Lompat ke isi

Habis Gelap Terbitlah Terang/Surat-surat dalam tahun 1901

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Kartini, diterjemahkan oleh Armijn Pane
Surat-surat dalam tahun 1901
Pemandangan pada Sungai Ciliung (Depok).

9 Januari 1901 (I)

[sunting]

Adalah hal keadaan yang baru, yang akan datang ke dalam dunia bangsa Bumiputera, meskipun tidak terjadi karena perbuatan kami, tetapi boléh juga karena orang yang lain

Kemerdekaan telah membayang diudara, ia telah ditakdirkan Allah Dan barang siapa yang telah dinasibkan, yang akan menjadi kepala untuk yang baharu itu, mestilah berpenanggungan. Hal itu menjadi adat dunia telah berzaman-zaman lamanya: "Siapa yang hamil wajib merasai keberatan dan kesakitan bersalin! Tetapi anak yang dilahirkan oléh si ibu itu dengan segala kesusahan dan kesakitan yang tidak berhingga, selamanya dikasihi, dicintai dan disayanginya!"

O, tidak ada perasaan yang lebih celaka dari pada perasaan kekuatan mau bekerja, yang tiba-tiba bertukar menjadi kekoatan tidak mau bekerja. syukur, syukurlah perasaan itu telah terhindar dari badanku.

Belum berapa lama ini adalah seorang professor dari Jena datang kepada kami. Tuan itu namanya Professor Dr Anton, ia dengan isterinya, sedang tamasya untuk 'ilmu pengetahuan, datang kemari hendak berkenalan dengan kami.

Saya takut pemandangan orang terlampau tinggi kepadaku. Saya tahu betul lagi, bahasa orang memperdayakan dirinya dengan kebagusan yang baru dan barangkali oléh karena kasihannya ia berbuat sedemikian.

Bagi orang banyak kami sekarang berpendapatan baru, ya, bagi orang² disinipun baru. Segala yang baru kebiasaan disukai dan diajaibkan orang. Professor itu menyangka dalam hatinya, yang kami masih setengah biadab; sekarang dilihatnya sendiri, bahwa kami disini seperti manusia yang biasa sadlja. yang ajaib kepadanya, hanyalah warna kulit kami, pakaian dan sekalian yang ada dalam lingkungan kami, karena sekalian itu tidak biasa diilihatnya. Bukankah kita merasa amat senang hati, bila buah pikiran kita, kita dapati pula pada orang yang lain? Dan jika orang itu orang asing, orang bangsa lain, dari benua yang lain, berdarah, berkulit dan beradat lain pula, maka bertambahlah dalam hati kita kesukaan persaudaraan sepikiran itu. Saya percaya benar yang orang tidak sedikit juga akan mengindahkan kami bila sekiranya kami tidak memakai sarung dan kebaya, melainkan mengenakan pakaian nona-nona dan demikian juga jika sekiranya kami tiada memakai nama Jawa, melainkan memakai nama Belanda serta berdarah Eropa dan bukan berdiarah Jawa dalam tubuh kami.

Baru sebentar ini kami terima anugerah dua tiga buah kitab, di antara kitab itu, yang bagus sekali karangan B. van Suttner, bernama: "De wapens neer gelegd" (Senjata diletakkan).

Saya telah membaca bermacam-macam kitab, tetapi kitab yang bernama "Moderne Maagden" (Gadis-gadis kaum muda) itulah kitab yang amat bagus, sangat menarik dan merawankan hatiku, karena sekalian yang telah saya pikiri dan rasai dan yang hidup dihatiku sendiri itu, sekaliannya tersebutlah dalam kitab itu. Sesungguhnya Marcel Prévost telah memperhatikan sekalian hal itu baik-baik, dan ia tabu lagi menyuratkan penglihatan, pikiran dan perasaannya dengan benar. Menurut pendapatanku kitabnya itu amat bagus. Sampai sekarang kepadaku belum ada lagi keputusan tentang perkara yang besar itu, dan halku dalam itu tinggallah sebagai biasa, sebelum berkenalan dengan M. M., tetapi melihat orang yang pandai menerangkan maksud gerakan perempuan dengan kebenaran dan kekuatan, yang seterang dan sejelas itu, saya belum pernah. Si pengarang itu tidak berhenti-hentinya memaki akan juara² dalam gerakan perempuan itu, kecuali juara seperti Fedi dan Lea. juara-juara yang banyak itu dikatakannya keji, tiada sempurna, tidak beraturan. Sekalian itu tiadalah menjadikan saya marah. Amat bagus dan manis tutur kata Pirnet, seorang juara perempuan yang besar dan meskipun berbadan rusak, tetapi amat disayangi orang. Bacalah keadaan itu, lebih² pada penghabisan kitabnya. Tutur katanya, semuanya terang dan benar, dengan seterang-terangnya diuraikannya maksud gerakan perempuan. Berlipat ganda saya merasai betapa lazat rasanya kata-kata itu. Apalagi oléh karena seorang laki-laki yang memikirkan dan mengarangkannya. Sebelum saya membaca kitab itu, saya telah menulis dua pucuk surat yang panjang kepada dua orang sahabat karibku, tentang hal itu. Sekiranya saya mengirim surat itu sesudah saya membaca kitab M. M. itu, tentulah saya akan menyangka, bahwa saya menulis surat itu, ialah sebab telah membaca kitab M.M., oléh karena buah pikiran yang terlukis didalam kitab itu, bersesuaian benar dengan isi kedua suratku itu.

Saya suka sekali, bila adalah orang disini, tempat saya buh memperbincangkan isi kitab M.M. itu. Banyak perkara yang tersebut didalam kitab itu hendak saya perkatakan dengan orang yang telah banyak penanggungan dan pendapatannya.

Banyak pula yang hendak saya ceriterakan kepadamu tentang maksud hendak mendirikan sekolah-sekolah perempuan untuk bangsa Bumiputera. Sekarang maksud itu telah diketahui oleh sekalian orang. Adalah banyak lagi hal yang lain-lain hendak saya kabarkan, tetapi pada hari ini maksudku hendak berkirim surat yang ringkas saja. Hanya suatu hal yang saya ceriterakan kepadamu: maksud tuan Mr. Abendanon itu adalah disukai orang dimana-mana juapun. Banyak orang-orang Eropa yang berpangkat tinggi dengan suka hati mendengarkan buah pikiran tuan Mr. Abendanon itu dan kepada meréka itulah lagi bergantungnya maksud sahabat kami itu, boléh sampai atau tidaknya. Banyak sahabat kenalan kami di antara pegawai-pegawai bangsa Eropa, yang suka menolong menyampaikan hajat tuan Mr. Abendanon, yakni suka mempertinggi kedudukan dunia perempuan bangsa Bumiputera, yang sekarang sungguh-sungguh dalam kesengsaraan. Dan banyak pula orang-orang lain, yang belum kami kenal, menyukai juga maksud yang mulia itu.

Sedikit hari lagi maulah saya mengirimkan surat édaran tuan Mr. Abendanon itu, kepada kepala-kepala negeri bangsa Eropa dan Bumiputera tentang maksud hendak mendirikan sekolah-sekolah itu. "Dari dahulu sampai sekarang kemajuan untuk perempuan-perempuan senantiasa menjadi suatu perkara yang penting, untuk kehormatan bangsa."

