Habis Gelap Terbitlah Terang/Surat-surat dalam tahun 1899

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Kartini, diterjemahkan oleh Armijn Pane
Surat-surat dalam tahun 1899
Lihat pula: s:Door Duisternis Tot Licht/Brieven van 1899
jalan besar di antara Depok dan Bogor.
jalan besar di antara Depok dan Bogor.

Jepara, 20 Mei 1899 (I)[sunting]

Saya sangat beringin hendak berkenalan dengan seorang "gadis kaum muda”, anak gadis yang cakap dan sanggup tegak sendiri, yang cepat kaki ringan tangan serta berani menentang kehidupan dengan hati yang riang dan pikiran yang suka, lagi dengan gembira dan keras hatinya bekerja, bukan untuk keuntungan dan keselamatan dirinya sendiri saja, tetapi suka mengurbankan diri akan guna keperluan dan keselamatan orang banyak juga. Itulah anak gadis yang saya sukai. Saya beriang hati, bersuka raya, menyambut zaman yang baru, bahkan saya dapat katakan, kalau menilik pikiran dan perasaanku, tak hidup lagi bersama-sama dengan bangsa Hindia, melainkan adalah pikiran dan perasaanku itu sesuai betul dengan saudara-saudaraku bangsa kulit putih yang masuk kaum kemajuan di tanah Eropa yang jauh itu.

Jikalau kiranya adat lembaga tanah airku mengizinkan saya berbuat sedemikian, tak adalah yang lain yang lebih saya sukai, melainkan turut berusaha untuk kemajuan perempuan kaum muda di tanah Eropa. Tetapi adat lembaga yang telah berzaman-zaman usianya itu, yang tidak mudah dihilangkan dan ditinggalkan itu, mengikat dan merantai kaki kami dengan tangannya yang kukuh. Tentu pada suatu ketika kami akan terlepas dari pada belenggu itu, tetapi waktu itu masih jauh, ya, teramat jauh antaranya pada kami.

Yang ia akan datang, tahulah saya, tetapi datangnya itu tiga, empat keturunan kemudian dari pada kami. Saya kira, tak dapat Tuan mengirakan betapa sedihnya hati kami dalam hal serupa ini: hati kami cinta dan asyik sekali memandang za­man yang baru, yaitu zamanmu, zaman yang disukai hati jantungku, pada hal kaki dan tangan kami masih terikat terbelenggu oléh adat lembaga, adat pusaka tanah air kami, yang belum boleh lagi kami tinggalkan saja. Akan adat lem­baga, adat pusaka negeri kami itu berlainan benar dengan kemauan zaman baru, yang hendak saya masukkan ke dalam dunia bangsa kami. Siang dan malam saya pikir dan heningkan daya upaya, supaya saya dapat meluputkan diriku dari adat-adat lembaga tanah airku yang keras itu, tetapi pahamku tertumbuk juga.

Bukan karena adat-adat lembaga bangsa Timur yang lama itu kuat dan kukuh, kalau itu saja tentu akan dapat saya melebur, menghancurkannya akan melepaskan diriku. Tetapi ada lagi suatu ikatan yang lebih kuat dan teguh dari adat-adat yang telah berzaman-zaman itu, yang menambatkan saya pada duniaku. Adapun ikatan itu yaitu percintaan yang ada padaku akan meréka, yang melahir menghidupkan daku, yang memelihara dan membesarkan daku. Boléhkah saya memilukan hati meréka, yang selama hidupku selalu memberi dan menunjukkan kesayangan dan kebaikan padaku serta yang memeliharakan saya dengan bersusah payah itu? Adakah hak saya akan itu? Hati meréka itu akan saya rusakkan sekali, bila saya menurutkan kehendak hatiku itu, bila saya kerjakan perbuatan yang diingini seluruh tubuhku itu, tiap helai bulu, setiap saat, sepanjang waktu.

Bukan saja suara-suara, yang dari luar, dari Eropa, negeri yang beradat halus dan yang penduduknya sudah terpelajar itu masuk ke hatiku dan menyebabkan saya beringin akan perubahan tentang hal keadaan yang ada sekarang ini, tetapi waktu saya masih kanak-kanakpun, tatkala perkataan "kemerdékaan” belum saya dengar, belum saya ketahui artinya, serta surat-surat dan kitab-kitab tentang hal itu masih jauh dari padaku, sudah ada juga biji keinginan dalam hatiku yang makin lama makin besar itu, yaitu: ke­inginan akan kebébasan, kemerdékaan dan tegak sendiri. Adapun yang membangunkan keinginan itu ialah keadaan yang kulihat berkelilingku yang menyedihkan hatiku, dan mencucurkan air mataku, karena kedukaan yang tak berhingga.

Dan suara-suara, yang selalu datang dari luar, yang semakin lama semakin keras tibanya kepadaku, menyebabkan tumbuhnya bibit keinginan itu dan ditambah oléh perasaan turut berdukacita dengan orang lain yang saya sayangi amat sangat, sampai pada hati kecilku; akhirnya bibit itu telah berurat berakar dan tumbuh dengan suburnya.

SEKOLAH RENDAH DI JEPARA.

Tetapi hingga inilah perkara itu dulu, kemudian hari dihubung pula. Sekarang saya hendak menceriterakan tentang diriku sendiri kepada tuan, seolah-olah akan berkenalan. Adapun saya ini anak perempuan yang kedua oléh regén Jepara; saudara saya ada lima orang laki-laki dan lima orang perempuan. Kekayaan besar, bukan? Marhum nénékku, Pengéran Ario condronegoro, regén Demak, seorang yang suka akan kemajuan, ialah regén yang pertama-tama sekali di Jawa Tengah, yang membukakan pintu rumahnya untuk jamu yang jauh datang dari seberang lautan: yaitu kemajuan orang Eropa. Sekalian anak-anaknya yang pendidikannya cara Eropa semuanya, memusakai kemajuan bapa meréka itu setelah meréka itu menjadi bapa pula, memberi anak-anaknya pendidikan serupa pendidikan yang telah diterimanya sendiri dulu. Banyak anak-anak bapa mudaku dan kakak-kakakku telah menammatkan sekolah menengah (H.B.S.), sebuah sekolah yang setinggi-tingginya, yang ada di tanah air­ku, dan kakakku laki-laki yang muda sekali (dia ada tiga orang) telah lebih dari tiga tahun di tanah Belanda, belajar untuk melanjutkan kepandaiannya, dan dua orang yang lain itu telah menjabat pangkat pada Gubernemén. Kami anak-anak perempuan yang terikat kaki tangan kami oléh adat-adat kuno tadi, hanyalah sedikit-sedikit boléh merasai kelazatan kemajuan tentang pengajaran itu; sebenarnya kami anak-anak perempuan, keluar pergi belajar dan setiap hari meninggalkan rumah pergi kesekolah itu sudah suatu kesalahan yang besar pada adat lembaga yang kuno itu. Karena adat tanah air kami melarang anak-anak perempuan pergi keluar rumahnya. Pergi kenegeri lain kamipun tidak boléh, sedang sekolah yang ada dinegeri kami yang kecil ini hanya sekolah rendah yang biasa, sekolah Belanda Gubernemén. Waktu saya telah ber'umur dua belas tahun, maka saya dikeluarkan dari sekolah itu. Saya wajib masuk "kurungan", saya ditutup didalam rumah dan sekali-kali tidak boléh keluar lagi. Kami tidak boléh lebih dahulu keluar dari rumah, kalau tidak bersama-sama dengan seorang suami, seorang laki-laki yang tidak kami kenal, yang dipilih oléh orang tua kami untuk kami dan dengan si laki-laki itu kami dikawinkan dengan tidak setahu kami. Sahabat kenalan kami orang-orang Belanda — sepanjang pendengaran saya kemu­dian harinya — telah mencoba dengan bermacam-macam daya upaya akan mengubahkan pikiran orang tua saya, supaya diubahnya keputusan yang bengis, yang ditetapkan atas diriku itu, seorang anak yang masih kecil dan manja, tetapi usaha meréka itu sia-sia saja. Orang tuaku tidak mendengarkan pikiran meréka itu — saya terus dimasukkan ke dalam kurunganku. Empat tahun lamanya saya tinggal berchalwat di antara empat dinding yang tebal itu dengan tiada pernah keluar-keluar sekali juapun. Bagaimana saya menghabiskan waktu empat tahun itu di tempat itu, tidak tahulah saya lagi — hanya yang saya ketahui, bahasa waktu itu amat sengsara adanya.

