Yang Menyihir Bumi
YANG MENYIHIR BUMI
Premis
Kalian jangan berpikir aku seorang ahli nujum, tidak, tidak sama sekali, dan tidak akan pernah mempelajari ilmunya. Apalagi? Kalian berpikir aku ibu peri yang bisa mengucapkan mantra pendek dan menggoyangkan tongkat, tidak, tidak sama sekali, tidak akan pernah melakukannya. Setidaknya, itulah yang kupikirkan sebelum mengenal film-film Harry Potter yang kutonton marathon pada tahun 2012 silam. Ah, aku masih seorang gadis yang mengenakan seragam sekolah.
Lakon
- Ibu
- Ayah (Raga)
- Anak (Yoga)
Lokasi
Sebuah rumah
Cerita Pendek
Penasaran
Saat itu, kata menikah belum berkenalan dengan bos cantik yang duduk di meja kerja otakku. Aku yang masih suka membayangkan bagaimana jika diri-diriku yang lain bersemayam di dalam otak seperti sekumpulan Spongebob yang membangun kantornya sendiri di dalam otak. Mereka terus bekerja, bahkan untuk sekadar mengingatkan mulut agar terbuka sambil menguap.
Saat itu, bayangan menjadi ibu bahkan tak terpikirkan sama sekali. Setidaknya, jika aku harus menikah dan memiliki anak, usia 30 tahun adalah angka minimal yang kupatok untuk diriku sendiri. Kadang-kadang kuucapkan secara spontan kepada kedua orang tuaku atau para lelaki yang sudah mulai mendekatiku dengan niat ke pelaminan. Hei... aku masih gadis belia yang mengenakan seragam putih-biru.
Ceritaku ini mungkin terdengar klise bagi para perempuan yang pengen banget menikah. Namun, di sisi lain, ceritaku ini seperti barisan tepuk tangan dan sorak-sorai kegirangan bagi para calon wanita karir. Sayangnya, tepuk tangan mereka diikuti embusan napas sarkastik dan ucapan selamat yang menyembunyikan bibir tipis mereka di balik mata, “Selamat ya, akhirnya jadi ibu juga! Enak dong sekarang tinggal kerja di rumah saja, gak perlu cari duit!”. Ucapan itu menjadi orkestrasi di telingaku setiap usai bertemu teman sebayaku yang sudah mengendarai mobil sendiri atau setidaknya sudah mulai menyicil rumah untuk menjaga dirinya sendiri.
Mereka belum tahu saja, kesaktian mereka dalam menempuh karir bisa kusihir begitu saja. Mungkin, mereka akan termangu dengan berbagai senyuman yang enggan kuraba maknanya. Namun, setidaknya aku telah mampu membuat segala benda, hewan, tumbuhan, manusia, dan apa saja di muka bumi ini beralih ke genggamanku.
Nin... kamu gak mau sambil jualan asesoris dari toko ibu di rumah? Kamu nanti bosen kalau cuma ngasuh anak saja
Getar ponselku membangunkanku dari buku sihir yang baru saja kutulis. Ya, aku punya hobi lain setiap bangun tidur. Ponsel yang kutaruh satu meter di bawah kakiku seringkali membangunkanku ketika pagi. Nada getar itu membuat lantai keramik rumah berderit beriringan dengan suara cipratan air di wastafel dapur, Mas Raga sedang mencuci piring. Pernikahanku dengan Mas Raga adalah anugerah yang memang selalu kusyukuri, tapi usiaku yang masih tergolong muda sering menjerit sendiri di samping telinga kiriku, “Kapan bisa jalan-jalan keliling negara-negara di bumi?”.
Denging itu sering hilang dan muncul bersamaan dengan suara air wastafel yang terseret masuk ke saluran pembuangan. Mas Raga adalah orang pertama yang bilang kepadaku kalau urusan mencuci piring dan mencuci baju akan menjadi tanggungjawabnya. Aku? Aku tinggal menyapu, mengepel, menata lemari, memasak, merapikan seluruh tempat di rumah, terutama barang-barang yang seringkali diperserakkan Yoga. Dia putraku yang masih berusia 18 bulan, seorang manusia kecil yang dianugerahi kelincahan luar biasa sehingga tak ada waktu baginya untuk sekedar duduk diam. Baginya, kediaman hanyalah ketika tidur dan meminum susu saja.
