkap, kemudian mereka ditangkap di kendaraan bermotor sebagai tahanan negara. Setelah datang ke tempat tujuan mereka, Diem dan saudaranya ditembak mati. Jasad mereka disemayamkan di Rumah Sakit St. Yosef yang hanya berjarak beberapa ratus yard dari Pagoda Xa, pusat pemberontakan Buddha terhadap penindasan Diem.

Dua puluh hari usai pembunuhan Diem, presiden Katolik pertama di Vietnam Selatan, presiden Katolik pertama di AS, John F. Kennedy sendiri dibunuh di Dallas, Texas. Kenapa dan siapa yang melakukannya rahasia sejak itu. Usai keruntuhan kediktatoran Presiden Diem, keterlibatan AS dalam perang Vietnam berlangsung selama sepuluh tahun berikutnya, dari 1963 sampai 1973.

Pada April 1975, Saigon—ibukota Vietnam Selatan—jatuh ke tangan komunis. Tahun berikutnya pada 24 Juni 1976, sesi pertama Majelis Nasional Vietnam dibuka di Hanoi di Utara. Pada 2 Juli 1976, Utara dan Selatan mendeklarasikan diri mereka sendiri bersatu kembali, mengakhiri 20 tahun pemisahan. Bendera baru mereka, bintang kuning lima ujung pada latar merah, menjadi simbol negara yang baru, Republik Sosialis Vietnam.

Peristiwa tersebut menyebabkan ratusan ribu orang Vietnam luka-luka dan tewas, kehancuran negara mereka dan kesengsaraan manusia yang luar biasa. Peristiwa tersebut menelan biaya sejumlah miliaran dan miliaran dolar AS, kepahitan dalam dan luar negeri, keterlibatan lebih dari 5.5 juta pasukan Amerika yang kehilangan lebih dari 58.000 nyawa pemuda Amerika.

Mungkin perang di Vietnam dapat terjadi, tanpa intrik agama terorganisir. Namun bisa juga tanpa Gereja Katolik campur tangan secara aktif dalam urusan negara, perang di Vietnam tak pernah terjadi.