Vietnam: Why Did We Go?/Bab 18

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

BAB 18—Sejarah Keagresifan Katolik di Jepang

Perpindahan Agama, Pemberontakan, Ketegangan Politik dan Perang Saudara

Dalam sejarah Jepang, kami bahkan memiliki contoh paling menonjol dari agresifitas Vatikan dengan penekanan menonjol di dunia. Seperti di Siam dan Tiongkok, kebijakan dasar menunjukkan bahwa para pedagang Katolik dan imam Katolik mengabdi bersama sehingga kemudian, dengan kepentingan mereka sendiri, harus menyebarkan orang-orang Gereja Katolik.

Berseberangan dengan kepercayaan populer, ketika Jepang mula-mula menjalin kontak dengan Barat, bangsa tersebut tertarik untuk bertukar gagasan dan komoditas perdagangan. Dari kesempatan pertama pendaratan Portugis di Jepang, para pedagang asing didorong untuk datang ke pelabuhan-pelabuhan Jepang. Penduduk lokal satu sama lain membuka provinsi-provinsi mereka kepada para pedagang Barat. Para misionaris Katolik disambut seperti halnya pedagang, dan menghimpun penyebaran iman Katolik ke wilayah baru tersebut.

Para misionaris tersebut mendapatkan pelindung yang kuat di Nobunga, diktator militer Jepang (1573-82). Ia memegang pengaruh politik gerakan tertentu dari prajurit-pendeta Buddha, selain juga memegang simpati murni untuk karya orang-orang Katolik yang merupakan pendatang baru. Ia mendorong mereka dengan memberikan hak kepada mereka untuk menyebarkan agama mereka ke seluruh Kekaisaran. Ia menyumbangkan lahan kepada mereka di Kyoto sendiri dan bahkan menjanjikan mereka tunjangan tahunan. Berterima kasih atas hal tersebut, misi Katolik menyebar ke seluruh negeri, dan para mualaf mencapai ribuan, menghimpun pusat-pusat Katolik di berbagai belahan Jepang.

Seandainya para misionaris Katolik mengabdikan diri mereka sendiri khusus untuk mengkotbahi prinsip-prinsip agama, Jepang kemungkinan akan memberikan imbalan spiritual yang luar biasa kepada mereka. Namun ketika komunitas Katolik berdiri, dominasi yuridikal-diplomatik-politik Vatikan pun datang. Sesuai yang dijelaskan dalam doktrin-doktrinnya, orang-orang Jepang yang berpindah agama tak hanya tunduk pada otoritas sipil Jepang. Pada kenyataannya, mereka yang masuk Gereja Katolik juga tunduk pada Paus. Pada suatu saat, kesetiaan mereka yang beralih ke luar Jepang secara otomatis membuat mereka menjadi berpotensi tak tunduk pada para penguasa sipil Jepang.

Ini membawa bahaya serius untuk keamanan dalam dan luar Kekaisaran Jepang. Di dalam negeri, intoleransi agama berujung pada kekerasan melawan agama lain karena Katolik fundamental menekankan bahwa hanya Katolik lah agama yang benar. Hal ini menyebabkan ketegangan sipil.

Di bidang luar negeri, komunitas Jepang, sesuai arahan misionaris asing, tak hanya memegang kepentingan dagang para pedagang asing Katolik namun juga rencana politik kekuatan Katolik yang ditujukan pada penjamahan politik dan militer dunia Timur.

Tak lama usai kedatangan misionaris Katolik pertama, para penguasa sipil Jepang mulai menyadari bahwa Gereja Katolik tak hanya sekadar agama, namun juga kekuatan politik yang berhubungan dekat dengan perluasan imperialistik negara-negara Katolik seperti Portugal, Spanyol, dan negara Katolik lainnya.

Penekanan Katolik bahwa hanya kebenaran Katolik yang benar dan kesalahan tersebut tak dapat ditoleransi mulai menghasilkan buah-buahnya di Jepang yang baru ditemukan. Ketika orang-orang berpindah ke Katolik dan komunitas Katolik meluas, intoleransi Katolik mencapai puncaknya.

Letika Katolik Jepang menjadi mayoritas, Buddha dan anggota keyakinna lokal lainnya didera. Tak hanya diboikot, namun kuil-kuil mereka ditutup dan, jika tak dihancurkan, dirampas dan diubah menjadi gereja. Dalam sejumlah kasus, orang-orang Buddha dipaksa menjadi Kristen. Jika mereka menolak, maka mereka akan kehilangan harta benda dan bahkan nyawa. Dihadapi dengan perilaku semacam itu, sikap toleran penguasa Jepang mulai berubah.

