Vietnam: Why Did We Go?/Bab 20

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

BAB 20—Dua Presiden Katolik dan Paus Revolusioner

Keruntuhan Strategi Besar AS-Vatikan di Vietnam

Peran yang dimainkan oleh Kardinal Spellman dalam konsolidasi kemitraan Vatikan-AS seharusnya tak terkira. Tanpa jabatannya sebagai duta besar khusus Dulles bersaudara untuk paus, dan sebaliknya, hubungan istimewa AS dengan Vatikan tak akan sepenuhnya berkembang. Berterima kasih kepada Spellman, Dulles dapat memalsukan hubungan semi-rahasia dengan Vatikan dan memegang hak resmi Kemenlu, termasuk pelaporannya kepada presiden dan para penasehatnya.

Jenderal Eisenhower, yang merupakan tokoh militer, memandang aliansi apapun yang tak dibekingi oleh batalion besar tidaklah berpengaruh. Sehingga, ia menyatakan kepada dirinya bahwa peran gereja dalam kampanye anti-komunis bersifat minimal, entah diwakili oleh Vatikan atau tidak. Dulles bersaudara tak melakukannya untuk memajukan keyakinan ini, karena ini membuat mereka bertangan bebas untuk menyatakan perang suci iedologi mereka sendiri dan skema strategis yang disiapkan olehmereka dalam pergerakan.

Spellman, pria dengan satu kaki di Capitol Hill dan lainnya St. Petrus di Roma, dan dengan jari dalam banyak masalah terkait dengan Dulles bersaudara dan paus, menjadi tak terpisahkan pada keduanya dalam mengoperasikan Aliansi Vatikan-AS. Selain sikapnya dalam mempromosikan kepentingan Katolik dalam bidang dalam negeri, ia memiliki sifat cerdik dalam penugasannya sendiri di sebagian besar bidang lainnya seperti keuangan. Selain membuat keuskupan agungnya sendiri menjadi yang terkaya di AS, ia membantu menyelesaikan masalah-masalah keuangan tertentu untuk Vatikan sendiri. Selain itu, Spellman bertugas dalam persoalan politik, nasional dan internasional. Disini, intrik diplomatiknya timbul.

Didampingi dengan perlindungan pribadi Paus dan Menlu, kekuatan penekanan atas perantara kebijakan bersama mereka nyaris tak terhapuskan dalam lingkup paling penting di AS. Ini meliputi diplomatik, finansial, dan politik serta media massa. Karena pengaruh besar tersebut, Spellman lebih bertindak seperti paus Amerika. Sehingga, keuskupan agungnya dijuluki Vatikan Kecil dari New York.

Untuk menambahkan bobot dukungannya terhadap campur tangan AS di Vietnam, Spellman kemudian dinominasikan menjadi Vikar Angkatan Bersenjata Amerika, dan kemudian rutin mengunjungi medan tempur Vietnam menggunakan jet-jet militer AS. Ketika tak memeriksa para prajurit Amerika, yang ia sebut Prajurit Kristus, ia beralih ke bidang politik dalam perannya sebagai dubes resmi, rohaniwan dan diplomat Amerika.

Seperti yang telah disebutkan, Spellman menjadi saalah satu sponsor terawal dari pemimpin Vietnam tak dikenal saat itu, Diem. Dari permulaan ketika Diem ingin mencari dukungan Amerika di AS, Spellman mendorong banyak politikus berpengaruh, termasuk Senator Kennedy—kelak presiden, untuk mendukung Diem ketimbang kandidat lain. Ia memuji Diem karena kejujuran, integritas, relijiusitasdan seluruh dedikasinya terhadap anti-komunisme. Ini merupakan kualitas terakhir yang dimajukan Spellman ke Kemenlu, yang akhirnya memutuskan untuk memilihnya.

Ketika Paus Pius XII wafat pada 1958, operasi-operasi Kardinal Spellman digandakan seperti halnya yang dilakukan dalam pelobiannya di Capitol Hill. Rumor terdengar bahwa ia menjadi paus Amerika pertama. Spellman tak pernah menyangkali rumor tersebut, karena ia diam-diam menyimpan ambisi jangka panjang untuk jabatan paus. Sehingga, ia percaya bahwa para kardinal pada konklaf mendatang akan memilihnya menjadi penerus Pius XII atas pengakuan upaya anti-komunis diplomatik efektifnya, yang ia sangat berhasil melakukannya atas perantaraan almarhum paus dan Kemenlu.