"Kepandaian dan pengetahuan bangsa Bumiputera tanah Hindia ini, tiadalah akan maju dengan selekas-lekasnya, apabila keperluan perempuan-perempuan selalu ditinggalkan di belakang. Perempuan ialah manusia yang memikul kehormatan!". Demikian bunyi surat édaran tuan Mr. Abendanon itu, Stella, tiadakah buah pikiran tuan Mr. Abendanon itu menghiburkan hatimu?

Telah setengah tahun lamanya kelihatan, bahasa bangsa Bumiputera suka benar hendak mempelajari bahasamu yang bagus itu. Sayang kebanyakan orang Eropa tidak senang hatinya melihat keadaan itu, tetapi orang Belanda yang berpikiran mulia adalah menyukai, dan menggembirakan hati kami menyuruh menyampaikan maksud itu.

Di kota-kota besar, telah terdirilah sekolah-sekolah Belanda, sebagai cendawan tumbuh. Sekolah-sekolah itu dimasuki oléh anak-anak kecil, dan oléh orang-orang yang telah ber'umur, yang telah bertahun-tahun lamanya bekerja pada Gubernemén.

Banyak pegawai-pegawai besar Gubernemén, yang dikepalai oléh Gubernur jenderal menyukai benar, supaya bahasa Belanda diajarkan kepada anak Bumiputera, karena bahasa Belanda itu boléh menjadi perkakas, yang dapat memajukan bangsa Hindia dan mendekatkan bangsa Jawa kepada bangsa Belanda, dan supaya bangsa Belanda itu tiadalah lagi menjadi orang yang ditakuti, tetapi menjadi orang yang disayangi oléh bangsa Jawa, yang akan melindungi dan rnenolongnya. Kalau demikian tentulah mimpi kakakku dan beberapa orang Eropa yang berpikiran yang mulia, kelak akan menjadli barang yang sebenarnya. Bersoraklah engkau, Stella, bersama-sama dengan sa ya akan tanda bergirang hati!

21 Januari 1901 (VIII)

[sunting]

Petang tadi kami dengan nyonya Gonggriyp pergi ketepi laut dan mandi-mandi disana. Waktu itu lautan sedang hening dan warnanya bagus sama rata, saya ketika itu duduk di atas tebing dengan kakiku terjuntai ke dalam air, dan pemandanganku menuju arah ketepi langit yang jauh itu. O, alangkah bagusnya bumi ini! Keriangan serta terima kasih timbullah dihatiku. Alam ini selalu menghiburkan hati kami, bila kami datang kepadanya minta dihiburkan...........

Telah lama dan sudah banyak saya memikirkan tentang pendidikan, lebih-lebih baru-baru ini, dan menurut pendapatanku, pendapatan itu ialah suatu kewajiban yang mulia dan bertuah; dalam hal itu saya menyangka diriku berbuat suatu kejahatanlah, bila saya mengajarkan 'ilmu pendidikan itu dengan pengetahuan yang tidak sempurna. Apalagi harus nyata lebih dahulu, boléhkah saya menjadi guru pendidik. Bagi saya pendidikan artinya mengajar orang berpikir dan berperasaan. O, saya tidak pernah akan bersenang atas diriku' bila saya nanti telah menjadi guru, tetapi saya tidak sanggup melakukan kewajibanku sebaik-baiknya menurut pikiranku tentang pekerjaan guru pendidikan yang sepatutnya, meskipun dalam hal itu tidak adalah orang lain yang tidak bersenang hati melihatkan pekerjaanku yang tiada sempurna itu. Menurut timbanganku, bila si guru sekadar membukakan pikiran si anak itu saja, belumlah ia boléh dikatakan cukup melakukan kewajibannya, ya, demikian pula belum boléh dipandang cukup; karena si guru itu wajib pula membentuk budi si anak itu, sungguhpun tidak ada undang-undang yang memaksa dia berbuat sedemikian, tetapi hendaklah hatinya sendiri si guru itu wajib menyuruh mengerjakan hal itu. Kadang-kadang saya tanyai diriku sendiri, sanggupkah saya mengerjakan sekalian itu? Saya sendiri, yang masih wajib perlu lagi mempunyai pendidikan yang sedemikian? Kerap kali saya mendengar orang mengatakan, bahasa sekaliannya itu kelak akan datang sendirinya, karena dengan mempunyai 'ilmu pengetahuan, maka perasaan sopan santun yang halus dan muliapun datanglah; tetapi telah saya perhatikan, dan saya merasa sayang sekali, karena keadaan itu sekali-kali tiadalah selamanya sedemikian. Bermacam-macam pelajaran dan pengetahuan bukanlah dia menjadi suatu diploma dari budi pekerti yang halus dan mulia. Oléh sebab itu janganlah kita lekas salah tampa melihat beberapa banyak meréka itu yang telah tinggi pengetahuannya, tetapi kelakuannya tinggal biadab dan tiada senonoh, karena ketiadaan pekerti dan adat sopan santun yang baik itu bukanlah kesalahannya sendiri, melainkan sebab pendidikannya tidak sempurna. Amat banyak orang yang menjaga dan berusaha benar-benar supaya otak si anak menjadi tajam dan tangkas, tetapi meréka itu kerap kali lupa sama sekali mendidik si anak itu, supaya berkelakuan dan betertib sopan yang élok!

O, betapa sukacita hati saya membaca dan membenarkan buah pikiran tuan yang sejelas dan seterang itu dalam surat édaran tentang pengajaran untuk anak-anak perempuan bangsia Bumiput6ea itu: "Perempuan ialah yang memikul kehormatan! bukanlah karena perempuan yang dipandang memikul kemuliaan itu, tetapi ialah karena saya sendiripun percaya bahasa dari perempuanlah jua datangnya kekuasaan yang besar, yang boléh memperbaiki ataupun merusakkan manusia semasa hidupnya, sebab itulah pula saya percaya benar, bahasa perempuanlah yang' pandai mempertinggi tertib sopan dan budi pekerti manusia dalam bumi ini."

Bahwasanya mémang dari pada perempuanlah diterima orang yang mula² sekali pendidikan itu, dan di atas pangkuannyalah si anak belajar merasa, berpikir, dan bertutur; sekarang bertambah masuk dalam pikiranku, bahasa pendidikan yang pertama-tama itu tidaklah sedikit artinya dalam hidup manusia. Kalau demikian bagaimanakah kiranya perempuan bangsa Bumiputera dengan sempurna dapat memeliharakan anaknya, jikalau ia sendiri tidak dididik?

Oléh sebab itulah maka saya sangat gembira mendengarkan maksud hendak memberi anak-anak perempuan 'ilmu pendidikan dan pengetahuan. Telah lama saya ma'lum bahasa pendidikan dan pengajaran itulah, yang sanggup membawa perubahan dalam hal keadaan perempuan-perempuan bangsa Bumiputera yang keji itu.

Paédah pelajaran itu kelak bukanlah saja untuk dunia perempuan, tetapi sama ada untuk sekalian bangsa Bumiputera dalam hidup bersama-sama.

Dimana-mana saja sekarang kami dengar orang memperkatakan, hendak mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan. Mata kami jadi bercahaya-cahaya, karena kegirangan hati, bila kami mendengar orang memperbincangkan hal itu dengan sungguh dan sukacita; dan kerap kali kami terpaksa menggigit lidah. Tangan kami, kami genggamkan teguh-teguh akan menahan kesukaan hati, yang hendak terhambur dari mulut kami.