Suatu keuntungan yang amat besar bagiku, hanyalah karena aku tidak dilarang membaca kitab-kitab bahasa Belanda dan berkirim-kiriman surat dengan sahabat-sahabatku bangsa Belanda. Itulah saja yang menyenangkan hatiku dalam waktu yang sial dan mendukacitakan itu dan itulah saja tempat aku bergantung; kalau tiada barang yang dua perkara itu, barangkali sampai ajalku atau lebih dari pada itu — yaitu pikiranku barangkali boléh hilang sama sekali karena itu. untunglah datang penolong dan pelindungiku, yaitu perubahan zaman membunyikan langkahnya yang keras dan dahsyat itu. Kedatangan waktu yang baru menggoyangkan gedung-gedung adat yang kukuh-kukuh dan tua-tua dari sendinya dan membuka pintu-pintu gedung itu, yang diKunci dan dijaga kuat-kuat itu. Setengahnya terbuka sendirinya dan ada pula yang dibuka dengan kekerasan, tetapi terbuka mesti, tidak boléh tidak. Dari pintu-pintu yang terbuka itulah masuk jamu yang tidak disukai itu ke dalam gedung-gedung itu. Pada sekalian tempat yang ditempuh si jamu itu kelihatanlah selalu bekas jejaknya. Adapun si jamu itu ialah 'ilmu kepandaian bangsa Eropa. Akhirya, ketika saya telah ber'umur 16 tahun, boléhlah pula saya keluar rumah. Syukur! beribu syukur! Seperti seorang bébas boléhlah meninggalkan penjaraku dan kaki tanganku tiadalah tertambat kepada seorang suami yang dipaksakan saja kepada saya.

Enam bulan kemudian dari pada itu baru saya boléh pergi keluar rumah pula; sudah itu terjadilah berturut turut beberapa kejadian, yang makin lama makin banyak memberi kebébasan kami kembali yang dulu telah lenyap itu, dan tahun yang lalu, waktu raja kita yang muda, raja Belanda, naik nobat, maka orang tua kami menganugerahkan kebébasan itu kembali dengan berterang-terang.

Waktu itulah yang pertama-tama kali selama kami hidup, kami boléh meninggalkan tempat tumpah darah kami dan bersama-sama pergi keibu negeri, akan menghadiri alat keramaian untuk memuliakan hari raja Belanda dinobatkan itu. Hal itu ialah suatu kemenangan lagi yang patut kami hargai dan kamipun tidak lupa menghargainya. Maka hendaklah tuan ketahui, bahwa anak-anak gadis orang patut-patut dinegeri kami bila berjalan keluar dimuka orang banyak, tontulah anak negeri tercengang-cengang melihat yang demikian. Orang2 yang panjang lidah tentulah akan ramai mempertuturkan kejadian yang aib itu, tetapi sahabat kenalan kami bangsa Eropa bersorak, beriang hati dan kami merasa beruntung sekali, ya, lebih beruntung dari pada machluk yang seberuntung-beruntungnya didunia ini.

Tetapi saya belum berpuas hati, sekali-kali belum. Lebih banyak, ya, lebih banyak lagi saya kehendaki kebébasan itu. Bukan, bukan keramaian, bukan kesukaan yang saya ingini dalam mencintai kebébasan itu. Maksud saya bébas ialah supaya boléh tegak sendiri dan tidak bergantung pada orang lain, serta........sekali-kali tidak akan kawin, karena terpaksa saja.

Tetapi kami wajib kawin, wajib, wajib. Tiada bersuami ialah suatu dosa yang sebesar-besarnya yang dapat dibuat oleh seorang perempuan yang beragama Islam dan suatu malu yang sebesar-besarnya bagi seorang anak gadis Bumiputera dan sanak saudaranya.

Kawin dinegeri kami ialah suatu kesengsaraan besar; sebenarnya kata kesengsaraan belum lagi sampai kerasnya. Bagaimana perkawinan tidak akan jadi kesengsaraan, kalau hukum dan adat semuanya memberi hak kepada laki-laki saja, perempuan sedikitpun tiada? Dan tidak héran hal yang demikian jika adat dan agama keduanya untuk si laki-laki; semuanya diberikan dan diizinkan kepadanya?

Cinta. Apakah yang kami ketahui tentang perkara cinta. Bagaimanakah kami dapat mencintai seorang laki-laki dan si laki-laki mencintai kami, jikalau kami tiada berkenalan seorang dengan yang lain, ya, sedangkan melihat si laki-laki kami tak boleh? Anak-anak gadis dan anak laki-laki diperceraikan benar-benar.

..................................................................................................................................................................

Ya dengan segala suka hati saya hendak mendengar sekalian hal keadaan pekerjaan tuan, pekerjaan itu rupanya amat bagus pada perasaan saya. Dan sukakah tuan menceriterakan kepadaku segala pengajaran dan sekolah, yang berguna untuk menjadi yang demikian? Lagi pula saya amat suka mendengarkan lebih lanjut ceritera Toynbee-avonjes, demikian pula ceritera tentang geheel-onthoudersbond = perserikatan orang yang tidak suka minuman keras; dalam perserikatan itu tuanpun menjadi anggota yang berusaha sekali rupanya. Sekalian hal yang macam itu tidak adalah pada kami di Hindia. Tetapi saya suka benar mengetahui hal itu.

Sukakah tuan nanti menceriterakan kissah Toynbee-avonjes itu kepada saya? Saya ingin benar hendak mendengar lebih banyak kebaikan kerja itu untuk kita sesama manusia, lebih banyak dari pada yang dikissahkan oléh surat-surat chabar hari-hari, dan surat mingguan dan bulanan dengan pandak saja.

Dalam dunia penduduk Bumiputera beruntunglah belum ada penyakit minuman keras itu akan diperangi — tetapi saya takut, saya takut, bila kemajuan bangsa Eropa telah berurat berakar pula dinegeri kami, kamipun nanti akan menanggungkan kejahatan minuman keras itu pula — maafkan saya karena hal ini — Kemajuan bangsa Eropa ialah suatu berkat bagi kami, tetapi dalam itu ada pula keburukannya, menurut pikiranku. Kesukaan hendak meniruniru sudah teradat pada manusia. Ra'jat yang kebanyakan biasanya suka meniru adat-adat orang baik, — orang baik-baik itu meneladan orang bangsawan yang lebih tinggi pula dan bangsawan itu akhirya mengambil dari pada orang yang beradat halus sekali, yaitu: orang Eropa.

Suatu peralatan tiadalah sejati, bila pada peralatan itu orang tidak minum minuman yang keras-keras. Sekarang orang selalu melihat pada peralatan bangsa Bumiputera, sebuah botol yang empat segi atau lebih dari sebuah, yang tiada dengan hémat dituangkan oléh meréka itu ke dalam mulutnya. Bumiputera yang demikian ialah meréka yang kurang kuat memegang agamanya — kebanyakan anak Bumiputera menjadi Islam, hanyalah sebab bapa dan nénék moyangnya beragama Islam; yang sebenamja meréka itu tidak berapalah lebih kurangnya dari pada orang yang tiada beragama.

Sebuah benda yang jahat, lebih jahat, teramat jahat lagi dari pada alcohol disini ialah candu. O, betapa besar kecelakaan yang dibawa oléh benda yang jahat itu kenegeriku, kepada bangsaku, tidak dapatlah dikatakan. candu penyakit pest yang seganas-ganasnya di tanah Jawa, ya, candu jauh lebih jahat lagi dari pada pest. Penyakit pest tidak selalu berjangkit, dan lambat launnya penyakit itu dapatlah dijauhkan, tetapi penyakit yang disebabkan oléh candu makin lama makin hébat dan semakin lama semakin berjangkit, dan tiada akan dapat, ya, sekali-kali tidak dapat dihilangkan. Sebabnya? Mudah saja; karena candu itu dibawah perlindungan Gubernemén. Makin banyak orang meminum candu, makin penuh kantung wang Gubernemén. Memajakkan candu ialah sebuah dari mata pencarian yang terutama di tanah Hindia untuk Pemerintah. Berpaédah tidak berpaédahnya perbuatan itu bagi anak negeri tidak peduli, asal Pemerintah mendapat keuntungan, habis perkara. La'nat yang jahanam itu mengisi kantung Pemerintah dengan beratusratus ribu, ya, berjuta-juta rupiah. Banyak orang mengatakan, minum candu itu bukanlah kejahatan dan kecelakaan pada anak negeri, tetapi orang yang berkata demikian, belum pcrnah melihat tanah Hindia, atau mata meréka itu buta akan memandang hal yang demikian.

Bukan kejahatan! Apakah dia itu pembunuhan, membakar rumah, kecurian, yang tidak terhingga banyaknya itu, yang sebabnya semata-mata dari karena meminum candu? Tidak, minum candu bukan kejahatan, selama orang sanggup mengerjakannya dan ada mempunyai wang akan membeli racun yang jahanam itu; tetapi bila orang tidak dapat minum itu lagi, wangpun tidak ada akan pembelinya dan orangpun telah menjadi hamba candu itu, maka orang itu menjadi berbahaya dan iapun celakalah. Perut yang lapar boléh menjadikan orang pencuri, tetapi menagih akan candu menjadikan seorang machluk pembunuh orang. Kata orang Jawa: "Mula-mbela engkau yang merasai lazat citarasa candu itu, akhirya dia yang menelan engkau". Sebenar-benarnyalah perkataan itu. Sedih, sungguh sedih hati kita melihat kejahatan yang berkeliling dan kita tidak berdaya akan menjauhkannya.

