Mengenal Depresi Pasca-Skizofrenia

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Versi final pertama dari Wikibuku ini telah selesai dituliskan pada tanggal 10 September 2020 pukul 10.27 WIB.

Merupakan bagian dari himpunan Wikibuku Pengantar Dasariah Kesehatan Jiwa: untuk Masyarakat Awam.

Depresi Pasca-Skizofrenia adalah episode depresi yang muncul setelah penyakit skizofrenia terlewati, di mana beberapa gejala alam perasaan [suasana hati] khas skizofrenia yang berada di bawah kadar-normal masih hadir.[1] Seseorang yang mengalami depresi pasca-skizofrenia dapat mengalami gejala-gejala depresi dan juga gejala-gejala skizofrenia dalam kadar yang lebih rendah. Sayangnya, depresi sebagai gejala-gejala yang umum ditemukan pada orang dengan skizofrenia tidak dikenali selama bertahun-tahun sebelum orang lain menyadari kehadirannya pada diri sang pasien.[1]

Hanya ada riset yang sangat sedikit dalam hal ini, artinya hanya ada sedikit jawaban tentang bagaimana seharusnya depresi pasca-skizofrenia didiagnosa, diobati, atau bagaimana ciri khas dari penyakit ini. Sejumlah ilmuwan akan membantah sepenuhnya keberadaan depresi pasca-skizofrenia ini, memaksakan ia hanya sebagai tahapan dalam skizofrenia secara keseluruhan. Akhir-akhir ini, depresi pasca-skizofrenia secara resmi dikenali sebagai satu penyakit (syndrome) dan dianggap sebagai salah satu jenis (sub-type) dari skizofrenia.

Gejala[sunting]

Karena ciri khas dari skizofrenia akut mirip dengan depresi, merupakan hal yang sulit untuk membedakan kadar normal dari depresi pada pasien dengan skizofrenia dengan kadar depresi pasca-skizofrenia. “Secara subyektif, alam perasaan di bawah normal dan alam perasaan yang datar – sebagai ciri khas dari gejala negatif – yang keduanya secara jelas terlihat, adalah dua gejala khas yang paling membantu dalam membedakan [skizofrenia dan depresi].”[1] Sejumlah peneliti percaya bahwa depresi sebenarnya adalah gejala skizofrenia yang tertutupi oleh psikosis.[2] Meskipun kedua ciri khas ini biasanya mulai muncul setelah episode psikosis pertama jika memang mereka akan muncul sepenuhnya.[3]

Secara resmi, diagnosa akan depresi pasca-skizofrenia pada seorang pasien membutuhkan sang pasien tersebut untuk mengalami sebuah episode depresi, baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang yang menyusul gangguan skizofrenia yang telah tertangani. Sang pasien harus menunjukkan beberapa gejala skizofrenia akan tetapi gejala skizofrenia itu tidak lagi merupakan fokus dari penyakit tersebut. Biasanya gejala-gejala depresi tidak cukup parah untuk digolongkan sebagai episode depresi yang berat. Secara resmi, diagnosa mengikuti sang pasien yang mengalami skizofrenia setelah setahun berlalu, sejumlah gejala skizofrenia dan depresi hadir selama jangka dua minggu berturut-turut atau lebih lama dari itu. Tanda-tanda skizofrenia yang lebih ringan mungkin terdiri atas penarikan diri dari pergaulan sosial, rasa tergugah/terhasut atau menyerang secara verbal terhadap orang lain, serta tidur yang tidak teratur — seperti susah tidur atau terlalu banyak tidur.

