Wenu-Wana

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Wenu-Wana

Wirnasari Widodo

Pada zaman Mataram (Hindu), abad kedelapan Masehi, kelompok Candi Manjusri di sebelah selatan Gunung Merapi, yang kemudian terkenal dengan nama Candi Sewu, dibangun pada saat Negara Mataram (Hindu) berada di bawah pemerintahan Baginda Raja lndrayana yang bergelar Sri Sanggramadananjaya. Setelah Sri Maharaja lndrayana wafat, singgasana kerajaan dan kekuasaan Negara Mataram berada di tangan sang menantu, Baginda Samarattungga.

Di bawah kekuasaan Baginda Samarattungga, keadaan Negara Mataram cukup aman dan makmur. Rakyat secara keseluruhan merasa bahagia dan sejahtera. Namun. ibarat kulit yang halus pun terpaksa ada tahi-lalatnya. Demikian pula, situasi negara kotapraja dan lstana Malaram di Poh Pitu yang tenang dan damai tersebut terpaksa terjadi suatu tragedi yang tak disangka.

Hal itu terjadi pada saat Permaisl.Jri kusumawardani sedang mengandung. Istri selir baginda, Niken Sumilir, sebagai orang kecil yang diangkat menjadi istri selir karena kecantikannya, mekar loba tamak dan angkara-murkanya, tidak puas posisinya hanya sebagai istri selir. Wanita dari Desa Kendayan tersebut ingin memiliki posisi sebagai permaisuri. Menurut perhitungannya, bila ia sebagai permaisuri, kelak anak yang dilahirkannya memiliki hak duduk di singgasana Mataram. Alangkah gembiranya hati Niken Sumilir bila suatu saat nanti ia memiliki putra yang duduk di singgasana dan memiliki kekuasaan atas Negara Mataram. Ah, wanita itu tersenyum sendirian.

Oleh karena itu, Niken Sumilir harus mampu menyingkirkan Permaisuri Kusumawardani! Lalu, bagaimana caranya? Niken Sumilir harus mampu mendapatkan akal dan cara. Kalau bergerak sendiri, mustahil usahanya dapat terlaksana. Ia perlu bekerja sama dengan Ki Patih Gagak Pangrawit yang terkenal serakah dalam hal uang. Asal Ki Patih diberi uang cukup banyak, pasti ia mau melakukan tugas nista tersebut. ltulah sebabnya, dengan diam-diam Niken Sumilir melakukan hubungan dan pembicaraan rahasia dengan Sang Mapatih Amangkubumi Gagak Pangrawit.

“Cckk! Jangan kautugaskan hal itu kepadaku, Mas Ayu! Tugas itu terlalu berat dan sangat berbahaya bagiku," jawab Patih Gagak Pangrawit saat Niken Sumilir meminta dia membunuh Permaisuri Kusumawardani. "Uh, saya tidak berani ... !"

“Lho, apakah Ki Patih tidak tahu?" kata Niken Sumilir tegas, "Cinta baginda sudah sepenuhnya tertuju padaku! Maklum, aku lebih muda dan lebih cantik. Bahkan, aku lebih menggairahkan selera baginda daripada Permaisuri Kusumawardani! Dalam hati baginda ada niat mengangkat aku sebagai permaisuri beliau. Karena Kusumawardani menjadi penghalang, ia perlu kita singkirkan!”

“Tetapi Permaisuri Kusumawardani sedang mengandung. Bayi yang ada dalam kandungan tersebut adalah calon raja atau ratu Mataram! Mas Ayu Niken Sumilir jangan main-main!"

“Ki Patih! Aku minta bantuan padamu tidaklah Cuma-cuma, tetapi ada imbalannya. Terimalah ini, uang dua kampil atau dua kantong untukmu. Kalau tugasmu sudah berhasil, permaisuri sudah mati, akan kutambah tiga kampil lagi. Dengan janji, Ki Patih harus mampu menyimpan rahasia ini, demi menjaga kelesamatan kita berdua!”

