Lompat ke isi

A Hui dan Meily (Bagian Pertama)

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Ilustrasi A Hui dan Meily (Bagian Pertama)

Kategori

[sunting]

Fiksi/Cerita bersambung

Pengantar

[sunting]

Penulis

[sunting]

Penulis bernama lengkap R. Ananta Kusuma Wibawa. Alumnus S1, Fakultas Hukum, Universitas Surabaya (Ubaya) Surabaya, tahun 1995. Berprofesi sebagai seorang advokat dan sejak tahun 2010, sering menjadi tenaga ahli fungsional dalam progam-program penyusunan kebijakan publik di berbagai instansi pemerintah daerah di Provinsi Jawa Timur.

Email: akwibawa88@gmail.com

Tema

[sunting]

Cerita Satir Roman Budaya.

Sasaran

[sunting]

Pembaca umum.

Sinopsis

[sunting]

Sepak terjang Wang Xiaohui (A Hui), yang menghalalkan segala cara untuk menunjukkan keunggulan jati dirinya, harus berjalan seiring dengan kepribadian kekasihnya, Meily, yang penuh ketabahan dan empati. Cerita satir ini dibungkus dengan sejumlah tradisi-filosofi Tionghoa dan nilai moral.

Lakon

[sunting]
  • Wang Xiaohui (A Hui)
  • Meily
  • Wang Xiaofeng
  • Anto
  • Kak Nana
  • Sin Fu
  • Om Swie
  • Tante Tjoe Yen
  • Mama Meily
  • Papa Meily
  • She Tjoen

Lokasi

[sunting]

Cerita Bersambung Bagian Pertama

[sunting]

Mengenang Masa Lalu

[sunting]
Panorama Kota Malang pada malam hari dilihat dari ketinggian Songgokerto, Batu.

Dari posisi ketinggian di sebuah rest area di Songgokerto, Kota Batu, termangu dia menatap gemerlap cahaya kota Malang di kejauhan pada malam ketiga Sin Ngian.1 Namanya Wang Xiaohui, dipanggil A Hui. Seorang pemuda Tionghoa yang ganteng dan pandai. Keluarganya tinggal di lingkungan kecamatan yang agak menjorok ke dalam, di suatu wilayah kabupaten, di salah satu pulau di Indonesia. Papanya seorang juragan toko kelontong sekaligus pemilik dua toko bahan bangunan yang paling besar di situ sehingga mampu memperkuat pundi-pundi kekayaan keluarga.

Bersama karibnya, Sin Fu, mereka merenungi nasib, seusai kalah berjudi dalam jumlah besar. Kekalahan yang bakal merubah jalan hidupnya ke depan. Benaknya menerawang kembali dialog empat tahun yang lalu dengan papanya di kampung halaman.

Papa A Hui, Wang Xiaofeng, termasuk orang Tionghoa berwawasan luas dan tidak berpikiran sempit. Ia menginginkan anaknya bisa menempuh pendidikan yang lebih tinggi dan mampu mengembangkan usaha keluarga dalam payung usaha yang lebih mapan dan luas. Pendeknya, dia ingin A Hui bisa bikin badan usaha sejenis P.T. 2 yang akan memiliki daya usaha yang lebih kuat dan bisa berkembang antar pulau.

Dalam suatu kesempatan berbincang dengan anak sulungnya itu, Xiaofeng sempat memberikan petuah bijak, “A Hui, kau tahu perdagangan di masa mendatang akan butuh kemampuan lebih canggih dan tidak sekedar dikelola macam toko kita sekarang ini. Keluarga kita, secara kultural, adalah suku bangsa pedagang dan senantiasa berkembang mengikuti dinamika masyarakat beserta segala aspeknya.”

Ilustrasi kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan dalam perdagangan antar pulau.

“Heeh...Papa pengin kamu coba pertimbangkan bisa ambil kuliah manajemen. Mudah-mudahan nanti bisa kembangin usaha keluarga kita, sambil diperluas usahamu sendiri. Buatlah payung usaha besar kayak P.T. – P.T. di Jakarta itu. Nanti bukan tidak mungkin anak Papa bisa punya P.T. besar dari daerah yang punya pengaruh besar buat perdagangan di Indonesia,” pungkasnya dengan penuh harap.