Penyebab[sunting]

Tidak ada sebab yang jelas tentang bagaimana pasien dengan skizofrenia mengembangkan depresi pasca-skizofrenia sementara yang lainnya melewati tahapan ini. Akan tetapi, ada beberapa teori tentang sebab-sebab yang mungkin. Mereka yang mengalami depresi pasca-skizofrenia seringkali mengalami isolasi sosial karena penyakit mereka, yang justru menambah kadar depresi mereka.[4] Ada bukti yang kuat tentang isolasi yang terkait stigma bagi yang mengalami penyakit kejiwaan dalam masyarakat yang berlainan, terutama mereka yang mengalami skizofrenia dipandang sebagai berbahaya dan [perilakunya] tidak dapat diprediksi.[4]

Karena penelitian yang mengaitkan antara isolasi sosial dan depresi ini, menjadi terbuka kemungkinan bagi pasien yang berada di bawah tekanan stigma akhirnya mengembangkan depresi pasca-skizofrenia.[5] Depresi pada pasien dengan skizofrenia bisa disebabkan oleh penyalahgunaan zat, yang cukup umum di antara orang yang mengalami skizofrenia, yang dipakai karena penekan sistem saraf pusat (depressant) seperti alkohol dan ganja dapat merilekskan sang pasien.[6] Lebih jauh lagi, dengan sedikit informasi yang kini diketahui tentang depresi pasca-skizofrenia , awal (onset) [skizofrenia] mungkin disebabkan karena pasien dengan skizofrenia tersebut tidak diberikan antipsikotik.[7] Setelah mulai diberikan antipsikotik, dosis antidepresan untuk pasien dengan skizofrenia harus mulai ditingkatkan, ketika mereka yang berada di bawah pengobatan antipsikotik dilaporkan mengalami lebih sedikit gejala-gejala depresi, maka hal itu memberikan argumen untuk percaya bahwa kurangnya penggunaan antipsikotik pada tahap awal skizofrenia dapat mengakibatkan orang tersebut untuk mengalami depresi pasca-skizofrenia.[8]

Akan tetapi, beberapa profesional dalam bidang psikologi masih memaksakan pengurangan penggunaan antipsikotik, sejalan dengan kepercayaan populer bahwa depresi pasca-skizofrenia disebabkan oleh penggunaan antipsikotik. Terapis juga diyakini untuk [turut] terlibat dalam [penanganan] depresi pada orang dengan skizofrenia, dengan banyak memberikan terapi wicara setelah sang pasien mengatasi gejala-gejala skizofrenianya. Skizofrenia itu sendiri hendaknya jangan dilihat sebagai bukan penyebab depresi pasca-skizofrenia ini. Penelitian yang dilakukan selama dua tahun yang mengamati pasien dengan skizofrenia serta memantau depresi mereka gagal untuk menemukan penyebab potensial seperti yang telah disebut di atas, maka kemungkinan merupakan karakter (nature) dari skizofrenia itu sendirilah yang menjadi sebab utamanya.

Bunuh Diri[sunting]

Mereka yang mengalami depresi pasca-skizofrenia juga umum untuk punya resiko untuk bunuh diri.[1] Ada trend untuk mengaitkan antara bunuh diri dengan depresi pasca-skizofrenia berdasarkan penelitian Mulholland dan Cooper dalam The Symptoms of Depression in Schizophrenia and its Management [Gejala-Gejala Depresi pada Skizofrenia dan Pengelolaannya]. Lebih jauh dari itu, depresi dan skizofrenia telah diteliti secara mandiri oleh berbagai pihak untuk coba menentukan apakah ada kaitan antara keduanya, dan penelitian telah mengindikasikan bahwa ada kecenderungan untuk pasien dengan depresi atau dengan skizofrenia untuk bunuh diri.[9]

