30 Permainan Tradisional di Pulau Jawa

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Kata Pengantar[sunting]

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dapat menyelesaikan penulisan buku berjudul "30 Permainan Tradisional di Pulau Jawa". Terima kasih kepada Wikimedia yang telah menyelenggarakan Proyek Yuwana, sehingga dapat menjadi wadah pengetahuan yang akan dikases dengan mudah oleh seluruh pengguna, dan juga kepada seluruh pihak yang mendukung dan memotivasi penulis.

Mohon maaf apabila terdapat banyak kekurangan dalam penulisan buku ini. Penulis harapkan kritik dan sarannya yang membangun agar dapat bermanfaat di kemudian hari.

Buku berjudul 30 Permainan Tradisional di Pulau Jawa ini merupakan salah satu contoh buku katalog permainan tradisional untuk Proyek Yuwana. Beragam jenis permainan dalam buku ini dikategorisasikan berdasarkan asal daerah yaitu beberapa daerah di Pulau Jawa. Semoga buku ini bermanfaat untuk menambah wawasan para pembaca. Selamat bertualang dalam dunia permainan tradisional khas budaya di Pulau Jawa yang menjadi salah satu kekayaan budaya nusantara Indonesia.

Pulau Jawa

Kondisi Geografis Pulau Jawa[sunting]

Pulau Jawa merupakan salah satu dari pulau terbesar di Indonesia yang secara astronomis terletak di antara 7*50’10” - 7*56’41” Lintang Selatan (LS) dan 113*48’10” - 113*48’26” Bujur Timur (BT). Berdasarkan letak geografis Pulau Jawa dikelilingi oleh Samudra Hindia di sebelah selatan, Selat Sunda di sebelah barat, Selat Jawa di sebelah utara, dan Selat Bali di sebelah timur. Pulau Jawa terdiri dari DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur.[1]

Secara umum, kondisi geografis Pulau Jawa dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Wilayah Pegunungan

Pulau Jawa memiliki rangkaian pegunungan yang membentang dari ujung barat hingga ujung timur pulau. Pegunungan ini terdiri dari Pegunungan Barat, Pegunungan Tengah, dan Pegunungan Timur. Pegunungan di Pulau Jawa memiliki beragam ketinggian, mulai dari 500 meter hingga lebih dari 3.000 meter di Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa.

2. Wilayah Dataran Tinggi

Dataran tinggi di Pulau Jawa umumnya terletak di antara pegunungan dan pantai. Contohnya adalah Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah dan Dataran Tinggi Bromo Tengger Semeru di Jawa Timur. Dataran tinggi di Pulau Jawa biasanya memiliki ketinggian antara 1.000 s.d. 2.500 meter di atas permukaan laut.

3. Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir di Pulau Jawa memiliki beragam kondisi geografis, mulai dari pantai berpasir hingga pantai berbatu. Pulau Jawa juga memiliki beberapa teluk dan delta sungai yang terkenal, seperti Teluk Jakarta, Teluk Semarang, dan Delta Sungai Brantas. Wilayah pesisir di Pulau Jawa juga dikenal sebagai wilayah yang subur dan menjadi lokasi budidaya tanaman pangan dan perikanan.

Kondisi geografis Pulau Jawa yang beragam memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat di pulau ini, seperti sektor pertanian, pariwisata, transportasi, dan adat istiadat serta tradisi masyarakat yang terdapat di setiap daerah, termasuk di dalamnya permainan tradisional.Permainan tradisional

Permainan Tradisional di Pulau Jawa[sunting]

Pulau Jawa merupakan pulau yang kaya akan kebudayaan dan tradisi. Salah satu warisan budaya yang masih terjaga hingga saat ini adalah permainan tradisional. Permainan tradisional di Pulau Jawa memiliki banyak ragam dan kaya akan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Buku ini hadir untuk memperkenalkan dan memperluas pengetahuan tentang permainan tradisional di Pulau Jawa. Buku ini berisi 30 jenis permainan tradisional yang telah dimainkan oleh masyarakat Pulau Jawa sejak zaman dahulu. Setiap permainan memiliki sejarah dan asal-usulnya yang unik serta cara bermain yang berbeda-beda. Buku ini dibuat untuk semua kalangan, baik anak-anak maupun dewasa, yang ingin mengetahui lebih dalam tentang permainan tradisional di Pulau Jawa. Selain sebagai sarana hiburan, permainan tradisional juga mengandung nilai-nilai kebersamaan, kerjasama, keteladanan, dan mengembangkan kreativitas. Dalam setiap pembahasan tentang permainan tradisional, buku ini akan menyajikan sejarah dan asal-usul permainan, serta cara bermain yang lengkap dan mudah dipahami. Pembaca akan diajak untuk mengeksplorasi keunikan dan keindahan permainan tradisional di Pulau Jawa. Dengan mengenal dan memainkan permainan tradisional, kita dapat menghargai dan menjaga warisan budaya yang kita miliki. Semoga buku ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi pembaca untuk terus melestarikan permainan tradisional di Pulau Jawa. Selamat menikmati dan mengeksplorasi dunia permainan tradisional!

Sejarah Permainan Tradisional di Pulau Jawa[sunting]

Permainan tradisional di Pulau Jawa telah dimainkan oleh masyarakat sejak zaman dahulu kala. Permainan-permainan ini berasal dari kebudayaan Hindu-Buddha dan dipengaruhi oleh budaya Tionghoa dan Arab yang masuk ke Pulau Jawa melalui jalur perdagangan. Selain itu, beberapa permainan tradisional juga dipengaruhi oleh kebudayaan Islam dan Eropa yang masuk ke Pulau Jawa pada masa kolonial. Seiring dengan perkembangan zaman, permainan tradisional di Pulau Jawa mulai kehilangan tempatnya di tengah masyarakat yang semakin modern. Namun, beberapa permainan tradisional masih terus dimainkan dan dilestarikan oleh masyarakat Pulau Jawa hingga saat ini.

Setiap permainan tradisional di Pulau Jawa memiliki sejarah dan asal-usul yang unik. Sebagai contoh, permainan dakon berasal dari India dan masuk ke Pulau Jawa melalui perdagangan. Permainan ini kemudian dikenal dengan nama "main congklak" dan menjadi permainan yang populer di kalangan masyarakat Pulau Jawa. Sementara itu, permainan egrang atau engklek berasal dari Tiongkok dan masuk ke Pulau Jawa pada masa penjajahan Belanda. Awalnya, permainan ini dimainkan oleh para pekerja di sawah untuk menghilangkan kebosanan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, permainan egrang menjadi semakin populer dan menjadi salah satu permainan tradisional yang terkenal di Pulau Jawa. Permainan tradisional lainnya, seperti wayang golek, gamelan, dan reog, memiliki sejarah yang sangat kaya dan merupakan bagian penting dari budaya Pulau Jawa. Permainan ini tidak hanya dimainkan sebagai hiburan, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur dan sebagai media untuk menyampaikan pesan moral dan kebudayaan. Dalam perkembangan modern, permainan tradisional di Pulau Jawa masih terus dilestarikan oleh para pemerhati kebudayaan dan juga oleh masyarakat luas. Beberapa permainan tradisional bahkan menjadi ajang kompetisi yang diadakan secara nasional dan internasional. Hal ini membuktikan bahwa permainan tradisional di Pulau Jawa masih memiliki tempat yang penting dalam kehidupan masyarakat dan budaya Pulau Jawa.[2]

Manfaat Permainan Tradisional[sunting]

Permainan tradisional memiliki manfaat yang sangat penting untuk perkembangan sosial, emosional, dan kognitif seseorang. Berikut adalah beberapa manfaat dari permainan tradisional:

1. Meningkatkan kreativitas dan imajinasi: Permainan tradisional seringkali melibatkan unsur-unsur kreatif seperti menyanyi, menari, atau bercerita. Hal ini dapat membantu meningkatkan kreativitas dan imajinasi seseorang.

2. Meningkatkan keterampilan sosial: Permainan tradisional juga mengandung unsur kerjasama dan saling bergantung. Dalam permainan ini, seseorang belajar untuk bekerja sama dengan orang lain, menghargai pendapat orang lain, dan mengambil keputusan bersama-sama.

3. Meningkatkan keterampilan motorik: Beberapa permainan tradisional seperti engklek, dakon, atau lompat tali memerlukan keterampilan motorik yang baik. Hal ini dapat membantu meningkatkan koordinasi antara tangan dan mata, serta meningkatkan keseimbangan tubuh.

4. Meningkatkan kesabaran dan keuletan: Beberapa permainan tradisional seperti congklak atau catur memerlukan strategi yang matang dan kesabaran yang tinggi. Hal ini dapat membantu meningkatkan kesabaran dan keuletan seseorang dalam menghadapi tantangan dan kesulitan.

