Vietnam: Why Did We Go?/Bab 16

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

BAB 16—Ekspansionisme Katolik di Asia Tenggara pada Abad ke-19

Latar Belakang Sejarah Perang AS di Vietnam

Kegiatan politik gigih Gereja Katolik pada masa pemerintahan Diem dan kekalahan militer masif yang dialami oleh AS dapat lebih komprehensif dengan mempelajari tindakan-tindakan Gereja Katolik sebelum konflik tersebut. Mereka sama-sama memutuskan untuk mengalahkan cabang agresif komunisme Asia, sehingga mereka memiliki alasan berlawanan secara diametris untuk campur tangan.

Bagi AS, Vietnam menjadi konflik militer, bagian dari kebijakan yang berfokus pada dua pusat komunisme global Euro-Asia: Peking dengan seribu juta orang Tiongkok yang kini hanya dikerahkan Marxisme oleh Mao Tze Tung dan Moskwa, Makkah dari Bolshevisme Barat.

Namun, bagi Gereja Katolik, Vietnam lebih dari batu pijakan pertarungan Amerika melawan komunisme dunia. Vietnam telah lama menjadi “miliknya, secara sah.” karena hal tersebut, Vietnam telah “diselamatkan” dari pertikaian ideologi tertunda dan anarki militer yang menyusul evakuasi Prancis usai Perang Dunia II.

Namun bahkan lebih penting baginya karena entitas agama merupakan penyelamat Vietnam dari agama Buddha, yang dengan Gereja Katolik berseteru selama ratusan tahun. Meskipun tak pernah disebutkan dalam lingkup manapun pada konflik Vietnam, motivasi tersebut bahkan telah menjadi salah satu faktor besar yang mempengaruhi niat besar Gereja Katolik dalam hubungannya dengan Vietnam, sebelum, saat, dan setelah rezim Presiden Diem. Kegagalan untuk mengakui faktor tersebut menjadi salah satu sebab disintegrasi politik dan militer mutlak Vietnam dan kemudian keruntuhan akhir upaya militer AS sendiri.

Dapat dipertanyakan kenapa Gereja Katolik dapat menerima bantuan Protestan AS dan ikut campur dengan tekanan politik aktif semacam itu di Vietnam yang mayoritas buddha pada latar rasial, budaya dan agama membuatnya dan AS sama-sama menjadi kekuatan asing. Klaim-klaimnya berdasarkan pada pernyataan bahwa Gereja Katolik memiliki hubungan yang sangat “istimewa” dengan Vietnam. Sulit dikatakan, bahwa itu adalah kenyataan.

Diem, seperti yang nampak, berasal dari budaya Katolik Vietnam yang khas, sebuah produk dari hubungan istimewa tersebut. Lahir sebagai Patrician, bertradisi Katolik, ia masuk elit khusus yang sangat mempengaruhi takdir Vietnam selama berabad-abad. Tindak tanduk perilakunya dapak dijelaskan oleh fakta bahwa seluruh kegiatannya pada dasarnya dimotivasi oleh ketaatan agamanya.

Ia merupakan orang percaya dogmatik yang keras kepala dan mendorong agar ia memiliki misi. Kualitas tersebut mendorong kehancuran mutlaknya, dan AS dalam Perang Vietnam. Ia mendakwa dirinya bahwa kebijakan penindasan yang ia lakukan didorong tugasnya sebagai Katolik Vietnam tradisional. Pendiriannya membuatnya mempromosikan kepentingan Gereja Katolik, seperti para leluhurnya yang melakukannya pada masa sebelumnya pada masa lalu.

Apa yang menjadi faktor yang mendukung penciptaan tokoh-tokoh Katolik berdedikasi di Vietnam? Dalam sejarah, Gereja Katolik adalah Gereja ‘Kristen’ pertama yang beroperasi di semenanjung Indo-China sepanjang tiga ratus tahun atau lebih. Vietnam mempelopori penjamahannya dari permulaan abad keenam belas, ketika wilayah utamanya disinggahi oleh para misionaris Spanyol dan Portugis.