Ketika melihat uang banyak yang ada dalam dua kampil, mata Ki Patih menjadi hijau. Jakunnya turun naik dan ia tergiur. Apalagi masih ditambah janji, bila tugasnya berhasil dengan baik, ia masih akan ditambah uang tiga kampil lagi. Akan tetapi, patih yang licik tersebut masih juga mengajukan syarat.

“Baik. Aku akan melaksanakan tugas yang kau berikan padaku, tetapi imbalannya saya harap tidak cukup dengan uang."

“Apakah Ki Patih menginginkan mas intan berliar?"

“Bukan! Tetapi. .. mmm .... Uh, anu. Aku sanggup melakukan tugas yang sangat berbahaya itu, asal aku kau izinkan dapat menikmati kecantikanmu, menikmati tubuhmu secara keseluruhan.” Jelasnya, "Aku ingin berkasih mesra dan berhubungan sebagai layaknya suami istri, tak hanya sekali atau dua kali, tetapi sepuas hatiku dan setiap saat aku mau! Bagaimana, setuju?"

“Lho, kok begitu, Ki Patih?" wanita itu terkejut.

“Tinggal kau mau atau tidak! Kalau kau tidak mau. aku juga tidak mau melakukan apa yang kaukehendaki. Malahan, bila kau tidak mau, aku dapat membuka rahasia kejahatanmu. Kalau kaumau, kita sama-sama untung. Aku dapat uang dan dapat menikmati tubuhmu, dan kau dapat diangkat sebagai permaisuri dan kelak anakmu akan diangkat sebagai raja atau Ratu Mataram!”

Kemauan jahat dan durhaka membuahkan tindakan nista penuh dosa. Walaupun keinginan Patih Gagak Pangrawit benar-benar di luar perkiraan Niken Sumilir, keinginan tersebut terpaksa disanggupi karena terdorong keinginan untuk diangkat sebagai permaisuri baginda. Selanjutnya, terjadi hubungan gelap dan terkutuk antara selir Niken Sumilir dengan Ki Patih Gagak Pangrawit.

Untuk memenuhi kesanggupannya, ketika Ki Patih telah puas menikmati tubuh Niken Sumilir, Ki Patih dengan diam-diam melakukan tugas jahatnya. Pada tengah malam, saat Permaisuri Kusumawardani tidur nyenyak akibat ajian hitam "Megananda", ia diangkat oleh Patih Gagak Pangrawit dari tempat tidur keputren dibawa ke hutan Wenu-Wana. Di tengah hutan yang gelap gulita, Ki Patih tidak sampai hati membunuh permaisuri yang tidak berdosa, apalagi sedang hamil tua. ltulah sebabnya permaisuri yang sedang tidur nyenyak tersebut cukup ditinggal di tengah hutan. Biarlah mati dimangsa binatang buas yang ada dalam hutan itu. bisik hati Ki Patih Gagak Pangrawit.

Saat itu Hutan Wana-Wenu masih merupakan hutan belantara, dihuni oleh berbagai binatang buas yang suka memangsa daging, sekaligus juga merupakan habitat para siluman, seperti jin, setan, peri perayangan, drubiksa, dan bajobarat. Tidak aneh bila Patih Gagak Pangrawit memperkirakan, Permaisuri Kusumawardani pasti mati dimangsa binatang buas yang banyak berkeliaran di hutan tersebut.

Permaisuri Kusumawardani masih tidur nyenyak, tanpa terganggu oleh kokok ayam hutan yang menyongsong datangnya pagi hari. Ketika ada angin pagi bertiup perlahan, putri tersebut terbangun dari tidurnya. Sulit digambarkan, betapa terkejut ketika ia melihat ke kanan ke kiri dan seluruh lingkungannya. Ternyata, ia kini berada di tengah hutan belantara. Pada malam itu ia tidur di kamar keputren dalam istana Mataram di Poh Pitu, tetapi kini ia bangun dari tidur berada di tengah hutan belantara? Permaisuri Kusumawardani hanya mampu menangisi nasibnya. Ia tidak tahu apa salahnya sehingga kini harus mengalami penderitaan seberat ini.