A Hui merespon papanya dengan perbedaan cara pandang yang cukup tajam, “Papa, A Hui paham harapan papa. Tetapi kalau A Hui boleh berharap, A Hui pengin ambil kuliah arsitektur, pa. Begini lho...”

Haiyaa, kok arsitektur sih?” potong Xiaofeng dengan sorot mata tajam, yang sepintas kurang senang dengan jawaban anaknya yang dipikirnya nyeleneh. Sambungnya, “Kita ini sudah punya potensi dan kemampuan menguasai bahan baku material dari daerah ini. Belum lagi berbagai penyalur di beberapa pulau tetangga yang jadi relasi kuat papa. Itu aja dulu yang perlu dikembangkan. Cuma papa ini belum mampu kembangin kemampuan dalam manajemen yang lebih rapi dan kuat. Papa pengin kamu bisa punya kemampuan itu. Gitu, lho. Nanti kalau sudah kuat, baru kamu bisa maju lagi ke bidang-bidang lain, termasuk jasa. Kerjaan arsitek itu termasuk jasa, A Hui. Kuatin potensi perdagangan barang dulu.”

A Hui yang punya kemampuan luwes dalam berbicara dan paham beragam teknik mengambil hati, segera menyampaikan jawaban pamungkas, “Gini lho, Pa, sekarang ini, ilmu pengetahuan sudah berintegrasi satu sama lain. Manajemen memang jadi fakultas sendiri, tapi pengetahuan manajemen sudah diajarkan di lintas fakultas. Malah A Hui juga dikasih pelatihan manajemen di berbagai aktivitas sekolah, kok. A Hui senang desain dan pengin kembangin kemampuan jadi arsitek. Nanti, di situ juga diajarin ilmu pengetahuan manajemen untuk pelengkap profesi jasa.”

Lebih jitu lagi, A Hui segera keluarkan jurus perhitungan, ”Kalau A Hui ambil arsitektur, trus sekaligus di situ juga dapat tambahan pengetahuan manajemen, kan biaya kuliah yang papa keluarkan jadi lebih hemat. Bayangin, pa, bayar satu dapat dua fakultas.” Begitulah gaya A Hui memberi gambaran seperti memperagakan bahasa promosi, ”Beli Satu Dapat Dua”.

Demi mendengar jawaban sang anak yang menurutnya luar biasa itu, karena tidak ketinggalan menyertakan perhitungan keuntungan, Xiaofeng pun tersenyum lebar dan langsung menimpali dengan penuh semangat, ”Wuih! Lu memang ho keng! 3 Anak papa nggak cuma ganteng, tapi juga pinter banget. Yah, ok, ambillah arsitektur. Lu mau kuliah di mana?”

Pusat Kota Malang dengan latar belakang Gedung Balai Kota Malang.

”Di Malang, Jawa Timur, pa. Enak, universitasnya bagus-bagus, udaranya adem-ayem. A Hui bisa konsentrasi dan nyaman dalam belajar. Apalagi, di Malang banyak bangunan model Eropa, tinggalan jaman kolonial, yang diberi cagar budaya dan masih terpelihara. Itu penting untuk dasaran ilmu arsitektur. Jadi suasananya kayak di Eropa. Pendeknya, itu keuntungan juga, karena kuliah dalam negeri, toh ya bisa merasakan suasana negara Eropa. Terus, A Hui juga pernah baca pernyataan Gubernur Jawa Timur, kalau Provinsi Jawa Timur itu pusatnya UMKM 4. Nah, berarti di sana banyak peluang usaha baru yang lebih kreatif dan potensinya luar biasa.”

