Tantu Panggelaran

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Inilah kitab Tantu Panggelaran, yang dipersembahkan oleh Tuanku, semua (harus) berdiam diri untuk mengetahuinya; nah ...! nah ...!, buatlah dirimu nyaman di dalam mendengarkan cerita tentang "Pulau Jawa Pada Zaman Purbakala".

Keberadaan Pulau Jawa Pada Zaman Purbakala[sunting]

(Alkisah pada zaman itu) belum ada manusia, bahkan Gunung Mahameru belum ada di pulau Jawa. Adapun keberadaan Gunung Mandalagiri, yakni gunung yang besar dan tinggi itu, yang dijadikan contoh tersebut, (masih) berada di bumi Jambudipa (India).

Oleh karena itu, pulau Jawa bergoyang-goyang, selalu bergerak-gerak, berguncang-guncang, sebab belum ada gunung Mandara, bahkan manusia.

Oleh karena itu, Bhatara Jagatpramana berdiri, dia mencipta pulau Jawa bersama Bhatari Parameswari, sehingga terdapatlah Gunung Dihyang (Dieng), tempat Bhatara mencipta. Demikianlah ceritanya.

Lama sekali Bhatara mengadakan ciptaan, dia memerintahkan Brahma Wisnu membuat manusia. Nah, tanpa membantah Brahma Wisnu membuat manusia. Tanah dikepal-kepalnya dan dibuat manusia yang sangat elok rupanya seperti rupa dewata. Manusia laki-laki dibuat oleh Brahma, manusia perempuan dibuat oleh Wisnu.

Manusia-manusia buatan Brahma Wisnu itu dipertemukan, mereka saling rukun bersama, saling kasih mengasihi. Lalu mereka beranak, bercucu, berlipat-lipat banyaknya, berkembang-biak, menjadi banyaklah jumlah manusia. Namun (mereka hidup) tanpa rumah, laki-perempuan telanjang di hutan, menaungi/melindungi anak-cucu, sebab belum ada pekerjaan yang dibuatnya, belum ada yang (dapat) ditirunya, tanpa celana, tanpa busana, tanpa selendang, tanpa kain panjang (basahan), tanpa ikat pinggang (kendit), tanpa kuncung, tanpa ikat kepala. Berucap tetapi tak tahu apa yang dikatakannya, tidak tahu artinya, daun-daunan dan buah-buahan dimakannya. Demikianlah asal-muasal manusia pada zaman purba.

Maka dari itu para dewata berkumpul dan bermusyawarah menghadap kepada Bhatara Guru. Bhatara Jagatnatha itu menyuruh para dewata membuat tempat tinggal di seluruh Pulau Jawa. Demikianlah kata Bhatara Mahakarana:

"Anakku, Brahma, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Pertajamlah benda-benda tajam, misalnya: panah, parang, pahat, pantek, kapak, beliung, segala pekerjaan manusia. Engkau akan disebut pandai-besi. Engkau akan mempertajam benda-benda tajam itu di tempat yang bernama Winduprakasa. Ibu jari (kw. empu) kedua kakimu mengapit dan menggembleng, besi anak panah dikikir. Panah itu menjadi tajam oleh ibu jari kedua kaki, maka dari itu engkau akan disebut Empu Sujiwana sebagai pandai-besi, karena ibu jari/empu dari kakimu mempertajam besi. Oleh karena itu, tukang pandai-besi disebut empu, karena ibu jari kakimu menjadi alat bekerja. Demikianlah pesanku kepada anakku."
"Lagi pesanku kepada anakku Wiswakarmma. Turunlah ke Pulau Jawa membuat rumah, biar dirimu ditiru oleh manusia. Sebab itu, engkau dinamai Hundahagi (membangun)."
"Adapun engkau Iswara. Turunlah ke Pulau Jawa. Ajarlah manusia ajaran berkata-kata dengan bahasa, apalagi ajaran tentang Dasasila (sepuluh hal yang utama) dan Pancasiska (lima hukum/tata tertib). Engkau menjadi guru dari kepala-kepala desa, sehingga engkau dinamai Guru Desa di Pulau Jawa."
"Adapun engkau Wisnu. Turunlah engkau ke Pulau Jawa. Biarlah segala perintahmu dituruti oleh manusia. Segala tingkah lakumu ditiru oleh manusia. Engkau adalah guru manusia, hendaknya engkau menguasai bumi."
"Adapun engkau Mahadewa, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Hendaknya engkau menjadi tukang pandai emas dan pembuat pakaian manusia."
"Bhagawan Ciptagupta hendaknya melukis dan mewarnai perhiasan, serta membuat hiasan yang serupa dengan ciptaan, menggunakan alat ibu jari tanganmu. Oleh karena itu engkau akan dinamai Empu Ciptangkara sebagai pelukis."

Demikianlah pesan Bhatara Guru kepada para dewata semua. Mereka bersama-sama turun ke Pulau Jawa. Brahma menjadi tukang pandai-besi. Lima makhluk besar dimintai pertolongannya, yakni bumi, air, api, angin, angkasa. Bumi sebagai landasan/paron, air sebagai penjepit, api sebagai pembakar, angin sebagai peniup api, angkasa sebagai palu. Oleh karena itu, tempat itu dinamai Gunung Brahma (Bromo), tempat Brahma menjadi pandai besi, kata sang pencerita. Palu dan landasannya sebesar pohon tal, penjepitnya/guntingnya sebesar pohon pinang, sang Bayu (angin) keluar dari goa, sang Agni (api) selalu ada siang dan malam. Itulah tempat Brahma mengerjakan pekerjaan pandai-besi. Demikianlah ceritanya.