5. Meningkatkan nilai-nilai moral: Permainan tradisional seringkali mengandung nilai-nilai moral seperti saling menghormati, saling membantu, dan menghargai kerja keras. Hal ini dapat membantu meningkatkan moral dan karakter seseorang.

6. Meningkatkan keberagaman budaya: Permainan tradisional memiliki akar budaya yang kuat dan mempunyai banyak ragam sesuai dengan daerahnya. Dalam memainkan permainan tradisional, seseorang akan mengenal lebih dalam keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia dan mampu mempertahankan keberagaman tersebut.

Secara keseluruhan, permainan tradisional merupakan salah satu warisan budaya yang penting untuk dilestarikan. Permainan ini tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga memiliki manfaat yang sangat penting untuk perkembangan sosial, emosional, dan kognitif seseorang.

30 Jenis Permainan Tradisional di Pulau Jawa[sunting]

Permainan Ancak-ancak alis sering disebut Ular naga di berbagai wilayah Indonesia

Ancak-Ancak Alis[sunting]

Ancak-Ancak Alis adalah sebuah permainan tradisional anak-anak suku Jawa sebagai sarana sosialisasi dan internalisasi sebuah pengetahuan penting dalam kehidupan dunia pertanian, yaitu tentang cara dan proses budidaya penanaman padi.

Cara Bermain:

Mula-mula anak-anak berkumpul untuk bermain bersama. Di antara anak-anak tersebut dipilih dua orang anak, untuk berperan menjadi lawang seketeng (pintu/gapura). Cara pemilihan dua orang anak tersebut dapat dilakukan secara aklamasi dengan keputusan bersama atau dilakukan secara berundi, hompimpa.

Setelah itu, jika sudah mendapatkan dua anak yang terpilih untuk menjadi gapura/pintu, dua anak tersebut berdiri berhadapan kedua tangannya diacungkan ke atas, kemudian kedua telapak tangannya ditepuk-tepukkan, disentuhkan telapak tangan lawan. Telapak tangan kanan bertepuk dengan telapak tangan kiri lawan, dan sebaliknya. Sementara itu, anak-anak yang lain diandaikan sebagai iring-iringan orang desa yang akan pergi ke sawah. Mereka berdiri beriringan, urut dari depan ke belakang, dengan tangan masing-masing memegangi pinggang atau punggung anak yang berada di depannya. Sedangkan anak yang berada pada posisi paling depan, dengan posisi tangan berkacak pinggang. Selanjutnya, dua anak yang berperan sebagai pintu/gapura mendendangkan tembang ancak-ancak alis yaitu:

"Ancak-ancak alis, si alis kebo janggitan, anak-anak kebo dhungkul, si dhungkul kapan gawene, tiga rendheng, cengenceng gogok beluk, unine pating cerepluk. ula sawa ula dumung gedhene saklumbung bandhung, sawahira lagi apa?"

Barisan kawan-kawan berjalan beriringan menerobos pintu/gapura. Setelah menerobos terowongan, narisan berbelok ke kanan, mengitari anak yang menjadi tiang gapura sisi kanan, kemudian masuk ke terowongan lagi lalu berbelok ke kiri, mengitari anak yang menjadi tiang gapura sisi kiri, terus masuk ke terowongan lagi, lalu berbelok ke kanan kembali mengitari tiang gapura sisi kanan untuk memasuki gapura lagi, begitu seterusnya. Perjalanan barisan seolah-olah membentuk angka delapan, mengelilingi A dan B secara bergantian. Ketika syair tembang sampai pada akhir bait, sampai pada kalimat pertanyaan “sawahira lagi apa” (sawahnya sedang apa), perjalanan barisan berhenti, kemudian terjadi dialog sebagai berikut:

Barisan : Dhog...dhog...dhog...dhog, njaluk lawang (mengetuk....minta pintu)

Gapura : Arep menyang ngendi? (mau ke mana)

Barisan : Menyang sawah (ke sawah)

Gapura : Sawahe lagi apa (sawahnya sedang apa)

Barisan : Lagi ngluku (sedang membajak)

Selanjutnya gapura kembali mendendangkan tembang ancak-ancak alis, sedangkan barisan kembali beriring-iringan masuk ke terowongan gapura, berjalan berbelok ke kanan atau ke kiri, membentuk angka delapan seperti sebelumnya. Setelah lagu habis,barisan kembali berhenti di depan pintu gapura, selanjutnya kembali berdialog seperti sebelumnya. Bedanya, dalam akhir pertanyaan dari gapura “sawahira lagi apa” (sawahmu sedang apa), dijawab oleh barisan ”lagi ngluku” (sedang membajak); “lagi nggaru” (sedang menggaruk meratakan lahan”. Begitu seterusnya, setiap ditanya “sawahira lagi apa”, jawabannya diurutkan: “lagi nyebar” (sedang menebar benih); ”lagi ndhaut” (sedang mencabut bibit); “lagi tandur” (sedang tanam); “lagi nglilir” (sedang mulai hidup); “lagi ijo” (sedang menghijau); “lagi matun” (sedang menyiangi); “lagi meteng” (sedang berisi benih); “lagi nyanguki” (mulai muncul kuncup bunga); “lagi mecuti” (bakal bulis padi sudah melengkung tapi belum mekar); “lagi ambrol” (sedang berbunga merata); “lagi njebut” (sedang mekar bunga); “lagi mratak” (bakal buah sudah merata); “lagi temungkul” (bulir padi mulai merunduk); “lagi bangcuk” (padi menguning pada ujung bulir); “lagi kuning” (padi sudah menguning); “lagi tuwa” (padi sudah tua); “lagi nyajeni” (saat memberi sesaji). Ketika sampai pada jawaban “lagi nyajeni” (sedang memberi sesaji), barisan pura-pura akan pergi ke pasar.

Tembang yang didendangkan ganti lagu II yaitu: Menyang pasar kadipaten leh-olehe jadah manten, menyang pasar Kadipala leh-olehe apa.

Pada saat itu kedua penjaga gapura membuat kesepakatan rahasia tentang pilihan oleh-oleh yang akan ditanyakan kepada barisan, misalnya, A adalah cincin B adalah anting, A buah B sayur, A jagung B singkong, dan sebagainya, yang hanya diketahui oleh A dan B. Pada akhir tembang II, ketika sampai pada kalimat “leh-olehe apa” (buah tangannya apa), tangan A dan B saling berpegangan lalu diturunkan untuk mengurung siapa pun yang berada tepat di hadapannya. Anak yang terkurung tersebut kemudian dibisiki, disuruh memilih di antara dua jenis ‘buah tangan’ yang sudah ditetapkan oleh A dan B. Seandainya dua pilihan tersebut adalah “cincin apa anting”, jika anaknya memilih ‘cincin’, selanjutnya ia menjadi pengikut A, disuruh berdiri di belakang A. Jika memilih ‘anting’, ia menjadi pengikut B, disuruh berdiri di belakang B. Begitu seterusnya hingga rombongan petani tinggal satu orang. Setelah tembang habis, pada saat A dan B mengurung anak terakhir, terjadi dialog demikian: A dan B: Dikekuru dilelemu dicecenggring digegering. Dadi kidang lanang apa kidang wedok. Yen kidang lanang mlumpata, yen kidang wedok mbrobosa. (dibuat kurus dibuat gemuk dibuat sengsara dibuat sakit. Menjadi kijang jantan atau kijang betina. Kalau kijang jantan melompatlah, kalau kijang betina menyusuplah).

Permainan diakhiri dengan saling merebut dan melindungi para anggota. Bagi yang anggotanya paling banyak, itulah pemenangnya.

Badik-badik[sunting]

Badik-badik adalah permainan tradisional yang berasal dari Sunda, Jawa Barat. Permainan ini dimainkan oleh anak-anak pada waktu luang atau saat bermain bersama di lingkungan tempat tinggal mereka. Permainan badik-badik menggunakan alat yang disebut dengan "badik-badik" terbuat dari anyaman bambu kecil berbentuk persegi panjang dengan panjang sekitar 20-25 cm. Selain itu, permainan ini juga membutuhkan sebuah bola kecil yang terbuat dari kain atau bahan-bahan lain yang cukup ringan.

Cara bermain :

Awalnya, para pemain membagi anggota menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari tiga hingga lima orang.

Setiap kelompok akan berdiri di sisi lapangan yang berlawanan dan berusaha melemparkan bola ke badik-badik yang ada di tengah lapangan. Tujuannya adalah untuk menjatuhkan badik-badik milik lawan dengan melemparkan bola. Pemain yang berhasil menjatuhkan badik-badik milik lawan akan mendapatkan poin. Namun, jika bola yang dilemparkan gagal menabrak badik-badik atau justru menabrak anggota tim sendiri, maka poin akan diberikan kepada lawan.