Kadang, ia tidur dua kali di antara jam enam pagi hingga jam dua siang. Kadang, ia hanya tidur sekali di jam sebelas sampai dua belas siang. Kadang, ia tidak tidurr sama sekali. Dalam kondisi apapun aku harus menjaga rumah di luar tugas yang sudah dikerjakan suamiku. Sebagai perwakilan suamiku di rumah, aku harus menjadi tuan rumah yang tahu semua seluk beluk rumah, apapun kondisinya.
Apakah kata-kataku ini terasa berlebihan bagimu? Kebanyakan orang selalu berpikir bahwa lelaki lelah dengan semua pekerjaannya di kantor, di jalanan, di lapangan, di manapun selama sebagian rejeki dapat mengalir ke ATM untuk kebutuhan keluarga. Namun, jika aku harus
menantang setiap lelaki di dunia, mungkin hanya segelintir orang yang sanggup bertahan dengan seorang anak bayi di rumah. Bagi kebanyakan orang, ibu rumah tangga bukanlah sebuah profesi yang patut dibayar. Mereka menganggap ibu rumah tangga hanyalah status sampingan sebab tak ada aliran uang apapun ke sana. Sialnya, mereka tidak berpikir kelelahan emosional menghadapi seorang anak adalah pekerjaan paling menguras fisik dan pikiran. Tak banyak orang mau mengakui bahwa seorang ibu perlu menangis, perlu mengeluh, perlu bersandar di pelukan suaminya setelah seharian bekerja menguras pikirannya, meredam segala emosinya, semua demi kebaikan buah hati yang belum mampu berkata-kata.
Ah, apa sih yang kukatakan. Ciprat-cipratan air di wastafel sudah mulai mereda, suara itu bertemu dengan iqamah subuh. Suara itu juga membuatku kembali teringat pada ponselku yang bergetar dan baru kubaca sekilas. Ah, ibu mertuaku kembali mengusulkan sesuatu yang sulit untuk kutolak — sulit juga untuk kulakukan. Yoga adalah anak yang lincah, cerewet, dan aku suka itu. Hanya saja kelincahannya berbanding lurus dengan berantakannya rumahku. Aku ingin sewa pembantu, ingin sekali, agar segala beban kerjaku di rumah bisa diganti dengan waktu bekerja, membantu suamiku mengumpulkan tabungan.
Tapi... tapi... ingatanku beralih ka masa sembilan tahun silam. Aku masih tak percaya, Bu Yem, asisten rumah tangga, yang dulu akrab disapa pembantu, sering minta parfum mamaku. Tanpa perlu curiga sedikitpun, mamaku menizinkan Bu Yem semprot sekali, dua kali, dan tiga kali. Itu hari pertama dan jadilah sebuah kebiasaan dalam sebulan pertama bekerja. Bu Yem pun ikut andil dalam menhabiskan uang saku mamaku hanya untuk membeli parfum sampai 5 kali dalam sebulan.
Bu Yem pun mendapat peringatan halus dan berhentilah ia menyemprotkan parfum milik mamaku ke badannya. Hanya saja, kebiasaan aneh Bu Yem kembali terjadi dengan cara yang berbeda. Ia minta izin ke ayahku untuk memakai telepon rumah untuk memastikan kondisi anaknya di sekolah. Anaknya masih duduk di Taman Kanak-kanak dan rasa khawatirnya harus diredakan dengan menelepon guru di sekolahan.
Hanya saja, pada suatu malam di tanggal yang sudah kulupa, ayahku mengeluh dengan dengus napasnya yang membesar. Aku cuma ingat hujan deras seringkali terjadi di bulan itu. Petir pun tak tanggung-tanggung ikut meramaiakan serbuan hujan yang menabuh segala hal di muka bumi. Ayahku berkata, “Ini tagihan telepon kok bisa habis sebanyak ini ya, biasanya cuma 200 ribu, ini kok jadi satu juta?”. Kala itu aku tak terlalu paham bahwa perbedaan angka itu terasa begitu jauh dan mahal. Asat diusut, Bu Yem lah yang menjadikan tagihan telepon membeludak. Sekali telepon ke sekolahan anaknya ia bisa menghabiskan waktu 30 menitan. Itu ia lakukan tiga kali dalam sehari bekerja.
Perkara kedua ini masih belum membuat Bu Yem diberhentikan. Ayahku memaafkannya dan memberikannya batasan menggunakan telepon cuma 10 menit sehari dan kalau sampai membeludak lagi, gaji Bu Yem mau tak mau harus dipotong. Kurasa, semua orang yang masih berpikir normal pastinya akan merasa jera.