Selain pergesekan dalam negeri, ambisi politik negara-negara Katolik imperialistik mulai mempersembahkan dirinya dalam cara agar penguasa Jepang tak dapat lain hiraukan. Mendengar kesuksesan fenomenal Katolik di kekaisaran yang jauh, Vatikan merencanakan rencananya untuk dominasi politik. Seperti biasanya, tindakan tersebut memakai pemerintahan gerejawi Gereja, bersama dengan kekuatan militer sekutu negara-negara Katolik. Tindakan tersebut mendorong pengukuhan salib, kedaulatan paus, traktat-traktat perdagangan yang menguntungkan dan penaklukan militer di seluruh bidang serupa.

Vatikan mengikuti jenis penjamahan politik tersebut bahkan semenjak penemuan benua Amerika. Sejumlah paus, termasuk Leo X, memberkati, mendorong, dan bahkan mensahkan segala penaklukan dan pendudukan wilayah oleh Katolik Spanyol dan Portugal di Timur Jauh. Salah satu pemimpin mereka adalah Alexander VI, dengan memberikan seluruh “lahan subur dan pulau-pulau yang ditemukan atau dilewati pada perjalanan menuju India, atau menuju belahan tempat lainnya” kepada Spanyol. Jepang termasuk dalam pengharapan kepausan terhadap imperialisme Portugis dan Spanyol.

Sehingga, ketika komunitas Katolik Jepang menjadi kuat untuk mendukung kekuatan Katolik sekuler, Vatikan mengambil langkah taktik penting pertama terhadap pengerahan politik jangka panjangnya: kerjasama komunitas Katolik baru di Jepang sebagai alat politik.

Untuk melanggengkan kebijakan tersebut, pada 1579 Vatikan mengirim salah satu Yesuit terbaik pada masa itu, Valignani, untuk menghimpun Gereja Jepang di segala lini. Sepanjang raktu, rancangan Valignani yang masih berada di balik layar murni kegiatan agama dan menerima dukungan antisias dari sejumlah pangeran Jepang berkuasa, seperti Omura, Arima, Bungo, dan lain-lain. Di provinsi-provinsi mereka, dengan bantuan mereka, ia mendirikan perguruan, rumah sakit dan seminari tempat pemuda Jepang diajari teologi, sastra politik dan ilmu pengetahuan.

Ketika penjamahan ini makin mendalam terhadap struktur agama, pendidikan dan sosial dari provinsi-provinsi para pangeran tersebut, Valignani mengambil langkah berikutnya dan mendorong mereka untuk mengirim misi diplomatik resmi ke paus.

Ketika misi tersebut kembali ke Jepang pada 1590, keadaan berubah drastis. Hideyoshi, pemimpin baru Jepang, menjadi sadar akan implikasi politik Katolik dan persekutuannya dengan agama-politik Barat berpotensi seperti Paus. Ia memutuskan untuk bersatu dengan Buddha, yang tak memiliki sekutu politik dengan pangeran manapun di luar Jepang.

Pada 1587, Hideyoshi mengunjungi Kyushu dan ia mendapati bahwa komunitas Katolik melakukan penindasan agama yang sangat menonjol. Dimana-mana, ia menyaksikan reruntuhan kuil Buddha dan merusak berhala-berhalan Buddha. Pada kenyataannya, orang-orang Katolik dipaksa untuk berupaya membuat seluruh pulau Kyushu menjadi sepenuhnya Katolik.

Akibatnya, Hideyoshi mengecam serangan terhadap orang-orang Buddha, intoleransi agama Katolik, persekutuan politik mereka dengan kekuatan asing, dan perlakuan buruk lainnya dan memberikan ultimatum terhadap seluruh Katolik asing. Mereka baru dua puluh hari meninggalkan Jepang. Gereja-gereja dan biara-biara dirubuhkan di Kyoto dan Osaka dalam membalas serangan-serangan terhadap orang-orang Buddha, dan pasukan dikirim ke Kyushu.

Tindakan semacam itu hanya berhasil sebagian karena masyarakat telah terjamah sangat dalam. Pada 1614, seluruh pendeta asing Katolik diperintahkan untuk dideportasi sekali lagi. Ketidakadilan bermula oleh masalah yang lebih serius. Para misionaris Katolik, selain melakukan intoleransi agama di kalangan rakyat Jepang, telah memulai perang yang lebih pahit melawan satu sama lain.