Spellman percaya akan nubuat St. Malachy, nabi Irlandia abad ke-12, dan memakai nubuat semacam itu terhadap kepausan dengan serius. St. Malachy telah mengkarakterisasi setiap paus, dari masanya sampai seterusnya, dengan kata Latin yang menandakan karakteristik dasar setiap paus. Ia menyebut penerus Pius XII sebagai “Pastor et Nauta”, Gembala dan Navigator.

Pada Konklaf 1958, ambisi jabatan paus Spellman menjadi perbincangan di Roma, yang berwujud lelucon saat ini. Sebagaimana isi leluconnya, Spellman membawa sebuah perahu, mengisinya dengan domba dan berlayar dari hulu sampai hilir sungai Tiber dengan meyakini bahwa ia menolong pemenuhan nubuat tersebut.

Hasil pemilihan tersebut tak membuahkan hasil pada Kardinal Spellman. Kardinal Roncalli, Patriarkh Venesia menjadi Paus Yohanes XXIII (1958-63) yang baru.

Perbedaan antara Paus Pius XII dan Paus Yohanes XXIII sangat mencolok. Kemitraan antara Washington dan Vatikan nyaris runtuh dalam semalam. Kardinal Spellman sempat nyaris diusir dari ruang kepausan. Ia tak lagi disambut dan membawa pesan dari dua kakak beradik Dulles yang anti-komunis. Pengusiran mendadaknya dari Vatikan merupakan tekanan pribadi dari kebanggaan dalamnya yang tak pernah pulih sepanjang sisa masa hidupnya.

Kemenlu pun terkejut dan mengkhawatirkan waktu mendatang. Vatikan di bawah Paus Yohanes sepenuhnya merevisi bekas kebijakannya. Strategi anti-komunis AS-Vatikan dilumatkan dalam waktu berhari-hari. Hasil dari keadaan tak diinginkan semacam itu tak terprediksi dan mendorong AS untuk merombak strategi anti-komunis besar dari atas sampai bawah.

Ketika AS menyatakan bagaimana cara melakukannya, dua peristiwa berpengaruh besar terjadi di Vietnam dan AS sendiri. Di Vietnam, Diem, yang berterima kasih pada para pelindungnya, telah menjadi presiden dan mengkonsolidasikan rezimnya dengan perpaduan motivasi agama dan tindak pergesekan politik. Di AS, Kennedy, bekas sponsor Diem, masuk Gedung Putih sebagai presiden Katolik pertama daalm sejarah Amerika.

Harapan Kardinal Spellman secara sebagian dan singkat terpulihkan. Impiannya agar presiden Katolik akan membantu mengkonsolidasikan kepresidenan Katolik Vietnam kemudian tak membuahkan hasil. Ketika Kennedy memainkan permainan meunggu soal apa yang dilakukan terhadap rekanan presiden Katolik-nya di Vietnam, Diem terus menjengkelkan opini masyarakat Amerika dengan operasi-operasi penindasan anti-Buddha yang dilakukan olehnya.

Ketika menyimak lobi Katolik AS dan pendapat-pendapat Spellman, Kennedy menentang tekanan mereka untuk mengerahkan segala kekuatan Amerika di balik rezim Katolik Diem. Diem tak hanya menghiraukan opini masyarakat di Vietnam dan memusuhi masyarakat Buddha, ia juga menghiraukan opini masyarakat di Amerika pada keadaan yang dialaminya. Bakar diri para biksu Buddha sangat mengerikan dan menakuti pengaruh opini masyarakat AS melawan Katolik Diem.

Kennedy terlalu cerdik menjadi politikus untuk mengambil resiko karir mendatangnya untuk mendukung penganakemasan agama presiden Katolik sejawatnya dan kebungkaman Vatikan. Mula-mula menempatkan karir politiknya di dalam negeri, politikus kejam dan kebijakan gerejanya dihimpun oleh Diem.

Sikap Kennedy mengecewakan Spellman, bahkan meskipun Kennedy, sebagai pelunakan terhadap kardinal tersebut, memerintahkan 16.000 pasukan Amerika ke Vietnam; langkah besar pertama oleh AS secara langsung dalam pengerahan militer Vietnam. Ekspedisi tersebut mendorong bagian paling vokal lobi Katolik di AS, yang menyaksikannya sebagai pergerakan dalam pengarahan yang benar. Namun kini, politik kemitraan AS-Vatikan lama telah berubah secara radikal.