“Oh Dewata yang Mahakasih. Mengapa celaka sekali hidupku? Apa kesalahanku hingga mengalami penderitaan seperti ini? Lebih baik aku mati bila tidak datang suatu pertolongan ... !”

Oleh karena tenggelam dalam tangis dan kesusahan, Permaisuri Kusumawardani tidak mengetahui bahwa ada seseorang mendekat. Terdengar manis tutur katanya, "Duhai putri jelita kesayangan Dewata, mengapa engkau menangis tersedu? Lupakah kau bahwa putri adalah keturunan para kusuma yang tegar menghadapi segala keadaan?"

“Oh kisanak. Terlalu sial bagiku dan tidak tahu apa kesalahanku, tiba-tiba mengalami penderitaan seperti ini.”

“Aduhai Permaisuri yang bijaksana dan berbudi luhur. Benar dan salah, senang dan susah, bahagia dan sengsara sebenarnya tidak lain hanyalah bunga kehidupan yang akan dan pasti disandang oleh semua manusia. Namun, ingatlah bahwa hidup manusia di dunia ini hanyalah maya, hanyalah bayang-bayang, dan ibarat sekadar singgah minum. Hidup yang sebenarnya adalah kelak di dalam alam Nirwana atau Surgaloka. Begitulah!"

“Tetapi, kisanak. Saat ini aku sedang mengandung tua. Mungkin beberapa hari lagi akan melahirkan."

"Itulah yang memerlukan pertolongan sebab bayi tersebut merupakan generasi penerus yang akan melanjutkan perjalanan hidup ayahibunya. Bila Sang Putri tidak keberatan, marilah kuboyong ke padepokanku di Trukan Ngawen untuk mendapatkan perawatan seperlunya."

“Anda ini siapa, dan mengapa berbusana brahmana?!"

“Nama saya Rakrayan Patapan Mpu Palar, tetua atau pimpinan Padepokan Trukan (dusun baru) Ngawen. Saat masih muda, saya pernah menjabat sebagai Rakryan Mahamenteri I Hino (senapati) Mataram pada saat pemerintahan Baginda Sri Maharaja lndra atau Baginda Sri Sanggramadananjaya. Akan tetapi, kini usia saya sudah terlalu tua dan akan menghabiskan sisa hidup saya di Padepokan Ngawen tersebut, sekaligus mewariskan ilmu yang saya miliki kepada para pemuda yang berkenan kepadaku. ltulah sebabnya, wahai Putri yang saya hormati, mohon paduka berkenan hamba boyong ke Padepokan Ngawen. Walau tempatnya sederhana, bayi yang akan Paduka lahirkan akan mendapat perawatan yang memadai!”

Akhirnya, Permaisuri Kusumawardani setuju diboyong oleh Sang Resi ke padepokan di Trukan Ngawen. Sampai pada waktunya sang Permaisuri melahirkan bayi perempuan yang wajahnya cantik jelita. Bayi itu diberi nama Pramudawardani. Karena asuhan Sang Resi, kasih sayang ibunda, dan pemeliharaan kerabat Padepokan Ngawen yang tulus wajar serta memadai, bayi Pramudawardani cepat besar, menjadi kanak-kanak, dan kemudian menjadi remaja putri. Sesuai dengan kebijaksanaan Sang Resi, remaja putri tersebut dididik dalam berbagai macam disiplin ilmu, tidak saja ilmu kewanitaan, kerohanian, dan budi pekerti, tetapi juga dilatih ilmu kenuragan dan ulah yuda. Maklum, sang resi memang bekas Senapati Agung Mataram.