Kitab nyonya Gudkoop yang bagus itu telah saya baca beberapa kali. Tidak lelah saya membaca kitab itu, melainkan tiap-tiap saya ulang membacanya, selalu ia menambahi sayang saya kepadanya. Betapalah suka saya mengeluarkan wang, bila saya boléh dan dapat hidup dalam zaman Hilda itu. Alangkah baiknya jika kami di Hindia telah sampai sejauh orang dinegeri tuan itu, sehingga kitab Hilda van Suylenburg itu dapat mendatangkan gerakan yang besar, seperti gerakan yang telah disebabkan oléh kitab itu dinegeri tuan! Tiadalah diindahkan buruk atau baik, asal kitab itu dapat menggerakkan hati bangsaku, bahwa bangsaku tiada tidur lagi. Waktu sekarang tanah Jawa masih dalam tidur yang nyenyak. Tetapi betapakah dapat saya kehendaki bangsaku sadar dari tidurnya, kalau meréka yang harus menjadi contoh teladan untuk kami, masih menyayangi tidur yang nyenyak itu pula?

Tidak berbohong saya kalau saya katakan, bahwa kebanyakan perempuan bangsa Eropa (maksud saya bukan perempuan-perempuan bangsa Belanda, yang di tanah Belanda) yang diHindia sedikit atau tidak sekali-kali mengindahkan pekerjaan dan kemajuan saudara-saudara yang di tanah Belanda. Kejadian yang baru-baru ini dalam dunia perempuan bangsa Belanda telah menyatakan hal itu dengan seterang-terangnya. Tidakkah nyonya-nyonya bangsa Belanda di Hindia hati-hati (!) berusaha membantu Pertunjukan Perbuatan Perempuan Bangsa Belanda (Nationale Tentoonstelling van Vrouwenarbeid) di tanah Belanda? Kamipun dapat panggilan, akan bekerja bersama-sama untuk pekerjaan itu dan kamipun dengan segala suka hati menyambutnya. Pekerjaan perempuan yang besar itu menyukakan hati saya amat sangat. Kami setuju sekali dengan perkara yang baik itu, dengan usaha perempuan-perempuan yang gagah perkasa dinegeri tuan itu dan kami merasa beruntung, yang kami dapat dan boléh menolong sedikit mendirikan gunung yang besar itu, gunung yang akan dan harus memberi berkat kepada perempuan-perempuan bangsa kulit putih dan kepada perempuan bangsa kulit hitampun. Kamipun dapat surat ajakan pula. Tetapi pada bangsa kami surat ajakan itu tidak adalah gunanya, seorangpun tiada hendak menolong. Bagaimana sekalipun kami terangkan dan paparkan kepada meréka itu, meréka itu tidak mengerti juga dan tidak suka juga mendengarkan perkataan kami. Dengan putus asa larilah kami kesudahannya meminta tolong kepada orang Eropa. Kepada kenalan dan bukan kenalan, kami kirim kartu pos dan tulis surat akan memohon bantuan meréka itu.

Pekerjaan kami itu sebenarja mengada-adai sekali. Kami, orang Jawa, pergi kepada orang Eropa memperkatakan perkara bangsa Eropa sendiri, sombong, bukan? Orang boléh jadi marah karena hal itu kepada kami, tetapi akan kemarahan dan lain-lainnya itu tiadalah kami pikirkan; pikiran kami, maksud kami hanyalah sebuah saja waktu itu, yaitu: bekerja dengan sekuat-kuatnya untuk perkara yang kami muliakan sampai ke dalam hati itu. Akan orang Eropa itu menolong kami sekeras-kerasnya. Rupanya meréka itu bersuka hati, yang kami, anak-anak Jawa meminta pertolongannya dan barangkali ............. Padalah, orang telah menolong mengasut kami dengan baiknya; sedangkan meréka, yang telah bersumpah, tiada sedikit jua hendak mengindahkan pertunjukan itu, menjadi berlemah hati dan membuka tali kantung wangnya untuk pertunjukan itu.

Hanya seorang perempuan Belanda yang amarah kepada kami, karena kami berbuat yang demikian; tetapi hal itu tiadalah kami indahkan. Sungguhpun pertolongan kami untuk pertunjukan itu akhirya kurang menyenangkan hati kami, tetapi kami tiadalah menyesal barang sekejap mata juapun, yang kami telah .turut bersama-sama bekerja untuk pekerjaan itu. Tuan ceriterakanlah kepadaku banyak-banyak tentang kerja dan haluan, pikiran dan perasaan perempuan-perempuan zaman sekarang, yang di tanah Belanda. Kami sangat menyukai segala hal tentang gerakan perempuan-perempuan. Sayang, saya tidak tahu bahasa Perancis, Inggeris dan jérman. Adat kami tiada mengizinkan kami mempelajari bahasa-bahasa itu. Tahu berbahasa Belanda ini telah terlampau- lampau amat benar. Dengan hati jantungku saya beringin hendak mempelajari bahasa-bahasa itu, melainkan supaya boleh merasai kelazatan kital>kitab yang bagus dan banyak, yang tertulis oléh pengarang-pengarang bangsa Perancis, Inggeris dan jérman dalam bahasa meréka itu sendiri. Meskipun salinan kitab-kitab itu baik dan bagus, tetapi salinan itu selamanya tidak sebagus asalnya. Asalnya itu selamanya lebih baik dan lebih bagus.

Kami suka sekali membaca-baca; membaca kitab-kitab yang bagus kelazatan yang sebesar-besarnya pada kami. Kami ialah adik-adikku perempuan dan saya sendiri. Kami bertiga sama-sama dibesarkan dan selalu tinggal bersama-sama. 'umur kamipun berselisih satu tahun, satu tahun saja. Antara kami bertiga adalah suatu tali persahabatan yang kuat sekali. Tentu saja sekali-sekali berselisih juga pikiran kami, tetapi hal itu tiadalah sedikit juga menggoyangkan tali persaudaraan yang memperhubungkan kami bertiga. Menurut pikiranku perselisihan yang kecil-kecil itu énak sekali; maksudku, yang énak perdamaian yang terjadi sudah itu. Bukankah suatu justa yang besar adanya, jika ada orang yang berkata, bahwa ada dua orang yang selalu sepikiran dalam segala hal. Menurut pikiranku hal itu tidak boléh jadi, perkataan yang demikian itu justa. Kepada tuan saya belum ceriterakan, berapa 'umurku. Bulan yang telah lalu saya betul umur dua puluh tahun. Héran, waktu saya berumui enam belas tahun, saya rasa saya sudah seorang yang tua, dan kerap kali berdukacita; tetapi sekarang, saya ber'umur dua puluh tahun, saya rasa diri saya masih muda, semata-mata suka menentang kehidupan dan ......... dan juga suka berperang.

Namakan sajalah saya Kartini, karena demikianlah namaku. Kami, orang Jawa tiada memakai nama bapa atau keluarga yang lain. Kartini nama kecilku sambil namaku kalau telah besar. Radèn Ajeng ialah dua patah kata, yang menunjukkan gelarku. Waktu saya memberikan alamat surat untuk saya kepada nyonya van Wermeskerken, tidak dapatlah saya mengatakan kepadanya Kartini saja, hal itu tentulah menghérankan orang nanti di tanah Belanda, dan menyebutkan saya nona atau lain-lainnya dimuka namaku; akan memakai gelai nona itu ta ada hakku, bukan, karena saya hanya seorang Jawa saja.

Sekarang cukuplah sudah pengetahuan tuan peri hal saya, bukan? Kemudian hari saya ceriterakan kepada tuan tentang hal kehidupan kami di Hindia.

Jikalau tuan hendak mengetahui barang sesuatu hal keadaan Hindia, boléh tuan tanyakan saja kepada saya; dengan segala suka hati saya akan memberi tuan keterangan tentang tanah air dan bangsaku.

Yang hendak saya ketahui yakni: Kenal benarkah tuan pada nyonya Gudkoop? Kalau tuan kenal, sukakah tuan nanti menceriterakan kepadaku barang sesuatu tentang halnya? Saya sangat ingin mengetahui sesuatu tentang perempuan tinggi pikiran dan berani itu, yang sangat bersetuju dengan hati saya.

18 Augustus 1899. (I)[sunting]

Banyak terima kasih atas suratmu yang panjang dan sedap itu, kata-katamu yang lemah lembut dan tulus ichlas itu, yang meriang dan menyukakan hatiku. Tidakkah engkau akan kecéwa nanti, bila engkau mengetahui berkenalan dengan saya sebetul-betulnya? Saya sudah katakan kepadamu, yang saya tidak tahu satu apapun. Kalau saya bandingkan saya dengan engkau, terasa oléhku bahwa aku ini seorang yang bebal sekali. Engkau rupanya sudah tahu benar akan gelar-gelar bangsa Jawa. Sebelum engkau menulis tentang itu kepadaku, tiadalah pernah saya pikirkan dengan sesungguhnya yang saya seperti menurut katamu anak bangsawan yang tinggi. Seorang puterikah saya? Bukan, melainkan orang biasa seperti kamu juga. Raja yang achir sekali dari pihak bapa saya, kalau saya tidak salah telah 25 turunan telah terdahulu. Akan bunda saya masih dekat perhubungannya lagi dengan raja raja Madura. Moyangnya yang laki-laki waktu hidupnya raja yang memerintah dan nénéknya yang perempuan demikian pula. Tetapi segala hal itu tidak lah berharga bagi kami. Pada saya hanya dua macam bangsawan, yaitu: "Bangsawan pikiran dan bangsawan hati". Pada pemandangan saya tiadalah orang lebih gila dan bodoh dari pada meréka yang sombong dan angkuh akan asalnya yang tinggi itu. jasa apakah yang terkandung oléh gelaran graaf atau baron? Saya seorang yang dungu ini tidak dapatlah memikirkan itu.