Paus Yohanes XXIII mula-mula menyetir gereja menuju “modus vivendi” dengan komunisme, dengan tujuan mutlak melakukan hal yang sama dengan Rusia Soviet sendiri. Berbeda dengan Pius XII dan Dulles bersaudara, mottomanya menjadi tak lagi perjuangan melawan komunisme, namun kerjasama; bukan perang, tapi pemahaman.

Ketika kebijakan paus semacam itu diberlakukan, Diem tetap memberlakukan penindasannya terhadap orang-orang Buddha di Vietnam, dengan hasil yang makin mengerikan.

Meskipun tak pernah secara terbuka mengecam penindasan semacam itu, Paus Yohanes secara pribadi memperingatkan Diem untuk memakai pemulihan dan perantaraan. Tak hanya penindasan yang menodai citra Gereja Katolik di dunia secara garis besar, dan khususnya di AS, namun Paus Yohanes sendiri meyakini bahwa kebijakan konsiliasi dengan ideologi revolusioner dan agama non-Kristen akan lebih efektif.

Akibat pengaruh kepausan semacam itu menumbuhkan perpaduan yang disebut ekumenisme, sebuah unsur gerejawi yang, melebihi hal lainnya, menyifatkan kepausannya, penginspirasi awal dari Konsili Vatikan Kedua, yang diadakan.

Didorong oleh ekumenisme Paus Yohanes, orang-orang Buddha mendorongnya untuk campur tangan terhadap Diem. Seorang delegasi Buddha langsung datang ke Vatikan dan meraih sambutan dari paus. Yohanes memberikannya kata-kata bantuan ulang dan berkata kepada mereka bahwa ia akan melakukan hal yang terbaik untuk mendorong Diem untuk melunak dan berkeadilan terhadap agama mereka.

Delegasi Buddha tersebut kembali ke Vietnam, namun alih-alih mereda, penindasan tersebut makin keras. Orang-orang Buddha ditangkap, dipukuli dan ditahan. Sebagian besar dunia berguncang. Ini mempengaruhi opini masyarakat Amerika. Presiden Kennedy mengancam memutus seluruh bantuan terhadap Vietnam dan Presiden Diem. Namun lagi-lagi tak membuahkan hasil.

Ini menjadi kepentingan pada tahap ini, meskipun mereka telah bersepakat dengannya pada masa-masa sebelumnya, untuk menyebut beberapa penjelasan peristiwa yang mendorong para protagonis utamanya menuju tepi jurang. Ini akan menampakkan bagaimana penjunjungan agama dan penekanan dogmatik dua bersaudara, Diem dan kepala polisi, mendorong mereka untuk menghiraukan opini Amerika dan dunia, peringatan Kennedy, dan peningkatan perlawanan terhadap orang-orang Buddha. Sifap misi atas perantaraan Katolik ini menginspirasi mereka untuk mencabut peringatan keruntuhan yang tertunda yang berujung pada pembunuhan mereka.

Sementara itu, Presiden Kennedy menekan Paus Yohanes melalui Kardinal Spellman agar berupaya untuk menahan Diem. Namun, tak membuahkan hasil. Untuk menunjukkan bahwa ia mementingkan bisnis, Kennedy mengambil langkah drastis dan mengganti dubes AS untuk Vietnam. Kemudian pada Juli 1963, ia mengirim pesan pribadi kepada Diem melalui Dubes Nolting dalam upaya untuk mendorong Diem dan saudara-saudara Katolik-nya, Nhu, kepala kepolisian dan Thuc, uskup agung, untuk menarik kebijakan penindasan mereka.

Upaya Kennedy kembali tak membuahkan hasil. Sebaliknya, alih-alih nampak sebagai kepala kepolisian rahasia, dengan klaim bahwa unsur-unsur Merah ditemukan di kalangan Buddha, beralih ke kampanye diskriminasi keras dalam penindasan agama terbuka.

Biksu, biksuni dan pemimpin Buddha ditangkapi oleh ribuan pasukan. Pagoda-pagoda ditutup dan dikepung. Orang-orang Buddha disiksa oleh polisi. Suatu hari, seorang biksu membakar dirinya sendiri hidup-hidup secara terbuka, untuk menimbulkan perhatian dunia terhadap penindasan Katolik. Presiden Diem, tak berkutik, meneruskan kebijakannya. Kepolisian rahasia memenjarakan lebih banyak biksu. Biksu lainnya secara berturut-turut melakukan kabar diri. Dalam periode singkat, tujuh biksu telah membakar diri mereka sendiri hidup-hidup secara terbuka. Vietnam menyatakan darurat militer. Pasukan kini menduduki banyak pagoda dan menangkapi seluruh biksu yang memberontak. Biksu dan biksuni Buddha lainnya ditangkap dan dibawa ke bak-bak truk, termasuk sejumlah korban luka. Kebanyakan dibunuh. Ketika kesempatan berkembang, pasukan khusus Nhu menyerbu pagoda dan biara dengan senapan semi-otomatis dan granat untuk menangkali darurat militer.

