Tantu Panggelaran/Para Dewata Mengelilingi Sang Hyang Mandaragiri

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Kemudian para dewata bersama-sama menyembah Bhatara Guru, semua dewata, para resi, para pahlawan, para bidadari, para gandarwa, semua berhimpun dan sujud di kaki Bhatara Mahakarana. Setelah mereka berbuat sembah, mereka duduk bersila berderet menghadap ke Bhatara Guru:

"Hai kamu, para dewa, para resi, para pahlawan, para bidadari, para gandarwa, pergilah ke Pulau Jambu (India), hai anakku semua, pindahkanlah Sang Hyang Mahameru, pindahkanlah ke Pulau Jawa untuk menindih Pulau Jawa supaya kuat dan tidak bergoyang-goyang kalau Sang Hyang Mandaragiri itu telah sampai di sana. Pergilah, hai anakku semua!"

Demikianlah pesan Bhatara kepada para dewa, para resi, para pahlawan, para bidadari, para gandarwa. Mereka semua tidak ada yang menolak. Mereka berpamitan akan pergi ke Pulau Jambu, akan mengangkat Sang Hyang Mandaragiri. Sampailah mereka di gunung Pulau Jambu, besar, tinggi sampai ke langit, seratus ribu yojana tingginya. Oleh karena jarak antara angkasa dan bumi adalah seratus ribu yojana, maka tinggi Sang Hyang Mahameru seratus ribu yojana. Karena dipindahkan ke Pulau Jawa, maka gunung Pulau Jambu itu tinggal setengahnya saja, karena tinggi Gunung Mahameru sekarang hanya tinggal setengah dari tingginya langit, yaitu hanya tonggak Sang Hyang Mahameru. Sedang puncaknya dipindahkan ke Jawa.

Demikianlah gunung itu diangkat oleh para dewa. Bhatara Wisnu menjadi ular yang sangat panjang dan besar, menjadi tali untuk memindahkan Hyang Mahameru. Sang Hyang Brahma menjadi raja kura-kura yang sangat besar, yang menjadi alas untuk memindahkan Sang Hyang Mahameru. Ular itu mengikat Sang Hyang Mahameru. Mereka bekerja keras mematahkan Sang Hyang Mahameru. Keluarlah api yang membara, serta dentuman dan angin. Para dewata mengambil pekerjaan masing-masing. Para resi, para dewa menyanyi lagu pujian "Jaya ... jaya ...!. Bhatara Bayu, dewa kekuatan, naik ke punggung Sang Hyang raja kura-kura, Sang Hyang Mandaragiri kemudian diangkat oleh para dewata sambil menyanyi "Jaya ... jaya!", mereka mengusung Sang Hyang Mahameru.

Demikianlah orang-orang Pulau Jambu melihat Sang Hyang Mahameru berjalan-jalan, karena para dewata tidak terlihat oleh mereka, maka dari itu mereka ribut. Para brahmana sujud menyembah Sang Hyang Mandaragiri. Demikianlah sembah para brahmana.

Para dewa kepayahan membawa Sang Hyang Mandaragiri, maka mereka menginginkan air (dahaga). Ada air yang keluar dari Hyang Mahameru, air racun Kalakuta namanya, sebagai tanda gunung itu mabuk birahi. Oleh karena para dewata itu kepayahan, air racun Kalakuta itu diminumnya. Lalu semua dewata itu mati oleh kesakitan air racun Kalakuta. Bhatara Parameswara melihat hal itu:

"Ah, semua dewata mati. Apa sebabnya mereka mati? Barangkali air yang keluar dari gunung itu yang diminumnya, sehingga mereka mati semua. Ah, aku ingin minum air itu juga."

Air Kalakuta itu diminumnya, maka leher dari Bhatara Guru menghitam sebagai "toh". Maka dari itu Bhatara Guru bergelar Bhatara Nilakanta, karena hitam seperti "toh". Bhatara Guru berkata: "Wah, sebenarnya engkau sangat sakti, maka aku menjadi sakti oleh karena engkau."

Ditatapnya air racun Kalakuta itu, sehingga akhirnya menjadi air kehidupan yang suci. Maka Sang Hyang Kamandalu (bejana/kendi) diisi, semua dewata itu disiram. Seketika itu juga Sang Hyang Tatwamerta Siwambha (air kehidupan yang suci) menyirami semua dewata itu, maka mereka semua hidup, dan Caturlokapala (empat pelindung dunia), bidadari, gandarwa menyembah Bhatara Guru, yaitu semua dewata. Maka Bhatara Parameswara berkata:

"Kini bawalah kembali Sang Hyang Mandaragiri sampai ke Pulau Jawa, hai anak-anakku."

