Vietnam: Why Did We Go?/Bab 22

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

BAB 22—Bencana Terakhir

Disintegrasi Kemitraan Vatikan-AS di Vietnam

Perjanjian Paus Yohanes XXIII—Ho Chi Minh awalnya mengandung tipu muslihat timbal balik yang halus oleh kedua negosiator. Ini kemudian beralih menjadi pedang bermata dua yang mengancam stabilitas masa depan Vietnam dan seluruh Asia Tenggara.

Spellman dan para pendukungnya menyaksikan perkembangan seluruh perkara dengan esensi kemarahan impoten dan penghinaan ideologi. Dialog kepausan baru tersebut dengan komunis terhimpun dalam bidang politik terapan dan mengancam seluruh strategi besar Presiden Diem dan upaya militer AS di wilayah tersebut. Namun, kepahitan mereka kemudian terbendung oleh pelarian ribuan Katolik Vietnam Selatan dari rezim ateistik. Dalam jangka panjang, ini akan menguntungkan kepentingan Diem.

Setelah gelombang imigrasi berujung pada banjir manusia, Paus datang dengan penakanan emosionalisme keagamaan. Ia menyinggung Bunda Maria dan kemudian mendedikasikan sendiri seluruh Vietnam secara pribadi kepadanya. Dengan demikian, Bunda Maria menjadi pelindung resmi seluruh Vietnam—Utara dan Selatan, entah Katolik atau tindak, termasuk Presiden Ho Chi Minh sendiri.

Namun, Ho Chi Minh memiliki kepentingan lain untuk melunak ketika ia menyaksikan ratusan ribu orang Vietnam Utara bergerak ke wilayah selatan. Seperti yang ia lihat sebelumnya, alih-alih menimbulkan kondisi runyam di Selatan, kedatangan yang baru meningkatkan laju pergerakan yang mencapai ratusan kali lipat.

Disamping menyediakan pergerakan politik bagi Ho Chi Minh, migrasi tersebut menghimpun landasan berpengaruh besar. Susunan tersebut menjadi perumusan yang sukses dieksploitasi saat dan setelah perang. Usai AS menarik diri dari wilayah tersebut, Vietnam Marxis bersatu menciptakan “gelombang migrasi” yang terinspirasi secara politik yang disebut oleh media dunia sebagai “orang perahu.”

Ratusan ribu pengungsi tersebut didorong dan bahkan dibantu untuk “kabur,” terutama lewat laut. Meskipun ribuan tenggelam, ratusan ribu orang disambut oleh Barat, bagian terbesar menjadi tamu AS.

Eksodus tersebut menjadi kemenangan jangka penjang bagi Gereja Katolik. Setelah mengalami kekalahan dengan kejatuhan Diem dan kemudian Vietnam Selatan, pemindahan migran Katolik ke AS membantu meningkatkan batalionnya sesuai dengan tujuan akhir Gereja: menjadi gereja paling berkuasa di Amerika.

Sementara itu, konflik antar-Vietnam antara Utara dan Selatan diintensifikasi, dan puncaknya berujung pada keterlibatan militer AS penuh.

Pada 1963, Paus Yohanes XXIII, bapak Konsili Vatikan II wafat. Sehingga, seperti yang ia lakukan, ia telah membuka jendela untuk angin perubahan. Tak lama usai kematiannya, angin perubahan bergerak cepat menjadi angin ribut yang berhembus kepada Marxisme dunia.

Penerusnya Paulus VI, yang baru satu dasawarsa sebelumnya diasingkan dari Vatikan oleh Pius XII yang anti-komunis karena pandangan sayap kiri jauhnya, bahkan melebihi Yohanes dalam memandang komunisme. Tak lama setelah pemilihannya, pada kenyataannya meskipun AS masih sangat terlibat dalam konfliknya di Vietnam, Paulis VI membuat tawaran pengajuan pertamanya ke Moskwa. Tawaran tersebut dicap oleh pengarang saat ini dengan sebutan Aliansi vatikan-Moskwa dalam buku dengan nama tersebut.

Hasil politik Aliansi Vatikan-Moskwa bersifat spektakuler dan konkrit. Eropa Timur dengan populasi Katolik terbesarnya melunak dalam waktu sangat singkat dalam perjuangannya antara Gereja Katolik dan rezim-rezim komunis militan mereka. Para imam, uskup, dan kardinal yang sampai saat itu telah ditindas secara sistematis, ditangkap dan ditahan kemudian dibebaskan. Gere-ja-gereja dibuka dan rohaniwan beserta negara mulai bekerjasama.

Untuk mengejutkan AS, yang menginginkan kemenangan dalam Perang Dingin melawan Rusia Soviet dan satelit-satelitnya, dua bekas musuh bebuyutan tersebut kini memulai kerjasama yang tak terkira.

Di Eropa, dampak Aliansi Vatikan-Moskwa mengejutkan, namun dihiraukan di Asia. Disana, ketika AS meningkatkan perang, Gereja Katolik mulai menarik diri ketika ia dapat melakukannya, berupaya untuk memberikan kejutan resmi apapun kepada mitra ideologi Amerika-nya.

Tak hanya harus menghindari perencanaan AS, namun juga menawarkan celah patriotik Katolik Amerika yang mendukung Perang Vietnam. Kebanyakan dari mereka melakukannya dalam keyakinan bahwa tak hanya negara mereka yang didukung, namun juga Gereja, yang diduduki dengan melawan wujud iblis, komunisme dunia.

Proses penarikan Gereja sehalus dan sesamar keterbukaan di Eropa. Ini juga sangat menonjol karena Gereja Amerika resmi mendukung perang tersebut seperti ketika bekas kemitraan Vatikan—AS masih berfungsi.

