Vietnam: Why Did We Go?/Bab 17

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

BAB 17—Sejarah Awal Kekuatan Katolik di Siam dan Tiongkok

Dasar Karakteristik Penindasan

Upaya untuk menghimpun Katolik represif di Vietnam lewat Presiden Diem bukanlah salah satu upaya terbaru dalam susunan yang ia dorong beberapa kali di benua Asia. Pada masa lalu, susunan tersebut beragam namun konsisten. Dalam kasus Vietnam pada dua abad lampau, kelompok-kelompok Katolik yang terikat erat mengabdikan diri mereka sendiri kepada lingkungan Buddha non-Kristen. Selain itu, mereka menganggap diri mereka sendiri melebihi para tetangga Buddha mereka sebagai faksi ekonomi dan politik independen.

Anggapan mereka tak hanya mengharuskan kepercayaan diri akan agama, namun juga penghimpunan otoritas Katolik pada tetangga-tetangga Buddha mereka. Penghimpunan semacam ini menimbulkan legislasi punitif, yang, ketika diberlakukan dalam penindasan, berujung pada pemakaian kekerasan.

Dalam kasus Presiden Diem dan junta Katolik-nya, mereka mendirikan diri mereka sendiri dan otoritas mereka mula-mula dengan diskriminasi hukum bertahap melawan mayoritas Buddha. Pemakaian teror menyusul ketika penduduk Buddha enggan menerima. Tindakan Diem bukanlah contoh aneh dari keagresifan Katolik kontemporer dalam masyarakat yang kebanyakan non-Kristen. Tindakan tersebut telah berulang di benua Asia selama tiga ratus tahun.

Pada masa itu, terdapat raja-raja, otokrasi pemerintahan dan pemimpin budaya, yang sama-sama memerintah masyarakat, yang menerima atau menolak peninggian. Namun, susunan dasar keeksklusfikasian dan agresi agama Katolik, seperti yang dilakukan oleh Diem dan saudara-saudaranya, bukanlah kebetulan. Tanpa memberikan terlalu banyak penjelasan, kami harus meyakinkan diri kami sendiri untuk mengilustrasikan satu atau dua contoh khas yang terjadi di wilayah etnis regional yang sempat dikenal sebagai Indo-China.

Penawaran pertama Prancis untuk penguasaan Asia terjadi pada awal abad ke-17 melalui Perusahaan Hindia Timur Prancis. Tujuan perusahaan tersebut adalah membuat wilayah tersebut menjadi orbit perdagangan prancis. Meskipun tak terlalu mewujudkan rencana tersebut, penglihatannya merupakan permulaan iman Katolik. Tujuan akhirnya, meskipun nampaknya diutamakan oleh orang-orang Katolik, diinspirasi langsung oleh Vatikan, yang membekingi Perusahaan Hindia Timur Prancis dari permulaan.

Namun, dengan mendirikan pos-pos luar pertamanya di India, perusahaan tersebut kemudian melawan pemberontakan oleh Inggris sampai Prancis memutuskan untuk melirik bidang lain dan mengalihkan perhatiannya ke kerajaan-kerajaan kecil Indo-China dan terutama Siam. Penjelajahan pertama ke wilayah-wilayah baru atas perantaraan Perusahaan Hindia Timur Prancis tak dilakukan oleh pejabat perusahaan atau diplomat Prancis, namun oleh misionaris Katolik. Mereka datang dengan ijin dan dorongan Vatikan, atas dasar agama, untuk menyelidiki sumber-sumber daya perdagangan politik dan strategi atas perantaraan imperialisme Prancis.

Alexandre de Rhodes, seorang Yesuit, datang ke Indo-China pada sekitar tahun 1610, dan baru satu dasawarsa berikutnya mengirim deskripsi yang sangat akurat dari kemungkinan Annam dan Tonkin. Para Yesuit prancis direkrut untuk membantunya dalam pekerjaan ganda mengubah agama negara-negara tersebut ke iman Katolik dan menaungi potensi perdagangan. Di mata Roma dan Prancis, tugas-tugas tersebut tak dapat dipisahkan, merupakan dua langkah paling penting untuk pendudukan politik dan militer.