Selain itu, ada juga aturan yang harus diperhatikan dalam permainan badik-badik. Misalnya, pemain tidak boleh menangkap bola yang dilemparkan oleh teman satu tim. Pemain yang melanggar aturan akan mendapatkan sanksi atau hukuman tertentu, seperti harus memberikan poin kepada lawan atau dikeluarkan dari permainan.

Kelompok yang memiliki poin paling banyak adalah pemenangnya.

Permainan badik-badik sangat populer di kalangan anak-anak di daerah Sunda, Jawa Barat. Selain menjadi sarana hiburan dan rekreasi, permainan ini juga memiliki nilai edukatif yang baik untuk anak-anak. Seperti meningkatkan keterampilan motorik, kecepatan tanggapan, dan kerja sama dalam tim. Selain itu, permainan ini juga mengajarkan nilai-nilai seperti sportivitas, kerjasama, dan disiplin.

Permainan tradisonal bakiak

Bakiak Beregu[sunting]

Sebutan permainan ini berasal dari alat yang digunakan, yaitu Bakiak di Jawa Tengah, atau Bangkiak di Jawa Timur adalah sejenis sandal yang telapaknya terbuat dari kayu yang ringan dengan pengikat kaki terbuat dari ban bekas yang dipaku di kedua sisinya. Alat ini sangat populer karena terjangkau terutama di masa ekonomi sulit sedangkan dengan bahan kayu dan ban bekas membuat bakiak tahan air serta suhu panas dan dingin. Bakiak beregu adalah terompah deret dari papan bertali karet yang panjang. Bakiak yang digunakan adalah sebuah alas kaki yang terbuat dari kayu berukuran panjang untuk dipakai oleh beberapa orang sekaligus.

Cara Bermain :

Seluruh peserta berkumpul di lapangan, lalu membagi kelompok sesuai jumlah bakiak yang tersedia.

Biasanya untuk sepasang bakiak dapat digunakan 2 sampai 3 orang.

Setiap kelompok harus memakai bakiak dan berjalan selaras, berbarengan  dari garis start hingga ke garis finish.

Jika ada kelompok yang jatuh di tengah jalan, maka harus mengulang dari garis start.

Kelompok yang paling cepat sampai ke garis finish adalah pemenangnya.

Permainan ini bertujuan untuk membangun hubungan kerjasama dan kekompakan antar anggota di dalam tim agar dapat berjalan seirama.

Permainan Bentengan terinspirasi dari bangunan Benteng sebagai tempat berlindung dari musuh

Bentengan[sunting]

Permainan bentengan biasanya dimainkan di sekolah pada saat jam istirahat. Para pemain harus mencari tempat seperti tembok atau tiang untuk dijadikan benteng. Benteng dimainkan oleh dua tim. Satu tim terdiri dari minimal 3 orang dan paling banyak 8 orang.

Cara bermain:

Pemain menentukan salah satu orang sebagai penjaga di setiap tim masing-masing.

Lalu peserta selain penjaga harus mencari mangsa dengan menyentuh peserta tim lain, apabila tersentuh akan dinyatakan gugur.

Jika ingin aman, pemain harus kembali ke bentengnya.

Bagi penyerang atau pemangsa jika terkena sentuhan dari peserta musuh yang ada di bentengnya dinyatakan gugur.

Pemain bertahan yang dapat menyentuh benteng musuh adalah pemenangnya.

Permainan Benthik

Benthik[sunting]

Benthik adalah salah satu permainan rakyat yang biasanya dimainkan oleh anak-anak suku Jawa. Untuk memainkannya diperlukan dua ranting kayu yang berukuran panjang sekitar 30 cm (disebut “benthong”), dan yang berukuran pendek sekitar 10 cm (disebut “janak”). Pada umumnya, antara benthong dan janak memiliki diameter yang sama, yaitu sekitar 1 cm; umumnya benthong dan janak diambil dari ranting dengan jenis pohon dan batang yang sama. Saat kedua ranting ini beradu (dipukulkan) maka muncul suara “thik ... thik”, sehingga berdasarkan proses onomatope permainan ini disebut “Benthik”. Ranting panjang dipergunakan untuk memukul ranting yang lebih pendek.

Cara Bermain :

Benthik diawali dengan membuat lowakan atau ceruk kecil di tanah tempat janak akan diletakkan, posisinya melintang di atasnya. Permainan benthik diawali dengan hompimpa. Pemain yang menang, maka akan memperoleh giliran main yang pertama. Sedangkan pihak yang kalah jaga.

Nyuthat - Selanjutnya, pemain memasang tongkat yang pendek diatas lubang luncur secara melintang. Lalu, tongkat janak harus didorong sekuat tenaga dengan bantuan benthong, supaya dapat melambung sejauh mungkin. Dalam bahasa Jawa, ini disebut dengan istilah nyuthat. Bila lawan berhasil menangkap janak yang melambung tersebut, maka ia akan mendapatkan angka. Pihak lawan biasanya akan berusaha mati-matian untuk dapat menangkap janak, agar mendapatkan angka sebelum gilirannya untuk bermain.

Besarnya angka ditentukan dari cara pihak lawan menangkap janak; 10 angka untuk menangkap dengan kedua tangan, 25 angka untuk menangkap dengan tangan kanan saja, dan 50 angka apabila berhasil menangkap dengan tangan kiri saja.

Namplek - Tahap kedua dari permainan benthik adalah ”Namplek”. Pada tahap ini, konsentrasi penuh diperlukan. Pemain harus melempar tongkat pendek ke udara terlebih dahulu, lalu dipukul sekuat tenaga dengan tongkat panjang sejauh mungkin. Pihak lawan yang jaga harus melempar tongkat pendek ke arah sang pemain. Di sini, ketangkasan sang pemain benar-benar diuji apakah mampu memukul balik tongkat pendek atau tidak.

Penghitungan poin bagi sang pemain dilakukan dari tempat jatuhnya tongkat pendek ke lubang menggunakan tongkat panjang. Semakin jauh tongkat pendek jatuh, maka semakin banyak angka yang akan didapatkan.

Nuthuk - Tahap ketiga benthik disebut ”Nuthuk”. Pada tahap ini, pemain harus meletakkan tongkat pendek pada lereng lubang luncur dengan posisi miring 45 derajat. Ia harus memukul ujung tongkat pendek yang menyembul ke permukaan tanah dengan tongkat panjang agar dapat mengudara, lalu dipukul lagi sejauh mungkin.

Biasanya, sang pemain akan mendapatkan kesempatan kedua, bila pukulan pertama tidak berhasil. Jika ternyata masih gagal lagi, maka giliran bermain jatuh ke tangan pihak lawan. Akan tetapi, dalam tahap ketiga ini, sang pemain berkesempatan untuk mengumpulkan poin sebanyak-banyaknya yang ditentukan oleh berapa kali ia memukul tongkat pendek. Pada tahap ini, merupakan kesempatan untuk mengejar ketertinggalan angka atau untuk bisa memenangkan permainan. Kecekatan berhitung para pemain pun dituntut di sini. JIka sang pemain berhasil memukul tongkat pendek saat tongkat tersebut melayang di udara, maka ia memperoleh multiple poin yang dihitung dari perkalian antara angka pengkali berdasarkan jumlah pukulan (10 poin untuk satu kali pukulan, 20 poin untuk dua kali pukulan, dan seterusnya) dengan poin yang dihitung dari tempat jatuhnya tongkat pendek ke arah lubang.

Sebagai ilustrasi, seorang pemain berhasil memukul tongkat pendek dua kali, maka ia memperoleh angka pengkali sebesar 20 poin, sedangkan jarak jatuhnya tongkat pendek ke lubang adalah 15 kali tongkat panjang. Maka total poin yang ia kumpulkan dalam tahap ini adalah 20x15=300. Ketiga tahap permainan Benthik tersebut akan diulangi dari awal dalam beberapa kali putaran sesuai kesepakatan diantara para pemainnya. Pemain yang menang adalah yang berhasil mengumpulkan poin terbanyak dalam ketiga tahap di atas. Yang tak kalah menarik di sini adalah adanya hukuman bagi yang kalah, misalnya kewajiban menggendong pemain yang menang oleh pemain yang kalah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Bola Bekel[sunting]

Bola bekel merupakan permainan yang dikenal pula di daerah Jawa Tengah, Permainan tradisional ini biasanya dimainkan oleh anak perempuan dengan jumlah pemain 3 sampai 5 orang. Peralatan yang dibutuhkan untuk permainan ini adalah bola karet yang memiliki warna atau motif menarik, dengan ukuran kira-kira sebesar bola pingpong. Selanjutnya dibuthkan pula biji bekel yang terbuat dari kuningan sejumlah 10 biji dan memiliki 4 sisi yang berbeda.