Dalam dunia perempuan bangsa Bumiputerapun orang bersukacita mendengar kabar tentang maksud itu. Sekalian perempuan yang telah ber'umur tempat kami memperbincangkan maksud itu, semuanya berkehendak mau kembali menjadi anak-anak, supaya meréka dapat pula merasai lazatnya pengajaran itu. Sekolah-sekolah Bumiputera di Pati, Kudus dan Jepara dan di tempat yang lain-lain, dapatlah nanti menunjukkan kepada nyonya dengan nyata segala kebajikan yang pertama-tama, hasil dari pekerjaan yang mulia itu. Disekolah-sekolah itu telah diterima juga anak-anak perempuan orang kebanyakan yang banyaknya makin lama makin bertambah-tambah. Sungguhlah suatu kegirangan!

Bésok ibu akan menyerahkan seorang anak perempuan anak piatu, dari anak mas ibu, pergi kesekolah; dan pada bulan yang lalu orang-orang tua kami telah menyuruh pula seorang magang anak muda yang rajin dan baik kelakuannya pergi belajar bahasa Belanda.

31 Januari 1901 (VIII)

[sunting]

Dalam bermenung melihatlah saya keluar memandang kelangit yang hijau warnanya; seolah-olah saya menantikan jawab yang tergores-gores dalam hatiku itu.

Dengan tiada kuketahui maka matakupun menurutilah awan yang berarak dalam lapangan yang luas itu dan kemudian lenyaplah awan itu dibalik daun pohon nyiur yang sedang melambai-lambai dihambus angin. Waktu itu terpandanglah olehku daun² kayu yang bergoyang-goyang berkilat-kilat karena sinar cahaya matahari, dan tiba-tiba timbullah pertanyaan dalam hatiku: "Adakah pernah orang bertanya, apakah sebabnya matahari bercahaya? Apakah dan siapakah yang dikiriminya cahaya itu?" Wahai matahariku, matahariku emas semata saya mau hidup didunia ini, supaya kemanusiaanku berharga, akan tuan sinari, cahayai dan panasi dengan cahaya tuan yang mulia, yang menghidupi dan membaguskan dunia ini...........

Sebab itu tidak usahlah berdukacita, wahai kekasihku, bila surat permintaanku itu tidak baik balasannya, sebab hidupku tidaklah akan menjadi sia-sia karena itu, dan dengan hidup sebagai sekarang ada juga apa² yang baik, dapat dibuat. Saya mau, dan tentulah akan menjadi sedemikian! Siapa yang memperhambakan diri kepada maliku'rrahim tentulah hidupnya tiada akan sia-sia........dan.........siapa yang mencahari malikóe'rrahim, tentulah akan mendapat bahagia, yakni bahagia yang sebenar-benarnya: damai dan senang dalam hati........ dan itupun boléhlah juga didapat di Mojowarno........siapa tahu barangkali di Mojowarno lebih lekas kesenangan itu diperoléh dari pada di tempat-tempat lain. janganlah bersusah hati! Kamipun sekarang mémanglah banyak menerima kasih, karena pokok maksud kami yang te ruta ma telah kami peroléh, yakni: bébas, merdéka dan tegak sendiri........dan..........biarlah menjadi dukun beranak, dapatlah juga kami berbuat baik untuk hidup bersama-sama.


19 Maart 1901 (IV)

[sunting]
yang mulia tuan Doktor[1] Adriani,

Telah lama saya hendak menulis surat kepada tuan tetapi karena bermacam-macam alangan, lebih-lebih karena hampir sekalian ahli dalam rumah, sakit belaka; itulah yang telah melintangi saya benar menyampaikan maksudku hendak menulis surat kepada tuan. Sekarang untunglah sekalian kami dikabupatén, besar dan kecil, adalah dalam selamat wa'lafiat, jadi ta maulah saya menantikan lebih lama lagi hendak membuat surat, yang telah lama dalam kenang-kenanganku ini, dan barangkali tuanpun telah lama menunggu-nunggu kedatangannya. Maafkanlah saya, bila benar sangkaku ini. Saya sendiripun amat beringin hendak menulis isi surat ini, karena hendak mengucapkan banyak terima kasih kepada tuan atas surat tuan yang sedemikian ramahnya, yang dialamatkan kepada adikku Rukmini, dan atas penêrimaan kitab-kitab yang telah tuan kirimkan, yang sangat meriangkan hati kami ketiganya dari bermula sampai sekarang. Kami amat bersukacita mema'lumi, yang tuan telah mengenang kami dengan kenang-kenangan yang baik dan kasih sayang. Kami selalu memikirkan hal itu, dan acap kali pula kami memperbincangkan tuan dan kekasih tuan, Bumiputera Toraja, serta pekerjaan tuan disana; pandaknya sekalian yang telah kami dengar pada malam itu dari tuan dan nyonya Abendanon tentang tuan, semuanya kami perbincangkan. Malam kita duduk di Betawi itu bercengkerma bersama-sama, malam itu selaluLah menjadi tinggal kenang-kenangan yang menyenangkan hati kami.

Dengan hati yang tulus dan ichlas kami berharap, hendaknya janganlah sekali itu saja kita dapat berjumpa, tetapi hingga ini keatas acap kalilah hendaknya kami dapat bertemu dengan tuan. Semenjak perceraian kita di Betawi itu, selalulah menjadi cita-cita dalam hati kami hendak bertemu dan bercakap-cakap dengan tuan barang sekali lagi. Betapakah besar dan girang hati kami, bila sekiranya kami dapat menyambut kedatangan tuan di Jepara.

Persangkaan tuan betul tidak salah; kami betul-betul menghargai pekerjaan zendeling-zendeling di tanah Hindia Bélanda dan kami indahkan sungguh-sungguh akan kerja, usaha dan hidup meréka itu berhati suci, yang tinggal di tempat yang sejauh itu, sunyi dan dalam rimba, lagi jauh dari tanah air, jauh dari pada kaum keluarga dan kawan sepikiran meréka itu; péndéknya dljauh dari dunia yang didiami manusia yang bertertib sopan yaitu dengan maksud hendak memasukkan kepandaian, yang akan memperbagus dan mempertinggi hidup sesamanya manusia, bangsa, yang dinamakan oléh bangsa yang terpelajar, "bangsa yang biadab!"

Dengan segala suka hati saya telah membaca kedua karangan tuan itu, dan saya mengucapkan banyak terima kasih kepada tuan, karena tuan telah memberi kami kesempatan, supaya dapat mengetahui perkara yang penting-penting, yang dahulunya belum kami ketahui.

Baru-baru ini kami membaca karangan "Maatschappeliyk Werk in Indie" (Pekerjaan penduduk di Hindia) yakni rapor-rapor persidangan-persidangan pada Waktu Nationale Tentoonstelling van Vrouwenarbeid di den Haag 1898, dan seperti membaca karangan-karangan tuan yang tersebut tadi, lamalah pula kami memikirkan dan membaca kabar-kabar pekerjaan zendeling-zendeling Nasrani di tanah Hindia, yang tersebut dalam rapor-rapor itu. O, hati saya sangat bersukacita memandang pekerjaan yang bagus dan mulia itu, dan demikian juga melihat meréka itu laki-laki dan perempuan, sekaliannya bangsawan-bangsawan pikiran, yang telah mengerjakan pekerjaan yang semulia dan sebagus itu, tetapi beratnya bukan buatan, dengan hati kasih sayang lagi yakin dan sabar.