Kegiatan agama diikuti oleh kegiatan perdagangan. Kemudian, negara-negara Eropa lain seperti Inggris, Belanda dan Prancis mulai bersaing atas perhatian penduduk asli.

Pengenalan pencerahan Barat paling menonjol, yang pada masa itu artinya Katolik, adalah Yesuit, yang saat itu berada pada puncak penjelajahannya. Fransiskan, Dominikan, dan lainnya, meskipun menonjol, tak pernah melampaui pengaruh Yesuit yang memutuskan untuk menanam kekuatan spiritual dan budaya Gereja di Asia Tenggara. Datang kesana pada sekitar tahun 1627, mereka menyebarkan kegiatan mereka dalam segala bidang secara terapan. Mereka berniat agar sukses mempengaruhi tokoh-tokoh budaya dan politik papan atas pada masyarakat, tak seperti misionaris lain yang menjalin diri mereka sendiri secara khusus dengan membuat perpindahan agama. Upaya mereka didukung oleh pencetakan Alkitab pertama pada 1651, dan mengembangkan pengaruh banyak orang, orang-orang yang canggih, yang disambut dalam lingkup kekuatan tertentu.

Akibat yang timbul, terjadi intrik politik dan persaingan komersial, pengaruh Eropa menurun. Namun, Gereja Katolik mengalami peningkatan yang menonjol. Pada abad berikutnya, Gereja Katolik memegang dominasi elit pemerintahan, terutama terhadap pembebasan penduduk asli tertentu, bermula pada masa kekuasaan Kaisar Gia-Long. Pada kenyataannya, perlindungannya membuat Gereja Katolik kemudian meraih hak-hak dari segala jenis, yang dipakai untuk meluaskan pengaruhnya.

Namun, seperti dalam kebanyakan contoh lainnya, hak-hak tersebut dengan sangat cepat memberikan jalan terhadap penyalahgunaan. Tanpa banyak waktu, komunitas Katolik memegang dominasi agama dan budaya yang reaksinya menjadi tak terkira di sepanjang wilayah tersebut. Reaksinya menimbulkan ostrakisme, dan kemudian menjadi penindasan terhadap segala hal Eropa yang, tak lain adalah, artinya segala hal mengenai Katolik.

Komunitas Katolik berreaksi balik. Dari perlawanan pasif, mereka menjadi aktif berkegiatan. Pemberontakan terjadi di seluruh belahan Cochin-China. Ketegangan-ketegangan yang terinspirasi dan seringkali diarahkan oleh para misionaris Prancis dan didukung oleh kepentingan nasional dan komersial Prancis. Pergerakan berkelanjutan Katolik Roma, pemeloporan serangan kolonial dan budaya Eropa di wilayah tersebut, dalam jangka panjang menimbulkan pertikaian terhadap Kaisar Theiu Tri, yang berkuasa antara 1841 dan 1847. Pada masa itu, intrik Prancis dengan misionaris Katolik telah menjadi saling berkesinambungan agar kedua pihak tersebut benar-benar nyaris menjadi identik. Misi-misi Katolik diboikot, legislasi pembatasan diberlakukan, dan kegiatan Katolik dilarang dimana-mana.

Reaksi di Eropa menjadi tangisan langsung terhadap penindasan agama. Ini adalah kekhasan imperialisme Eropa pada masa itu. Pada 1843, 1845, dan 1847, kapal-kapal perang Prancis menyerbu pelabuhan-pelabuhan Vietnam, dengan pendahuluan meminta pembebasan para misionaris. Sebagai tanggapannya, para penguasa Vietnam menyatakan pertentangan mereka terhadap campur tangan gerejawi dan perdagangan Eropa di negara mereka. Pemberontakan Vietnam yang kuat ini membuat Prancis dan Spanyol makin campur tangan.