Cara bermain:

Pertama: pemain mengenggam bola dan biji bekel menjadi satu dan lempar setinggi kurang lebih 30 cm. Setelah bola tersebut turun dan memantul, lepas biji bekel dalam posisi acak. Kemudian lempar kembali bola, lalu ambil biji bekel satu per satu, dua-dua, tiga-tiga, dan seterusnya hingga habis.

Kedua, pemain mengulang tahap pertama kemudian balikkan posisi biji bekel hingga menghadap ke atas atau sering dikenal dengan istilah rumah. Setelah itu, balik posisi biji menjadi tengkurap.

Ketiga, pemain mengubah kembali posisi biji bekel, ulangi tahap pertama. Kali ini ubah posisi biji bekel hingga sisi yang halus menghadap ke atas. Tahap terakhir, mengubah kembali posisinya hingga sisi yang halus menghadap ke bawah.

Permainan bola bekel dinyatakan selesai, saat tangan pemain menyentuh biji bekel selain yang sedang ia ambil. Pemain yang lebih dulu menyelesaikan permainan, dialah yang pemenangnya.

Permainan Bujang Ganong dengan kostum tradisional

Bujang Ganong[sunting]

Permainan tradisional Bujang Ganong berasal dari sebuah tarian yang bernama sama yaitu tarian tradisional Bujang Ganong dari Jawa Timur yang sangat populer. Tarian ini biasanya dipertunjukkan dalam acara adat atau upacara keagamaan. Permainan ini biasanya dimainkan oleh beberapa orang yang mengenakan kostum Bujang Ganong, yaitu kostum yang biasanya digunakan dalam tarian tersebut. Permainan ini melibatkan keahlian dalam mengendalikan kecepatan dan ketepatan gerakan.

Cara Bermain :

Pada awal permainan, semua pemain akan berbaris dan melakukan gerakan yang sama seperti dalam tarian Bujang Ganong. Kemudian, pemain harus melompati sebuah tali yang dipegang oleh dua orang pemain lainnya. Tali tersebut akan semakin tinggi setiap kali seluruh pemain berhasil melompati dengan sukses. Pemain yang gagal melompati tali akan keluar dari permainan.

Setelah berhasil melompati tali dalam beberapa putaran, permainan akan semakin sulit dengan penambahan tantangan berupa rintangan seperti melewati balok kayu atau melompati tali yang lebih tinggi. Pemain yang berhasil melewati semua rintangan dengan sukses akan keluar sebagai pemenang.

Permainan tradisional Bujang Ganong merupakan bagian dari kebudayaan tradisional Jawa Timur yang harus dilestarikan. Selain sebagai hiburan, permainan ini juga melatih keterampilan dalam mengendalikan gerakan tubuh dan kecepatan dalam berpindah tempat.

Caping Gunung[sunting]

Caping Gunung adalah permainan tradisional yang berasal dari daerah Jawa Barat, terutama dari Sunda. Nama Caping Gunung berasal dari kata "caping" yang berarti topi yang terbuat dari daun pisang, dan "gunung" yang merujuk pada gunung atau bukit. Permainan tradisional Caping Gunung biasanya dimainkan oleh sekelompok anak-anak atau remaja. Permainan ini terdiri dari dua tim yang masing-masing terdiri dari beberapa orang. Tujuan dari permainan ini adalah untuk merebut topi (caping) yang diletakkan di kepala raja lawan.

Cara Bermain :

Setiap tim akan memilih seorang "raja" yang akan duduk di atas gunung buatan yang terbuat dari batu atau benda lainnya.

Setiap tim akan saling beradu untuk merebut topi tersebut sambil menjaga topi mereka sendiri dari serangan tim lawan.

Tim yang berhasil merebut topi lawan dan membawanya kembali ke markas mereka akan keluar sebagai pemenang.

Selain merebut topi, ada beberapa aturan lain yang harus diperhatikan dalam permainan Caping Gunung.

Setiap pemain hanya diperbolehkan bergerak di atas gunung atau batu yang telah ditentukan, dan tidak diperbolehkan turun dari gunung tersebut.

Jika seorang pemain turun dari gunung atau batu, maka dia akan dianggap kalah.

Selain itu, pemain juga tidak diperbolehkan menyentuh atau menyerang lawan dengan tangan atau kaki.

Pemain yang mampu bertahan hingga akhir adalah pemenangnya.

Permainan tradisional Caping Gunung merupakan bagian dari kebudayaan tradisional Jawa Barat yang harus dilestarikan.

Selain sebagai hiburan, permainan ini juga melatih keberanian, strategi, dan kerja sama antar pemain.

Permainan Cublak-cublak suweng

Cublak-Cublak Suweng[sunting]

Cublak-cublak Suweng adalah salah satu permainan disertai lagu pengiring yang dinyanyikan. Lagu pengiring dalam permainan ini berjudul sama dengan nama permainan itu sendiri yaitu cublak-cublak suweng. Permainan tradisional cublak-cublak suweng biasa dimainkan oleh anak-anak kecil di pedesaan dari Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan juga Jawa Timur.

Cara Bermain :

Permainan ini diawali dengan hompimpa atau gambreng untuk menentukan siapa yang kalah pertama kali.

Setelah itu ia yang kalah akan berperan menjadi Pak Empong, yang berbaring terlungkup ditengah dan anak-anak yang lain akan duduk melingkari Pak Empong.

Kemudian mereka yang melingkari Pak Empong membuka telapak tangan menghadap ke atas dan diletakkan di punggung Pak Empong.

Lalu ada salah satu anak memegang biji/kerikil dan dipindah dari telapak tangan satu ke telapak tangan lainnya diiringi lagu Cublak-cublak Suweng.

Lirik:

Cublak-cublak suweng

Suwengé ting gelèntèr

Mambu ketundhung gudèl

Pak Empong léra-léré

Sapa ngguyu ndhelikaké

Sir, sir pong dhelé kopong

Sir, sir pong dhelé kopong

Pada lirik lagu "sapa ngguyu ndhelikaké" merupakan pertanda biji/kerikil harus segera disembunyikan oleh anak yang menerimanya dalam genggaman. Pada akhir lagu, semua anak menggenggam kedua tangan masing-masing, berpura-pura menyembunyikan kerikil, sambil menggerak-gerakkan tangan. Pak Empong bangun dan menebak di tangan siapa biji/kerikil disembunyikan. Bila tebakannya benar, anak yang menggenggam biji/kerikil bergantian menjadi Pak Empong. Bila salah, Pak Empong kembali ke posisi semula dan permainan diulang lagi. Begitu seterusnya, permainan ini dilakukan untuk mengajarkan sikap kejujuran, sportifitas, dan kerjasama.

alat untuk bermain congklak

Congklak[sunting]

Congklak adalah suatu permainan tradisional yang dikenal dengan berbagai macam nama di seluruh Indonesia. Biasanya dalam permainan congklak, sejenis cangkang kerang digunakan sebagai biji congklak. Namun, jika tidak ada, dapat menggunakan biji-bijian dari tumbuh-tumbuhan dan batu-batu kecil.

Di Jawa, permainan ini lebih dikenal dengan nama congklak, dakon, dhakon atau dhakonan. Di beberapa daerah di Sumatra yang berkebudayaan Melayu, permainan ini dikenal dengan nama congkak. Di Lampung, permainan ini lebih dikenal dengan nama dentuman lamban, sedangkan di Sulawesi permainan ini lebih dikenal dengan beberapa nama: Mokaotan, Maggaleceng, Aggalacang dan Nogarata.

Permainan congklak dilakukan oleh dua orang. Dalam permainan, menggunakan papan yang dinamakan papan congklak dan 98 (14 x 7) buah biji yang dinamakan biji congklak atau buah congklak. Umumnya papan congklak terbuat dari kayu dan plastik, sedangkan bijinya terbuat dari cangkang kerang, biji-bijian, batu-batuan, kelereng atau plastik. Pada papan congklak terdapat 16 buah lubang yang terdiri atas 14 lubang kecil yang saling berhadapan dan 2 lubang besar di kedua sisinya. Setiap 7 lubang kecil di sisi pemain dan lubang besar di sisi kananya dianggap sebagai milik sang pemain.

Cara Bermain :

Pada awal permainan setiap lubang kecil diisi dengan tujuh buah biji.

Dua orang pemain yang berhadapan, salah seorang yang memulai dapat memilih lubang yang akan diambil dan meletakkan satu ke lubang di sebelah kanannya dan seterusnya berlawanan arah jarum jam.

