Permainan Tradisional Kabupaten Ciamis/Cingciripit
Cingciripit
[sunting]C ingciripit adalah permainan untuk semua kalangan usia, yang fungsinya mirip seperti suten, suten Jepang, dan hompimpah. Yaitu undian sebelum mengawali permainan. Namun, selain sebagai undian dalam sebuah permainan, cingciripit juga bisa dijadikan permainan mandiri, biasanya oleh anak-anak yang masih kecil. Permainannya dilakukan di dalam rumah. Permainan cingciripit ini adalah permainan yang menggunakan kakawihan atau nyanyian. Nyanyian cingciripit yang biasa digunakan oleh anak-anak yang ada di Kabupaten Ciamis adalah sebagai berikut: [1]
Cing ciripit
tulang bajing kacapit
kacapit ku bulu paré
bulu paré seuseukeutna
jol pa dalang
mawa wayang jrék-jrék nong[1] [2]
Ada lagi versi kakawihan cingciripit versi lain yaitu:
Cing ciripit
gulali-lali lobang
Saha nu kacapit
éta tunggu lawang
Alat Permainan
[sunting]Tidak membutuhkan alat berupa barang dalam permainan ini, hanya menggunakan jari telunjuk dan salah satu telapak tangan dari peserta permainan.
Cara dan Aturan Bermain
[sunting]Cara bermain permainan cingciripit semua peserta permainan berkumpul, membentuk lingkaran dan berdekatan. Salah satu dari peserta membuka telapak tangannya, serta sisanya menaruh telunjuk di atasnya. Setelah semua kebagian tempat di atas telapak tangan, barulah bernyanyi bersama-sama, menyanyikan lagu cingciripit, setelah lagu hampir selesai, orang yang membuka telapak tangan harus cepat-cepat menangkap salah satu telunjuk yang tadi nempel di atasnya, begitu pun yang menempelkan telunjuk, harus cepat-cepat mengangkatnya tinggi-tinggi agar tidak kena tangkap. Peserta yang telunjuknya tertangkap, dialah yang akan menjadi ucing dalam permainan ucing-ucingan, terutama permainan ucing udag, tapi bisa juga digunakan untuk permainan lain, seperti ucing sumput. Atau digunakan juga untuk permainan seru-seruan biasa, jika yang kalah maka dia akan mendapatkan hukuman atau tantangan pada jenis permainan tertentu.
Nilai Permainan
[sunting]Banyak sekali nilai yang terkandung pada permainan cingciripit ini salah satunya adalah nilai sosial dan kebersamaan, melatih kecepatan, melatih konsentrasi dan kefokusan. Hal ini tercermin pada permainan ini ketika kita tidak fokus dan tidak cepat maka akan mengalami kekalahan.
Makna lain disampaikan dalam Azzahro (2015) yang mengartikan gerakan telapak tangan salah satu pemain itu adalah melambangkan atau menggambarkan seorang pemimpin, dan peserta pemain lainnya yang meletakan telunjuk pada telapak tangan menggambarkan anggota atau bawahannya, sedangkan makna dari telapak tangan yang terbuka melambangkan bahwa pemimpin itu harus terbuka terhadap segala bentuk kritik dan aspirasi.[3]
Tapi sesekali pemimpin juga akan menjadi ancaman untuk para bawahannya, berbahaya jika si pemimpin tersebut sudah terlalu berkuasa. Pada permainan cingciripit digambarkan pada gerakan anak yang membuka telapak tangan tadi, akan tiba-tiba menangkap salah satu telunjuk dari anggotanya.