Pergesekan antara Yesuit dan Fransiskan telah membagi komunitas Kristen mereka sendiri. Hal ini menjadi sangat mambahayakan penguasa Jepang yang khawatir peristiwa tersebut akan berujung pada perang saudara. Mereka juga menyaksikan bahwa perang saudara dapat menimbulkan campur tangan militer Portugis dan Spanyol untuk melindungi Yesuit atau Fransiskan. Keterlibatan pasukan asing dapat menandakan kehilangan kemerdekaan Jepang.

Apa kekhawatiran yang timbul? Perluasan Katolik Portugal dan Katolik Spanyol memberikan bahaya yang nyata. Kedatangan Fransiskan sebagai perwakilan istimewa dari dari Filipina yang telah diduduki pada 1593 menyebabkan Hideyoshi tak mengakhiri peringatan. Fransiskan menghiraukan larangan terhadap propaganda Kristen, membangun gereja-gereja dan melakukan pemindahan agama di Kyoto dan Osaka, yang berada pada otoritas Negara. Ditambah lagi, mereka memulai pertikaian kekerasan dengan Yesuit Portugis.

Apa yang akhirnya dilakukan Hideyoshi membuat penindakan keras menjadi insiden yang kecil namun signifikan. Pada 1596, sebuah armada Spanyol, San Felipe, karam di lepas wilayah Tosa. Hideyoshi memerintahkan agar kapal tersebut beserta barang-barangnya disita. Kapten Spanyol yang marah, berharap untuk menekan atau mengintimidasi para perwira Jepang, disertai dengan keinginan Spanyol untuk menjadi kekaisaran dunia yang besar. Untuk mendukungnya, kapten tersebut menunjukkan sebuah peta seluruh kekuasaan Spanyol besar kepada para perwira Jepang.

Para pendengarnya bertanya bagaimana mungkin sebuah negara menaungi sangat banyak wilayah. Kapten Spanyol menyatakan bahwa Jepang tak akan pernah dapat meniru Spanyol, singkatnya karena mereka tak memiliki misionaris Katolik. Ia mengkonfirmasikan bahwa seluruh wilayah Spanyol tersebut ditaklukkan dengan mula-mula mengirim para misionaris untuk memindahkan agama orang-orang mereka, kemudian pasukan Spantol datang untuk memperhitungkan penaklukan akhir.

Ketika perbincangan tersebut dilaporkan, kemarahan Hideyoshi diketahui tak terbendung. Pengintaiannya soal pemakaian misionaris sebagai batu pijakan pertama untuk penaklukan dikonfirmasikan. Ia mengakui susunan penaklukan tersebut yang bekerja dalam kekaisarannya sendiri.

Pada 1597, Fransiskan dan Dominikan berada di bawah pencekalan Kekaisaran. Dua puluh enam imam dikumpulkan dan dieksekusi di Nagasaki dan perintah pengusiran seluruh pengkotbah Kristen asing dikeluarkan. Pada 1598, Hideyoshi meninggal, dan pengerahan Katolik dilanjutkan sampai Tokugawa Ieyasu menjadi penguasa Jepang pada 1616 dan memberlakukan edik pengusiaran pendahulunya yang lebih ketat.

Para imam asing kembali diperintahkan untuk meninggalkan Jepang, dan hukuman mati ditujukan terhadap Kristen Jepang yang tidak menyangkali Kristen. Penindasan tersebut berlanjut lebih keras pada 1624 di bawah kekuasaan Jemitsu (1623-51) ketika seluruh pedagang dan misionaris Spanyol diperintahkan untuk dideportasi langsung. Kristen Jepang diperintahkan untuk tak ikut misionaris ke luar negeri dan para pedagang Jepang taklagi berdagang dengan kekuatan-kekuatan Katolik.

Untuk membuat ketentuan agar dekrit tersebut ditaati, seluruh kapal yang dapat mengangkut lebih dari 2.500 karung beras dihancurkan. Pemerintah memutuskan untuk melenyapkan Katolik di Jepang. Edik berikutnya pada 1633-4 dan pada 1637 sepenuhnya melarang seluruh agama asing di kepulauan Jepang.

Pada titik ini, Katolik Jepang mulai menghimpun diri mereka sendiri untuk pemberontakan kekerasan. Kejadian tersebut pecah pada musim dingin 1637 di Shimbara dan pulau dekat Amakusa. Wilayah tersebut telah sepenuhnya menjadi Katolik, kebanyakan secara sukarela, namun beberapa dilakukan memakai perpindahan agama paksa. Dipimpin oleh para imam Barat mereka, komunitas Katolik tersebut mulai bergerak dan menghimpun diri mereka sendiri dalam bentuk militer untuk berjuang melawan pemerintah.