Bila biji habis di lubang kecil yang berisi biji lainnya, ia dapat mengambil biji-biji tersebut dan melanjutkan mengisi, bila habis di lubang besar miliknya maka ia dapat melanjutkan dengan memilih lubang kecil di sisinya.

Bila habis di lubang kecil di sisinya maka ia berhenti dan mengambil seluruh biji di sisi yang berhadapan.

Tetapi bila berhenti di lubang kosong di sisi lawan maka ia berhenti dan tidak mendapatkan apa-apa.

Permainan dianggap selesai bila sudah tidak ada biji lagi yang dapat diambil (seluruh biji ada di lubang besar kedua pemain).

Pemenangnya adalah yang mendapatkan biji terbanyak.

Dhingklik Oglak-aglik[sunting]

Dhingklik oglak-aglik adalah satu jenis permainan tradisional yang berasal dari Jawa Tengah. Anak-anak memainkannya dengan meniru suatu bentuk bangku (dhingklik) yang digunakan untuk duduk, yang keadaannya tidak stabil sehingga akan mudah goyah (oglak-aglik). Permainan ini dimainkan minimal oleh 3 anak dalam satu kelompok yang seusia, sama besar, dan sama tinggi, agar dapat menjaga keseimbangan suatu bentuk dhingklik yang oglak aglik.

Cara Bermain:

Pertama, semua pemain berdiri berhadap-hadapan dengan tangan saling bergandengan. Misalkan pemain tersebut adalah A, B, C, dan D tahap kedua, B dan C menerobos (mbrobos) di bawah lengan A dan B, sehingga para pemain berdiri dengan saling bertolak belakang dan tangan tetap bergandengan.

Kedua, setiap peserta mengangkat salah satu kakinya ke arah dalam lingkaran, kemudian masing-masing kaki saling dikaitkan untuk membentuk suatu posisi yang kokoh sehingga tidak akan mudah jatuh.

Terakhir, tangan yang saling bergandengan dilepaskan, lalu kedua tangan bertepuk tangan.

Para pemain melonjak-lonjak sambil bertepuk menyanyikan lagu: Pasang dhingklik oglak-aglik, yen kecelik adang gogik, yu yu mbakyu mangga dhateng pasar blanja, leh olehe napa, jenang jagung enthok-enthok jenang jagung, enthok-enthok jenang jagung, enthok-enthok jenang jagung.

Lirik lagu ini dinyanyikan sepanjang permainan. Tidak menutup kemungkinan, kaitan kaki sudah terlepas ketika lagu belum selesai dinyanyikan, maka selesai sudah permainan ini.

Meskipun permainan ini tidak memerlukan perlengkapan apa pun untuk menunjang jalannya permainan, namun memerlukan tempat yang cukup luas agar terjadi keseimbangan dan kekompakan diantara para pemain dalam membentuk dhingklik.

permainan egrang

Egrang[sunting]

Egrang adalah permaianan anak-anak yang menggunakan sepasang galah atau tongkat yang digunakan seseorang agar bisa berdiri dalam jarak tertentu di atas tanah. Di Jawa Barat, Egrang dikenal dengan nama Jajangkungan.

Cara Bermain:

Kedua kaki menginjak titian yang terdapat pada masing masing bambu, kemudian langsung digunakan untuk berjalan.

Egrang dibuat dari dua batang kayu atau bambu yang panjangnya masing-masing sekitar dua meter.

Kemudian sekitar 50 cm dari alas bambu/ kayu tersebut dilubangi lalu dimasukkan bambu dengan ukuran 20-30 cm atau dipakukan kayu yang berfungsi sebagai pijakan kaki. Permainan ini membutuhkan konsentrasi yang tinggi.

Untuk itu diperlukan kehati-hatian agar tidak terjatuh.

contoh gambar papan engklek

Engklek[sunting]

Engklek adalah salah satu permainan dari Jawa Tengah yang dimainkan dengan menggambar garis di atas tanah atau media lain. Permainan Engklek juga merupakan salah satu permainan yang sangat di gemari oleh kalangan perempuan. Permainan engklek juga dikenal di daerah lain, Di Provinsi Banten dikenal dengan nama Jingklong, Di Aceh namanya Ingke.

Cara bermain :

Peserta permainan ini melompat menggunakan satu kaki disetiap petak-petak yang telah digambar sebelumnya di tanah.

Untuk dapat bermain, setiap anak harus berbekal gacuk yang biasanya berupa sebentuk pecahan genting, yang juga disebut kreweng, yang dalam permainan, kreweng ini ditempatkan di salah satu petak yang tergambar di tanah dengan cara dilempar, petak yang ada gacuknya tidak boleh diinjak / ditempati oleh setiap pemain, jadi para pemain harus melompat ke petak berikutnya dengan satu kaki mengelilingi petak-petak yang ada.

Pemain yang telah menyelesaikan satu putaran terlebih dahulu, berhak memilih sebuah petak untuk dijadikan "sawah" mereka, yang artinya di petak tersebut pemain yang bersangkutan dapat menginjak petak itu dengan kedua kaki, sementara pemain lain tidak boleh menginjak petak itu selama permainan. Peserta yang memiliki kotak paling banyak adalah yang akan memenangkan permainan ini.

Gamparan[sunting]

Permainan tradisional gamparan ini menggunakan alat batu sebagai sarana permainannya. Permainan ini dilakukan secara berpasangan atau berkelompok, sehingga pemain harus berjumlah genap, biasanya dimainkan oleh anak laki-laki yang rata-rata berusia 10 sampai 14 tahun. Mereka terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mentas (main dahulu), dan kelompok dadi atau nggasang. Permainan ini dimainkan di halaman terbuka yang cukup datar dan rata, seperti tanah yang masih alami atau yang sudah diperkeras dengan luas kira-kira 3x6 m. Jenis batu yang digunakan ada dua macam, batu kecil sebagai alat pelempar (gacok) dan batu yang agak besar sebagai sasarannya (gasangan).

Cara bermain:

Para pemain membawa peralatannya yang berupa batu sebagai gacuk dan gasangan,

Lalu, membuat garis batas gasangan dan garis batas melempar batu (saku) dan kurang lebih 15 langkah kaki (6 m), serta garis batas, 2 m dari garis batas gasangan.

Untuk menentukan siap yang main duluan dengan cara diundi (hom pimpa)

Untuk setiap pasangan pemain, yang kalah dalam undian bertindak sebagai penjaga batu gasangan (nggasang).

Pemain yang menang undian bertindak sebagai pelempar batu.

Inspirasi permainan dari tarian tradisional Gandrung

Gandrung[sunting]

Permainan tradisional yang bernama gandrung yang berasal dari tari tradisional Jawa Timur dengan nama sama yang biasanya dipersembahkan dalam rangkaian acara adat atau upacara keagamaan. Permainan tradisional gandrung biasanya dimainkan oleh dua tim yang masing-masing terdiri dari lima sampai tujuh orang.

Cara bermain :

Setiap tim akan diberikan sejumlah biji kelapa yang harus dilemparkan ke dalam sebuah lubang kecil di tanah yang telah digali sebelumnya.

Tim yang berhasil melemparkan biji kelapa ke dalam lubang tersebut dengan jumlah paling banyak akan keluar sebagai pemenang.

Ada beberapa aturan yang harus diperhatikan dalam permainan tradisional gandrung. Setiap tim hanya diberikan waktu tertentu untuk melemparkan biji kelapa, dan setiap anggota tim hanya boleh melemparkan satu biji kelapa dalam setiap putaran. Jika biji kelapa yang dilemparkan meleset atau keluar dari area permainan, maka tidak akan dihitung sebagai skor. Permainan tradisional gandrung sering dimainkan di pedesaan atau perkampungan di Jawa Timur, terutama saat festival atau acara adat. Permainan ini menjadi salah satu bentuk pelestarian budaya tradisional Indonesia, yang sebaiknya terus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Gasing

Gasing[sunting]

Gasing (atau juga disebut Gangsing) adalah mainan yang bisa berputar pada poros dan berkesetimbangan pada suatu titik. Biasanya berbentuk bulat dan runcing di salah satu bagian. Gasing merupakan mainan tertua yang ditemukan di berbagai situs arkeologi dan masih bisa dikenali. Selain merupakan mainan anak-anak dan orang dewasa, di beberapa daerah yang menganut keyakinan tertentu, gasing juga digunakan untuk berjudi dan ramalan nasib.

