A Hui dan Meily (Bagian Ketiga)
Kategori
[sunting]Fiksi/Cerita bersambung
Pengantar
[sunting]Penulis
[sunting]Penulis bernama lengkap R. Ananta Kusuma Wibawa. Alumnus S1, Fakultas Hukum, Universitas Surabaya (Ubaya) Surabaya, tahun 1995. Berprofesi sebagai seorang advokat dan sejak tahun 2010, sering menjadi tenaga ahli fungsional dalam progam-program penyusunan kebijakan publik di berbagai instansi pemerintah daerah di Provinsi Jawa Timur.
Email: akwibawa88@gmail.com
Tema
[sunting]Cerita Satir Roman Budaya.
Sasaran
[sunting]Pembaca umum.
Sinopsis
[sunting]Sepak terjang Wang Xiaohui (A Hui) yang menghalalkan segala cara untuk menunjukkan keunggulan jati dirinya, harus berjalan seiring dengan kepribadian kekasihnya, Meily, yang penuh ketabahan dan empati. Cerita satir ini dibungkus dengan sejumlah tradisi-filosofi Tionghoa dan nilai moral.
Lakon
[sunting]- Wang Xiaohui (A Hui)
- Meily
- Wang Xiaofeng
- Anto
- Kak Nana
- Sin Fu
- Om Swie
- Tante Tjoe Yen
- Mama Meily
- Papa Meily
- She Tjoen
Lokasi
[sunting]- Kampung asal A Hui dan Meily
- Kota Malang, Jawa Timur.
- Songgokerto, Kota Batu, Jawa Timur
Cerita Bersambung Bagian Ketiga
[sunting]Nasihat Sang Mentor
[sunting]Walau dipanggil Koko oleh Meily, Anto sebenarnya bukan orang Tionghoa. Ia berasal dari suku Jawa. Namun begitu, Meily senantiasa merasakan suasana inklusif dalam berhubungan dengan mentornya ini. Berusia 47 tahun dan sudah berkeluarga, laki-laki ini memiliki pengetahuan luas dan pemahaman sangat mendalam terhadap banyak hal. Termasuk bidang antropologi, ilmu tentang manusia yang bersangkut-paut dengan berbagai aspeknya.
Jauh dari batasan rasial, Anto selalu bisa menempatkan diri sebagai bagian dari akar rumput kawan-kawan bergaulnya, termasuk dengan Meily, yang berakar rumput Tionghoa.
Anto banyak mencoba menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Tionghoa dan tidak segan-segan bertanya banyak hal yang tidak ia pahami soal ”per-tionghoa-an” kepada Meily. Tidak jarang, Meily bisa terkekeh-kekeh saat Anto mengalami keselo lidah dalam menyebut suatu istilah Tionghoa dan tidak segan menyampaikan pembetulan. Itu yang membuat Meily merasa bahwa Anto cukup ”Tionghoa” untuk bisa “di-Koko-kan”.
Meily yang berusia 22 tahun juga merasa tidak ada jarak dengan Anto, karena Anto senantiasa memberi ruang kesetaraan dalam berdialog. Itu sebabnya, ia juga tidak sungkan berkeluh-kesah soal hubungan asmaranya dengan A Hui yang sering naik turun akibat kebiasaan buruk berjudi.
”Dia sudah putus kuliahnya, Ko Anto. Motornya aja tergadai dan tidak pernah berani lagi mengabari orang tuanya tentang kelanjutan studi di Malang” buka Meily, suatu ketika pada mentornya itu.
”Kau tidak berani memberikan teguran sedikit, untuk mencoba memberikan perbaikan?” tanya Anto yang berusaha mengikuti dialog ini.
”Yeeh, sudah sering Meily mencoba untuk memberitahu baik-baik. Malah ganti dia yang marah-marah. Katanya, Meily nggak usah sok tahu. Dia juga pencemburu berat. Terakhir dia bilang kita putus, karena dia tidak suka Meily berhubungan dengan temannya, Kok Ling, untuk mencari tahu informasi soal A Hui,” keluh Meily.
Anto mencoba mendalami lebih jauh, ”Kalian ini sekedar berpacaran untuk mengisi waktu atau sudah pernah berpikir untuk membina hubungan ini sampai ke jenjang pernikahan, sih?” Meily hanya terdiam, seolah tidak tahu harus menjawab apa. Senyum tipis tergambar di bibirnya, sambil memandang dalam ke mata mentornya.