Pemerintah Jepang, yang khawatir bahwa kelompok Katolik tersebut dapat dipakai oleh pemerintah Katolik Barat untuk penaklukan wilayah Jepang, mempajaki mereka untuk tanda kesetiaan. Yesuit, yang bersiap untuk pemberontakan sipil, mengerahkan 30.000 pasukan Katolik Jepang dengan lambang-lambang yang tertera nama-nama Yesus, Maria, dan St. Iago yang disematkan pada mereka.

Mereka berkirab melawan perwakilan sipil dan militer pemerintah Jepang, berjuang dalam pertempuran berdarah di sepanjang Shimbara dekat Teluk Nagasaki. Membunuhi gubernur setia Shimbara, pasukan Katolik melindungi diri mereka di benteng yang dibangun dengan baik dan sukses melawan meriam dan kapal pasukan Jepang. Sehingga pemerintah membujuk Protestan Belanda untuk mengerahkan kapal-kapal besar untuk membawa meriam-meriam berat untuk membombardir benteng Katolik. Belanda menerimanya dan Jepang mampu membombardirbangunan tersebut sampai akhirnya hancur dan membantai seluruh orang Katolik.

Hasil langsung pemberontakan Katolik adalah Edik Pengusiran tahun 1639 yang menyatakan sebagai berikut:


“Demi masa depan, jangan biarkan siapapun, selama matahari menyinari dunia, berani berlayar ke Jepang, bahkan tidak pada perwakilan-perwakilan penting, dan deklarasi ini tak pernah ditarik, atas dasar ancaman kematian sekalipun.”


Edik tersebut meliputi seluruh orang Barat dengan satu pengecualian, Protestan Belanda, yang meraih hak untuk tetap membantu mengalahkan pemberontakan Katolik. Meskipun demikian, mereka bahakn diberi pembatasan ketat karena mereka juga disebut Kristen. Bagi Jepang, hal apapun yang berhubungan dengan Kristen telah menjadi bahan pembelotan, intoleransi dan penaklukan.

Belanda sendiri menjalankan markas besar mereka di pulau kecil Deshima, Teluk Nagasaki. Mereka nyaris tinggal sebagai tahanan, diijinkan untuk menginjakkan daratan utama Jepang hanya sekali setahun.

Namun, pembatasan paling ketatnya terkait dengan upacara agama Kristen. Belanda tak diijinkan untuk memakai doa-doa Kristen ketika menghadap orang Jepang. Jepang menjadi sangat terganggu dengan hal apapun yang bahkan mengingatkan mereka pada Katolik agar Belanda dilarang untuk memakai kalender Barat dalam dokumen bisnis mereka karena hal tersebut merujuk kepada Kristus.

Kini, Kristen di mata mereka tidak dipandang aappun selain alat siksaan Barat untuk kekuasaan politik dan militer. Ketika Belanda akhirnya menandatangani perjanjian datang, empat hal dari tujuh poinnya berhubungan dengan Kekristenan:


1. Perdagangan antara Jepang dan Belanda bersifat abadi.

2. Tak ada kapal Belanda yang membawa orang Kristen dari kebangsaan manapun atau memberikan surat yang ditulis oleh orang Kristen.

3. Belanda harus memberikan informasi apapun kepada gubernur Jepang soal penyebaran Kristen di wilayah-wilayah asing yang berkepentingan.

4. Jika Spanyol atau Belanda menaklukan negara-negara dengan cara pengerahan agama, informasi semacam itu harus diberikan kepada Gubernur Nagasaki.


Selain itu, seluruh buku dimasukkan ke kapal-kapal Belanda, khususnya orang-orang yang berkaitan dengan hal-hal keagamaan, disegel dalam peti barang dan diambil alih ke Jepang ketika kapal berada di pelabuhan. Belanda, yang mula-mula diijinkan untuk membawa tujuh kapal setahun, kemudian dibatasi menjadi satu.

Dugaan kesesatan dan kelicikan Kristen ditonjolkan ketika mereka memperkuat edik-edik pertama oleh para penguasa yang baru. Ini dipandang menjadi dakwaan kejahatan untuk akapal Kristen manapun yang mengambil pengungsi di pelabuhan Jepang untuk pelaut Kristen manapun yang kapalnya karam di lepas pantai Jepang.

Karena seluruh niatan dan tujuan tersebut, Jepang menjadi wilayah yang tersegel, tertutup dari dunia luar. Wilayah tersebut masih tersegel selama sekitar dua ratus lima puluh tahun, sampai Commodore Perry, pada pertengahan abad terakhir, membuka gerbang-gerbang Tempat Matahari Terbit dalam gaya Barat yang tak asing—dengan menekankan agar negara tersebut membiarkan pengerahan meriam-meriam angkatan laut berat.