Bangsawan dan berbudi ialah dua buah perkataan, yang sekawan dan hampir searti betul. Kasihan pada kedua kata itu. Alangkah jahatnya hidup didunia ini, hai bangsawan dan berbudi yang tiada menaruh kasihan memperceraikan engkau kedua untuk selama-lamanya. Bila bangsawan selalu seperti ma'nanya, maka mémang suatu kehormatan kepada saya, karena berasal tinggi itu; tetapi sekarang? Saya masih ingat betapa marah kami, tatkala nyonya-nyonya den Haag pada tahun y.l. menamakan kami pada Pertunjukan usaha Perempuan "puteri-puteri Jepara."

Dinegeri Belanda rupanya, orang menyangka, siapa juga yang datang dari tanah Hindia, yang bukannya "babu" atau "spada", semuanya dikira orang puteri atau putera raja. Bangsa Eropa di Hindia tidak banyak menamakan kami "Raden Ajeng", tetapi kebanyakan menegur kami dengan "freule." Karena hal itu kerap kali saya putus asa. Telah beberapa kali saya katakan kepada meréka itu, yang kami bukan freule, apalagi bukan puteri, tetapi meréka itu tidak mau juga mendengarkan kata saya dan selalu menamakan kami "freule." Begitu pula, baru-baru ini datang kerumah kami seorang-orang Eropa; rupanya ia ada mendengar tentang hal kami; lalu di mintanya kepada orang tua kami, supaya ia diperkenalkan dengan "puteri-puteri." Permintaannya itu dikabulkan. O, alangkah besar hati kami. "Regén," katanya lambat-lambat kepada bapa, tetapi kamipun dapat juga mendengarnya dengan terang dan bunyi suaranya menunjukkan, yang ia kecéwa. "Puteri2, saya sangka berpakaikan pakaian yang indah-indah, seperti pakaian bangsa Timur yang penuh bertatahkan dengan ratna mutu manikam', tetapi anak-anak tuan berpakaian sederhana saja." Susah kami menahan gelak kami, tatkala kami mendengar itu. Dengan tiada disengajanya telah dipujinya kami dengan amat sangat. Belum pemah kami mendengar pujian orang demikian. tidak dapatlah engkau pikirkan, betapa besar hati kami, mendengar ia mengatakan kami berpakaian sederhana; kami takut sekali akan dikatakan orang sombong dan pesolék.

O, Stella, saya sangat berbesar hati, yang engkau menyamakan saya dengan sahabat-sahabatmu bangsa Belanda, dan memandang saya seperti saudara sepikiran dengan dikau. tidak lain kehendakku melainkan engkau harus menyebut namaku saja dan berengkau dan berkamu kepadaku. Lihatlah bagusnya saya telah meniru engkau.

Bila engkau bertemu dalam suratku sebutan "tuanhamba" atau "tuan", janganlah engkau pandang itu sebagai kekakuan, tetapi seperti kealpaan. Sayapun musuh kekakuan. Apakah gunanya bagiku adat-adat yang kaku itu? Saya girang, yang saya dapat membuangkan adat-adat Jawa yang susah itu sementara saya bercakap-cakap padamu dalam surat ini. Adat lembaga, peraturan, yang dibuat orang itu lain tidak perkara yang menyakitkan hati saja kepada saya. Engkau tidak dapat memikirkan, betapa kerasnya adat-adat kuno yang bersimaharajaléla dalam dunia bangsawan di Jawa. Bila engkau sedikit saja menggerakkan dirimu, maka si adat kuno itupun dengan marahnya menéngok kepadamu. di rumah kami adat-adat yang kaku-kaku itu tiadalah kami indahkan benar lagi. yang kami muliakan perkataan:

"Kebébasan itu kegirangan."

Pada kami, mulai dari saya, adat-adat yang kaku itu telah dihapuskan, hanya perasaan kami sendiri harus mengatakan kepada kami, sehingga mana kami boléh menuruti batas kemerdékaan itu.

Bahwasanya adat-adat kami bangsa Jawa itu terlalu amat sukarnya. Bangsa Eropa, yang bertahun-tahun di Hindia dan lama bercampur gaul dengan orang besar-besar bangsa jawapun tidak dapat mema'lumi adat-adat bangsa Jawa itu, bila meréka itu tidak dengan sungguh-sungguh mempelajari dia. Saya terpaksa menceriterakannya kepada sahabat kenalanku; tetapi bila telah sejam saya berbicara dan kerongkongankupun telah kering, pengetahuan meréka itu masih sebanyak kepandaian anak yang baru lahir tentang perkara adat-adat kami itu.

Akan menyatakan bagaimana susahnya adat-adat kami itu, marilah saya uraikan satu dua misalnya. Adik saya perempuan atau laki-laki wajib merangkak, bila ia lalu dimuka saya. Kalau adik saya duduk di atas kursi dan sayapun lalu dimukanya, harus ia menjatuhkan diri duduk kelantai dan menundukkan kepala sampai saya tidak kelihatan lagi. Kepada saya tidak boléh adik-adik saya itu berengkau dan berkamu, ia boléh bercakap dengan 'hanyalah memakai bahasa Jawa tinggi; dan sesudah tiap-tiap kalimat, yang keluar dari mulutnya, wajib ia menyembah saya, menyusun jari dan mengangkatnya kemuka. jikalau adik-adik saya membicarakan saya dengan orang lain, wajib ia selalu memakai bahasa Jawa tinggi, demikian pula jikalau ia mempercakapkan segala barang-barang kepunyaan saya ump: pakaian, tempat duduk, tangan, kaki, mata saya d.l.l.

Kepala saya yang mulia, tidak boléh sekali-kali dirabanya; jika ia lebih dahulu meminta izin dan menyembah beberapa kali, barulah boléh ia meraba kepala saya. Kalau ada barang yang énak-énak di atas méja, tidak boléh diambil oléh adik-adik saya, sebelum saya mengambil apa yang saya sukai. Wah, gementar kita, bila kita datang dalam lingkungan bangsawan yang mulia itu. Bercakap dengan orang yang lebih tinggi harus lambat-lambat, hanya orang yang dekat disitu saja yang dapat mendengarnya. jika anak gadis tertawa, tidak boléh ia membuka mulutnya. "ya, Allah", kudengar suaramu mengatakan, ya, banyak lagi barang yang ajaib-ajaib yang akan engkau dengar bila engkau hendak tahu semuanya tentang keadaan kami bangsa Jawa.

Kalau seorang gadis berjalan, patutlah ia perlahan-lahan berjalan itu dengan langkah yang pandak dan bagus, adalah seperti semut berjalan. Bila anak gadis melangkah agak cepat, dinamakan orang ia kuda liar. Padalah kita bicarakan hal itu; ceritera ini tentulah membosankan engkau bukan? Kepada kakak saya laki-laki dan perempuan selalu saya pakai adat-adat itu; karena saya tidak mau mengurangi kehormatannya. Tetapi mulai dengan saya tidak adalah kami memakai adat adat yang kaku itu; yang kami sukai dan pegang hanya "kebébasan, kesamaan dan persaudaraan." Adik-adik saya laki-laki dan perempuan selalu bébas dan sama dengan saya seperti bersahabat. Kekakuan tidak ada pada kami; hanyalah persahabatan dan keramahan yang akan engkau lihat pada pergaulan kami itu. Adik-adik saya perempuan berkamu dan berengkau kepada saya dan bercakap dalam bahasa yang saya pakai. Pergaulan yang bébas dan sama, antara beradik kakak itu sangat dicacat orang; oléh karena itu kami dinamakan orang anak yang tidak terpelajar, saya sendiri beroléh nama "kuda koré" artinya kuda liar, sebab saya jarang berjalan, tetapi selalu melompat-lompat. Dicela orang saya karena saya kerap kali tertawa gelak-gelak, sehingga gigi saya kelihatan oleh orang. Kelakuan seperti itu tiada senonoh. Sebab adat adat yang kaku itu telah kami buang, maka pergaulan kami selalu meriangkan kami dan persaudaraan kami menjadi erat serta kamipun selalu sepakat, lebih-lebih antara kami bertiga. Sekalian keadaan itu mendatangkan kedengkian pada orang lain.

Bila kaulihat, Stella, bagaimana hidup orang bersaudara dalam kabupatén yang lain-lain apalah nanti akan katamu. Meréka itu bersaudara hanyalah karena seibu sebapa. Sedarah itulah saja yang menjadi tali persaudaraan meréka itu. Perempuan beradik kakak yang hidup bersama-sama, hanya pada mukanya dapat kaulihat, yang ia bersaudara, tetapi lain dari pada itu tidak dapat engkau mengetahuinya.

Terima kasih, Stella, atas pujimu yang bagus itu; besar amat hatiku mendengarnya. Saya sangat cinta akan bahasamu; semenjak dari waktu saya masih pergi kesekolah, saya selalu beringin amat sangat hendak mengetahui dia dengan baik dan sungguh. Sampai sekarang saya masih jauh dari tempat yang kuingini itu ............ tetapi, saya telah dekat selangkah pada tempat itu; demikianlah kata pujianmu, yang sangat menggirangkan hati saya. Sebenarnya saya tidak perlu kaumanjakan lagi, karena di rumah dan oléh sahabat kenalan sayapun amat sangat saya dimanjakan.