Pada tahun 1896 kami beruntung dan berbesar hati, karena kami dapat menghadiri peralatan menaiki geréja baru Kedung-Penjalin. Barangkali agaknya selama hidup kami sekali itulah kami akan dapat menghadiri peralatan yang seperti itu. Waktu itulah yang pertama-tama kali kami memasuki geréja Nasrani sambil menghadiri orang sembahjang; sekalian yang kami lihat dan yang kami dengar disana terasa benar dihati kami. Sungguhpun hal itu telah lama kejadian tetapi karena kebebasan peralatan itu amat menawan hati kami, serasa seperti kemarinlah saja terjadinya. Alangkah merdunya bunyi nyanyi yang keluar dari mulut meréka yang sekian banyaknya itu, dan nyanyi itu besar bahananya dalam geréja yang seluas itu, dan bunga² yang menghiasinya sedap sekali mata memandangnya. Bersama-sama dengan orang banyak yang duduk hening dengan tepekurnya itu, kamipun turutlah pula dengan hati-hati mendengarkan sekalian yang dipidatokan dari atas mimbar, dalam bahasa Jawa yang sejati. Lain dari pada tuan Hubert adalah lagi tiga orang guru-guru zendeling yang berganti-ganti membaca chotbah di atas mimbar itu. Dan yang menambah lagi mulianya peralatan itu ialah suatu saat, tatkala seorang tua bangsa Jawa lalu tegak berdiri dan berpidato kepada orang-orang Jawa, baik yang seagama dengan dia atau tidak. Hal itu sekaliannya menimbulkan kesukuran kepada Allah; dan banyaklah lagi hal yang lain, yang menyebabkan saya sekali-kali tidak dapat melupakan peralatan digeréja itu.

Sejak saya keluar dari sekolah, baharu pagi itulah saya bermula sekali dapat pergi keluar rumah, melihat dunia yang luas ini. Tuan tentu telah mengetahui, bahwa telah menjadi suatu adatlah bagi kami, mengurung anak-anak gadis didalam rumah, dan mencegah meréka sekeras-kerasnya tidak boléh pergi keluar rumah, sampai pada waktu kedatangan seorang laki-laki meminta si gadis itu akan menjadi isterinya. Pada déwasa itulah kurungan itu boléh dibukakan, dan burung yang terpenjara dalamnya itu pun terbanglah keluar, beralih tempat dan "pertuanan" lain. "Keluar rumah" seperti yang dimaksud oléh dunia, tidak adalah sedikit juga gunanya bagi orang perempuan. Tetapi bagi kami, orang yang mencintai kebébasan, adalah kurungan seperti itu semata-mata menjadi suatu penanggungan yang amat besar. Kami selalu mengucap banyak terima kasih kepada orang tua kami, karena meréka itu telah meruntuhkan adat kuno itu. Kemudian dari perjalanan kami yang amat berkat, pergi ke Kedung-Penjalin itu, kerap kalilah kami pergi keluar rumah; mula-mula sekali-sekali, kemudian bertambah kerap dan jauh kami boléh pergi dari rumah; pada tahun yang lalu sampailah perjalanan kami ke Betawi.

Dihalaman surat kabar yang menerangkan nama-nama penumpang kapal, telah kami baca, yang nyonya isteri tuan telah balik kembali ketanah Hindia, dan tentulah ia segera akan datang kepada tuan; kamipun turut bergirang hati dalam hal itu! Dengan pos yang akan datang, kami akan mengirimkan gambar kami kepada tuan dan nyonya, akan memberi selamat kepada tuan keduanya atas kedatangan itu dan meskipun belum berkenalan, kami ucapkanlah kepada nyonya selamat sampai di Mapane. Tidakkah kiranya orangorang Toraja berbesar hati karena "bunda" meréka itu boléh dikelilinginya lagi bersama-sama?

20 Mei 1901 (I)

[sunting]

Meskipun saya masih muda, sesungguhnya telah banyaklah penanggungan yang telah saya rasai dalam hidupku, tetapi sekalian itu belumlah seberapa, kalau dibandingkan dengan dukacita hatiku, tatkala bapak dalam sakit. Waktu itulah saya tidak ada bernafsu, selalu gementar dan takut lahir dan batin, mulutku yang dahulunya dengan gagah mengatakan: "datanglah apa saja yang hendak datang!" sekarang mulutku itu menggigil dan berdoa mengatakan: "ya Allah kasihanilah hambamu ini!" Keramaian pada waktu hari lahirku menjadi kesukaan yang berlipat ganda, bertambah dari biasa karena kesembuhan bapakpun dirayakan pula waktu itu. Saya telah perlihatkan kepada bapak pemberianmu dan saya telah ceriterakan juga kepadanya kegirangan hatimu karena memperoleh poterétnya. Waktu itu bapak sedang tidur berbaring dikursi panjang, dan saya duduk dilantai disisinya, tangannya dirabakannya kekepalaku. Pada waktu itulah saya mempercakapkan engkau kepadanya. Bapak tersenyum-senyum tatkala saya menceriterakan pujianmu yang baik dan yang sebenarnya itu, yang terhadap kepadanya. Mulutnya tersenyum dan pikirannya tentulah kepada orang yang menghormatinya, yakni kekasih yang karib dari anaknya ini dan dalam itu maka si sakitpun tertidurlah. Begitulah dekatnya engkau kepadaku, dan kepada kami sekalian, Stella. Percayakah engkau sekarang, bahasa kami sekali-kali tidak bencilah kepadamu, maka kami berdiam diri selama ini dan dapatkah engkau memaafkan saya karena berdiam diri itu? Marilah saya ucapkan sekali lagi terima kasihku atas persahabatan dan kasihmu yang telah meninggikann hidup dan darajatku, dan marilah engkau dalam ingatanku kupeluk dan kupangku teguh-teguh akan menjadi tanda betapa cinta hatiku kepadamu. O! betapalah baiknya jika saya sanggup berbuat sedemikian dengan sebenar-benarnya, tiadalah dalam kenang-kenangan saya, yakni sebenar-benarnya kita duduk bertentangan, bermuka-muka, akan mengeluarkan buah pikiranku yang sedang penuh dengan kedukaan. Stella, saya sungguh-sungguhnya suka benar hendak melihat engkau berbahagia dan bersukacita karena menerima sepucuk suratku, yang bergirang hati dan bersorak-sorai meriangkan hatimu dengan kabar yang baik, yang dapat menyatakan yang bahasa kami beruntung dan maksud kami telah sampai! Aduh! kekasihku, surat ini bukanlah isinya perkataan yang meriangkan dan menghiburkan hati, melainkan ialah suatu ratap tangis. Saya sekali-kali tidak menyesal, tetapi hal yang benar itu harus saya katakan. Sekonyong-konyong hal keadaan kami dan haluannya telah berputar. Sekarang hal ini bertambah lebih sukar dan pada yang sudah², dan tidak boléh dibiarkan saja demikian. Hal itu bergantung kepada salah satu dari dua perkara, yakni hidup atau mati, menang atau kalah sama sekali, dan tangan kami dalam hal itu terikat dengan belenggu.