Sepuluh ribu orang Buddhis ikut serta dalam mogok makan dalam memblokade Saigon, sementara gong raksasa didentungkan dari menara Pagoda gXa Loi utama dalam protes melawan penindasan. Di Hue, di utara, para biksu dan biksuni melakukan perjuangan keras di pagoda utama Tu Dam, yang dihancurkan, sementara sebelas murid Buddha bakar diri di dalamnya.

Alih-alih berniat untuk mengabulkan kebijakan kompromi terhadap para lawannya, pemerintah Diem enggan untuk menghiraukannya. Ini dilandasi dengan bantuan bunuh diri dan kebaikan diri. Ini diterapkan pada para guru dan murid, bukan dengan pengakuan iman, namun dengan undangan untuk tetap tanang dan berpandangan jernih, sehingga mereka dapat “melihat kebenaran” terkait “perkara Buddha ini.” Presiden Diem menambahkan hinaan pada luka dengan menyatakan bahwa solusi tersebut telah menjadi solusinya. “Aku mengkonfirmasikan,” katanya pada masa itu, “bahwa kebijakan pemerintah . . . tak dapat diubah.”

Namun walau sikap Presiden Diem pada situasi yang cepat memburuk menjadi tak fleksibel, para rekan terdekatnya bersikap tutup mata karena sangat terbatasi. Mungkin, ini dapat dijelaskan oleh pernyataan wakil presiden dalam jawaban kepada wartawan yang menerima kabar bakar diri para biksu Buddha dan mengupayakan siswi muda yang berniat memotong tangannya di Pagoda Xa Loi pada pukul 10 p.m. pada 12 Agustus 1963. “Aku sangat sedih,” wakil wakil presiden, “melihat kasus-kasus bakar diri dan penganiayaan diri yang hanya membuang-buang tenaga.”

Wakil Presiden Tho kemudian menambahkan. “Tindakan semacam itu,” ujarnya, “sangat tak dibutuhkan pada masa sekarang.” Sehingga, ia menambahkan apa yang menjadi pernyataan terbesar abad ini: “Mereka membuat masyarakat percaya,” katanya, “bahwa orang-orang Buddha ditekan pemerintah.”

Kemudian, AS menerapkan tekanan yang lebih kuat dan mengancam untuk memotong segala bantuan kepada Presiden Diem. Lagi-lagi, tak membuahkan hasil. Dubes Vietnam Selatan di Washington, seorang penganut Buddha, mundur sebagai bentuk protes. Saudara Presiden Diem dan iparnya, Mrs. Nhu, secara terbuka mengejek para biksu Buddha yang bunuh diri, menyatakan bahwa mereka memakai “bensin impor” untuk “membarbekyu” diri mereka sendiri.

Pada masa itu, pemimpin Buddha, Thrich Tri Quang, mencari suaka ke kedubes Amerika untuk menyelamatkan nyawanya. Pemerintah Amerika makin tak sabar. Kemenlu AS mengeluarkan deklarasi resmi yang menyinggung tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Vietnam Selatan terhadap orang-orang Buddha. “Atas dasar informasi dari Saigon, pemerintah Republik Vietnam nampaknya melakukan tindakan penindasan serius terhadap para pemimpin Buddha Vietnam,” ujarnya. “Tindakan tersebut mewakili kekerasan langsung oleh pemerintah Vietnam dari bantuan-bantuan yang mendorong kebijakan rekonsiliasi dengan orang-orang Buddha. ASmengerahkan tindakan represif terhadap keadaan ini.”

Vietnam Selatan terpecah. Tenara menjadi bertindak terbuka dan melakukan pemberontakan pasif, bukan melawan komunis, namun melawan pemerintah mereka sendiri: Hasilnya: Perang melawan komunis Utara ddengan cepat dilenyapkan, karena sebagian besar penduduk, yang mendukung perjuangan tersebut lepas tangan, enggan untuk bekerjasama.