Alih-alih berhentti menelepon, aku justru terkaget oleh sesuatu hal yang lain. Setiap akhir semester aku selalu pulang lebih awal, jika biasanya jam satu siang baru pulang, selama seminggu pasti aku pulang jam 11 saja. Aku ingat sekali, hari senin yang menandai kekalahan tim bola voli putri kelasku ketika Class Meeting menandai kemurunganku ketika pulang ke rumah. Kemurungan yang ingin kuistirahatkan dengan merebahkan badan di depan televisi sambil memutar DVD Harry Potter harus berubah kepanikan. Adikku, Zila menangis tersedu-sedu, mukanya memerah dan terdapat dua lebam di pipinya. Aku masih ingat sekali, Bu Yem berkata padaku, “Tadi Zila jatuh di tempat jemur baju dan kepentok mesin cuci.”
Saat itu aku percaya saja. Anehnya, Zila menangis dengan kondisi serupa selama seminggu penuh. Rasa-rasanya aku ingin menghindar dari pulang cepat. Tapi, ini adikku sendiri dan rasa curiga terhadap lebam pipinya selama seminggu ini tidak bisa hilang begitu saja dari kepalaku. Setelah kuceritakan ke mama dan ayah, keesokan harinya aku tak melihat Bu Yem datang ke rumah lagi.
Peristiwa-peristiwa ini membuatku tak bisa lagi percaya dengan asisten rumah tangga. Aku yang masih terlalu muda menyimpan ingatan tak menyenangkan itu hingga mengendap dalam setiap langkahku di hari ini. Bagiku, kembali menyerahkan pekerjaan rumah, bahkan untuk ikut
sedetik memegang Yoga ketika aku harus menghela napas, tak bisa begitu saja kusetujui. Akhirnya, ucapan ibu mertua harus selalu kujawab dengan kata maaf dan sebuah pandangan kalau Yoga sudah masuk usia TK nanti, aku akan bekerja di ruang yang kuinginkan dengan kesigapan ketika Yoga harus segera bertemu denganku di sekolah.
Eh, kenapa aku cerita begini ngelanturnya ya? Kalian pasti bertanya-tanya kapan aku menyihir bumi bukan? Sebetulnya, kalian sudah masuk dalam lingkaran sihirku, cerita yang begini panjangnya hanya berjalan 10 detik di otakku. Kalian mungkin akan kebingungan, bagaimana bisa demikian? Nyatanya, para dokter sudah pernah bilang kalau dalam 7 menit terakhir sebelum nyawa meragang seseorang akan mengingat segala cerita hidupnya sejak ia dilahirkam hingga kematian menjemputnya. Kalau ini tidak kukatakan sebagai sihir waktu, lalu apa? Kalian boleh berpendapat lain jika tak setuju denganku.
Setidaknya, anakku yang akan bangun sebentar lagi Akan mempercayainya, setelah kokok ayam pertama menggema, membangunkan orang-orang yang lupa shalat subuh. Suara gemericik air di wastafel dapur sudah tak terdengar lagi. Kulihat Mas Raga sudah memilih bajunya di bilik kecil yang sengaja kami manfaatkan sebagai tempat baju. Di sana beragam kondisi baju bisa kalian lihat. Ada yang bertumpuk karena baru diambil dari jemuran, beberapa lainnya sudah dilipat tapi belum masuk ke lemari, dan banyak lainnya sudah memenuhi lemari. Sinar matahari menyelusup masuk melalui genting kaca yang hanya seukuran satu keramik lantai rumah kami. Sebentar lagi Yoga akan menemukan sihir pertamanya.
Hueeeeh... huaaah... “Aba!” Hampir setiap bangun nama Mas Raga selalu lebih dulu dipanggil sebelum ia menoleh kepadaku. Pagi itu, ia bangun agak lebih awal dari biasanya. ia pun menemukan cahaya matahari yang masih hanya segaris, tidak seperti biasanya yang sudah memnuhi ruangan baju. Tatapannya berhenti tiga sampai lima detik pada segaris cahaya itu, lalu menoleh kepadaku dan dengan mulut berkomat-kamit, mengucapkan berbagai bunyi yang tak kumengerti betul. Aku hanya yakin, “Kak Yoga mau tahu ya itu cahaya apa?” tanyaku padanya yang kembali dijawab dengan rangkaian bunyi serupa mantra.