Adalah suatu kewajiban yang bernama "terima kasih" dan adalah lagi kewajiban yang tinggi dan mulia, yang bernama "kasih kepada anak", tetapi lain dari pada kedua kewajiban itu, adalah pula suatu kejahatan yang hina dan keji, yang bernama "kelobaan untuk diri sendiri". ya, kadang-kadang amatlah susahnya menunjukkan dimana ujung kebaikan dan dimana pula pangkal kejahatan. jikalau dipikirkan hal itu lebih lanjut, barulah sedikit sekali batas kejahatan dan kebaikan itu boléh kelihatan. Keséhatan tubuh bapaku sekarang demikian halnya, was-was hati kami yang sangat mendukakan hati, wajib dihindarkan. Tahukah engkau apa artinya ini? Kami tiada berdaya lagi, dan mestilah saja berserah kepada nasib yang belum kami ketahui.

Dahulu telah hampirlah kami sampai ketempat yang kami ingini, tetapi sekarang telah jauh pula kami terhindar' dari tempat itu, dan di atas kepala kami tergantunglah sekarang apa-apa yang hébat, yang akan menimpa kami. Sesudah kami bermimpi baik, yang menghapuskan sekalian kesusahan hati kami, kamipun terbangunlah dengan hati yang sedih. Kasihanlah hatiku yang sengsara, yang selalu berteriak-teriak dengan suara ketakut-takutan: apakah kewajibanku, dengan tidak ada jawabnya, sedang orang yang wajib menjawabnya itu masih meraba berputar-putar dalam gelap gulita. ya Allah, berilah kami cahaya, cahaya yang terang! dan bantulah kami! kami tidak tahu bagaimana hal itu dan dimana nanti kesudahannya!

Kami mendengar yang Pemerintah benar-benar bermaksud akan mendidik anak-anak gadis regén untuk jadi guru, ialah akan membujuk atau meriangkan hati kami saja. Sekarang maksud itu tidak dapat disampaikan, karena banyak regén yang mencegah maksud itu, karena ia berlawanan dengan adat, yakni bila anak-anak gadis itu menerima pengajaran diluar rumah. Itulah suatu keadaan sekarang bagi kami yang merusakkan hati, karena dahulu kedatangannya yang baik telah kami harapkan. Duka dan pilu benar hati kami, karena harapan kami telah menjadi suatu mimpi saja, dan terlampau bagus akan dijadikan hal yang sebenar-benarnya! O, coba sekiranya ada diketahui oléh meréka itu apa yang telah dicegah dan ditolaknya itu! Tetapi sudahlah, biarlah kami berdiam diri. Kami tidak boléh lekas salah sangka, dan tidak boléh menyalahi benar-benar meréka, yang mempunyai perasaan tumpul akan maksud Pemerintah yang menuju kemajuan dan kebaikan untuk anak-anak perempuan itu. Supaya dapat orang menghargai barang sesuatunya, maka wajiblah orang itu mula-mula mengerti akan paédahnya, dan sekarang bagaimanakah meréka itu dapat mengerti akan kehendak dan keinginan kami kaum muda ini, karena meréka itu tidak lain yang diketahuinya dan yang dirasainya hanyalah lazat cita adat kuno itu saja? Sedangkan dibenua Eropa, pusat jala pumpunan 'ilmu pengetahuan, benua yang telah terpelajar, dari sana terpancar segala cahaya kepandaian, dibenua itupun masih hébat perang untuk memperoléh hak si perempuan, apalagi di Hindia ini, yang telah berzaman-zaman selalu dan sekarang masih tidur nyenyak berselimut kebodohan; karena itu tentulah di Hindia ini meréka itu akan lama waktunya maka boléh dapat menyabarkan dirinya dan memperkenankan si perempuan, yang telah beratus-ratus tahun dipandang seperti machluk yang kurang harga kemanusiaannya itu, akan berubah menjadi manusia yang ada berhak akan berhati bébas.

O, Stella, kami merasa sangat beruntung dan berbahagia, lagi nonggong, tatkala kami mendengar Pemerintah bermaksud yang baik itu, yakni akan membuka sekolah-sekolah tempat memberi anak-anak gadis regén pengajaran bekal menjadi guru perempuan. Bagi anak-anak gadis yang tersebut, sekiranya hal itu terjadi, akan terbukalah jalan penghidupan boléh tegak sendiri, dan demikian lagi jalan yang menuju kepadang kebébasan dan kesenangan hati, tetapi apa hendak dikata, jalan yang sebaik itu sekarang telah dimusnahkan orang. Daholu duduklah saya berbesar hati dengan mataku bercahaya-cahaya dan bersinar-sinar mengenang-ngenangkan kabar yang sebaik itu, dan sekarang kabar baik itupun telah lenyaplah melayang keudara. Bagaimana halnya perkara itu sekarang tidak tahulah saya. Sahabat kami yang di Betawi sekarang dalam temasa. Tetapi sepanjang pikiran kami perkara itu telah rusak binasa. Apa boléh buat, sudahlah, asal maksud yang mulia untuk mengajar anak-anak perempuan sekalian tiadalah akan dihilangkan pula. Walaupun orang-orang tua dalam hal itu tidak suka, tiadalah rasanya akan menjadi alangan. Hal itu kalau kejadian pula, sungguh celaka! O, engkau tentu tidak tahu, betapa geli dan panas tanganku sekarang hendak menulis maksud tuan Directeur van Onderwiys tentang pengajaran anak-anak gadis regén, untuk menjadi guru perempuan itu, tetapi saya tidak berdaya lagi, saya wajib menutup mulutku dan meletakkan pénaku, saya tidak boléh mengeluarkan pertimbanganku lagi, tentang perkara-perkara yang penting-penting itu, dan tidak boleh sekali-kali pikiran itu dimasukkan ke dalam surat kabar. Tahukah engkau bahwa meréka yang dalam lingkungan kamipun tidak tahu sedikit juga apa yang bergerak, mendidih dan menyala dalam kalbu kami. Tertawa saya dalam hatiku, tatkala seorang kenalan, yang kerap kali datang kerumah kami, pada suatu hari membaca dalam surat kabat, tentang pengajaran untuk anak-anak gadis regén, berkata kepada adik-adikku, bahwa maksud yang sedemikian amat bagus untuk saya kerjakan. Kenalanku itu beserta suaminya memperbincangkan hal itu dengan saya. Seperti orang yang tidak tahu akan hal itu, maka saya biarkanlah saja ia berceritera dan berkata. Keduanya laki isteri menyokong cita-citaku, meréka itupun menyukai pula akan kemerdékaan dalam dunia perempuan bangsa Bumiputera. Ia seorang pegawai Pemerintah negeri dan sanggup pula menolong kami dalam perkara itu. Isterinya berjanji akan menolong saya pada hari yang akan datang. Besar hati kami melihat betapa gembira hatinya, dan ma'lumlah kami bahwa ia seorang yang amat suka membuat suatu kebaikan, tetapi ia tidak tahu bagaimana jalan membuatnya itu.