Pada jangka panjang, AS menyadari bahwa strateginya di belahan Asia berada daalm marabahaya yang serius dan mengambil tindakan. American Central Intelligence Agency, dalam kerjasama dengan unsur-unsur Buddha Vietnam, berhasil merencanakan kudeta.

Katolik sayap kanan jauh di AS tak lagi berpikir seperti yang mereka pikirkan pada masa pemerintahan Eisenhower, namun malah kini berada di bawah pemerintahan yang dijalankan oleh presiden Katolik Amerika pertama. Sehingga, mereka masih memandang baik unsur-unsur papan atas tertentu CIA. Mengambil angin dari apa yang dipijak, mereka melakukan upaya terakhir untuk mengabulkan opini masyarakat Amerika terhadap Diem. Mereka mendukung kampanye untuk melawan orang yang dilancarkan oleh Kemenlu dan lainnya yang memutuskan nasib Diem. Madame Nhu, istri kepala kepolisian rahasia, diundang untuk datang dan “menjelaskan” keadaan Amerika sebenarnya.

Madame Nhu datang dan panggilan pertamanya ditujukan pada sponsor utama rezim Diem, Kardinal Spellman. Kebanyakan Katolik bertindak agar mensuksesan kampanye tersebut. Silabus, tokoh, organisasi dan seluruh dampak nyata dan tak nyata dari tekanan Katolik pada media massa AS dimajukan.

Ketika pasukan promosional Katolik tersembunyi bekerja di balik layar, orang-orang Katolik berpengaruh dayang untuk memajukan sponsor, dukungan dan promosi advokasi Madame Nhu terhadap rezim Diem. Clare Booth Luce, mualaf Katolik, yang dikatakan ketika ia menjadi dubes untuk Roma, lebih Katolik bahkan melebihi Paus itu sendiri, bertindak sebagai agen pers, manajer kampanye dan sponsor utama Madame Nhu.

Sambutan yang diterima ipar Presiden Diem menunjukkan bahwa orang-orang Katolik di AS, disamping mengecam penindasan agama, menyepakati atau mendukung mereka secara terbuka. Di sisi lain, kalangan Protestan Amerika dan liberal berkata kepada Madame Nhu dalam istilah-istilah tertentu bahwa penindasan yang dilakukan oleh suami dan iparnya menggetarkan masyarakat Amerika. Saat berkunjung ke Universitas Columbia, contohnya, Madame Nhu disambut oleh para mahasiswa dengan hinaan dan ejekan. Namun, di Universitas Fordham, ia mendapatkan sambutan “antusias” dari 5.000 mahasiswa Katolik di sekolah Yesuit.

Perbedaan mencolok dalam sambutannya oleh dua kalangan pemuda Amerika berbeda tersebut bersifat signifikan, terutama dalam memandang fakta bahwa 5.000 murid dengan para guru Yesuit mereka diklaim meyakini kebebasan beragama. Sambutan Yesuit bahkan lebih siap karena Vatikan, semenjak pengangkatan Paus Yohanes XXIII, lebih dari mendukung keluarga Diem dalam pendorongan agama telah memikul mereka seperti yang telah disebutkan. Pada lebih dari sekali, Vatikan bahkan membujuk uskup agung untuk berhenti menawarkan “panduan spiritual” kepada presiden dan kepala kepolisian rahasia tersebut. Bujukan terhadap uskup agung tersebut sepenuhnya dihiraukan, enggan meyakini bahwa iklim ideologi yang dipromosikan oleh John Foster Dulles dan Paus Pius XII tak lagi valid.

Namun menyadari bahwa kebijakan Pius XII banyak dimodifikasi, Paus Yohanes XXIII dan Presiden Kennedy tak lagi terlalu bergantung pada keadaan tersebut. Meskipun masing-masing, untuk alasan tertentunya sendiri, berharap untuk menggulingkan super-Katolisitas dari dinasti Diem, entah seperti apa caranya. Ini utamanya dipengaruhi pada kebijakan Asia-Amerika-Vatikan yang digulirkan bersama-sama oleh pemerintah Amerika pada masa lalu, Kardinal Spellman dan paus Pius XII. Pembongkaran terbuka strategi besar Dulles-Pius dapat menimbulkan dakwaan-dakwaan pro-komunisme dan penyorotan terhadap komunisme agresif di Asia—yang terkadang dihindari, terutama jika tuduhan semacam itu dibuat oleh lobi Katolik berkuasa di Washington atau lobi Amerika di Vatikan, tanpa menyebut Vietnam Selatan itu sendiri.