**
Aku paling menyukai pagi ketika aba dan bunda masih sama-sama di rumah, bergerak ke sana kemari seperti mengajakku bekejar-kejaran. Hari ini aku bangun lebih pagi untuk menyaksikan keduanya bergerak lebih banyak, lebih jauh, lebih meriah. Aba sangat suka bermain air di sebuah meja yang dekat dengan banyak piring dan gelas. Sementara Bunda, biasanya main musik di atas kotak hitam yang menyemburkan api. Ibuku pernah berkata kalau kotak hitam itu disebut komor, kopor, begitulah! Aku tak terlalu peduli dengan sebutannya. Aku lebih suka dengan dua naga yang berbaris mengisi dua lubang bersebalahan di dalam kotak hitam itu. Mulut mereka menganga untuk menyemburkan api. Bahkan, mereka tetap membuka mulutnya ketika ibuku memutar sebuah lingkaran untuk memadamkan api. Ibuku pernah berkata kalau naga-naga itu sangat patuh dengan tujuan hidupnya setiap hari. Mereka setiap untuk membuat makanan-makananku terasa enak dan lezat.
Pagi ini kokok ayam seperti berbisik lebih kencang di samping telingaku. Aku terbangun ketika kamar masih gelap gulita. Pikirku, ini mungkin masih waktunya aku lanjut tidur, tapi kenapa maaku tak sanggup menutup lagi ya? Daripada berpikir aku pun melangkah keluar kamar. Aba dan bunda sudah bermain di tempat yang tak biasanya. Aba di kotak besar sedang mencari bajunya. Bunda duduk sambil misah-misahin bola-bola warna ungu dan putih dari kulitnya. Anehnya, bola warna ungu itu sering dikatakan bunda sebagai bawang merah. Sangat tidak sama dengan warna-warni yang biasanya diajarkan bunda kepadaku. Aku gak mau terima dong. Aku pun bertanya dengan bahasa yang sangat mudah dipahami bunda, walaupun kadang bunda tampak berpikir dulu lebih lama sebelum menjawab.
“Ini aslinya ya warnanya merah kak Yoga. Tapi, dia dan temen-temen bawangnya sangat akrab sama matahari. Bahkan, ketika mereka masih sembunyi di dalam tanah, matahari ngasih tahu caranya keluar. Nah, matahari kan warnanya kuning tuh ya, warna itu ketemu sama daunnya bawang merah, jadilah sebuah kekuatan berwarna biru. Akhirnya, kekuatan berwarna biru itu masuk ke dalam tubuhnya bawang merah. Jadilah bawang itu berwarna ungu ketika keluar dari dalam tanah.”
Bunda selalu menceritakan kisah ajaib padaku, kapan-kapan aku pengen ketemu sama bawang-bawang merah yang masih sembunyi di dalam tanah. Ketika itu, warnanya yang belum ungu ingin kupandangi dan kubawa pulang. Namun, kali ini bukan bawang yang sedang disinari matahari. Aku lihat cahaya matahari yang sangat kecil masuk dari atap rumah. Cahaya itu mengenai baju bunda yang berwarna merah. Aku terpaku dan melihatnya lekat-lekat. Pikirku, baju itu akan berubah menjadi ungu, tapi butuh berapa lama ya? Atau, berapa banyak cahaya yang dibutuhkan baju merah agar menjadi ungu ya?
Saat aku sudah tak tahu harus bagaimana aku pun memandang bunda, memberikannya pertanyaan yang sulit kujawab. Aku tahu, bunda selalu punya jawaban ajaib yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Setelah kata-kataku keluar, bunda pun berhenti sejenak sambil memandangku lekat-lekat. Lalu, jawaban yang kutunggu-tunggu pun datang.
“Kak Yoga penasaran ya sama cahaya itu. Di atas langit sana, matahari juga baru bangun tidur seperti Kak Yoga, ketika bangun tidur energinya belum penuh. Tapi, karena dia mencintai manusia dan tumbuhan dan hewan-hewan, ia tetap pengen ngasih energi semangat. Nah, energi semangat yang datang dari matahari pagi bisa membuat kita merasa hangat. Jika malam hari kita butuh selimut agar tubuh kita hangat, di pagi hari matahari ngasih kehangatan itu buat kita Kak Yoga.”
Aku mengangguk pelan dengan sebuah senyuman dan aku tertawa sebab aku senang. Aku senang dengan matahari pagi yang baru datang, pantesan aku udah gak kedinginan. Kletak, suara itu menghentikan tawaku. Kulihat aba berjalan ke arah sebuah wadah yang mengeluarkan asap. Aku kembali tertawa kegirangan. Aba sebentar lagi akan mengajakku bermain air. Busa-busa di bak mandiku juga sudah menggembung, memanggil-manggilku ke sana. Mereka bilang pengen main denganku, dengan bola berwarna putih dan biru, juga dengan bebek kuning yang suka berbunyi kalau kupencet punggungnya.