Xiaofeng manggut-manggut dan roman mukanya menunjukkan gambaran kepuasan. Sang putra mahkota nampak begitu optimis dengan pilihannya, bahkan mampu menyelaraskan maksud hati sang ayah dengan tingkat penyampaian yang luar biasa. Dalam benak khayalnya, A Hui akan menjadi seorang taipan dan membawa kebesaran nama marga Wang menapak ”langkah naga” dari pulau tersebut untuk meningkat di pentas nasional. ”Seorang taipan NKRI baru akan lahir,” bisik Xiaofeng dalam hatinya.

Pukulan Nasib Sial

[sunting]
Simbol Yin dan Yang.

Kini, A Hui sedang bingung memikirkan nasibnya yang sedang tidak menentu. Kegemaran A Hui yang negatif adalah bermain judi. Yah, gemar berjudi adalah salah satu bentuk perilaku buruk suku Tionghoa, di samping perilaku positif yang rajin berdagang. Bagi orang Tionghoa, perilaku ini tidak lebih merupakan ekses dari perilaku sepekulatif, yang secara alamiah merupakan pasangan dari kehidupan perdagangan. Persis seperti konsep gambaran pasangan kekuatan Yin dan Yang, dalam filosofi Tionghoa, dengan warnanya yang kontras, hitam dan putih.

Tiga tahun sebelumnya, selama masa studi di Malang, A Hui menemukan penyaluran kegemaran lamanya di kampung halaman, yaitu permainan judi dadu, yang biasanya diselenggarakan khusus di Tahun Baru Imlek.

Ilustrasi lukisan digital kawasan pecinan Pasar Besar, Malang, Jawa Timur.

Saat itu, teman kuliah A Hui, si Sin Fu, dapat bocoran dari kakak seniornya, Liem Tiong, kalau di seputar kawasan Pasar Besar, Malang, masih ada komunitas Tionghoa yang menyelenggarakan judi dadu Ikan-Udang-Kepiting. Memasuki malam ketiga Sin Ngian, pada tahun itu, A Hui dan teman-temannya betul-betul menyempatkan diri mendatangi tempat judi tersebut. Kegiatannya diselenggarakan di paviliun rumah Om Swie yang ramai didatangi pengunjung.

Saat itu, A Hui dan Sin Fu hanya ingin mengamati saja. Mereka tidak pernah pasang taruhan besar. Temannya yang lain, She Tjun, harus pasrah menerima nasib setelah uang jatah angpao 5 dan hasil usahanya berjualan VCD porno ludes begitu saja. Cuma tersisa beberapa lembar lima ribuan. “Ceceku 6 sudah pernah wanti-wanti agar aku tidak pasang taruhan di sana. Para bandar itu memainkan dadu mereka macam setan!” sungutnya.

Gelaran Permainan Dadu Ikan-Udang-Kepiting

Namun pada tahun berikutnya, A Hui dan Sin Fu mulai berhitung. Mereka pelajari selama enam bulan kemampuan berjudi para bandar di sana pada saingan Om Swie, yaitu Tante Tjoe Yen, agar bisa mengalahkan mereka di Tahun Baru Imlek. Mereka punya keyakinan bahwa dalam permainan macam ini, setiap pelaku punya titik lemah. Karena itu, sejago-jagonya mereka mengocok dadu, akan ada saatnya kena sial.

Keyakinan itu pun terbukti. Pada malam kedua Sin Ngian, gambar-gambar yang dipasang A Hui dan Sin Fu, keluar terus-menerus pada dadu-dadu yang dilempar salah satu bandar Om Swie. Sin Fu mengantungi azimat dari Tante Tjoe Yen, berupa selembar celana dalam mini Tante Tjoe Yen, berwarna hitam, yang tidak dicuci selama seminggu, dilipat, dan dibungkus kertas Hu. 7

Dadu-dadu Ikan-Udang-Kepiting

A Hui dan Sin Fu begitu percaya diri dan terus menerus menambah taruhannya. Gabungan uang kuliah dua semester dan uang angpao mereka, dipertaruhkan tahap demi tahap. Bahkan ditambah sejumlah uang kemenangan dipertaruhkan kembali. Dengan keberuntungan sesaat, entah barangkali Cai Sin Ya 8 sedang berkenan, mereka malam itu bertaruh besar dan menang besar.