Dalam istana Mataram di Kotaraja Poh Pitu, lega hati Niken Sumilir karena telah berhasil menyingkirkan Permaisuri Kusumawardani yang dianggap sebagai penghalang bagi maksud dan keinginannya. Di pihak lain, Baginda Samarattungga sangat sedih karena hilangnya permaisuri yang sedang hamil tua. Baginda segera mengerahkan segenap wirapraja, wirayuda dan telik sandi untuk mencari dan berusaha menemukan sang permaisuri. Namun, sepertinya sang permaisuri ditelan oleh gelapnya malam, hilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Semua usaha pencarian gagal tanpa hasil. Semua upaya ternyata sia-sia.

Hanya karena kepintaran Niken Sumilir menghibur Baginda, maka kesedihan Baginda agak berkurang karenanya. Akhirnya, Baginda memutuskan dalam hati, beliau perlu merelakan hilangnya permaisuri, mungkin hal ini telah menjadi takdir Dewata. Sebagai ganti, Niken Sumilir diangkat sebagai permaisuri dan diperbolehkan duduk sejajar dengan Baginda pada saat pasewakan agung. Betapa bahagia hati Niken Sumilir sebab yang dirindukannya selama ini telah terwujud.

Seperti kata peribahasa, "Siapa menabur akan menuai." Niken Sumilir dalam hal hubungan intim tidak saja melayani Baginda, tetapi dengan terpaksa harus pula melayani Patih Gagak Pangrawit. Akan tetapi, Niken Sumilir tidak pernah mampu mengandung, apalagi melahirkan seorang bayi. Beberapa tahun kemudian, belum jua puas menikmati kedudukannya sebagai permaisuri, wanita dari Dusun Kendayan tersebut menderita penyakit aneh. Penyakit kulit itu ganas dan cepat merata ke seluruh tubuh tanpa kecuali. Banyak tabib, juru obat, ahli jampi-jampi, dan orang pandai didatangkan ke istana untuk menyembuhkan sakit Sang Permaisuri, tetapi hasilnya nihil. Penyakit tersebut tidak menular kepada warga kerabat istana. Baginda dengan hati berat memutuskan agar Sekar Sumilir perlu dikarantina di tempat terpencil jauh di luar kotaraja. Gagal keinginan Niken Sumilir memiliki putra yang diharapkan kelak menjadi raja atau Ratu Mataram.

Terkejut hati Baginda Sri Maharaja Samarattungga saat menerima laporan ki patih bahwa ada kelompok rakyat yang telah mempersiapkan diri untuk berontak menentang kekuasaan Baginda. Kelompok masyarakat yang berniat melakukan makar tersebut dipimpin oleh seorang wanita yang masih, remaja. Berdasarkan laporan para prajurit sandi yuda, Ki Patih Gagak Pangrawit melaporkan bahwa para pemberontak telah menyusun kekuatan di Padepokan Ngawen di tepi Hutan Wenu-Wana. Baginda Samarattungga segera memerintahkan agar kekuatan pemberontak yang masih kecil tersebut segera ditumpas, sebelum mereka menjadi besar dan menghancurkan kekuatan Mataram. Patih Gagak Prangrawit sendiri yang diperintah oleh Baginda agar memimpin seluruh prajurit Mataram. Patih Gagak Pangrawit dibantu oleh Rakryan Mahamenteri I Hino, Rakryan Mahamenteri I Halu, Rakryan Mahamenteri I Sirikan, warga Darma Putera, dan kelompok para Manggala.

Kedatangan prajurit Mataram ke Padepokan Ngawen memang telah diperhitungkan oleh Resi Rakrarayan Patapan Mpu Palar. ltulah sebabnya, Putri Pramudawardani sendiri yang diperintahkan untuk memimpin laskar Ngawen yang terdiri atas para siswa Padepokan Ngawen dibantu oleh para penduduk di sekitar Padepokan Ngawen. Peperangan terjadi sangat ramai. Banyak prajurit Mataram roboh dan gugur dalam peperangan Ngawen. Tidak sedikit pula para siswa Padepokan Ngawen yang terluka. Bahkan, Patih Gagak Pangrawit sendiri harus roboh dan gugur di tangan putri yang masih remaja, Pramudawardani.