Sebuah peristiwa besar di luar Vietnam Selatan membantu mempersiapkan hal tersebut. Paus Yohanes wafat. Beberapa hari sebelum penggulingan Presiden Diem, biksu Buddhist ketujuh bakar diri hanya seratus yard dari katedral Katolik Roma Saigon, dengan misi pencarian fakta PBB di dekatnya.

Presiden Diem dan kepala kepolisian rahasia, dengan secara bulat kini dibutakan oleh pembutaan keagamaan mereka, mengisolasi diri mereka sendiri dari seluruh dan sorotan di Vietnam Selatan, ketika mereka bersiap melakukan semuanya.

Diem, yang kini tak lagi menjadi apa-apa, kehilangan kemampuannya untuk berkompromi. Seperti saduara-saudaranya, ia tak memiliki pendamping, Dubesnya di Washington, sebelum mundur dari jabatannya dalam protes melawan penindasan orang-orang Buddha, menyatakan kepada Diem dan saudara-saudaranya: “Kalian lebih seperti inkuisitor abad pertengahan,” ujarnya, “yang mendakwa atas kebaikan mereka bahwa mereka akan membakar orang-orang karena guncangan mereka sendiri, dan untuk guncangan umat manusia, untuk menyelamatkan mereka dari kesalahan dan dosa.”

Ini membuat Presiden Katolik Diem berpikir dan bertindak seperti yang ia lakukan. “Kita harus terus mencari Kerajaan Allah dan Keadilan,” tulisnya, bertahun-tahun sebelum ia menjadi presiden, dari seminari di tempat ia ketika itu tinggal (ironisnya di AS), “Semuanya akan datang dengan sendirinya.”

Ini terjadi, namun dengan bantuan AS.

Kennedy dan para penasehat militernya menjadi makin terikat pada dampak militer antagonisme fanatik Diem melawan orang-orang-orang menjadi hal umum dalam operasi-operasi AS dan Vietnam Selatan. Diem menjadi rintangan paling serius untuk pendakwaan efisien perang melawan komunis Utara. Ketika menambahkan antagonisme massal yang menyebabkan Katolik Vietnam utara melarikan diri dari Utara, kampanye anti-Buddhanya memulai penerapan rencana-rencana AS.

Setelah anggapan dini dan menyakitkan, Kennedy dan para rekan terdekatnya memutuskan bahwa satu-satunya cara untuk menyingkirkan rezim Diem adalah dengan menyingkirkan Presiden Diem sendiri. Terdapat laporan bertentangan soal cara keputusan mutlak tersebut dicapai dan oleh siapa. Meskipun buku dan surat kabar menyebutkan evolusi langkah per langkah, pada ujungnya beralih ke rencana pembunuhan berdarah dingin terhadap Diem.

Sementara itu Diem dan para saudaranya, yang percaya akan kebenaran tindakan mereka, terus bertindak seperti jikalau tak ada yang terjadi, yang tak sejalan dengan perilaku pejabat Amerika tertentu. Pada siang 1 November 1963, Presiden Diem minum teh dengan Laksamana Harry Felt, Kepala Panglima pasukan Amerika di Pasifik, dan dengan Henry Cabot Lodge, Dubes Amerika, beberapa jam sebelum dihubungi Washington bahwa jam-jam terakhir Presiden Diem telah tiba. Tak lama setelah itu, para perencana merancang rancangan pergerakan mereka. Pada fajar keesokan harinya, pasukan mereka menginvasi istana presidensial.

Presiden dan saudaranya, kepala kepolisian rahasia yang dilucuti, telah pergi. Namun beberapa jam kemudian, mereka menghadiri misa di Gereja Santo Fransiskus Xaverius di Saigon dan mengikuti Perjamuan Kudus. Setelah ditemukan disana, mereka ditangkap dan ditembak. Ini terjadi pada 2 November, Perayaan Seluruh Jiwa.

Jasad mereka disemayamkan ke Rumah Sakit Santo Yosef, yang berjarak hanya beberapa ratus yard dari Pagoda Xa Loi, di tempat pemberontakan Buddha mula-mula menyulut pemberontakan yang membuat otoritarianisme Katolik Presiden Diem berakhir tradis. Sehingga, kematian dua putra salah dari ‘Gereja Bunda Suci’ dan dengan kematian rezim politik yang diupayakan untuk dihimpun oleh mereka mengguncang kalangan non-Katolik—bahkan non-Kristen.