Pada 1659 di Indo-China, kesuksesan para misionaris ditandai dengan lingkup khusus kegiatan perdagangan dan agama Prancis. Para misionaris berikutnya meluaskan kegiatan ganda mereka ke Pegu, Kamboja, Annam dan Siam. Siam, negara yang paling sangat berkembang di semenanjung Indo-China, kemudian menjadi pangkalan untuk kegiatan agama, perdagangan dan politik Perusahaan Hindia Timur dan Vatikan. Rencana mereka bersifat sederhana: masing-masing akan berkontribusi pada penaungan Siam menurut peran-perannya; perusahaan melalui perdagangannya, pemerintah Prancis melalui ketenaraannya dan Vatikan melalui penjamahan keagamaannya.

Ketika pangkalan-pangkalan perdagangan dan tempat-tempat penugasan misionaris dapat didirikan, pemerintah Prancis menekankan aliansi dagang resmi dengan Siam. Secara langsung, Vatikan menekankan perluasan pengaruh spiritualnya, tak hanya banyak memindahkan agama penduduk dengan berfokus pada perpindahan agama orang tunggal: raja Siam sendiri. Jika ini dapat disertakan, para imam Katolik kemudian akan berupaya mendorong raja Katolik yang baru untuk menghimpun garisun Prancis ke kota-kota penting Mergui dan Bangkok atas dasar demi kepentingan terbaik Gereja Katolik.

Pada 1685, pemerintah Prancis menjalin aliansi dagang menguntungan dengan penguasanya. Dua tahun kemudian, raja Siam dan elit pemerintah pindah ke Katolik. Kelompok Katolik berkuasa ini dihimpun untuk berkuasa tak hanya dalah pergerakan pemerintah, namun juga memakainya untuk memberikan tekanan terhadap masyarakat Buddha. Pengerahan pengaturan yang mendiskriminasi dikeluarkan melawan lembaga-lembaga Buddha dan menjunjung minoritas Katolik.

Gereja-gereja Katolik didirikan dimana-mana sementara pagoda-pagoda ditutup atau bahkan dihancurkan. Sekolah-sekolah Katolik menggantikan sekolah-sekolah Buddha. Diskriminasi melawan mayoritas Buddha dapat ditemukan pada seluruh tingkat. Orang-orang Katolik menjadi warga kelas atas yang memiliki kekuatan, hak dan kekayaan.

Seperti pada masa Diem, elit pemerintahan Katolik beralih menjadi jenis mafia politik agama, diidentifikasi dengan kepentingan kekuatan absolut tanpa batas yang dipakai dan disalahgunakan tanpa kebijaksanaan. Pemberontakan ditimbulkan oleh pendukung utama Gereja, Prancis, yang datang membantunya dengan perahu-perahu meriam mereka.

Seperti Diem, mayortias Buddha akhirnya, setelah banyak unjuk rasa tanpa membuahkan hasil, mengadakan pemberontakan populer. Ini juga ditekan. Tindakan tersebut menimbulkan persebaran perasaan anti-Katolik, yang menyebar ke seluruh negeri. Gereja-gereja diserang atau dihancurkan. Orang-orang Katolik diburu dan kemudian pemberontakan, yang dipicu istana kerajaan yang awalnya menyambut orang-orang Katolik, dilakukan di segala tingkat.

Para imam Katolik dan pejabat Prancis serta penduduk asli yang menganut Katolik diusir atau ditangkap sampai akhirnya seluruh kegiatan Katolik dihentikan. Mendadak, minoritas Katolik yang bertindak menjadi penindas menjadi tertindas. perdagangan Prancis terhenti sepenuhnya karya misionaris dihentikan. Penanganan Prancis-Vatikan untuk pengendalian politik dan agama Siam berhenti pada 1688. Akibatnya: sepanjang satu setengah abad, Siam menjadi tanah terlarang untuk keduanya.

Pada nyaris waktu yang sama, Gereja Katolik juga berniat menghimpun dirinya di atas budaya Buddha lain, yang terbesar di dunia: Tiongkok.

Pada awal abad ketujuh belas, Yesuit memutuskan untuk menjamah Istana Kekaisaran dan memindahkan agama Permaisuri Tiongkok ke Katolik. Perpindahan agama tersebut meruipakan kudeta besar untuk Gereja Katolik dalam strateginya untuk menghimpun dirinya terhadap seluruh Buddha Tiongkok. Karena Permaisuri menjadi pusat Istana Kekaisaran, sumber kekuatan tertinggi, ia berencana agar Gereja Katolik merencanakan keputusannya untuk perpindahan agama massal.