Ketika mendapat laporan bahwa Ki Patih telah gugur di medan yuda, Baginda Samarattungga sendiri datang ke Ngawen. Baginda langsung mengganti posisi Ki Patih dan memimpin gerak yuda seluruh prajurit Mataram. Akhirnya, Baginda berhasil berhadapan langsung dengan pimpinan pemberontak, putri cilik Pramudawardani. Keduanya sama-sama tegar duduk di punggung kuda masing-masing, dengan senjata terhunus keduanya siap membunuh atau dibunuh. Akan tetapi, dalam situasi kritis tersebut, terdengarlah teriakan wanita sambil keluar dari dalam padepokan.

"Wahai Baginda! ltu putri Baginda sendiri yang lahir dari dalam kandunganku. Wahai putriku, itulah ayahmu! Kauwajib menghaturkan sembah baktimu kepadanya! Baginda, inilah aku, permaisurimu, Putri Kusumawardani!”

Setelah Baginda yakin bahwa wanita yang berteriak-teriak tersebut Permaisuri Kusumawardani yang dirindukannya selama ini, berhentilah gerak yuda Baginda, demikian pula Putri Pramudawardani. Raja dan putri remaja tersebut sama-sama turun dari punggung kuda masing-masing, lalu meletakkan senjata dan saling mendekat. Putri Pramudawardani segera menghaturkan sembah bakti kepada ayahanda tercinta yang selama ini tidak ia ketahui dan sangat ia rindukan. Dengan penuh kasih Baginda segera memeluk putri kecil yang memberontak, yang ternyata darah daging beliau sendiri. Peperangan pun usai. Semua meletakkan senjata dan saling bersalaman satu sama lain.

Dalam situasi demikian, Resi Rakarayan Patapan Mpu Palar ke luar dari rumah padepokan, langsung menghaturkan sembah bakti kepada Baginda. Usai menghaturkan sembah bakti, mantan Rakryan Mahamenteri I Hino Mataram tersebut menjelaskan duduk permasalahan yang terjadi. Akibat niat jahat Niken Sumilir yang bersekongkol dengan Patih Gagak Pangrawit, Permaisuri Kusumawardani dibuang ke hutan Wenu-Wana, dengan harapan permaisuri tersebut mati dimangsa oleh binatang buas. ltulah sebabnya Sang Resi memberi pertolongan agar yang jahat menuai hasil kejahatannya. lega hati Baginda sebab kedua durhaka telah menuai hasil kedurhakaannya. Akhimya, setelah memerintahkan perlunya memuliakan mereka yang gugur serta merawat mereka yang terluka. Permaisuri Kusumawardani dan Putri Pramudawardani segera diboyong Baginda ke istana Mataram di Kotaraja Poh Pitu.

Kedumian, Baginda berkenan menambah nama putri tercinta Sri Kahuluan.

Karena jasa Rakarayan Patapan Mpu Palar, Baginda berkenan mendirikan bangunan suci (candi} Wenu-Wana. Menurut para ahli (sekarang), Candi Wenu-Wana tersebut tidak lain adalah Candi Ngawen yang masih ada sampai sekarang ini. Candi itu terletak di sebelah barat kota Kecamatan Muntilan, termasuk wilayah Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah.

Atas permintaan Putri Pramudawardani alias Sri Kahuluan pula, Baginda Samarattungga mendirikan bangunan suci (candi) yang lebih besar, terletak di sebelah utara Candi Wenu-Wana atau Candi Ngawen, di bumi Sambara Budara, dengan arsitek Ki Gunadarma. Candi besar tersebut tidak lain adalah Candi Borobudur yang masih ada sampai sekarang ini.