Bhagawan Wismakarmma turun membangun rumah. Manusia meniru membuat rumah. Lalu mereka berumah tangga. Oleh karena itu, tempat itu nantinya akan disebut Desa Medangkamulan, tempat awal-mula manusia berumah tangga. Demikianlah ceritanya.

Bhatara Iswara turun mengajarkan kata-kata baik, bahkan tentang Dasasila dan Pancasiska. Dia bergelar Guru Desa di sana. Bhatara Wisnu turun bersama dengan Bhatari Sri, ratu dari awang-awang (angkasa). A berarti hal yang tak ada, Wa berarti hal yang luhur, H yang berarti Bhatara/dewa; sehingga Wisnu disebut Rahyang Kandyawan. Bhatari Sri disebut Sang Kanyawan di negeri Medanggana. Demikianlah asal-mula adanya negeri/negara. Demikianlah ceritanya. Dia memberi ajaran kepada manusia, sehingga mereka mengetahi cara memintal, menenun, bercelana, berpakaian, berkain, beselendang.

Bhatara Mahadewa turun menjadi tukang pandai-emas. Bhagawan Ciptaguna turun menjadi pelukis.

Lagi tentang Kandyawan. Dia mempunyai anak lima. Sang Mangukuhan, nama anak yang paling tua. Sang Sandang-garba nama anak kedua. Sang Katung-malaras nama anak yang tengah. Sang Karung Kalah nama kakak dari anak yang bungsu. Sang Werti Kandayun nama anak yang bungsu. Kemudian kendaraan Bhatari Sri datang, yaitu empat burung, yakni burung perkutut, burung puter, burung deruk merah, burung merpati hutan. Mereka dikejar-kejar oleh lima anak itu dan disusul berderet di warung, kemudian dilukai oleh Sang Werti Kandayun. Jatuhlah tembolok burung-burung itu: Tembolok burung perkutut berisi biji putih, tembolok burung merpati hitam berisi biji hitam, tembolok burung deruk merah berisi biji merah, tembolok burung puter berisi biji kuning, semerbak harum baunya. Kelima anak itu bergembira. Dimakanlah (biji kuning) itu sampai habis. Oleh karena itulah sampai sekarang tidak ada biji kuning, sebab habis dimakan habis oleh kelima anak itu. Sang Mangukuhan menanam biji putih, merah dan hitam itu. Lalu mereka menjadi padi nantinya. Demikian juga kulit biji yang kuning ditanamnya, yang akhirnya menjadi kunyit. Demikian genaplah biji empat warna itu sampai sekarang.

Lagi tentang Bhatara Mahakarana membuat tempat tinggal di pulau Jawa, meninggalkan tempat dewa, hingga tersebar di muka bumi, berderet-deret tanpa terputus, beragam tanpa ada yang hancur. Demikianlah halnya. Adapun Pulau Jawa pada zaman purbakala bergoyang-goyang, selalu bergerak mengguncang-guncang, sebab belum ada penindihnya. Oleh karena itu Bhatara Mahakarana mencari alat untuk menguatkan Pulau Jawa supaya tetap kuat dari dulu, kelak dan sampai sekarang ini. Kemudian Bhatara Guru bertapa, berdiri menghadap ke timur, kemudian diputarlah air sampai menjadi busa, lalu menjadi gunung. Oleh karena itu terdapat gunung Hyang (gunung Dewa/ gung Dieng) sampai sekarang ini. Demikianlah cerita tentang tapa Bhatara Guru. Dan tanah yang dipijak oleh kaki Bhatara kelak menjadi gunung Limohan.

Kemudian Pulau Jawa tidak kuat lagi, selalu bergerak berguncang-guncang. Kemudian Bhatara Parameswara memerintahkan kepada para dewata menghentikan penciptaan dunia. Pulanglah mereka ke sorganya masing-masing. Mereka semua pulang, masing-masing meninggalkan anaknya mengganti sebagai manusia.

Hyang Kandyawan meninggalkan kelima anaknya agar mengganti kerajaannya. Namun satupun tidak ada yang mau menggantikan menjadi raja. Kemudian dia membuat undi dengan daun ilalang, barangsiapa yang dapat menarik daun ilalang yang diikat, dia harus menggantikan untuk menjadi raja. Mereka berempat lalu menarik daun ilalang yang diikat itu, tetapi tidak ada yang dapat. Kemudian tertuju kepada Sang Werti Kandayun (anak kelima) yang menarik daun ilalang yang diikat itu. Kemudian Sang Werti Kandayun dinobatkan. Adapun Sang Mangukuhan menjadi petani, yang menyediakan makanan bagi raja. Sang Sandang-garba menjadi pedagang yang menyediakan perak/uang bagi raja. Sang Katung-malaras menjadi penyadap aren, yang menyediakan minuman bagi raja. Sang Karung-kalah menjadi penjagal, yang menyediakan daging bagi raja. Raja Werti Kandayun menggantikan bapaknya. Bhatara Wisnu pulang ke tempat tinggalnya bersama dengan Bhatari Sri.

Adapun manusia semakin bertambah banyak.

Sumber[sunting]

  • Naskah ini diambil dari [1]