Penekanan umum diberikan setiap hari lewat kunjungan yang sering dan banyak dipublikasi kepada front Vietnam oleh Vikar Angkatan Bersenjata Amerika, Kardinal Spellman. Disamping persona non grata di Vatikan, ia merupakan pendukung perang dan bertindak seperti ketika Paus Pius XII masih melakukan Perang Dingin dengan Dulles bersaudara.

Di samping upaya Kardinal Spellman, pendinginan Aliansi Vatikan-AS akhirnya menjadi nampak di Pentagon. Ketika kelowongan politik di Vietnam makin terasa di segala tingkat, tekanan militer dipakai untuk mengisi kelowongan tersebut. Jika perang salib anti-komunis Vatikan-AS dilemahkan oleh angin perubahan Paus Yohanes XXIII, sikap Paus Paulus VI memberikan hembusan terakhir terhadap keberadaannya. Sehingga, kebijakan baru Vatikan menjadi kontributor besar kekalahan mutlak AS di wilayah tersebut.

Dengan pembunuhan Diem dan kejatuhan rezimnya, orang-orang Katolik baik di Vietnam maupun di AS, meskipun masih mendukung jalannya perang, tak lagi menjadi faktor besar dalam pengerahannya.

Pada 1964, usai penyingkiran Diem, Vietnam diperintah oleh para presiden yang sangat tak berkompeten, jenderal dan sekumpulan boneka politik-militer yang korup yang sekadar mengikuti arahan dan kehendak pemerintah Amerika.

Setelah mengerahan awal Kennedy dengan 16.000 pasukan pertama ke Vietnam, AS makin berubah sikap. Pada 1965, Presiden Johnson melintasi “batas nasehat” yang fatal terhadap bantuan militer dan memerintahkan peningkatan bertahap melawan Vietnam Utara—permulaan komitmen perang berskala penuh.

Setelah mengerahkan operasi udara masif melawan komunis Utara, AS meningkatkan jumlah pasukan tempur yang sepenuhnya memasuki perang darat yang berusaha dihindari beberapa tahun sebelumnya dengan mendukung diktator Katolik dalam pemisahan Vietnam Selatan atas nasehat lobi Katolik di Washington.

Ketika Paus Paulus VI akhirnya wafat pada 1978, hanya setahun usai Vietnam menjadi negara Marxis bersatu, babak Aliansi Vatikan-Washington-Vietnam secara resmi ditutup.

Pada tahun yang sama, Paus baru diangkat dari Polandia, sebuah negara komunis dan satelit Rusia Soviet yang menggantikannya (1978). Paus baru tersebut, Yohanes Paulus II, sempat menginisiasikan kebijakan yang lebih ambivalen terhadap Rusia Soviet dan komunisme dunia. Ia mendukung jenis radikalisme ambigu, meskipun tak diasosiasikan dari Rusia Soviet, yang secara terbuka mendorong ketegangan sosial dan konflik ideologi di Barat dan Timur. Ketegangan dan revolusi di negara komunis Polandia dan Amerika Tengah menjadi contoh paling menonjol dari kebijakannya.

Sementara itu, sejarah tragedi Vietnam terhenti ketika negara Marxis baru, Republik Rakyat Bersatu Vietnam, dibuat untuk mengitar di sepanjang orbit raksasa Asia besar, Rusia Soviet dan Tiongkok Marxis, sebagai satelit Merah lainnya.

Namun bagi AS, dampak pahit kekalahan militer yang tak terbayangkan menjadi hinaan nasional yang tak tertandingi sejak Perang Kemerdekaan.

Ini mengingatkan kepada Amerika muda yang masih idealistik bahwa elangnya, sebagai simbol pemikiran nasional, harus menghindari contoh kerentanan legendaris dari elang-elang kekaisaran adidaya besar pada masa lampau. Di masa depan, ia lebih baik alih-alih mengidentifikasikan diri sendiri dengan merpati legendaris, sebagai pembawa dan penjaga perdamaian.

Dengan tanpa mengaitkan nasehat Bapak-bapak Pendiri yang mengedepankan kepercayaan diri ketika menghadapi masalah-masalah dunia, AS menjadi tergodok dalam kesalahan tak terprediksi dan marabahaya yang tak diperhitungkan.

Menghiraukan celah Doktrin Monroe, ia terperangkap dalam pasir hisap militer konflik Asia, dan terjebak dalam ketegangan politik dan militer global besar yang tak pernah ia perkirakan, mula-mula di Korea pada lima puluhan, dan kemudian di Indo-China pada enam puluhan dan tujuh puluhan.

Hal ini dilakukan olehnya secara berulang, bahkan jika terperosok, selaras dengan angan-angan yang tak tercapai. Dorongan para sekutu berkepentingan mendorngnya untuk menjalankan kesempatan tersebut. Pemimpin di antara mereka adalah Gereja Katolik, yang sejak akhir Perang Dunia Kedua memutuskan untuk mempromosikan skema ekspansionisme ideologi dan agamanya sendiri di belakang kekuatan politik Amerika.

Kepercayaan diri keadidayaan mutlak seperti AS dalam mengasosiasikan dirinya sendiri dengan perang salib ‘keagamaan’ yang agresif seperti hal yang dilakukan oleh Gereja Katolik ketika melakukannya pada zaman kuno dan masa lalu, bukan mimpi indah, namun mimpi buruk. Dan dalam kasus tragedi Vietnam, mimpi buruk tersebut menjadi kesalahan politik-militer traumatik terbesar yang dialami oleh AS sejak Perang Saudara Amerika.

Mungkin ini merupakan sebuah pembelajaran dan sebuah peringatan.