O, Stella, saya ucapkan padamu terima kasih atas pikiranmu yang baik itu tentang bangsa kami, bangsa Jawa. Dari dulu saya telah ketahui, yang engkau tidak memperbédakan bangsa kulit putih dan kulit hitam; dari sekalian orang yang sebenar-benarnya berbudi dan terpelajar tidak pernah kami mendapat lain dari pada kebaikan. Sungguhpun bangsa Jawa bodoh, tidak berpengetahuan, tidak berbudi, bangsamu tentu akan memandang dia seperti sesama manusia juga, yang dijadikan Allah seperti bangsa yang berbudi bahasa itu. Bangsa jawapun ada juga berhati berjantung dalam tubuhnya dan berperasaan pula untuk kesakitan, meskipun mukanya tidak bergerak, dan matanya tidak mengejap, menunjukkan apa yang terasa dihatinya itu.

Keringkasan isi kitab "Hilda van Suylenburg" yang engkau berikan kepadaku, telah membesarkan hatiku dan suratmu yang pertama menambah kecintaanku padamu, tetapi suratmu yang achir itu merampas hati jantungku.

Di rumah kami berbahasa Jawa; bërcakap bahasa Belanda hanya dengan orang Belanda saja. Kadang-kadang kami memakai bahasa Belanda juga sama-sarna kami ump: suatu olokan, yang tidak dapat diterjemahkan, supaya ma'na olokan itu jangan hilang.

6 November 1899 (I)[sunting]

O, Stella, tidak dapat saya katakan banyak terima kasih sayab pada ibu bapaku atas pemeliharaannya yang bébas yang diberikannya kepadaku. Lebih baik saya merasai peperangan dan kesusahan se'umur hidup, dari pada tidak mengecap pemeliharaan bangsa Eropa, yang telah kuterima dari kecilku. Saya tahu, bahwa banyak, ya, amat banyak kesukaran menunggu saya, tetapi saya tidak gentar dan tidak ngeri menantikannya. Saya tidak dapat kembali kepada adat-adat yang lama itu, maju memasuki dunia zaman sekarangpun tidak dapat pula, karena masih beribu-ribu belenggu yang mengikat aku dengan sekuat-kuatnya kepada dunia yang lama itu. "Apa yang patut diturut sekarang?" tanya handai tolanku bangsa Eropa pada dirinya sendiri. Bila saya sendiri tahu akan jawab pertanyaan itu, tentulah dengan suka hati saya katakan kepada meréka itu. Sekaliannya tahu dan mengerti, yang keadaan kami ini serba salah. Orang mengatakan, yang hal ini kesalahan bapa' saya, karena saya dipeliharatnya menurut cara pemeliharaan yang telah saya terima. Tetapi sekali-kali bukan bapa' saya yang bersalah; ia sekali-kali tidak bersalah dakum hal ini. Bapaku tidak dapat menolong, ia tidak dapat mengetahui lebih dulu, bahasa pemeliharaan yang diberikannya untuk anak-anaknya, akan menyusahkan seorang dari pada si anak itu. Banyak regén-regén yang lain telah memeliharakan atau tengah memeliharakan anak-anaknya seperti kami. Tetapi pemeliharaan itu tiadalah lain hakékatnya, melainkan anak-anak itu hanya pandai bercakap bahasa Belanda dan memakaikan adatadat Belanda sedikit. Lebih dalam tiadalah terpaham benar kehalusan adat Eropa itu oléh anak-anak perempuan bangsa Jawa, yang dipelihara seperti bangsa Eropa itu.

"Apa hendak dibuat sekarang?" tanya meréka, yang telah berkenalan dengan kami kepada nyonya Ovink-Sur. Meréka itu tahu dan mengerti, yang kami lambat laun wajib kembali kepada kehidupan yang lama dan disitulah kami nanti merasai diri kami menjadi celaka dan tiada berbahagia.

Tidak dapat sedikit juga diubah lagi. Bésok atau lusa tentulah saya dipersuamikan dengan seorang yang tidak saya ketahui. Percintaan pada bangsa Jawa hanyalah suatu ceritera dongéng saja. Bagaimana orang laki isteri dapat cinta mencintai, kalau meréka itu baru bertemu, waktu ia telah dikawinkan ?

Saya sekali-kali ta akan dapat mencintai suami yang demikian. Menurut pendapatan saya, haruslah kita mula-mula menghormati seseorang laki-laki, dan kemudian barulah dapat mencintai dia. Akan saya tidak dapatlah menghormati anak-anak muda bangsa Jawa. Bagaimana saya dapat menghormati seorang yang telah beristeri dan sudah menjadi bapa; kemudian si bapa itu mengambil perempuan yang lain pula jadi isterinya, karena ia telah puas beristerikan ibu anak-anaknya itu. Adat yang seperti itu tidak terlarang dalam agama Islam. Siapa yang ta akan membuat seperti itu? Mengapa orang tidak akan membuatnya Pekerjaan itu tidaklah mendatangkan dosa dan bukan suatu kecelaan; karena agama Islam mengizinkan orang laki-laki beristeri empat orang. Sungguhpun seribu kali orang berkata beristeri banyak bukannya dosa dalam agama Islam, tetapi saya dengan tetap mengatakan, yang beristeri banyak itu suatu dosa kadim adanya. yang saya katakan dosa, ialah barang sesuatu pekerjaan yang menyakiti badan atau hati sesamanya manusia dan binatang. Engkau tentulah dapat memikirkan, berapa dukacita yang wajib ditanggungkan oléh seorang perempuan, bila suaminya dengan perempuan yang lain datang kerumahnya dan ia wajib mengaku, bahwa perempuan yang baru datang itu isteri suaminya yang halal. Si suami tadi boléh menyiksa dan menyakiti perempuannya dengan sesukanya sampai matinya. Bila perempuan itu menangis sampai kelangit sekalipun hendak meminta kebébasan, tiadalah dapat diperoléhnya, kalau si suami tidak suka memberinya. Dalam segala hal si suami berkuasa, tetapi si perempuan tidak ada sedikit juga berhak dian berkuasa. Demikianlah adanya agama kami.

Dalam suratmu yang achir sekali tertulis: "Kebangsawanan itu membawa kewajiban." Alangkah bodohku dahulu mengira yang bangsawan pikiran itu selalu bersama-sama dengan bangsawan budi; bahwa ber'ilmu banyak itu sama artinya dengan berbudi pekerti yang mulia. Betapakah kecéwa saya tentang itu.

Mengertikah engkau sekarang apa sebabnya maka saya benci akan perkawinan? Kerja yang serendah-rendahnya lebih suka saya mengerjakannya, dari pada dikawinkan orang. Dengan besar hati dan terima kasih saya suka mengerjakan kerja yang lebih rendah itu, asal pekerjaan itu membébaskan saya. Tetapi karena pangkat dan darajat bapaku, tidak boléh saya mengerjakan barang sesuatu apapun.

Jikalau saya memilih sesuatu kerja, wajiblah kerja itu sesuai dengan kedudukan saya. Pekerjaan yang kami cintai yang tiada akan merendahkan bangsa saya dan kaum keluarga saya, yang berpangkat tinggi-tinggi (yaitu beberapa orang regén di Jawa Timur sampai ke Jawa Tengah) tidak akan tercapai oléh kami. Akan mendapat pekerjaan itu wajib kami lama tinggal di tanah Eropa dan untuk itu kami tidak ada beruang. Kami hendak terbang terlampau tinggi, sekarang kehendak itu tidak dapat disampaikan, karena itu kami sendirilah yang menanggung kesusahannya. Tetapi mengapakah Allah menerbitkan nafsu orang hendak belajar, kalau orang itu tidak diberi ichtiar untuk belajar itu. Kedua saudara saya yang perempuan dengan tiada sedikit juga berguru, telah pandai sekarang menggambar dan melukis. Menurut timbangan orang yang ahli tentang gambar menggambar, kedua adikku itu boléh dilanjutkan kepandaiannya. Tetapi di tanah Jawa tidak dapat dilanjutkan; pergi ke Eropa kamipun tidak sanggup. Akan menyampaikan maksud itu wajiblah dengan izin s.p.j.m.m. Minister van Financiën, tetapi s.p.j.m.m. itu tiada memberi izin kami. Kami wajib menolong diri sendiri, bila kami hendak maju.

O, Stella, tahukah engkau, berapa sakitnya itu, bila engkau bercinta sekali hendak mengerjakan sesuatu, tetapi kehendakmu itu tidak dapat kaulakukan oléh karena ketiadaan dan kekurangan ?