Ketika bermain air dengan aba, nyanyi-nyanyian gembira seperti tak pernah habis disuarakannya. Ciprat-cipratan air, lempar-lemparan busa, juga sikat gigi barengan. Aku suka megang sikat gigi aba untuk kugosokkan ke dalam mulutnya. Aku juga suka ketika aba menggosok gigi, gusi, dan lidahku, sambil nyanyi... naik kereta api Tut Tut Tut.
Hanya saja, ketika mandi udah selesai dan aba memberikanku baju-baju warna-warni untuk menutupi telanjangku, aku tahu aba akan segera gak kelihatan di rumah. Baru sore nanti aba akan pulang, kadang suaranya brewemmm, sambil pakai helm. Kadang suaranya nggengg... sambil muter-muter roda di tangannya.
Aku sedih kalau gak ada aba, tapi aku gak pernah galau kok. Sebab, bunda selalu berbisik di telingaku, "Aba bisa bergerak seperti angin kak! Pagi sampai sore itu aba terbang ke sana dan kemari buat nyariin tempat kita seneng-seneng nanti. Nanti ya, setiap sore aba akan muncul splash gitu kak! Kayak ninja."
Aku pun kembali tersenyum ketika bunda berbisik sambil memegang piring berisi ikan nila goreng, nasi putih, dan ubi kuning. Tangan bunda yang satunya megang gelas dengan warna merah dan kuning bercampur. Aku suka semua yang dibuat bunda dengan bantuan dua naga di kotak hitam yang selalu ada di dapur.
Waktu makan juga waktuku berlari. Aku tak pernah berhenti duduk diam karena aku tahu bunda akan berhenti menunjukkan keajaiban. Aku berlari, melihat kucing yang sedang berkumpul di ujung gang. Kulihat bunda masih mengejarku dari belakang.
Aku berhenti melihat kucing yang menggaruk-garuk lehernya. Aku bertanya kepada bunda tentang apa yang dilakukannya. Kali ini bunda tak banyak terdiam dan langsung memberi tahuku. "Kucing itu binatang yang turun dari bulan Kak. Makanya dia suka malam hari. Tapi, kalau dia lagi garuk-garuk itu artinya ada kutu yang lagi bangun rumah di atas badannya. Nah, kalau di bulan kutu-kutu gak bisa hidup kak. Pas kucing udah di bumi para kutu pun senang," kata bunda yang selalu diiringi senyuman.
Aku bertanya lagi dengan satu kata dan bunda udah tahu kalau aku pengen tahu tentang kutu. "Mereka itu suka dengan tubuh kucing kak, aslinya mereka makan darah kucing. Tapi, pas malam hari kucing pernah mengintip tubuhnya yang sedang digigit kutu. Hewan itu kurus kering, akhirnya sama kucing, kutu-kutu itu dibiarkan hidup, diberikan kepada mereka darah kucing. Satu syarat saja yang gak boleh kutu lakukan, yaitu loncat ke tubuh manusia."
Aku pun tahu kalau kucing sangat baik sama manusia. Aku jadi pengen punya kucing. Aku pengen meminta, tapi aku belum tahu caranya berbuat baik pada kucing. Yasudah, nanti aja kalau aku udah tahu cara ngasih makan kucing, aku bakal minta satu sama aba.
Kucing-kucing yang ngumpul di ujung gang pun pergi, begitu pula dengan makanan di atas piring yang dibawa bunda. Aku sudah melahap semuanya. Saatnya berlari lagi. Kali ini aku menuju rumah. Aku pengen main bola di depan pintu kamar bawah. Biasanya di sana ada cahaya yang terbang. Kalau-kalau nanti bunda lihat, aku pengen tanya keajaiban apa itu.
**
Bulan Oktober jarang sekali mengizinkan matahari bersinar hingga adzan maghrib berkumandang. Mendung yang datang sejak pukul 14.00 WIB menjadi selimut Kota Semarang yang terkenal dengan hawa panasnya. Boleh jadi mendung-mendung yang datang setiap hari ini bentuk kasih sayang Sang Kuasa yang tak boleh kenal lelah dalam merengkuh rejeki dari-Nya. Seperti biasa cerita pencarian rejeki juga sebuah kisah yang disambut Yoga dengan tawa, diilhami oleh orkestrasi cerita seharian yang Hanin lakukan bersamanya.