Demikianlah kata Bhatara kepada semua dewata. Mereka semua tidak ada yang menolak. Maka para raksasa dikerahkan untuk membantu para dewata. Sang Hyang Mandaragiri diangkat, kemudian sampailah ia ke sisi sebelah barat Pulau Jawa. Sang Hyang Mahameru berdiri. Nampak oleh Sang Dewata (Sang Hyang Mahameru) bercahaya cemerlang, sehingga Sang Hyang Mahameru dinamai Kelasaparwata, karena nampak oleh Sang Dewata dia cemerlang.

Diletakkan di sebelah barat, tapi sisi sebelah timur Pulau Jawa menjadi miring, karena dipatahkan oleh Sang Mahameru, terbelah sebelah timur. Tunggul sisanya hanya ada di sisi barat, oleh karena itu nanti akan ada gunung Kelasa, tunggulnya Sang Hyang Mahameru, demikianlah bunyi ceritanya. Puncaknya (Mahameru) dipindahkan ke sebelah timur, diangkat bersama-sama oleh para dewata. Sang Hyang Mahameru runtuh (tercecer). Reruntuhan pertama menjadi Gunung Kantong, reruntuhan kedua menjadi Gunung Wilis, reruntuhan ketiga menjadi Gunung Kampud, reruntuhan keempat menjadi Gunung Kawi, reruntuhan kelima menjadi Gunung Arjuna, reruntuhan keenam menjadi Gunung Kemukus. Sang Hyang Mahameru rusak bagian bawahnya karena runtuh, maka miring berdirinya, bergeraklah puncaknya. Puncak Sang Hyang Mahameru diberdirikan oleh para dewata. "Wah, suci" kata para dewata, karena itu nanti puncak Sang Hyang Mahameru akan disebut Pawitra (suci). Demikianlah ceritanya. Demikianlah Sang Hyang Mahameru tidak kuat, bersandar di gunung Brahma, karena sisi bawahnya telah rusak. oleh karena itu diperteguh pada gunung Brahma, maka Sang Hyang Mandaragiri berdiri kuat. Oleh karena Pulau Jawa telah kuat, berhentilah dia bergerak dan bergoyang dan menjadi sangat kuat. Oleh karena itu Gunung Mahameru dinamai Gunung Misada.

Setelah itu Bhatara Parameswara menyuruh para dewata memuja Sang Hyang Mandaragiri, mengenakan isi Sang Hyang Mahameru. Setelah itu Dewa Trisamaya (tiga dewa) diberi anugerah kendaraan: banteng putih adalah kendaraan Bhatara Iswara, angsa putih adalah kendaraan Bhatara Brahma, garuda adalah kendaraan Bhatara Wisnu. Setelah Dewa Trisamaya diberi anugerah kendaraan, para dewata berkumpul memuja Sang Hyang Mahameru, Gunung Raja (Giriraja).

Terdapat kendi manik yang bernama Kamandalu, yang berisi Sang Hyang Tatwamerta Siwambha (air kehidupan yang suci), yaitu sari dari Sang Hyang Mandaragiri. Yaitu yang dipuja oleh para dewata. Setelah dipuja, dipungutlah isi dari Sang Hyang Mahameru, misalnya: mirah, komala, intan; untuk diberikan kepada Bhatara Parameswara, sedangkan Sang Hyang Kamandalu tidak diketahui oleh para dewa. Kemudian para dewa semua pergi, Sang Hyang Kundi Manik itu tertinggal.

Terdapat dua raksasa yang bernama Ratmaja dan Ratmaji. Bermain-main ke Sang Hyang Mandaragiri, yang maksudnya ingin mengambil emas, mirah, komala, intan. Ketika tidak menemukan emas, mirah, komala, intan, mereka menemukan Sang Hyang Kamandalu. Diambilnyalah dari tempatnya, maksudnya akan dibuat mainan, karena mereka tidak tahu gunanya. Sangat mengkilap, maka oleh mereka Sang Hyang Kamandalu dinamai Ketek Meleng. Kemudian Ratmaja dan Ratmaji pergi.

Para dewata datang menyembah kepada Bhatara Guru. Bhatara berkata:

"Hai anakku para dewata, mana biji Sang Hyang Mahameru? Emas, mirah, komala, intan diberikan, tetapi tidak ada Kendi Manik Sang Hyang Kamandalu, yang berisi Sang Hyang Tatwamertha Siwambha, pemberi hidup para dewa".