Jikalau bapaku dapat menolong kami, pastilah dan tidak dua hati ia mengirim kami ketanah airmu yang jauh dan dingin itu. Saya pandai juga menggambar dan melukis, tetapi karang-mengarang dan menulis lebih saya sukai dari pada menggambar. Mengertikah engkau sekarang apa sebabnya, maka saya ingin benar hendak mengetahui bahasamu yang bagus itu dengan sebaik-baiknya? janganlah engkau memperdayakan saya. Saya sendiripun telah merasa, bahwa kepandaian saya dalam bahasa Belanda belum sempuma. Bila pengetahuan saya dalam bahasa Belanda dengan secukup-cukupnya, maka bolehlah dikatakan nasibku untuk hari kemudian sudah tentu. Sebidang padang yang luaspun akan terbentanglah tempa" saya bekerja dan sayapun menjadi orang yang bébas. Sebab saya seorang perempuan Jawa sejati, saya tahu dan kenal akan segala hal keadaan dalam dunia bangsa Jawa. Meski seorang Eropa, yang bertahun-tahun telah tinggal di Jawa, dan tahu hal keadaan Bumiputera sekalipun, tiadalah seperti anak Bumiputera sendiri mengetahui adat-adat bumiputera itu. Banyak hal yang sekarang masih tersembunyi dan yang ta dima'lumi oléh bangsa Eropa sanggup saya menerangkannya dengan kata sepatah dua saja. Tempat-tempat yang tidak boléh dimasuki oléh bangsa Eropa, dapatlah didatangi oléh anak Bumiputera. Sekalian perkara yang pelik-pelik, yang terdapat dalam dunia bangsa Bumiputera, yang belum diketahui oléh ahli yang termasyhur-masyhur tentang tanah Hindia, dapatlah diuraikan oléh anak Bumiputera. Saya merasai sendiri yang saya tidak berpengetahuan yang cukup dalam bahasa Belanda, Stella. Tontulah orang akan tertawa gelak-gelak, bila ia dapat membaca kertas yang secarik kecil ini dari belakang saya. Betapakah gila pikiran saya, bukan? Saya, seorang yang tiada terpelajar dan tiada berpengetahuan sedikit juapun, hendak mencoba-coba pula mempelajari ilmu kitab bahasa Belanda. Sungguhpun engkau mentertawakan saya, saya tahu, yang engkau tidak suka mentertawakan saya—maka tidak lah akan saya buangkan maksud saya itu. Betul, pekerjaan itu suatu pekerjaan yang sia-sia. "Tetapi siapa yang tiada mencoba, tidaklah menang." Demikianlah asasku. Maju saja, tunggang hilang berani mati. Siapa yang berani, dapat mengalahkan tiga perempat dunia.

Bersama-sama ini saya kirimkan kepada engkau sebuah karangan dari Koninkliyk Instituut voor Land-, Taal- en Volkenkunde tanah Hindia. Karangan itu saya tulis telah empat tahun yang" lalu, telah lama saya tidak peduli lagi akan karangan itu; baru-baru ini, waktu saya membongkar kertas yang lama-lama, maka terlihat oléh saya akan dia. Karangan itu dikirimkan oléh bapaku kepada pengurus Koninkliyk Instituut yang kebetulan meminta bantu kepadanya. Tidak berapa lama sesudah karangan itu dikirimkan, saya terima cétakan karangan itu. Saya kirimkan karangan ini kepadamu, karenasaya pikir, engkau barangkali suka membacanya. Karangan tentang hal batik membatik, yang saya buat tahun yang lalu untuk "Pertunjukan perusahaan Perempuan" tidak pemah saya mendengar beritanya lagi. Karangan itu dimasukkan orang ke dalam sebuah kitab yang terutama tentang batik membatik. tidak lama lagi akan dikeluarkan cétakan kitab itu. Wah, betapa besar hatiku, waktu saya baru-baru ini mendengar chabar itu dengan tiba-tiba, karena hal itu telah lama hilang dari kenang-kenanganku. Engkau bertanya kepadaku, bagaimana, maka saya duduk di antara empat buah dinding batu yang tebal. Engkau tentu menyangka, yang saya duduk dalam penjara atau kurungan. Bukan, Stella, kurungan saya itu sebuah rumah besar dengan pekarangan yang luas kelilingnya dan dipagari dengan dinding batu yang tinggi. Disitulah kami dikurungkan, tempat itulah saya namakan penjara. Berapapun luasnya rumah dan pekarangan, jikalau kita selalu wajib tinggal didalamnya, tentulah ia menyesakkan dada kita. Sekarang teringat oléh saya, bagaimana saya menghempaskan badan saya dengan kebodohan dan putus asa kepada pintu yang selalu tertutup itu dan kepada dinding batu yang sejuk itu. Kemana juga haluan perjalananku saya tujukan, selalu saya tertumbuk kedinding batu dan pintu yang terkunci.

Pintu itu baru terbuka waktu Seri Baginda Maharaja Wilhelmina naik nobat. Sejak itulah pintu penjaraku selama-lamanya terbuka. Pembukaan pintu itu suatu kejadian yang besar yang telah lama diusahakan lebih dahulu. Sudah bertahun-tahun sahabat kenalan kami bangsa Eropa menolong meruntuhkan dinding batu yang kukuh itu, yang memagari kami. Mula-mulanya dinding batu itu teguh sekali. Lama kelamaan batu dinding itu terbongkarlah sebuah lepas sebuah; sehingga waktu Seri Baginda Maharaja Wilhelmina dinobatkan, maka dinding itu robohlah dan kami melompatlah kepadang yang bébas, ditarik oléh orang tua kami dengan sekali tarik.

Selang berapa lama ini nyonya Ovink kerap kali berkata kepadaku: "Hai anak-anakku, adakah baik perbuatan kami, membawa engkau sekalian keluar dari dinding kabupatén yang tinggi itu? Tidakkah lebih baik, bila tuan-tuan selamanya tinggal didalam kabupatén itu ? Sekarang apa hendak dibuat. Hendak kemana kamu pergi?" Apabila ia melihat lukisan dan gambaran kami, maka berteriaklah ia dengan putus asa: "Wahai anak-anakku; tidak adakah pekerjaan lagi bagimu?" Tidak ada jalan yang lain yang terlebih bagus, yang saya ketahui hanyalah kami bertiga melompat keudara, melupakan ibu bapa kami dan bahwa ia sudah membesarkan kami. Beruntung, yang saya seorang, yang tidak lekas bersusah hati dan tidak mudah menundukkan kepala. Sekarang, apabila saya tidak dapat menjadi sesuatu yang saya ingini, biarlah saya menjadi koki saja. Engkau harus tahu, bahasa saya "seorang yang pandai sekali" dalam perkara masak memasak. Kaum keluarga dan sahabat kenalan saya, tidak perlu takut lagi akan untung nasib saya pada hari kemudian, bukan? Seorang tukang masak-masak yang baik selalu dapat dipergunakan orang dan kemana-mana ia boléh pergi.

Alangkah sedikitnya gaji-gaji di tanah Belanda kalau dibandingkan dengan gaji-gaji amtenar-amtenar di Hindia. Sungguhpun demikian meréka itu mengeluh juga mengatakan bahwa gaji di Hindia sedikit. Bila orang 20 tahun telah bekerja di Hindia, (pendéta-pendéta 10 tahun) maka meréka itu telah berhak mendapat pensiun. Sungguhpun demikian kebanyakan orang Belanda memaki-maki tanah Hindia "tanah monyét yang celaka." jikalau saya dengar onang berkata "Hindia yang celaka" itu, maka sayapun boléh jadi marah amat sangat. Telah kerap kali orang melupakan, bahwa "tanah monyét yang celaka itu" mengisi kantung bangsa Belanda yang kosong dengan emas, bila ia pulang kembali ketanah Belanda sesudah bekerja tidak berapa lama di Hindia.

Tidak akan berapa gunanya kalau kitab Hilda van Suylenburg diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Siapakah yang membaca buku dalam bahasa itu, kecuali orang laki-laki? Lagi pula sedikit sekali perempuan-perempuan bangsa Jawa, yang pandai membaca bahasa Melayu. Supaya kitab Hilda dapat dibaca meréka itu, wajib ia berusaha mempelajari bahasa itu. Tentulah ia menyangkakan salinan H.v.S. hanyalah sebagai suatu ceritera yang bagus saja. Tidak akan terasa betul oléhnya maksud isinya.

Perubahan dalam dunia kami bangsa Bumiputera tidak dapat tiada akan datang, gerakan perubahan telah ditakdirkan Allah, tetapi bila ia akan datang? Itu suatu pertanyaan yang besar. Saat perubahan itu tidak sangguplah kami melekaskannya. Apakah sebabnya maka kami benar yang harus mempunyai pikiran huru hara dalam hutan rimba, yang jauh terletak ditengah-tengah tanah yang tidak bertanah lagi dibaliknya ini? Sahabat kenalan saya berkata, yang kami lebih baik tidur seratus tahun lagi lamanya. Bila kami nanti terbangun, tentulah waktu itu, suatu masa yang baik untuk kami. Tanah Jawa tentulah telah berubah; perubahan itu suatu perubahan yang kami kehendaki. Kitab "Maatschappeliyk werk in Indië" ada padaku. Saya dapat dari bapaku, kitab itu pemberian pula dari nyonya van Zuylen Tromp. nyonya itu mengirim kitab itu kepada bapak dan ia memohon permintaan, supaya bapa suka memperbaiki dan mengubahi apa yang salah dalamnya. nyonya itu hendak mengeluarkan suatu karangan tentang perempuanperempuan bangsa Bumiputera. Saya minta maaf karena tidak dapat menolongnya. Banyak saya dapat menceriterakan hal keadaan perempuan-perempuan bangsa Jawa, tetapi saya masih muda sekali, tidak cukup, ya, hampir tidak ada mempunyai pendapatan hidup. Perkara yang wajib saya uraikan itu perkara yang amat penting dan termulia, tidak boléh dipermudahmudah saja.