Nilai dan Makna Filosofis pada Kakawihan
[sunting]Selain nilai yang terkandung pada aktivitas permainannya, pada kakawihan atau lagu cingciripit juga sarat akan nilai dan makna filosofis. Lagu cingciripit, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih:
Cing ciripit
tulang bajing kecapit
kecapit oleh bulu padi
bulu padi yang tajamnya
datang pa dalang
bawa wayang jrek-jrek nong
Untuk terjemahan versi lainnya:
Cing ciripit
gulali-lali lubang
siapa yang kecapait
dia yang menunggu lobang
Cing ciripit
tulang bajing kacapit
Pada bait lagu tersebut menggambarkan makna bahwa hidup itu harus selalu berhati-hati. terutama dalam bertindak, jangan meniru kelakuan bajing yang sering terjepit di dahan pohon. Makna pada bait ini sependapat dengan Sabaria (2020), yang menjelaskan bahwa kita sebagai manusia jangan sampai menjadi orang yang terjepit. Baik itu terjepit oleh kemiskinan atau pun terjepit oleh ilmu pengetahuan.[4]
Bait selanjutnya adalah:
kacapit ku bulu paré
bulu paré seuseukeutna
Pada bagian ini memiliki makna filosofis bahwa apalagi jiga tercapit atau tertusuk oleh bulu padi yang paling tajam, rasanya akan sangat menyakitkan, padahal, padi adalah sebagai representatif tokoh mitologi yaitu Dewi Sri yang terkenal dengan kecantikan dan kebaikannya. Hal ini bermaksud bahwa sekali pun hal baik, kita harus hati-hati karena tidak menutup kemungkinan akan mencelakai atau menyakiti kita.
Hal ini sependapat juga dengan Sabaria (2020), yang menyebutkan bahwa padi seharusnya ditanam dan dimanfaatkan untuk meneruskan perjuangan hidup, dan jangan sampai padi yang dianggap baik, jenis tumbuhan yang diagungkan yapi malah mencelakai kita.[5]
Bait terakhir:
jol pa dalang
mawa wayang jrék-jrék nong
Dalang, dalam kehidupan orang Sunda, merupakan tokoh filosofis yang dalam pewayangan dianggap sebagai “Tuhan” yang menggerakan kehidupan. Hal ini sering menjadi ungkapan dalam bahasa Sunda bahwa “hirup lir ibarat wayang, usik malikna ku dalang” yang berarti hidup itu seperti wayang, yang digerakan oleh dalang. Dengan demikian makna dari bait terakhir ini, kita harus selalu ingat bahwa hidup itu hanya atas kehendak Tuhan. Segala sesuatunya tidak lepas dari skenario-Nya.
Pendapat lain mengenai makna lirik lagu cingciripit juga disampaikan dalam Putra dkk (2020), yang menyebutkan bahwa makna dari lirik tersebut adalah kita sebagai makhluk berakal yang menjalankan kehidupan, kita harus cekatan dan berusaha meraih peluang yang ada di depan mata.[6]
Rujukan
[sunting]- ↑ 1,0 1,1 Ditulis berdasarkan pengalaman dan pengamatan langsung.
- ↑ Hidayat, Rachmat Taufiq. Dkk. 2010. Peperenian Urang Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
- ↑ Azzahro, N. 2015. Makna Simbolik Permainan Cingciripit serta Manfaatnya bagi Pendidikan Karakter Anak. International Seminar Language Maintenance and Shift V Proceeding. ISSN: 2088-6799.
- ↑ Sabaria, R. 2020. Cingciripit: Permainan Anak-anak Sunda dalam Pembelajaran Tari. Gondang: Jurnal Seni dan Budaya, 4 (1): 69 – 79.
- ↑ Sabaria, R. 2020. Cingciripit: Permainan Anak-anak Sunda dalam Pembelajaran Tari. Gondang: Jurnal Seni dan Budaya, 4 (1): 69 – 79.
- ↑ Putra, A; F. Junaidi; Y. Fitri. 2020. Literasi Budaya: Kajian Nilai Filosofis Kaulinan Cingciripit dan Pemanfaatannya sebagai Sarana Penguatan Karakter pada Orang Dewasa. Jurnal Kebudayaan, 15 (2): 119 – 130.