Sesampainya roda depan motorku di depan pagar rumah, Yoga dan Hanin sudah menungguku dengan senyuman. Sejuta cerita seperti musik yang segera mengalun dari bibir Hanin diikuti Yoga yang berlari kencang masuk ke dalam rumah. Setelah masuk ke dalam rumah, Yoga langsung berdiri di salah satu kamar bawah yang lebih banyak dipakai sebagai tempat properti kerjaku. Ada kamera, komputer, besi-besi hitam, dan piringan CD di dalamnya. Yoga sangat suka berdiri di depannya, begitu kata Hanin diikuti dengan lompatan-lompatan ala ninja yang dilakukan Yoga ketika keluar-masuk kamar itu.
“Hari ini Yoga sering sekali ke kamar kerjamu Mas, lari-larian, lompat-lompat. Fuuuuh... udah kayak ngejar kucing liar!” ucap Hanin dengan senyuman yang mencoba terus digariskannya. Aku tahu, dia pasti sangat kelelahan dan yang bisa kulakukan hannya satu, mengawasi Yoga dalam tingkah-polahnya dan membiarkan Hanin bernapas di atas kasur barang sejenak.
“Abaaaaa...” ucap Yoga sambil berdiri lekat di depan pintu kamar bawah. Ia memandangku, lalu kembali melihat kamar itu sambil berdiri tegak, terpaku, dan sebuah senyuman terbit di wajahnya yang masih lugu. “Ca... ha... ya...,” ucapnya pelan dan lambat sambil sesekali melihatku.
Aku pun segera mndatangi Yoga, maksudku agar segera bisa mengajaknya mandi, bermain air, seperti biasa yang kulakukan bersamanya. Namun, Yoga memandangku lekat, bertanya kepadaku tentang apa saja yang mungkin bisa kujawab ketika melihat cahaya yang dimaksud Yoga. Kupandang lekat-lekat ruangan itu, kucari dengan benar apa cahaya yang dimaksudkan Yoga.
Kupandang berbagai arah, tak ada cahaya yang benar-benar bisa dilihat ketika sore. Sebab, mendung membuat kamar ini kehilangan cara untuk mengambil cahaya yang ada di bumi. Hanya saja, setelah kulihat lagi dengan benar, terdapat CD yang menggantung di tembok bagian barat dari kamar itu. CD itu menggantung tinggi dan memberikan setitik cahaya yang berhenti pada dirinya sendiri. Aku bertanya kepada diriku, harus kukatakan apa cahaya itu? Padahal, kurasa cahaya itu tak benar-benar bisa dilihat Yoga.
“Cahaya itu adalah titipan Tuhan. Cahaya itu menjaga Kak Yoga setiap hari!” Hanin tiba-tiba datang sambil membawa segelas susu untuk Yoga dari dapur. Kurasa, Hanin tak benar-benar meihatnya, cahaya itu, jika benar dari CD yang tergantung di dinding barat, seharusnya itu tak terlihat. Obrolan ini pun usai dan Yoga segera berlari menuju kamar mandi dengan senyum sumringah. Ia mendapat jawaban yang kurasa sangat diinginkannya.
***
Mereka berdua hidup meenyisakan napas untuk menghela sebelum tidur. Tumpukan rasa lelah adalah bumbu senyuman yang tak pernah usai berhias, membuat Yoga tetap mau berlari, meelompati segala sesuatu dengan berani. Mereka menyerahkan segala kesempatan mencapai mimpi dengan sebuah kata — sabar. Berjalan pelan ke masa depan terjauh, mereka selalu berhadapan dengan anggapan orang yang tak pernah sejalan dengan yang sudah mereka kerjakan. Bukan berarti mereka tak pernah marah, sesekali, dua kali, tiga kali, dan pelukan menutup segala resah yang mereka alami setiap hari.
“Aku menyukai malam, aku meenyukai keluarga ini, seorang ibu yang mampu menyihir kehidupan dengan kata-katanya, membuat beragam cerita dari makhluk apapun yang terlihat di bumi. Seorang anak yang berlarian menyambut cerita itu dengan senyum abadi. Seorang ayah yang membiarkan kasihnya tersekat waktu dan tetap memberikan sayap kebahagiaannya. Tuhan menyaksikanku, terbang sebagai setitik cahaya yang mengelus di malam hari.”
***