Pada 1858, pasukan Prancis-Spanyol menginvasi Darnang. Saigon diduduki pada Februari 1859, disusul oleh tiga provinsi terdekat. Pada Juni 1862, sebuah traktat diberlakukan atas Vietnam. Traktat tersebut menyatakan penaklukan Prancis dan memberikan provinsi-provinsi tersebut kepada Prancis. Salah satu klausanya memberikan kebebasan beragama sepenuhnya kepada Gereja Katolik.

Selama beberapa tahun, Prancis menduduki nyaris seluruh negara tersebut. Hanoi, di Utara, direbut pada 1873. Pada Agustus 1873, “traktat” terakhir ditandatangani. Kemerdekaan Vietnam pada akhirnya datang. Seluruh Indochina; Vietnam, Laos, dan Kamboja, telah menjadi koloni Prancis. Penaklukan telah dipelopori dan mungkin utamanya dilakukan oleh kegiatan misionaris Katolik Roma, dan Gereja Katolik yang mula-mula mengirim mereka kesana.

tak lama setelah itu, misionaris Katolik diberikan hak-hak khusus di sepanjang wilayah Vietnam yang baru. para misionaris tak hanya memiliki kekuatan tertinggi dalam hal agama dan budaya, namun setara dalam hal sosial, ekonomi dan politik. Dan semenjak kekuatan otoritas militer dan sipil Prancis selalu di balik mereka, mereka tak pernah dipercayakan untuk memakai bayonet-bayonet untuk menghimpun salib pada penduduk asli.

Para frater, Yesuit, imam, biarawati, uskup beserta gubernur sipil dan militer Prancis berniat untuk berkarya untuk menanamkan Katolik di seluruh belahan Vietnam. Penduduk asli yang beragama Katolik dikelompokkan kembali dalam desa-desa istimewa. Perpindahan agama massal intensif ke Katolik dilakukan dimana-mana. Seluruh desa didorong untuk “melihat terang” karena perpindahan agama memberikan makanan dan bantuan para misionaris, atau karena uang, jabatan atau hak dalam ekselon pendidikan atau kolonial di luar pencapaian siapapun yang menolak.

Penerapan semacam itu, yang lebih sering ketimbang tidak, menjadi menjamah pada orang-orang ambisius, pantang menyerang atau tak peduli akan tradisi para ayah mereka. Percobaan baru menjadi besar semenjak orang-orang yang berpindah agama diijinkan masuk sekolah, atau memiliki kesempatan untuk mengambil perguruan tinggi. Jabatan-jabatan resmi dalam pemerintahan lokal dan provinsi diberikan khusus untuk orang-orang Katolik, sementara kepemilikan lahan hanya diberikan kepada orang-orang yang menerima iman Katolik. Pada masa kelaparan, ribuan petani yang kelaparan dibujuk untuk menerima pembaptisan, baik dalam kelompok keluarga atau bahkan seluruh desa, sebelum diberikan pemberian dari misi-misi Katolik.

Romanisasi Vietnam dipromosikan tak hanya lewat pergerakan Gereja, tindakan tersebut diberlakukan dengan meningkatkan legislasi kolonial Prancis represif yang sebagian besar terinspirasi di balik layar oleh para misionaris sendiri. Akibat tekanan ganda kolonial agama terintensifikasi semacam itu, pemerintah kolonial Prancis kemudian berubah menjadi alat perpindahan agama Gereja Katolik, yang berujung pada unjuk rasa terhadap bidang politik dan keagamaan liberal di metropolitan Prancis.

Setelah lebih dari separuh abad kolonisasi budaya dan gerejawi masif tersebut, penduduk asli dan Katolik Prancis menerapkan monopolisasi seluruh pemerintahan sipil dan militer. Dari situ, elit Katolik secara dini berniat untuk Katolikisasi seluruh negara. Elit tersebut mengobarkan Gereja dari generasi ke generasi sampai pada Presiden Diem dan saudara-saudaranya. Tindakan mereka dibenarkan pada tradisi kuno mereka.

Hal ini mengorbankan nyawa mereka, ketegangan seluruh Vietnam, dan akhirnya campur tangan militer AS, dengan seluruh kengerian sebelum dan setelah penghinaan dan kekalahan mutlaknya.