Lanjut mentornya, ”Kalau buatku, yang namanya berpacaran itu untuk menuju ke jenjang pernikahan. Kalau belum mikir ke arah itu, ya ngapain berpacaran. Buang waktu saja. Nanti, Meily, persoalan yang timbul adalah persoalan orang menikah. Kalau sudah menikah, ya memang jelas statusnya. Misal, kau mau menuduh pasanganmu berselingkuh, kalian memang sudah terikat suatu hubungan yang punya dasar hukum. Kau gugat di pengadilan, bisa menang. Tapi kalau berpacaran, apa dasar hukumnya? Tidak ada ikatan yuridis. Orang masih berhak untuk berhubungan dengan siapa saja. Apa kekuatan sang pacar?”
”Ya dia memang sudah berniat mau ajak Meily kawin, tapi belum tahu bagaimana reaksi papa-mama Meily kalau tahu keadaan si A Hui. Apalagi kalau mereka juga tahu A Hui gemar berjudi, Wah, orang tua Meily bisa tidak setuju.” respons Meily.
Anto pun bertanya lagi, ”Kalau papa-mama Meily nggak setuju, lantas mau apa?” Meily langsung menjawab cepat, ”Ya rencananya Meily mau diculik, trus kita kawin lari.”
Mendengar jawaban sedrastis itu, Anto tidak kuasa menyembunyikan tawanya keras-keras, ”Ahahaha, heeh, Meily, Meily...Kalian ini kayak hidup di jaman ”Sampek Engtay”15 saja. Cinta tidak disetujui, kawin lari, trus mati bersama. Emangnya kalian juga akan menuju keabadian? Setelah mati, berubah jadi kupu-kupu? Ahahahaha”.
Meily pun tak kuasa mengembangkan senyumnya yang menawan seraya merajuk, ”Aaah, Ko Anto kok begitu, sih. Meily ini minta pertimbangan bener-bener, ah. Kok malah dianggap kayak Sampek Engtay”. Namun kemudian, Meily juga turut terkekeh membayangkan penyampaian Anto.
”Bukan...,” Anto menarik nafas sejenak, ”Ya aneh saja, anak muda jaman teknologi maju, masih berpikir seperti jaman ”rakyat belum pakai sepatu”. Kalau Meily biarin saja, nggak usah dianggap lagi bagaimana? Kau sekarang sedang menyelesaikan tugas akhir. Konsentrasi saja kesana. Segera lulus, ambil pendidikan profesi. Nanti kalau sudah, insya Allah, bisa aku bantu untuk dapat rekomendasi magang profesi di rumah sakit yang bonafide di Surabaya. Biar Meily cepat masuk ke dunia kerja, yang dinamikanya lebih luas dari kehidupan kemahasiswaan ini.”
”Iya, Meily ngerti, Ko Anto. Tapi kasihlah Meily masukan, bagaimana caranya bisa memperbaiki hubungan lagi sama si A Hui,” desak Meily.
”Gini, lho Meily. Aku tahu persis, si A Hui itu, sebenarnya tidak bisa terlepas juga dari kamu...”
”Kok bisa, Ko Anto?”
”Orang seperti dia sangat membutuhkan seorang perempuan yang penuh pengertian dan bisa mendukung visi dan langkah-langkah hidupnya di kemudian hari. Dari segi perwatakan dalam hitungan Jawa, orang seperti A Hui itu serupa dengan aku. Di masa lalu, aku pun mengalami tahap-tahap hidup seperti dia. Tetapi nantinya, pada usia yang cukup matang, dia akan mengalami perubahan sikap menjadi lebih baik dan bisa menghasilkan banyak karya-karya positif dalam kehidupan. Dia juga orang sangat setia pada pasangan. Kalau pilihannya sudah satu, ya satu terus itu yang berusaha dia jaga. Percayalah, nanti dia akan menyapa balik kamu dan menjalin hubungan lagi.” papar Anto.
”Kau sudah tidak sabar mau segera berdialog lagi dengan diakah?” tanya Anto memastikan. Meily pun senyum mengangguk dengan pandangan penuh harap.