Sekarang saya dapat membuat karangan itu kalau kiranya saya suka, tetapi saya tahu betul, yang saya akan menyesal kemudian hari, jika saya buat karangan itu. Apa sebabnya? Sebab saya sekarang banyak dirintangi beberapa macam pikiran; sekalian itu meragukan saya, tetapi kalau tiga empat tahun lagi, boléhlah saya barangkali mempunyai pemandangan yang tajam dalam beberapa perkara itu. Tentang agama Isiam tidak dapatlah saya menceriterakan kepadamu, Stella. Agama Islam melarang orang Islam menceriterakan perkara agama kepada orang yang beragama lain. Dan lagi sebenarnya, saya seorang Islam, hanyalah karena nénék moyang saya orang Islam. Bagaimana saya dapat mencintai agama saya kalau saya tidak mengetahui dia, ya, tidak boléh mengetahuinya? Kuran tidak boléh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun, karena ia suatu kitab yang tersuci. Ia harus tertulis dalam bahasa Arab. Dinegeri saya tidak seorang juga yang tahu bahasa Arab. Orang negeri saya diajar membaca kuran, tetapi apa yang dibacanya itu, tidaklah seorang yang mengerti. Menurut pendapatan saya pekerjaan yang seperti itu, suatu pekerjaan yang bodoh. Orang diajar membaca, tetapi apa yang dibacanya tidaklah diketahuinya. Samalah keadaannya, bila engkau mengajar saya membaca kitab Inggeris dan semua harus saya hafalkan diluar kepala saya, pada hal satu patah katapun tidaklah saya ketahui artinya. jikalau saya hendak mengetahui dan mengerti agama saya, maka patutlah saya pergi ketanah Arab mempelajari bahasa Arab itu. Biarpun, orang tidak saléh, tetapi berhati suci, tentulah orang itu seorang yang baik juga, bukan, Stella?

Hati yang suci itulah pokok kebaikan yang terutama. Agama yang sebenarnya suatu rahmat untuk segala orang, dan ialah yang memperhubungkan tali salatu'rrahim antara segala hamba Allah. Kita sekalian bersaudara, bukan karena kita seibu dan sebapa' saja, tetapi juga sebab kita hamba Tuhan yang esa, yang berkerajaan dilangit. Orang-orang yang bersaudara wajib cinta mencintai, tolong menolong dan bantu membantu. Orang-orang bersaudara, meskipun bersaudara laki-laki atau perempuan, wajib meréka sayang menyayangi, tolong menolong, kuat menguatkan, bantu membantu. ya Allah, kadang-kadang saya berkehendak, supaya tidak ada sebuah juga agama didunia ini. Karena agama yang sepatutnya menyatukan segala machluk didunia ini, ialah menjadi pokok peperangan dan menyebabkan manusia berbagai-bagai, serta ialah asal pembunuhan yang ngeri dan yang mencucurkan darah. Manusia yang seibu sebapa, bermusuh-musuhan, oléh karena jalan meréka menghormati Tuhan yang esa dan seru sekalian alam itu berlainan.

Orang-orang yang kalbunya diperhubungkan oléh kasih cinta yang amat sangat, menjadi berdendam kesumat hingga jatuh sengsara, karena agama itu. Mesjid dan geréja, tempat meréka itu menyembah Tuhan yang esa 'itu, menjadi dinding yang menceraikan hati meréka yang suka cinta mencintai dan sayang menyayangi itu.

"Adakah agama itu mendatangkan berkat kepada manusia? Tanya saya kerap kali pada diriku sendiri. Hai agama, engkaulah yang harus menjauhkan kami dari pada dosa, tetapi berapakah banyaknya dosa yang dilakukan orang atas namamu.

Saya ada menaruh kitab Max Havelaar. Tetapi pertanyaan: "Tunjukkanlah kepadaku tempat, yang telah engkau taburi bibit! tidaklah saya ketahui. Tetapi itu akan saya tanyakan kepada orang lain karena saya amat suka, ya, amat suka benar pada Multatuli.

Tentang keadaan orang kebanyakan dan kepala-kepala negeri boléhlah kemudian hari saya ceriterakan kepadamu. Sekarang telah sampai panjangnya saya menulis dan lagi perkara itu tidak akan sedikit menghabiskan kertas dan waktu.

Engkau bertanya bahasa apa yang kami pakai dalam rumah. yang kami pakai dalam rumah kami tentulah bahasa kami, yakni bahasa Jawa. Bahasa Melayu kami pakai, kalau kami bercakap dengan orang Melayu, orang Keling, orang Arab cina d.l.l. Bahasa Belanda hanyalah kami pakai, kalau kami bercakap dengan orang Belanda.

O, Stella, waktu saya membaca pertanyaanmu, saya sangat tertawa gelak-gelak, pertanyaanmu: "Boléhkah engkau memeluk cium orang tuamu dengan seizin meréka itu?" Dengarlah, Stella, saya belum pernah mencium orang tua dan saudara-saudara saya perempuan dan laki-laki. Bercium-ciuman bukannya suatu adat pada bangsa Jawa. Hanya anak-anak yang ber'umur dari satu sampai enam tahun boléh dicium-cium. Kami tidak pernah bercium-ciuman. ya, hal itu tentulah mendatangkan héran bagimu. Tetapi sesungguhnya begitu. Hanya sahabat-sahabat kami perempuan bangsa Belanda mencium kami, dan kamipun mencium dia pula. Bercium-cium itu belum lama kami lakukan, dahulu kami biarkan saja kami dicium orang. Kami belajar mencium, semenjak kami bersahabat dengan nyonya Ovink-Sur. jikalau ia mencium kami, dimintanya kami menciumnya pula. Mula-mulanya kami tidak biasa membuat itu, sebab itu kami mencium itu janggal sekali. Tetapi pekerjaan itu tidak lama kami pelajari, maka kamipun biasalah mengerjakannya. Bagaimana sekalipun saya mencintai seseorang, tidak adalah niatan saya dengan kehendak sendiri akan menciumnya. (Orang Belanda selalu bercium-ciuman, kami bangsa Jawa tidak pernah bercium-ciuman). Sebabnya, saya tidak mau mencium orang, karena saya tidak tahu, sukakah ia dicium atau tidak.

Kalau benar seperti katamu, yang saya tidak kalah kalau dibandingkan dengan beberapa anak-anak perempuan bangsa Belandia, kepandaian saya itu terutama pekerjaan nyonya Ovink, seorang yang suka bercampur gaul dengan kami, bangsa Jawa; dan ia bercampur gaul itu seperti orang bersaudara. Pergaulan dengan nyonya-nyonya bangsa Belanda yang sejati, terpelajar dan berbudi itu amat baik untuk bangsa kulit hitam. Ibu saya tahu, yang ibu bapaku dicintai dan disayangi oléh anak-anaknya yang perempuan. Bapa telah berjanji kepada kami (yang sebetulnya nyonya Ovink menyuruh bapa berjanji) akan membawa kami ke jombang kepada nyonya Ovink. Tuan Ovink dengan segera suka membawa kami. Kami sangat mencintai meréka itu hampir sebagai mencintai ibu bapa kami. Kalau meréka itu tidak ada lagi dekat kami, seperti kami kehilangan barang yang kami cintai. Saya tidak dapat memikirkan, yang meréka itu telah bercerai dengan kami. Kami bersama-sama telah banyak menanggung susah dan senang. Dengan santun menyantuni kami telah hidup bersama-sama seperti sekaum sekeluarga layaknya.

November 1899. (II)[sunting]

O, nyonya yang tercinta, betapa riang kami hart Minggu kemarin dulu. Bapa dan adik saya yang kecil pergi berkeréta; tidak berapa lamanya, maka meréka itupun kembalilah kerumah. Setiba di rumah dengan girang hati berceritera adikku itu: "ya, kakanda, ada sebuah kapal perang dipelabuhan. Dipasar berkerumun kelasi kapal. Dua orang dari pada meréka itu menurut dengan kami. Pergilah lekas lihat; ia sekarang diserambi dengan bapa'."

PEMANDANGAN DI LAUT BULU UJUNG, JEPARA.
SERAMBI MUKA KABUPATÉN JEPARA.
PENDOPO KABUPATÉN JEPARA.