Tidak lama lagi suaminya akan naik pangkat, kalau ia telah naik pangkat, pada waktu itulah meréka itu dapat bekerja banyak untuk meninggikan darajat bangsa kami. Telah kami perundingkan tentang daya upaya meréka itu, supaya ia dapat membuat kebaikan, dan suaranya boléh didengar orang pula. jika suaminya telah menjadi asistén-residén, ia hen­dak menyuruh anak-anak gadis pegawai yang dibawah perintah suaminya, datang kerumahnya belajar merénda, memasak-masak, dan barangkali juga diajarnya meréka itu menulis dan membaca. Kalau demikian tentulah ia membuat suatu pekerjaan yang harus dihormati dan dimuliakan! Ia sangat berbesar hati mengenang-ngenang hal itu, marilah kita berharap yang maksud si nyonya itu akan disampaikan Allah. tidak baguskah maksud itu? Sayapun telah berceritera kepadanya tentang halmu. engkau dipandangnya serta dihormatinya tinggi dan dimuliakannya; keadaan itu sangat menyenangkan hatiku. lapun suka pula menjadi anggota perserikatan "Onderlinge Vrouwenbeweging" (Pergerakan sesama Perempuan). Ia ada mempunyai dua orang anak perem­puan dinegeri Belanda, yang seorang akan menjadi advocaat, dan yang seorang lagi akan belajar kepandaian yang lain. Pa­da suatu hari tatkala kataku telanjur mengatakan, bahwa sebelumnya saya pergi mengarungi dunia hidup bersama-sama, saya hendak bekerja dahulu di rumah sakit, biarpun barang setengah tahun saja lamanya, supaya dapatlah saya mengetahui dan mempelajari betapa menjagai orang sakit, dan kalau sekiranya nanti adalah seseorang yang sakit diru­mah .kami, jadi dapatlah saya menjaganya dengan tiada bersalah. Dengan segera nyonya itu berkata kepadaku, bahwa adalah iparnya yang berpangkat dokter, sudi menolong saya mengajarkan segala rahsia tentang jaga-menjaga orang sakit, dan itulah sebenarnya suatu pengetahuan yang amat berguna bagiku setiap masa untuk menolong orang yang berdekatan dengan saya.

Dokter itu orang baru, dan tidak tahu bercakap bahasa Jawa, hanyalah ia pandai sedikit bertutur bahasa Melayu, dalam hal itupun saya dapatlah pula menolongnya sebagai juru bahasanya, karena orang-orang sakit yang data kepadanya kebanyakan anak Bumiputera dan orang cina. Saya bermaksud benar hendak bekerja barang beberapa lamanya saja di rumah sakit. Pekerjaan itu harus menjadi suatu bagian dari pada pendidikanku. Hal itu telah lama saya pikirkan. Bagaimanakah pikiranmu tentang maksudku itu? O, adalah suatu hal yang mengecutkan hatiku, ya, sungguh mengecutkan hatiku benar, yakni melihat orang yang menanggung dan menjerit karena kesakitan, tetapi si penglihat tidak cakap meringankan kesakitannya itu, melainkan karena hal itu si penglihatpun merasa lebih menanggung kesakitan dari pada si sakit itu sendiri. Telah kerap kali saya duduk disisi orang sakit, maka timbullah pikiran dalam hatiku hendak mempelajari pengetahuan menjaga orang sakit; mula-mula pikiran itu terbayang-bayang saja, akhirya menjadi nyata dan terang, dan sekarang ia telah menjadi kuat dan kukuh dalam hatiku. jikalau saya nanti boléh bercakap, artinya boléh mengeluarkan segala yang terasa dihati saya tentang pendidikan anak perempuan, maka sayapun akan menguatkan paédah pengetahuan tentang keséhatan tubuh, demikianpun pengetahuan tentang tubuh manusia d.l.l. untuk keperluan perempuan.

Suka benar saya bila sekalian yang tersebut di atas ini dapat diajarkan juga dalam sekolah anak-anak perempuan yang akan didirikan itu. Kasihan bukan, karena murid-murid sekolah yang tersebut lain dari pada pelajaran yang biasa wajib pula menelan pengajaran itu. Sekolah anak² perempuan untuk bangsa Bumiputera yang demikian, niscaya akan menjadi sekolah yang tidak ternilai harganya, bukan? Lihatlah apa apa pengajaran yang akan diterimanya: kepandaian, pengetahuan, masak-masakan, perkara rumah tangga, jahit-menjahit, 'ilmu keséhatan tuhuh dan pengajaran tentang suatu kerja yang tentu perlu mestilah pula diajarkan. Bermimpilah, mimpikanlah sekaliannya itu, asal saja hatimu boleh senang. Bukantah tidak adalah orang yang akan melarangmu bermimpi itu?

..............................................................................................

Apa saja yang saya karangkan sampai sekarang untuk orang banyak, sekaliannya itu hanyalah perkataan yang sia-sia, dan pemandangan saja dalam beberapa hal yang telah kejadian. Perkara yang penting-penting belum boléh saya uraikan, sayang sekali, bukan? Nanti apabila kami telah terlepas dari belenggu besi adat-adat kuno itu, tentulah sekalian keadaan itu akan berubah. (Adat-adat itu masih kami turut ialah karena kasih dan cinta kami saja kepada orang-orang tua kami). Bapak tidak suka yang anaknya menjadi buah tutur orang lain. Bila saya nanti telah boléh tegak sendiri, bolehlah saya mengatakan buah pikiran saya. Sabarlah dahulu Stella, kepadamu bukanlah perkataan yang kosong saya katakan. jikalau saya mengarangkan apa-apa yang saya sukai itulah suatu bukti yang benar-benar terbit dan hatiku, dan tetulah karangan itu mesti saya kinmkan kepadamu.

10 Juni 1901 (III)

[sunting]

Karangan tuan Borel yang bagus itu tentang gamelan (musik nyawa dinamai oléh pengarang) teiah kami baca dan kitabnya adalah kami punyai. Tahukah tuan kitab-kitab yang lain, yang telah dikarangkannya? misalnya "Het Jongece" amat molék dan bagus isinya. Banyak orang mengatatam jong Borel katanya berlebih-lebihan dan ancak-ancak, tetapi kami telah merasa lazat isi kitab-kitabnya itu! Kitabnya yang bagus pula yang bernama "De laatste incarnatie", dan yang terlebih bagus kitabnya yang bernama "Droom uit Tosari". Dalam kitab itu ia memaparkan kebagusan alam digunung-gunung tanah Jawa yang senantiasa berwarna hijau itu, sungguh merdu benar tutur bahasanya!

Siapa juapun yang telah merasa kelazatan tutur katanya itu, tentulah akan percaya, bahwa si pengarang itu betul sebenar-benarnya ahli pengarang, ataupun setidak-tidaknya ia mesti ada mempunyai perasaan yang sejati untuk melihat dan merasai keindahan alam ini. Akan menceriterakan keindahannya itu haruslah si pengarang itu seorang machluk yang berbahagia, yang keningnya mémang telah dicium oleh déwa-déwa 'ilmu kepandaian.

Saya berharapa yang saya akan beruntung dapat mempelajari benar-benar bahasa tuan yang manis dan merdu itu. Sekarang juga dapatlah saya mensahkan kepada tuan, bahwa saya senantiasa tiada akan mengabaikan dia, bilamana saja saya sempat mempelajarinya. Itulah sutu maksud yang sungguh-sungguh dalam hatiku, yakni hendak mengetahui benar-benar akan bahasa tuan itu. Saya merasa diri saya sekarang telah beruntung, biarpun saya hanya sekadar pandai membaca dan menulis dalam bahasa tuan. Dan bila saya nanti beruntung pula dapat mengetahui bahasa jérman, maka datanglah saya nanti kepada tuan, boléhkah itu? Sementara itu tentulah orang telah pandai membuat kapal terbang dan pada suatu ketika yang baik, tentulah lagi tuan akan melihat sebuah kapal terbang, melayang-layang di atas udara dinegeri Jena, yang membawa penumpang dari jauh, datang mendapatkan tuan!!!