Sebagian besar gasing dibuat dari kayu, walaupun sering dibuat dari plastik, atau bahan-bahan lain. Kayu diukir dan dibentuk hingga menjadi bagian badan gasing. Tali gasing umumnya dibuat dari nilon, sedangkan tali gasing tradisional dibuat dari kulit pohon. Panjang tali gasing berbeda-beda bergantung pada panjang lengan orang yang memainkan.

Di Jawa Tengah, khususnya di Demak, biasanya gasing dimainkan saat pergantian musim hujan ke musim kemarau.

Gobak Sodor

Cara bermain:

Gasing dimainkan dengan cara memutar tali sepanjang permukaan bulatan gasing, kemudian setelah tertutup semua permukaan, lepaskan tali dengan cepat agar gasing dapat berputar secara seimbang. Pemain yang memiliki gasing yang berputar paling lama adalah pemenangnya.

Gebokan[sunting]

Gebokan termasuk salah satu permainan dari Jawa Tengah. Permainan gebokan dilakukan oleh 2 kelompok yang memakai bola tenis sebagai alat untuk menembak lawan serta tumpukan batu untuk disusun. Siapapun pemain yang berhasil menumpuk batu tersebut dengan cepat tanpa terkena pukulan bola adalah kelompok yang memenangkan permainan.

Cara bermain:

Permainan ini diawali dengan menentukan kelompok yang akan menjadi penjaga awal serta kelompok yang dikejar. Kelompok yang menjadi penjaga wajib segera meringkus bola secepatnya seusai tumpukan batu rubuh oleh kelompok yang dikejar. Jika bola sukses menyentuh lawan, maka kelompok yang anggotanya tersentuh bola menjadi penjaga tumpukan batu.

Gobak Sodor[sunting]

Permainan beregu terakhir adalah gobak sodor. Permainan ini terdiri dari dua tim yang masing-masing timnya terdiri dari 3-4 orang. Permainan ini dilakukan di tempat yang lapang. Para pemain menentukan anggota tim masing-masing.

Cara bermain:

Sebelum bermain para pemain memberi garis di tanah untuk pembatas permainan.

Dua tim terdiri dari tim penjaga dan tim penyerang.

Tugas dari tim penjaga ialah jangan membiarkan tim penyerang lolos.

Para penjaga harus bisa menyentuh pemain dari tim penyerang, jika tersentuh oleh tim penjaga maka pada satu babak ini dinyatakan gugur.

Lalu tugas dari tim penyerang adalah harus meloloskan diri agar sampai pada daerah paling belakang penjaga atau bisa disebut benteng.

Jika ada salah satu diantara pemain tim penyerang lolos, maka timnya mendapat skor untuk menjado pemenang.

Permainan ini dilanjutkan secara bergantian dan selesai dengan kesepakatan bersama.

Permainan tradisonal bersifat flexibel, bisa dimainkan seberapa lama dan tergantung dengan aturan yang dibuat oleh kesepakatan bersama di awal.

Selain itu juga bisa lebih melatih kebugaran dan kreativitas anak dengan memainkan fisik dan strategi untuk memenangkannya.

Gotri[sunting]

Gotri Legendri adalah permainan daerah yang sering dimainkan oleh anak-anak asal Solo, Jawa Tengah. Peserta permainan ini terdiri dari minimal 4 orang. Pada zaman dahulu, permainan ini dimainkan dengan menggunakan pecahan-pecahan genting atau batu, dengan salah satu kepingannya berukuran lebih besar dari yang lainnya.

Cara bermain:

Di awal permainan, seluruh peserta akan duduk melingkar dengan masing-masing anak memegang batu sambil menyanyikan lagu Gotri.

Seiring berjalannya lagu, batu akan digeser berputar.

Lalu, saat lagu selesai, anak yang terakhir kali memegang batu atau kepingan yang paling besar akan dihukum.

Jenis hukumannya beragam sesuai kesepakatan para pemain, namun hukuman yang umumnya digunakan adalah menyanyi di depan pemain lain.

Alat bantu permainan dapat diganti dengan balok atau benda yang bentuk geometri atau warnanya berbeda.

Hal ini bertujuan untuk sekaligus mengenalkan kepada para pemain, yang umumnya adalah anak-anak, mengenai bentuk-bentuk geometri ataupun warna-warna yang beragam.

kelereng

Gundu (Kelereng)[sunting]

Permainan gundu (kelereng) atau nekeran merupakan permainan tradisional Jawa yang hingga kini masih cukup sering dimainkan. Permainan ini mempunyai banyak sekali variasi, namun yang paling sering dimainkan adalah permainan gundu melingkar.

Cara bermain:

Pertama, pemain membuat gambar lingkaran kecil di tanah.

Semua anak menaruh sebutir kelereng di dalam lingkaran.

Lalu semua anak berdiri kira-kira satu meter dari lingkaran, di belakang sebuah garis.

Secara bergantian, lemparkan sebutir kelereng lainnya ke arah lingkaran. Anak yang kelerengnya paling jauh dari lingkaran, boleh main lebih dulu.

Dia harus memakai kelereng yang ada di luar lingkaran sebagai “Penyerang” untuk memukul kelereng di dalam lingkaran keluar. Kalau berhasil melakukannya, maka ia boleh menyimpan setiap kelereng yang kena jentik.

Cara menjentik kelereng: pertemukan ibu jari dengan jari tengah. Sentilkan kedua jari tepat pada gundu.

Kelereng “Penyerang” harus tetap tinggal di dalam lingkaran. Kalau tidak, maka anak yang memilikinya akan kehilangan kelereng tersebut.

Pemenang adalah anak yang mengumpulkan kelereng atau gundu terbanyak.

hompimpa

Hompimpa[sunting]

Hompimpa atau gambreng dilakukan untuk mengawali berbagai permainan lainnya. Dalam budaya Jawa, hompimpa dilakukan sembari mengucapkan kalimat "Hompimpa alaium gambreng". Sementara dalam budaya Betawi, hompimpa diucapkan dengan kalimat "Hompimpa alaium gambreng, Mpok Ipah pakai baju rombeng". Inilah mengapa hompimpa sering disebut juga dengan permainan gambreng.

Cara Bermain:

Permainan ini dilakukan oleh lebih dari dua orang dan secara serentak. Hompimpa diucapkan dengan letak tangan berhimpitan. Ucapkan "Hompimpa alaium" sambil mengepakkan telapak tangan, dan saat "gambreng" maka masing-masing anak membalikkan tangan atau tidak membalikkannya. Warna tangan apa yang paling sedikit, dialah yang menjadi pemenang.

Injit-injit Semut[sunting]

Permainan ini bisa dimainkan dua orang atau lebih. Ini akan membuat anak-anak merasa sakit, lucu, dan ingin berada paling atas. Permainan ini akan menyatukan kebersamaan dan kasih sayang antar pemain, serta menjadi hiburan untuk anak-anak tersebut.

Cara Bermain:

Semua pemain duduk di lantai membentuk lingkaran. Tangan para pemain dikumpulkan sambil mencubit tangan pemain yang ada di bawahnya. Tangan yang saling mencubit dan berbaris rapi ke atas digoyang-goyangkan ke atas dan ke bawah sambil menyanyikan lagu "Injit-injit semut, siapa sakit naik ke atas." Tangan yang paling bawah bisa naik ke atas. Begitu seterusnya.

Jamuran[sunting]

Jamuran adalah permainan yang berasal dari Pulau Jawa. Jamuran bisa dimainkan anak-anak yang berjumlah 4 sampai 12 anak. Jamuran biasanya diadakan di waktu sore dan malam saat Bulan Purnama. Anak-anak yang ikut bermain berusia 6 sampai 13 tahun. Permainan jamuran bisa dimainkan oleh anak lelaki, anak perempuan atau campuran.

Cara bermain :

yang bermain berjumlah 10 orang (A, B, C, D, E, F, G, H, I, J), lalu diundi dengan hompimpa, siapa yang kalah akan jadi. Contohnya yang jadi J, lalu A, B, C, D, E, F, G, H, I membentuk barisan yang berbentuk lingkaran, memutari J yang ada di tengah. Lalu A sampai I tadi berjalan berputar memutari J, sambil menyanyikan lagu jamuran.