Menurut statistik, dari keseluruhan pasien dengan skizofrenia, “10 %... berhasil mati karena bunuh diri. Pasien depresi pasca-skizofrenia punya resiko yang tinggi untuk bunuh diri pada bulan-bulan pertama setelah diagnosa dan setelah pulang dari rawat-inap di rumah sakit.” Faktor resiko yang meningkatkan kemungkinan untuk bunuh diri adalah – dari yang tertinggi ke yang terendah – riwayat depresi sebelumnya, riwayat percobaan bunuh diri, penyalahgunaan obat, dan beberapa faktor lainnya. The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders [panduan penggolongan gangguan jiwa dan perilaku yang diterbitkan oleh WHO – penerjemah] secara resmi mengenali bunuh diri sebagai aspek yang menonjol pada depresi pasca-skizofrenia. Karena peningkatan yang tajam dalam hal bunuh diri ini, merupakan hal yang sulit untuk mempelajari depresi pasca-skizofrenia seiring dengan banyak korbannya yang meninggal karena hal ini.

Pengobatan[sunting]

Selama bertahun-tahun, para ahli berdebat apakah antipsikotik punya kecenderungan atau tidak untuk meningkatkan depresi atau sebaliknya: membantu pasien mengelola penyakit kejiwaan mereka. Akan tetapi, bukti mengarahkan pada kesimpulan bahwa antipsikotik nyata-nyata membantu pasien untuk mengatasi depresinya bersamaan dengan manfaatnya untuk menekan episode skizofrenianya.[8] Secara spesifik risperidon, olanzapin, quetiapin, flufenazin, haloperidol, dan L-sulpiride telah terbukti merupakan obat terbaik berdasarkan uji klinis dalam kaitannya dengan gangguan skizofrenia.[10]

Bersama dengan pemberian antipsikotik pasien mungkin saja diiringi dengan pemberian antidepresan untuk secara aktif mengobati depresinya. Obat-obatan tentu saja bukan jawaban satu-satunya. Pada dasarnya, baik pada depresi maupun skizofrenia, penarikan diri dari pergaulan sosial adalah sama-sama gejala dari kedua penyakit tersebut. Orang dengan skizofrenia membutuhkan sistem dukungan yang kuat untuk tetap sehat, sebagaimana anggota masyarakat lainnya. Kesempatan untuk menjadi anggota masyarakat yang setara adalah cara lain untuk mengenyahkan depresi pada pasien dengan skizofrenia, maka bantulah mereka untuk menciptakan ikatan sosial dan membuat perasaan telah berhasil mencapai sesuatu.

Kepustakaan[sunting]

Diterjemahkan dari "Post-schizophrenic depression". Wikipedia Bahasa Inggris. https://en.wikipedia.org/wiki/Post-schizophrenic_depression

Catatan Akhir[sunting]

  1. 1,0 1,1 1,2 1,3 “The symptoms of depression in schizophrenia and its management”. Advances in Psychiatric Treatment. 1 May 2000.
  2. “Post-schizophrenic depression”. Annales Medico-Psychologiques. Juni 1975.
  3. Ivanets, NN; Kinkul’kina, MA (2008). “Depression in schizophrenia”. Vestnik Rossiiskoi akademii medistinskikh nauk (10): 55–63. PMID19140400.
  4. 4,0 4,1 “Attitudes of mental health professionals toward people with schizophrenia and major depression”. Schizophrenia Bulletin.
  5. “Stigmatisation of people with mental illnesses”. The British Journal of Psychiatry. July 2000.
  6. “Substance abuse in first-episode schizophrenic patients: A retrospective study”. Clinical Practice and Epidemiology in Mental Health.
  7. Outpatient maintenance of chronic schizophrenic patients with long-term fluphenazine: double-blind placebo trial”. British Medical Journal.
  8. 8,0 8,1 “Dysphoric and depressive symptoms in chronic schizophrenia”. Schizophrenic Research. 1989.
  9. “Depressive, suicidal behaviour and insight in adolescents with schizophrenia”. European Child & Adolescent Psychiatry. 15: 352–359. 7 April 2006. doi:1007/s00787-006-0541-8.
  10. Samuel, Siris. “Treating ‘depression’ in patients with schizophrenia”. Current Psychiatry. August 2012.