Seharusnya saya dilahirkan menjadi anak laki-laki. Kalau demikian barulah maksudku yang tinggi itu dapat disampaikan. Sekarang ini saya, ialah seorang peremnuan dalam dunia Bumiputera pada zaman sekarang, susahlah dapat menyampaikan maksud yang tersebut itu. Maksud itu suatu perkara mustahil, tidak boleh diubah lagi. Sedangkan dibenua Eropa pusat jala bagi sekalian 'ilmu pengetahuan dan kepandaian, masih hébat orang berperang, untuk memperoléh hak perempuan yang sejati. jangan kata lagi di tanah Hindia, tanah yang penduduknya masih biadab, dan tiada berpengetehuan, tanah yang perempuan-perempuannya telah berzaman, berabad-abad dipandang oléh laki-laki sebagai machluk yang hina...... ya, beranilah saya mengatakan lagi, bahwa perempuan disini dipandang oléh laki-laki seperti benda yang bernyawa saja. Tentulah orang akan lama menanti, yang di tanah Hindia ini laki-laki akan memandang anak-anak perempuan sebagai manusia sejati, manusia sejati kata saya ialah machluk yang berhak, berhati bébas, bébas dalam hal berpikir, belaas dalam hal perasaan dan bekerja?

Baru-baru ini saya membaca dalam soêrat kabar bahwa Pemerintah Hindia bermaksud akan mendirikan sebuah sekohh tempat anak-anak gadis regén belajar untuk menjadi guru. Siapa yang berusaha untuk meyampaikan maksud yang mulia itu, tidak usahlah saya kabarkan kepada tuan. Tatkala saya mendengar kabar itu, maka adalah semisal pintu surga terbuka dimukaku, dan matakupun memandanglah segala ni'mat yang tiada tepermanai banyaknya didalam surga itu dengan bersukacita. Mendengar bunyi surat kabar itu kami hampir setengah gila karena kegirangan hati; dan hal itu telah membawa kami selangkah lagi maju kemuka, seperti kata pepatah: "Pokoknya asal langkah yang pertama telah dilangkahkan. O, pandailah hendaknya sekalian meréka yang akan mendapat kebaikan itu menghargakan kebaikan itu! Supaya orang boléh dapat menghargakan barang sesuatunya, haruslah orang itu mengerti lebih dahulu, dan akan mengerti itulah suatu perkata yang amat sukar, tidak dapat dalam sehari, ya, tidak dapat setahunpun mempelajarinya. Oleh sebab itu mustahillah kebanyakan kepala-kepala anak-anak negeri akan dapat memuliakan maksud Pemerintah untuk keselamatan dan keuntungan anak-anaknya yang perempuan, bilamana keselamatan dan keuntungan itu, meskipun oleh kami bangsa kaum muda sangat tinggi harganya, tetapi dalam pemandangan meréka itu adalah maksud itu seperti teka-teki dan barang rahsia saja?

Aduh, ketakutan kami itu benar rupanya! Maksud Pemerintah yang bagus, yang boléh banyak menyampaikan pengharapan kami, tiadalah akan makbul, karena kebanyakan kepala-kepala negeri tempat Pemerintah bertanya untuk melangsungkan maksud itu, mencegah maksud itu, oléh sebab ia berlawanan dengan adat. Menurut sepanjang adat, anak-anak gadis tidak boléh belajar diluar rumahnya. Tinggallah engkau, wahai kenang-kenangku! Mimpiku sebagai emas disepuh untuk waktu yang akan datang, tinggallah engkau! Aduh, telah kerap kali benar saya ulang-ulangi dalam hati saya dan berteriak dengan suara yang keras, bahasa mimpi dan kenang-kenangan itu semata-mata beban, yang tidak berguna dalam dunia bangsa Bumiputera, dialah pula suatu benda yang sia-sia dan berbahaya!.............., tetapi sekalian itu hanyalah mulut saja, yang mengatakannya, sebab diembuskan oléh pikiran yang tawar dan dingin itu; dan hati kami yang bodoh dan gila ini tidak mau melepaskan kenang-kenangan dan mimpi itu. Mimpi kebébasan dan cita-cita yang lain-lain telah berurat dan berakar dalam hati kami, sehingga tidak mudahlah ia ditarik dan dihélakan, jikalau sekiranya pohon tempat ia melekat itu tidak dimusnahkan lebih dahulu.

Menurut pendapatanku hati tuan sangat baik sekali, karena tuan telah menyusahkan diri tuan untuk memikirkan untung nasibku pada waktu yang akan datang. Saya banyak meminta terima kasih kepada tuan atas hal itu. Tetapi janganlah kiranya tuan susahkan benar akan halku atau lebih baik saya katakan, bahwa kami telah tahu apa yang akan datang kepada kami. Kami bertiga akan pergi berpegang-pegang tangan menempuh jalan dunia, yang banyak akan mendatangkan peperangan, kecéwaan dan kedukaan kepada kami! Jalan yang telah kami pilih, tiadalah ditaburi dengan bunga ros, tetapi jalan itu mémanglah penuh dengan duri dan ranjau; kami pilih jalan itu ialah karena cinta hati kami akan dia. Dengan cinta hati dan suka kamilah akan menempuh jalan itu. jalan itulah pula yang akan kami tolong menebaskan bersama-sama, dan dialah nanti yang akan membawa beribu-ribu hamba Allah yang teraniaya, saudara-saudara kami, kepadang kebébasan dan keuntungan. jalan yang akan membawa berjuta-juta bangsa kami kepada budi pekerti yang lebih tinggi. Bersama-sama bekerja akan menyempumakan pekerjaan yang berzaman-zaman dikerjakan oléh orang yang ternama, supaya kedudukan budi pekerti dalam kemanusiaan boléh bertambah tinggi, ya, pendeknya akan membawa alam kami yang bagus ini kepadang kesempurnaan. Bukankah kesukaran pekerjaan itu ada berharga besar untuk menerangi kesusahan hidup?

Itulah mimpi si "Tiga saudara” yakni ketiganya anak perempuan Jawa di tanah panas yang jauh ini. O, dapatlah kiranya kami pergi ketanah yang musimnya berganti-ganti, ketanah panas dan dingin, tanah air sekalian “ilmu pengetahuan, supaya dapatlah kami disitu melengkapkan diri kami entuk peperangan besar, yang akan kami tempuh, untuk mencari keselamatan dan bahagia bangsa kami. Belajar! belajar di Eropa, mengumpulkan “ilmu pengetahuan, disana kalbu kami diisi dengan kesucian dan kebagusan, supaya bila kami kembali ketanah air sendiri dapatlah kami bekerja untuk mengembangkan cita-cita kami! Masing-masing harus mempunyai otak dan kepandaian, supaya dapat membuat barang sesuatunya; lebih-lebih akan membuat sesuatu pekerjaan dengan sebaik-baiknya; hal itu ta? dapat dibantahi lagi, sungguhpun masih ada juga orang membantahi keperluan itu, sebab berbuat pekerjaan dengan sebaik-baiknya dan berbuat pekerjaan dengan akal budi, itulah dua perkara yang berlawanan, yang tidak dapat disejalankan. Tetapi dalam hal itulah pula tersembunyi kebijaksanaan yang besar, jikalau sekiranya orang pandai menyatukan kedua kekuasaan yang berlawanan itu, yang tersembunyi dalam hati manusia. O, kerap kali telah saya lihat, bahwa membuat pekerjaan dengan sebaik-baiknya itu tidak dengan pikiran atau akal budi, lebih banyak mendatangkan kejahatan dari pada kebaikan.