Cara bermainnya, satu orang mejadi pancer ( pusat ), dan pemain yang lainnya bergandengan tangan membentuk lingkaran mengelilingi pancer tersebut. Mereka berjalan berputar, mengelilingi pancer sambil bernyanyi. Lirik lagunya adalah:

Jamuran

Jamuran ya gégé thok

Jamur apa ya gégé thok

Jamur gajih mbejijih sa ara-ara

Sira mbadhé jamur apa

Kemudian sang pancer menjawab jenis jamur sesuka hatinya. Misalnya sang jamur menjawab jamur payung, maka para pemain harus berdiri tegak dengan tangan terbuka. Kemudian sang pancer menggelitik ketiak mereka satu persatu, apabila salah seorang dari mereka tidak tahan, dia berganti menjadi pancer. Misalnya lagi setelah bernyanyi jamuran, dan sang pancer menjawab jamur kethek nenek yang artinya jamur monyet sedang memanjat, maka para pemain lainnya harus segera lari mencari pohon untuk tempat memanjat. Kemudian sang pancer menangkap salah seorang pemain yang tidak memanjat atau belum sempat memanjat, dan yang tertangkap tersebut berganti menjadi pancer. Di dalam istilah Jawa, sang pancer disebut juga bocah sing dadi ( anak yang jadi ).

jaranan dari anyaman bambu

Jaranan[sunting]

Kesenian Jaranan ialah jenis kesenian Kuda Lumping mulai muncul sejak abad ke 10 Hijriah di Wengker atau daerah Ponorogo. Jaranan pada zaman dahulu adalah selalu bersifat sakral. Maksudnya selalu berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya gaib. Selain untuk tontonan dahulu jaranan juga digunakan untuk upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan roh-roh leluhur keraton. Pada zaman kerajaan dahulu jaranan sering kali ditampilkan di keraton. Anak anak di Jawa tengan suka sekali bermain Jaranan ala mereka. Jaranan yang digunakan dapat terbuat dari anyaman bambu, anyaman daun kelapa atau pelepah daun pisang. Cara membuat jaranan dari pelepah pisang:

Pelepah pisang yang cukup tua dan potong pangkalnya lalu dibuang daunnya, dan sisakan daun yang ada di ujungnya untuk ekor.

Kerat ujung pangkalnya berbentuk V (25-30 cm dari ujungnya), lalu lipat ujungnya pada batas V.

Ikat bagian ujung sehingga membentuk kepala kuda menggunakan serat dari batang pohon pisang kering.

Sebelum ikatan dikencangkan, sayat sedikit kiri-kanan dekat keratan bentuk V untuk membuat telinganya.Tarik dan kencangkan ikatan.

Kuda-kudaan dirapihkan (potong ujung mulutnya jika terlalu panjang) dan siap dipakai.

Lipat pelepah untuk tempat duduk, dari kepala kuda kebawah dengan panjang secukupnya dan dari ekor kuda kebawah dengan panjang secukupnya

Siapkan tali dengan panjang secukupnya, diikat di bawah kepala kuda dan diikat di bawah ekor, sebagai pegangan. Kuda lumping siap dipakai.

Lempar Sandal[sunting]

Permainan beregu satu ini adalah salah satu yang paling digemari. Hampir setiap hari permainan ini dimainkan. Cukup sederhana aturan bermainnya, terdiri dari dua tim, setiap tim terdiri dari 3-5 orang. Kemudian perwakilan dari tim melakukan suit, bagi tim yang kalah harus menjadi tim penjaga, dengan menyusun sandal membentuk segita memutar. Lalu tim lainnya bersembunyi pada hitungan kesepuluh dari tim penjaga.

Saat tim penjaga sedang mencari keberadaan tim penyerang, bagi tim penyerang harus mencari celah untuk berlari ke arah susunan sandal dan menghancurkannya dengan kaki. Lalu, apabila tim penjaga melihat salah satu dari pemain tim penyerang maka harus berlari secepatnya ke arah susunan sandal lalu melompatinya sambil menyebutkan nama, bagi pemain penyerang yang ketahuan akan dianggap gugur.

Lompat tali

Lompat Tali[sunting]

Permainan Lompat Tali adalah permainan tradisional yang hampir ada di seluruh indonesia. Permainan tradisional yang satu ini terbilang sangat sederhana. Hanya dengan seutas tali, anak-anak dapat tertawa bahagia dengan teman seusianya. Permainan Tali ini tidak membutuhkan biaya banyak untuk memainkannya. Biasanya dimainkan oleh anak perempuan.

Permainan ini dapat dilakukan ditempat yang memiliki ruang cukup luas, seperti di halaman rumah, halaman sekolah dan sebagainya. Peralatan yang dibutuhkan untuk permainan ini hanya membutuhkan seutas tali dengan ukuran panjang tali melihat dari berapa banyak pemain.

Untuk ukuran normalnya dengan minimal 5 pemain dibutuhkan panjang tali kurang lebih 3 meter. Untuk tali yang digunakan bisa terbuat dari karet gelang yang disambung sampai memanjang. Jumlah pemain untuk memainkan permainan tali tidak ada batasan. Jumlah minimal pemain untuk permaian ini ada 3 pemain. Permainan ini dimainkan dengan cara memutar seutas tali yang dilakukan oleh dua anak di setiap ujung talinya. Pada saat tali diputar pemain secara bergiliran masuk dan melompat dalam putaran tali. Pemain dinyatakan kalah jika gagal melewati putaran tali. Pemain yang gagal melewati putaran tali maka harus bergantian dengan pemain yang bertugas menjadi pemutar tali.

Pérépét Jéngkol[sunting]

Pérépét jéngkol merupakan permainan tradisional yang berasal dari Jawa Barat. Permainan ini sering dimainkan oleh anak-anak, pada jaman dulu permainan ini berkembang dengan populer di kalangan suku Sunda. Di Jawa Tengah, permainan ini disebut dengan “dhingklik oglak aglik”.

Walaupun namanya pérépét jéngkol, permainan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan jengkol. Anak-anak biasanya memainkan pérépét jéngkol di halaman pada saat malam terang bulan. Permainan ini sangat mudah dimainkan, dalam memainkan pérépét jéngkol pemain harus bisa mengatur keseimbangan dan kerja sama tim. Biasanya, permainan ini dimainkan secara berkelompok oleh tiga sampai empat orang.

Cara bermain:

Pertama, para pemain berdiri saling berpegang tangan dan saling membelakangi badan satu sama lain.

Kemudian, kaki dari para pemain dikaitkan satu sama lain dari arah belakang.

Setiap pemain harus berkonsentrasi penuh untuk menjaga keseimbangan kelompok mereka agar tidak terjatuh.

Para pemain akan bergerak dan meloncat baik ke arah kiri atau kanan sesuai kesepakatan bersama.

Sambil berputar, para pemain melantunkan sebuah lagu, seperti ini lirik lagunya.

Pérépét jéngkol jajahean

Kadempet kohkol jejeretean

Eh jaja eh jaja eh jaja eh jaja

Semakin lama, tempo putarannya akan semakin cepat, sehingga satu per satu pemain akan terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Permainan ini dimainkan hanya untuk bersenang-senang saja, sehingga tidak ada pihak yang dinyatakan menang ataupun kalah. Pérépét jéngkol dapat melatih keseimbangan para pemainnya. Selain itu, pérépét jéngkol dapat melatih ketangkasan, keakraban, dan kerja sama dalam tim.

Petak umpet

Petak Umpet[sunting]

Petak umpet adalah permainan anak internasional yang dikenal sebagai delikan di Jawa. Di Indonesia, orang Sunda menyebutnya Ucing Sumput. Di Jawa, petak umpet bisa dilakukan dengan melibatkan minimal dua pemain, meski bakal lebih seru jika melibatkan lebih dari tiga orang.

Cara bermain:

Permainan diawali dengan undian denghan hompimpa untuk menentukan siapa yang menjadi penjaga benteng sekaligus pencari pemain lain yang bersembunyi.

Kemudian penjaga benteng menutup mata dan menghitung sesuai kesepakatan, pemain lain mulai mencari tempat aman untuk bersembunyi.

Begitu hitungan selesai, penjaga mulai mencari pemain yang ndelik (bersembunyi), saat menemukan pemain lain yang ditemukan dia harus segera menuju benteng sembari meneriakkan nama pemain itu.

Masing-masing daerah di Jawa punya sebutan sendiri saat tangan menyentuh benteng.

Penjaga harus beradu lari dengan pemain yang ketahuan, karena kalau pemain tiba lebih dulu, dia lolos dari kemungkinan menjadi penjaga selanjutnya.

Penjaga harus mencari semua pemain atau menyerah dan mengatakannya keras-keras.

Pemain yang "tertangkap" penjaga kemudian melakukan hompimpa untuk menentukan siapa penjaga selanjutnya.

Begitu seterusnya, hingga permainan selesai ketika hari menjelang senja.

Petil Lele/Patek Lele[sunting]

Petil Lele / Patek Lele adalah permainan yang memakai alat dari dua potongan kayu atau bambu berukuran sekitar 30 cm dan yang satunya berukuran lebih kecil untuk dipukul ke arah lawan. Permainan tradisional ini dimainkan oleh anak-anak secara kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 2 orang sampai 4 orang dengan menggunakan alat dari dua potongan bambu yang berbeda ukuran.