Demikianlah kata Bhatara Mahakarana. Para dewa tidak ada yang tahu yang mengambil Sang Hyang Kamandalu. Apalagi Resi Narada, Kapila, Ketu, Tumburu, Sapaka, Wiswakarma, tidak ada yang tahu yang mengambil Sang Hyang Kamandalu. Caturlokapala (empat pelindung bumi), Indra, Yama, Baruna, Kowera, resigana, dewanggana, suranggana, bidadari, gandarwapun tidak mengetahuinya. Para dewata termenung. Ditanyai oleh para dewa semua, maka Sang Hyang Raditya (Matahari) dan Sang Hyang Wulan (bulan) menjawab. Sang Hyang Raditya dan Wulan berkata:

"Ada dua raksasa yang bernama Ratmaja dan Ratmaji. mereka mengambil Sang Hyang Kamandalu."

Demikianlah kata Sang Hyang Raditya dan Sang Hyang Wulan.

Bhatara Brahma dan Wisnu datang ke tempat Ratmaja dan Ratmaji. Sampailah mereka di tempat para raksasa itu. Ratmaja dan Ratmaji berkata:

"Aduh, tumben sang dewata pergi kemari. Apa tujuan tuanku datang kemari?"

Sang Hyang Brahma dan Wisnu berkata:

"Tujuanku datang kemari: karena apa yang kalian dapat dari Mandaragiri?"

Raksasa itu menyahut:

"Kami tidak menemukan emas, mirah, komala, intan, Bhatara. Yang kami dapatkan adalah Ketek Meleng."

Sang dewata menyahut:

"Apa itu Ketek Meleng? Bagaimana wujudnya?"

Kendi manik itu diperlihatkan. Lalu dimintalah oleh sang dewata, tetapi tidak diberikan oleh raksasa-raksasa itu. Para raksasa itu meminta supaya emas manik. Setelah itu raksasa-raksasa itu bertanya:

"Diganti dengan apa kendi manik ini?"

Berkatalah sang dewata:

"Kendi manik itu bernama Sang Hyang Kamandalu, yang berisi air kehidupan yang suci, penghidupan para dewa."

Segera dipegangnya kendi manik itu oleh raksasa-raksasa itu dan dijaga oleh mereka berdua. Sang Hyang Brahma dan Wisnu mendapat malu. Melalui hikmatnya, Sang Brahma dan Wisnu berubah serupa dengan perempuan yang cantik. Beginilah jadinya. Pergilah mereka ke tempat Ratmaja dan Ratmaji. Dimintalah kendi manik itu dengan bermanis-manis. Tergodalah para raksasa melihat perempuan-perempuan cantik, maka diberikannyalah kendi manik itu. Dipeganglah oleh Bhatara Wisnu. Segera dilarikan oleh Sang Hyang Brahma dan Wisnu. Dikejar oleh Ratmaja dan Ratmaji, tetapi Sang Hyang Brahma dan Wisnu tidak tersusul oleh mereka, karena cepat larinya. Sang Ratmaja dan Ratmaji mendapat malu.

Semua dewata hadir ke hadapan Bhatara Parameswara. Lalu mereka meminum air kehidupan yang suci itu supaya tidak menjadi tua dan mati. Daun beringin dipakai untuk minum. Ada raksasa yang bernama Rahu, yang menyamar sebagai dewata, ikut bersama dengan para dewata meminum air kehidupan yang suci itu, daun awar-awar dipakai untuk minum. Hal ini diketahui oleh Sang Hyang Raditya dan Wulan, ditegurnya ketika mereka meminum air kehidupan yang suci itu, maka mereka dilempar cakra oleh Bhatara Wisnu. Maka lehernya patah bagian atas. Air kehidupan itu diminum baru sampai mulut dan belum sampai ke badan. Sehingga kepala Rahu hidup. Sang Hyang Raditya dan Wulan sangat dimarahinya, maka Sang Rahu menjadi penghalang Sang Hyang Raditya dan Wulan sampai sekarang ini.

Setelah para dewata meminum air kehidupan yang suci itu, beranaklah Bhatara Siwa, keluarlah Gunung Wlahulu. Beranaklah Bhatara Iswara, keluarlah Gunung Pamrihan. Karena anak Damalung mati, maka dinamai Gunung Mawulusan.

Demikianlah ceritanya.

Sumber[sunting]