Selanjutnya, Anto memberi saran agar Meily terlebih dahulu bisa menguasai keadaan lebih maju dibanding si A Hui yang hanya ”jalan di tempat”. Menurut Anto, Meily perlu memperkuat posisi tawar sekaligus bisa memberi daya dorong agar A Hui pun merasa tertantang untuk berusaha memenangkan Meily secara total.
Dia sampaikan agar Meily mulai menceritakan soal A Hui ke mama Meily, namun dengan terlebih dahulu melaporkan tahap kemajuan studi Meily yang sudah mendekati kelulusan kuliah.
”Bilang ke mama, kini Meily sudah akan menyelesaikan studi. Rencana berikut akan mengambil studi profesi. Selain itu, Meily sudah mulai ada yang ingin mengajak menikah. Selanjutnya, kembangkan cerita itu di hadapan Mama. Insya Allah, mama nanti akan senang karena anaknya berani berdialog soal masa depan dengan cara yang matang” saran Anto.
Meily, yang merasa cara itu cukup jitu, sepakat dan bertekad tidak buang waktu lagi untuk segera melaksanakan paparan di hadapan mamanya pada saat ia pulang kampung.
Berbincang Masa Depan
[sunting]Tiga minggu kemudian, Meily telah tiba kembali di Malang. Suatu siang, sepulang dari perpustakaan kampus, dia dengan perasaan optimis meringankan langkah menuju tempat kos si A Hui. Dia sengaja berpakaian kasual dengan warna-warna cerah bermotif bunga untuk menunjukkan semangat muda tapi matang.
Saat mengetahui kehadiran Meily yang terasa segar merekah di siang bolong, A Hui pun tidak kuasa menahan gejolak kerinduan yang terlalu lama ia pendam. ”Kenapa pula, aku pakai ngancam putus segala untuk perempuan seeksotis ini?" pikir A Hui dalam benaknya.
”Koko, sehatkah? Aku cuma sekedar mampir untuk memastikan kesehatan Koko. Kalau Koko tidak berkenan, ya tak mengapa. Yang penting Koko sehat-sehat saja,” sapa Meily dengan senyum renyah. Posisi kakinya sedikit terbuka lebar, tegak menghadap pintu masuk. Lembut dan kokoh, sekokoh keyakinannya bahwa A Hui tak kuasa menolak kehadirannya. Sosok dan gaya Meily, benar-benar seperti tokoh detektif perempuan, V.I. Warshawski, yang tegas menawan.
”Masuklah, Meily. Aku juga kangen sama kamu. Koko minta maaf, ya. Kamu bawa apa itu?” respons A Hui.
”Ini aku bawakan lontong cap go meh 16 buat kita makan siang. Duduklah kita dulu.” jawab Meily. Dengan lincah, Meily segera menata persiapan mereka makan di meja makan tempat kos A Hui. Mereka berdua pun duduk di kursi makan plastik.
Ruang makan itu berukuran 4 x 3 meter, dengan dikelilingi tembok berhias poster-poster bintang film Hong Kong, Lin Ching Hsia dan Amy Yip, yang berpakaian minim. Keduanya mulai makan dan saling berbincang ringan, mengisi kembali keakraban bersama yang pernah terhempas prahara.
”Ko, aku sudah cerita sama mama soal hubungan kita,” buka Meily.
A Hui agak kaget dan bertanya penuh selidik kepada Meily, ”Apa pendapat mamamu soal itu...?” Tenggorokannya terasa sedikit tersekat.
”Ada dua kabar soal itu, ko... ” Meily pun mulai menunjukkan raut muka agak miris.
”Iya, iya, apa, Meily?” desak A Hui yang sudah tidak sabar.
Meily menceritakan kabar pertama bahwa Mamanya cukup senang Meily akan segera lulus dan dilamar orang. Pembicaraan mereka begitu menyenangkan dan panjang lebar hingga sampai pada ihwal ”tragedi A Hui” yang kalah judi dan tidak punya biaya lagi untuk meneruskan kuliah.
Mama Meily pun bercerita persoalan ini kepada papa Meily. Selanjutnya, papanya yang juga kenal papa A Hui, segera menghubungi dan berbicara pada Wang Xiaofeng untuk segera menyelamatkan nasib A Hui.