Dua kelompok terdiri dari kelompok pemukul dan kelompok penangkap. untuk menentukan pemenangnya dilihat dari skor yang didapat oleh salah satu regu baik penangkap maupun pemukul. Permainan dimulai dengan kelompok pemukul memukul batang bambu yang kecil dan terlempar, kemudian penangkap harus mampu/berhasil menangkap batang bambu yang di pukul oleh si pemukul.

Jika bambu yang terlempar tidak bisa ditangkap maka sang pemukul mendapat nilai. Jika si penangkap berhasil menangkap bambu kecil itu maka, mereka harus bertukar tempat. Permainan ini terdiri dari tiga babak permainan, yaitu: Untuk menentukan tim yang lebih dulu bermain sebagai pemukul, kita bisa melakukan suit, atau melemparkan kayu Gatrik pendek ke landasan di atas batu. Siapa yang melemparnya lalu masuk atau paling dekat dengan batu landasan, akan menjadi tim pemukul.

Cara bermain:

Babak Pertama - menyilangkan bambu pendek di atas batu dan didorong ke arah depan agak ke atas menggunakan bambu panjang. Tim penangkap akan menjaga lemparan bambu pendek, jika berhasil tertangkap maka giliran akan berganti. Jika tidak bisa menangkap, masih ada satu kesempatan lagi dengan melemparkan bambu pendek ke bambu panjang. Bila kena, tim penangkap akan berganti menjadi tim pemukul. Bila tidak mengenai bambu panjang, maka kita masuk babak kedua.

Babak Kedua - bambu panjang dipegang dengan posisi mendatar, kemudian bambu penbdek diletakkan di ujungnya. Lalu bambu panjang diayunkan ke atas agar bambu pendek terlempar ke udara (atas), saat itulah bambu panjang secepatnya dipukulkan ke bambu pendek yang masih dalam posisi melayang di udara ke arah tim penjaga. Bila tertangkap, tim penjaga mempunyai peluang untuk bermain bambu . Bila tidak, tim penjaga melemparkan bambu pendek mendekati batu landasan, agar tim pemukul tidak mempunyai jarak per bambu pendek untuk mendapatkan nilai.

Babak kediga - adalah apa yang disebut patil lele, letakkan bambu pendek di atas bata/ batu seperti pada babak pertama. Kemudian dengan menggunakan bambu panjang mencongkel bambu pendek ke arah dengan atas atas dengan kekuatan kecil, saat bambu pendek berada di udara (yang jaraknya tidak jauh dari kayu pemukul yang panjang) maka dengan secepatnya dipukul dengan bambu panjang ke arah penangkap.

Tim penangkap tetap bertugas menangkap bambu pendek. Bila tidak tertangkap, tim pemukul akan meneruskan permainan dengan memukul ujung bambu yang pendek bambu pendek di atas tanah (seperti memukul bola golf tapi sambil kaki mengangkang). Dalam memukul bambu pendek, dilakukan secara estafet (jika pemain ke-1 gagal memukul, diganti pemain ke-2, dst.). Jarak yang diukur dengan bambu pendek itu menentukan kemenangan tim. Tim yang menang biasanya akan dihadiahi oleh tim yang kalah dengan diakod (digendong) dengan jarak sesuai jauhnya bambu pendek yang dipukul.

Soyang[sunting]

Soyang adalah permaian tradisional anak-anak yang menampilkan dialog seorang simbok (ibu) dengan beberapa orang anak dan seorang yang kaya dengan sebutan lurah. Karena kemiskinannya, sang ibu menyerahkan anak-anaknya kepada lurah yang kaya untuk ngenger (numpang ) sebagai pembantunya. Permainan soyang merupakan salah satu permainan yang prosesnya melatih anak-anak untuk belajar bahasa Jawa dengan bermacam-macam stratifikasinya, sehingga dalam permainan ini anak-anak dapat melatih diri untuk menggunakan bahasa tata karma secara bebas dengan teman-teman sebayanya.

Cara bermain:

Pertama, adegan penyerahan anak-anak dari simbok kepada lurah.

Penyerahan anak masing-amsing dilakukan satu demi satu yang masing-masing diiringi lagu soyang "soyang, mbathik plangi dul Semarang, ya ya Bu, ya ya Pa,manuk Endra, kawan atus jawan dasa, e kawula ngenger, ngengerake, sandhang pangan luru dhewe" hingga anak-anak si embok habis.

Setiap lagu soyang selesai dinyanyikan, simbok dan anak-anaknya lalu jongkok di hadapan lurah.

Saat proses penyerahan, diiringi dialog yang intinya penyerahan anak-anak simbok kepada lurah.

Kedua, kebalikan tahap pertama, yaitu adegan permintaan kembali oleh simbok kepada lurah atas anak-anak yang telah diserahkan tersebut.

Sebelum simbok tadi memohon kepada kurah atas anak-anaknya mundur menyanyikan lagu soyang di hadapan lurah.

Setelah lagu selesai dinyanyikan, simbok jongkok di hadapan lurah, dengan sebuah dialog yang intinya permintaan kembali anak-anak simbok dari lurah.

Adegan ini berjalan berulang-ulang hingga anak-anak simbok habis.

Urgensi Permainan Tradisional dalam Kehidupan[sunting]

Permainan tradisional memiliki urgensi yang sangat penting bagi kehidupan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Permainan Tradisional memiliki urgensi yang sangat penting bagi kehidupan. Berikut adalah beberapa urgensi permainan tradisional:

1. Melestarikan Budaya

Permainan tradisional merupakan bagian dari budaya suatu daerah atau negara. Dengan bermain permainan tradisional, kita dapat melestarikan dan memperkenalkan budaya kita kepada generasi muda. Permainan tradisional juga dapat memperkuat identitas budaya suatu daerah atau negara.

2. Meningkatkan Kreativitas dan Imajinasi

Permainan tradisional seringkali tidak membutuhkan peralatan yang mahal atau rumit. Hal ini memungkinkan anak-anak untuk menggunakan kreativitas dan imajinasi mereka untuk membuat permainan yang lebih menarik dan menyenangkan.

3. Meningkatkan Kesehatan

Banyak permainan tradisional yang dapat meningkatkan kesehatan, seperti egrang, gobak sodor, dan sepak takraw. Permainan tradisional dapat membantu meningkatkan keterampilan motorik dan kebugaran fisik.

4. Meningkatkan Keterampilan Sosial

Permainan tradisional membutuhkan kerjasama dan komunikasi antar pemain. Dalam bermain permainan tradisional, anak-anak dapat belajar tentang kerjasama, persaudaraan, dan menghormati orang lain.

5. Mengurangi Ketergantungan pada Teknologi

Permainan tradisional tidak membutuhkan perangkat teknologi, sehingga dapat membantu mengurangi ketergantungan anak-anak pada gadget dan teknologi lainnya. Hal ini dapat membantu meningkatkan keterampilan sosial dan interpersonal anak-anak.

Dengan urgensi-urgensi di atas, permainan tradisional memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas hidup dan mengembangkan potensi anak-anak. Oleh karena itu, permainan tradisional harus terus dilestarikan dan dikembangkan agar dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya.[3]

Biodata Penulis[sunting]

Dewinta Ambarwati, S.Pd.SD adalah seorang guru sekolah dasar yang saat ini berdinas di SDN Kroyolor, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.Saat ini penulis berdomisili di Purworejo bersama keluarga kecilnya. Menikah dengan seorang tentara dan dikaruniai dua orang anak, yang saat ini masih bersekolah di kelas 4 dan 6 SD. Buku yang pernah ditulis salah satunya berjudul : The Power of Believe, berupa kumpulan artikel motivasi religi yang diterbitkan oleh Divapress, Yogyakarta. Selain itu, beberapa artikel yang pernah ditulisnya pernah terbit di media online seperti perpuskita.id dan madrasahdigital.co. penulis pernah memenangkan beberapa kejuaraan menulis cerpen dan artikel. Saat ini penulis menekuni hobi menulis dan membacanya dengan menularkan hobi menyenangkan ini kepada anak-anak tercintanya di rumah dan murid-muridnya di sekolah. Penulis dapat dihubungi melalui surel dewinta88ghafya@gmail.com.

Referensi[sunting]

  1. https://mediaindonesia.com/nusantara/563595/kondisi-geografis-pulau-jawa-berdasarkan-peta-keadaan-alamnya
  2. https://www.gurusiana.id/read/sitinuriyah/article/asejarah-dan-budaya-permainan-tradisional-266745
  3. https://www.kompasiana.com/zahraamaliaisyafira/62a177742098ab7bf6096b22/pentingnya-permainan-tradisional