Mendengar kata kapal perang itu kamipun melompatlah seperti kami digigit lebah. Sebelum habis adikku itu berceritera, kami berlari dari bilik kami pergi kemuka. Dimuka tampak oléh kami dua orang tuan-tuan berpakaian putih; mulanya meréka itu malu masuk ke dalam pekarangan kami. Tiada berapa lama antaranya kami lihat meréka itu telah duduk dengan bapa' ditengah-tengah serambi muka. Kemudian dari pada itu datang seorang bujang mengatakan kepada ka­mi, yang kami harus datang kepada bapa'. Hal itu kami sukai benar-benar. Satu, dua, tiga......kami sarungkan kebaya yang bersih dan sebentar kemudian dari pada itu kamipun duduklah bergoyang-goyang dikursi goyang dan ramai berbincang-bincang dengan dua orang opsir kapal perang "Edie". Saya tidak tahu apa sebabnya, tetapi dengan segera kami senang hati bercakap-cakap dengan kedua tuan² itu, serupa kami telah bertahun-tahun berkenalan dengan dia. Apa sebabnya, maka kedua tuan itu sampai kekabupatén? Marilah saya ceriterakan kepada nyonya. Seperti saya sudah ceriterakan di­ atas ini, bapa' pergi berkeréta. Ditengah jalan bertemu ia empat, lima orang tuan-tuan. Tiga orang di antaranya menurut jalan yang lain, dan yang dua orang lagi mengikut keréta bapa kekabupatén. Tuan-tuan itu baru datang ketanah Jawa. Meréka itu menyangka, yang diyalan kekabupatén, yang diturut keréta bapa, jalan yang biasa. Rumah kami disangkanya sebuah gudang atau toko yang besar.

Bapa menyuruh orang kepada tuan-tuan itu meminta dia masuk ke dalam. Meréka itu tentu terkejut, tatkala dikètahuinya yang ia salah persangkaan dan telah menurut orang kerumahnya. Apa hendak dibuat sekarang? Meréka itu kemalu-maluan rupan ya, apalagi karena ia tiada mengetahui bahasa kami, melainkan ia bercakap bahasa Melayu sedikit. Bapa menghilangkan malu orang itu dengan bercakap bahasa Belanda kepadanya. Mendengar itu sangat héran dan sukalah meréka itu. Sekarang ia suka sekali masuk keka­bupatén. Rupanya yang seorang dari tuan-tuan itu kaum keluarga dari seorang, yang dikenal betul oléh bapa. Saya tidak ingat lagi, yang saya pernah merasa senang hati bercakap de­ ngan bangsa asing, seperti waktu itu. tidak sedikit juga saya pikirkan, bahwa saya se'umur hidupku belum pernah melihat orang itu dan sayapun tidak tahu, yang meréka itu lima menit lebih dahulu ada didunia. Héran,héran, selamanya ka­mi lekas sekali berketahuan dengan orang kapal.

Kami sangat mencintai laut; apa saja yang berhubung dengan laut senantiasa menarik hati kami. nyonya telah tahu, betapa besar kegirangan hati kami, orang memperbincangkan perkara bersampan-sampan atau berlayar-layaran. nyonya sendiripun tahu, yang kami suka sekali pada laut, Tatkala saya hampir setengah mati, waktu saya terbaring dalam perahu candu itu, saya merasa senang yang saya dilambung-lambungkan oleh gelombang itu. Semenjak dahulu laut yang indah itu menarik hati kami. Kalau saya seorang anak lakiyaki, tidaklah saya berpikir lagi dan dengan segera saya menjadi kelasi. Tahukah nyonya, apa yang dikatakan bapa' kepada opsir laut itu. Bapa' berkata: "Anak-anak saya yang perempuan suka sekali berlayar-layaran dan hendak pergi kekapal." Bapa' kami yang tercinta itu; bapa tahu sekalian barang yang kami ingini dan sukai itu. Sungguhpun hal itu tidak pernah diceriterakannya, tetapi saya tahu betul bahwa begitu keadaannya. Kadang-kadiang bapa menceriterakan hal kami kepada orang lain-lain; yang diceriterakannya itu bersamaan betul dengan perasaan kami, yang kami simpan saja dihati kami. yang sangat menghérankan kami, bagaimana dapat bapa' meng'etahui segala barang yang kami pikirkan sendiri dan yang tidak kami ceriterakan kepada orang lain-lain itu. Sebabnya tidak lain, melainkan karena bapa' menyayangi dan mengasihi kami dan kamipun begitu pula akan bapa'. Témpoh-témpoh bapa tiba-tiba menggirangkan hati kami dengan menceriterakan barang sesuatu, yang masih tersembunyi dihati nuraniku, dan yang saya sangka tidak seorang juga mengetahuinya lain dari pada saya sendiri. Itukah yang dinamakan persatuan pikiran ? jikalau seonang yang banyak kepercayaan, tentulah saya menyangka,:bahasa bapa pandai membaca buah pikiran dihati kami.

Tidak usahlah saya panjangkan lagi tali kawat yang ajaib itu, yang memperhubungkan hati kami dengan hati bapaku yang tercinta itu.

Marilah saya hubung menceriterakan kegirangan kami pada minggu yang lalu itu. Opsir-opsir itu merasa sayang benar yang kapal perang "Edie" tidak lama tinggal dipelabuhan kami; kalau tidak, meréka itu suka sekali menyambut kedatangan kami dikapal. Kapal itu harus pergi kepulau Karimun Jawa mencari gosong-gosong atau beting-beting. Seharusnya ia tidak perlu datang kenegeri kami, tetapi komandan kapal perang itu suka melihat-lihat Jepara. Kedua tuan-tuan itu nuau mencoba meminta kepada komandannya, supaya kapal "Edie" hari Sabtu dan Minggu datang kembali ke Jepara dan hari Senin baru berangkat ke Surabaya. Bila peiTnintaan meréka itu diperkenankan, supaya kapal Edie hari Sabtu datang ke Jepara, maka akan diletuskannyalah sepucuk meriam dari kapal memberi tahu kami. Saya kira permintaan meréka itu tidak akan dikabulkan. Tetapi akan suatu kesukaan yang besarlah bagi kami, bila kapal itu datang kembali. Saya katakan kepada tuan-tuan itu, bila ia melalui Jepara sekali lagi, haruslah ia mematahkan sumbu mesin kapal itu sebuah, supaya kapal itu terpaksa tinggal dipelabuhan kami.

Tatkala opsir-opsir itu tidak ada lagi dan kamipun kembali kebilik kami, kami sangkakan, segala yang terjadi pada hari itu suatu mimpi. ya, sebenarnya, seperti kami telah bermimpi. Dengan tiba-tiba datang orang kepada kami, dengan sekonyong-konyong iapun hilanglah. Tetapi hal itu suatu sukacita yang tidak disangka-sangka, bukan? Saya selalu mau tertawa, bila saya ingat akan hal itu. O, nyonya, ibu kami, alangkah besar hati saya jika nyonya sudah ada pula kami lihat. Kami, anak-anak nyonya, merasa kehilangan nyonya sekali. Kami ingin sekali kembali kepada waktu kita bersama-sama dulu. lebih lebih saat dan masa kami dalam bilik tempat duduk-duduk nyonya. Dibilik nyonya menyuruh kami merasai lazat citarasa kitab-kitab yang bagus dan berpaédah. Disitulah 'kita banyak memperkatakan barang sesuatu yang muskil-muskil. Percakapan yang demikian tidak dapatlah saya lakukan sekarang dengan nyonya. Buah pikiran, yang menerbitkan kacau-bilau pikiranku, dan perasaan, yang senantiasa tidak menyenangkan hatiku, waktu bercakap-cakap itulah dulu saya bukakan kepada nyonya, o! bundaku yang tercinta. Bila saya tidak bersenang, kalau saya lihat muka nyonya yang jernih dan suka itu, maka sayapun menjadi seorang anak yang beriang hati dan manja pula, serta sayapun dapatlah bernyanii menyanyikan: "Biarpun langit itu runtuh kebumi. saiapoan akan memikulnya dengan bahuku dengan perkasa." ya, nyonya, tuan telah terlampau memanjakan kami. Sekarang tidak lain, yang kami ingin dan cintai, hanyalah waktu kita bersama-sama seperti dulu, yaitu waktu yang lazat dan senang itu. Sungguhpun kami sangat beringin hendak berjumpa dengan nyonya, tetapi kami berharap amat sangat, supaya perjalanan hendak pergi ke jombang itu selambat-lambatnya dimundurkan. nyonya tentu bertanya: "Mengapa maka begitu?" ya, kami tahu dan kami rasa, yang di jombang akan terjadi perjumpaan yang achir sekali antara kita. Pertemuan itu boléh jadi perceraian yang selama-lamanya. Ke Jepara tentulah nyonya tidak akan datang lagi dan kamipun tentulah tidak mudah-mudah saja datang kepada nyonya. Oléh karena itu biarlah perjalanan itu dimundurkan seberapa boléh. Amat sedapnya bila sesuatu kegirangan hendak didapat. Kesedapan itu kami hendak merasai selama-lamanya boléh. Perjumpaan kembali boléh meriangkan hati. sudah itu habislah kegirangan itu. Tidak! kenang-kenangannya tentu akan tinggal juga pada kami.

Kami sesungguhnya tidak sebaik dan semanis seperti yang nyonya sangkakan. Tahukah tuan, hai bundaku, bahwa sekalian itu tidak lain dari pada kelobaan hati sendiri, jika kami sekali-kali berbuat baik dan berlaku manis itu? Karena tidak adalah yang lebih menyenangkan hatiku, lain dari pada menerbitkan tersenyum orang, apalagi pada orang yang kami cintai. Tiadalah yang terlebih meriangkan hati kami, hanyalah bila memandang paras yang riang dan kasih terhadap kepada kami, apalagi, jika kami ketahui, bahwa keriangan itu asalnya tersebab oléh kami.

Besar hati kami, yang koki masih teringat kepada kami.