Xiaofeng jelas marah besar demi mengetahui ”putra mahkotanya” bertindak sembrono dan bikin malu keluarga. Namun nasib baik masih berpihak pada A Hui. Papa Meily cukup bijak menyikapi hal itu dan berhasil meyakinkan Xiaofeng agar merestui hubungan mereka.
”Haiyaa, Meily! Kenapa kok jadi gini, bagaimana aku harus ngomong pada mama-papaku. Malunya aku ini...” ratap A Hui ”Papaku bisa nerima kok, ko. Kedua keluarga kita sudah sepakat bahwa kita akan segera dikawinkan pada akhir tahun ini,” balas Meily. ”Koko nggak senangkah?”
”Aduh, Meily, mau aku kasih makan apa kamu nanti. Aku belum bekerja, lho. Hutang-hutangku masih banyak. Aih, jadi stres aku ini,” A Hui mulai menunjukkan kepanikan. Bayangan tanggung jawab besar dan belum lagi harus menghadapi kemarahan papanya mulai mengembang dalam benaknya.
”Trus kabar keduanya, ko...” lanjut Meily
”Apa lagi, Meily, apa lagi?” A Hui langsung memotong dengan nada tidak sabar.
”Koko disuruh segera pulang sama papa koko. Mungkin nanti koko bakal dimarahi, tapi papa koko nanti mau bikinin toko sendiri buat bekal hidup koko. Yang jelas, koko nggak boleh kuliah lagi. Disuruh kawin, urus keluarga, dan urus toko.”
“Goong!” Kabar itu serasa pukulan lonceng besar di klenteng dengan jarak dekat di telinga A Hui. Semangatnya langsung luruh. Gaungnya membuat telinga complong.
“Ampun, Meily." Mata A Hui berkaca-kaca. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar, “Aku gak bisa jadi arsitek.”
Suara Meily pun terdengar lirih, “...Demi kebaikan kita bersama, ko,” pungkas Meily dengan wajah tertunduk.
Suasana senyap. Bunyi kecap mulut A Hui dan denting sendok-garpu beradu piring dalam acara santap lontong cap go meh sudah terhenti. A Hui terduduk lemas di kursi makan. Namun tiba-tiba, matanya melotot dan mulutnya ternganga lebar. Serasa ia melihat wujud sosok Cai Sin Ya, namun berwajah Tante Tjoe Yen, muncul dari kepulan asap di hadapannya sambil tertawa-tawa. “Gong Xi, Gong Xi,” 17 salamnya pada A Hui. “Jangan berani-berani kau langgar ketentuan lagi!” hardiknya.
“Ampuun, Tante! Saya tidak berani!” teriak A Hui sambil memeluk Meily yang terbengong-bengong melihat tingkahnya.
TAMAT
Keterangan
[sunting]Cerita ini fiktif semata. Semua nama dan karakter yang digambarkan dalam cerita ini, tidak dan tidak harus dianggap identik dengan figur yang nyata, baik yang masih hidup, maupun yang sudah meninggal.
[15] Sampek Engtay adalah legenda dari Tiongkok mengenai tragedi romantika antara dua kekasih. Legenda ini sering dianggap sebagai Romeo dan Juliet versi Cina.
[16] Cap Go Meh: dialeg Hokkien, yang terjemahannya “Malam Kelima Belas”. Merupakan akhir dari rangkaian perayaan tahun baru Imlek yang dilakukan tiap tanggal 15 pada bulan pertama penanggalan Tionghoa atau dua minggu setelah Tahun Baru Imlek.
Lontong Cap Go Meh merupakan masakan adaptasi peranakan Tionghoa Indonesia terhadap masakan Indonesia, tepatnya masakan Jawa. Hidangan ini terdiri dari lontong yang disajikan dengan opor ayam, sayur lodeh, sambal goreng hati, acar, telur pindang, abon sapi, bubuk koya, sambel dan krupuk. Biasanya disantap keluarga Tionghoa Indonesia pada saat perayaan Cap Go Meh, yaitu empat belas hari setelah Imlek, atau tepatnya hari kelima belas bulan 1 penanggalan Imlek.
[17] Gong Xi, Gong Xi: Mandarin, terjemahannya “Selamat, Selamat”