Potensinya nampak tak terbatas. Permaisuri Tiongkok menjadi alat yang dipegang Yesuit, yang memanipulasinya untuk menanamkan pengaruh katolik pada segala tingkat. Ketaatannya beralih menjadi semangat pribadi untuk melayani Gereja Katolik dalam segala hal. Ia mengubah nama Tionghoa-nya menjadi Permaisuri Helena yang diambil dari nama Permaisuri Romawi, ibu Konstantinus, yang memberikan kebebasan terhadap agama Kristen di Kekaisaran Romawi. namun, tanpa pandang bulu, ia membaptis putranya dengan nama Konstantinus untuk menandakan peran agar anak tersebut dapat memainkan perpindahan agama Buddha Tiongkok ke Gereja Katolik pada masa mendatang.

Ketaatannya secara radikal mempengaruhi praktek dan aturan seluruh Istana, Katolik Roma dipandang dijunjung dalam segala hal. Perpindahan agama ke Gereja Katolik menandakan kemajuan, hak dan keayaan, tanpa menyebut kekuatan dalam pemerintahan dan bahkan dalam ketentaraan.

Minoritas Katolik tersebut yang dikumpulkan di sekeliling Permaisuri mulai menempatkan pengaruh semacam itu agar mula-mula dikirim ulang, kemudian mengkhawatirkan, dan akhirnya ditindas oleh orang-orang yang menjunjung budaya agama tradisional Tiongkok.

Jika Permaisuri dan para penasehatnya—Yesuit—menghadapkan diri mereka sendiri dalam lingkup runyam di istana, operasi agama mereka, meskipun menentang Buddha, Tao dan Konghucu, dapat ditoleransi. Namun, Permaisuri dan orang-orang di sekelilingnya merencanakan skema besar: perpindahan agama seluruh Tiongkok ke Gereja Katolik.

Mereka mengirim misi khusus ke Roma untuk membujuk Paus mengirim ratusan misionaris untuk membantu peningkatan perpindahan agama Tiongkok ke Gereja Katolik.

Ketika menunggu tanggapan Paus, minoritas Katolik mulai menerapkan perpindahan agama dari Permaisuri kepada para Mandarin, ke pergerakan birokratik, dan akhirnya merambah ke jutaan petani Tiongkok.

Namun, skema tersebut menghadapi pertentangan luas dari permulaan. Tekanan untuk meluewaskan pengaruh semi-resmi Gereja Katolik kemudian ditunjang aturan khusus, dan kemudian legislasi. Oposisi mula-mula terkejut oleh tindakan diskriminasi, kemudian penangkapan, dan akhirnya sikap brutal.

Di luar lingkup Istana dan minoritas Katolik, kampanye tersebut mendatangkan pemberontakan massa yang lebih pahit. Kepahitan tersebut diwarnai dengan fakta bahwa orang-orang yang menjadi Katolik menerima hak yang lebih menonjol, sementara orang-orang yang menganut agama-agama tradisional ditindas lewat hukum-hukum yang sangat mendiskriminasi yang tercatat dalam ingatan hidup oleh mayoritas Tiongkok.

Kampanye tersebut mencapai tingkat paling kontroversialnya ketika rumor-rumor datang bahwa Paus sepakat untuk mengirim ratusan misionaris lainnya untuk membantu perpindahan agama seluruh negara ke Katolik. Kabar tersebut menciptakan ketegangan lebih dan unjuk rasa massal yang ditekan.

Pemberontakan populer kemudian berkembang akhirnya membuat bangsa-bangsa Eropa campur tangan terhadap “pemberontakan” yang disebutkan, memakai cara diplomasi dan perdagangan yang dilakukan dengan mengerahkan perahu-perahu meriam Eropa di lepas pantai Tiongkok.

Upaya Gereja Katolik untuk memerintah dan kemudian memindahkan agama Tiongkok melalui minoritas penduduk asli Katolik berakhir dalam kegagalan total; namun bukannya tanpa mula-mula menciptakan ketegangan, pertikaian, revolusi dan pengerahan nasional dan internasional dalam upayanya untuk menghimpun dirinya pada negara Asia yang besar namun tak berkehendak.