Ilustrasi Dewa Kekayaan - Cai Sin Ya.

Malang tak dapat ditolak, keberuntungan itu rupanya tak bertahan lama. Mereka melupakan pantangan yang ditekankan Tante Chu Yen agar tidak bermain melebihi satu malam.

Pada malam ketiga, kembali mereka mencoba peruntungan, dan tanpa belas kasih, pasukan Om Swie berhasil meraup uang mereka dalam waktu sejam. Sin Fu yang sudah berangan-angan membeli sepeda motor baru jadi menyumpah serapah,” “Lanciau lah! 9  Itu orang kuai ku 10 banget!”

A Hui pun tidak kalah stres. Terbayang sudah di depan mata, hamparan lorong suram yang akan segera dimasukinya tanpa kerelaan sama sekali. Keadaannya sudah memenuhi tiga jenis kriteria “rasa panik” yang pernah dirumuskan oleh Sigmund Freud dalam ilmu kejiwaan.

Dari segi obyektif, A Hui mendapati fakta ia sudah jatuh miskin. Kini “harta” yang dimilikinya sudah direngut “setan”, akibat kecerobohan pikiran, perilaku dan tindakannya yang melebihi batas-batas rasional.

Dari segi neurotis, pola pikir A Hui yang bersifat materialistis membuatnya merasa tidak digdaya lagi saat tidak memiliki cukup uang. Dia sudah terbentuk sebagai pribadi anak manja yang lebih mengandalkan harta orang tua. Kemampuan yang terbina dari pribadinya yang buruk adalah bagaimana caranya bisa ngibuli orang tua untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya.

Sedangkan dari segi moral, dia mulai merasa takut bila teman-temannya akan mulai menjauhinya karena miskin.

Bersambung ke bagian kedua →

Keterangan

[sunting]

Cerita ini fiktif semata. Semua nama dan karakter yang digambarkan dalam cerita ini, tidak dan tidak harus dianggap identik dengan figur yang nyata, baik yang masih hidup, maupun yang sudah meninggal.


[1] Sin Ngian: Dialek Cina-Hakka, terjemahannya “Tahun Baru Imlek”.

[2] P.T. singkatan Perseroan Terbatas, yaitu suatu bentuk badan hukum untuk menjalankan usaha, yang merupakan persekutuan modal, berupa kekayaan yang dipisahkan.

[3] Ho keng: Mandarin, terjemahannya “Hebat”.

[4] UMKM adalah singkatan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yaitu ukuran atau skala usaha di Indonesia, yang diukur dari besar aset dan omzet usaha.

[5] Angpao: dialek Hokkian, dalam bahasa Mandarin disebut “Hung Bao”, adalah amplop merah yang biasanya berisikan sejumlah uang sebagai hadiah menyambut Tahun Baru Imlek. Sejak lama, warna merah melambangkan kebaikan dan kesejahteraan di dalam kebudayaan Tionghoa. Warna merah menunjukkan kegembiraan, semangat yang pada akhirnya, akan membawa nasib baik bagi penerimanya.

[6] Cece: dialek Hokkian, terjemahannya adalah Kakak Perempuan.

[7]  Hu: dialek Hokkian. Sering juga disebut Shenfu. Yaitu kertas berwarna kuning, yang biasanya diberi tulisan permohonan, doa dan berkat oleh para Daoshi (pendeta Tao), atau para medium yang dipercaya oleh penganut Taoisme merupakan perintah langsung dari Dewa/Dewi sebagai ramuan obat (penawar) untuk penyakit. Bisa dilihat dalam film-film Vampire Cina, biasanya sang vampire/Jiangshi akan berhenti bergerak setelah selembar Hu ditempel di jidatnya.

[8] Cai Sin Ya: dialek Hokkian, terjemahannya adalah Dewa Kekayaan.

[9] Lanciau: berupa makian kasar dalam dialek Hokkian, yang terjemahannya “kemaluan laki-laki”.

[10] Kuai ku: dialek Hokkian, terjemahannya adalah Licik.