Wahai Eropa! Eropa! selamanyakah kiranya engkau tidak dapat kami datangi? Kami yang senantiasa dengan hati dan nyawa kami mengingini tuan? tidak dapatlah dan tidak maulah kami mempercayai hal itu........., tetapi rupanya sungguhlah demikian halnya. Perjalanan pergi ke Eropa dan tinggal disana memanglah sangat mahal. Minister van Financiën kita tidak dapat mengurniai kami dengan ni'matnya.

Tetapi dalam hal itu tidak usahlah kami bersusah hati. Hidup itu amat senang dan bagus tempat meluluhkan hati dengan ratap tangis karena sesuatu hal yang tidak dapat diubahi lagi. Biarlah kami meminta sukur kepada Allah..........dan selalu tinggal sukur sudahlah menjadi kebiasaan kami.........atas segala berkat dan ni'mat yang dihadiahkan Allah kepada kami. Bukankah kami ini telah diberkati oleh Tuhan lebih baik da: pada beribu-ribu hambanya yang lain? Lihatlah apa yang ada pada kami siapa kami ini. Kami masih beribu-bapak yang kami cintai, dan keduanya adalah sehat wa'lafiat, ya, banyaklah lagi kebaikan yang lain, yang telah menghiasi hidup kami. O, hidup itu mémang penuhlah dengan kebagusan, bila kami suka memperhatikan sekaliannya itu, —betul adalah pula hal-hal yang menyusahkan kami, tetapi kami dalam hal itu mestilah selalu mempertinggi kebagusan dan meringankan kedukaan itu.

Banyaklah sungguh hal-hal yang menyuruh kami meminta terima kasih! Apabila kami merasa kelazatan nyanyi burung diudara, atau musik yang merdu yang meriangkan hati, maka kamipun mengucap terima kasih kepada Allah, karena Ia tiadalah menjadikan kami orang yang pekak! Bila kami duduk di Klein Scheveningen, tempat yang sederhana ditepi laut, tempat yang sunyi, damai lagi permai itu, sedang matahari hendak terbenam, kelihatanlah kekayaan Allah disana dengan moléknya. tidak cukuplah kiranya kami memohonkan terima kasih, sebab kami ada bermata yang séhat dan dengan mata kami itu dapatlah kami memandang sekalian yang bagus dan memperhatikan cahaya-cahaya yang manis dan berwarna-warna dipuncak gelombang, dan dilangit itu yang hening dengan sedapnya, karena itu timbullah doa yang meminta syukur kepada Tuhan yang mahakuasa, yang menjadikan serta memerintah seluruh alam ini. Terima kasih! syukur alhamduli'llah! demikianlah suara yang riang dan gembira dalam hatiku. syukur, karena saya dapat dan boléh melihat segala keindahan di atas dunia ini. Berapa banyak orang yang tidak dapat merasa kelazatan akan keindahan dan kebagusan itu? Tidak saja meréka yang memandang siang dan malam sama halnya, yakni selalu dalam gelap gulita, tetapi amat banyak pula meréka, yang mempunyai mata dengan secukupnya, tetapi meréka itupun tidak dapatlah juga melihat keindahan dan kebagusan itu. Itulah yang menyebabkan kami insaf bagaimana kelebihan kami dari pada sesama manusia yang lain, dan kamipun karena itu meminta terima kasih akan rahmat Tuhan yang rahim yang memenuhi ruang-rongga kalbu kami! Oléh karena memikirkan, bahwa banyaklah di antara kita manusia yang bersedih hati mengingatkan diri sendiri, wajiblah insaf kita akan kelebihan kita itu.

Amat banyak perempuan-perempuan bangsa Bumiputera yang lebih pandai dan lebih terpelajar dan lebih budiman dari pada kami, yang cukup mempunyai kekuatan dan kekuasaan, yang tidak bersifat kekurangan, yang berotak dan berpikiran sempurna, yang berpendidikan 'ilmu pengetahuan, sehingga tidak adalah alangan baginya akan melébarkan dan menguraikan kekuatan pikirannya, ya, betul-betul sungguh mendapat segala pekerjaan yang disukainya. Meréka itu semuanya tidak ada membuat apa-apa, dan tidak sanggup mencapaikan apa-apa, untuk menunjukkan jalan akan mempertinggi kedudukan bangsa dan adatnya. Setengah meréka itu telah surut kembali ke dalam dunia yang kuno, dan setengah lagi semata-mata telah menjadi dan terus beradat bangsa Eropa. Kedua jalan yang diturut oléh meréka itu sekali-kali tidak bergunalah untuk bangsanya, meréka itu boléh dikatakan telah hilang lenyap dari bangsanya. Tetapi kalau meréka itu suka dan mau, tentulah ia akan menjadi semarak untuk bangsanya, karena dapatlah ia membawa perempuan-perempuan sesamanya kedunia yang terang, yang memberi meréka itu pendidikan yang bébas. Bukankah sudah menjadi kewajiban bagi tiap-tiap orang, yang lebih berbudi dan lebih terpelajar dari pada sesamanya yang lain, akan membantu kawan-kawannya yang kurang pandai, dan menerangkan barang sesuatunya kepada meréka akan pengetahuannya itu? Sebenarnyalah tidak ada undang-undang yang memaksanya mesti mengerjakan pekerjaan yang sedemikian, tetapi budi pekertinya yang terpuji itulah yang memaksanya wajib melakukan hal yang sedemikian.

O, kata-kataku telah telanjur pula, maafkanlah saya, sekiranya kata-kataku itu membosankan dan merusakkan hati tuan. Apakah yang memberanikan saya sampai menulis sekalian itu kepada tuan, sambil merampas waktu tuan dengan percakapan yang kosong itu? Maafkanlah saya! tetapi tuan sendiripun bersalah pula dalam hal itu, karena surat-surat tuan kedua yang terletak dimukaku, kata-katanya sangat menarik hatiku. Waktu saya membaca tutur kata yang semanis itu, sayapun menyangka yang tuan kedua semisal hadir dihadapanku duduk bercengkerma. Dalam persangkaan itulah terus saya menulis apa-apa yang terasa dihatiku.

Sebuah dari gunung api dipulau Jawa Timur telah memperlihatkan kekuasaannya yang hébat dan telah mengurbankan nyawa beberapa hamba Allah, tentulah tuan telah mendengar. Tentang hal itu tidak usahlah saya uraikan lagi panjang lébar. Menurut sepanjang surat-surat chabar dua tiga buah gunung berapi yang lain, akan mulai pula memperlihatkan kegagahannya. O, gunung-gunung hijau yang bagus, yang berbahaya!

Waktu gerhana matahari pada 18 Mei, gerhana yang menarik hati segala orang pandai-pandai didunia ini datang ke Hindlia pada waktu itu, hanyalah sebentar saja melihat gerhana itu, karena kemalangan kami, langit pada waktu itu diliputi oléh awan yang hitam, dan hujanpun turunlah pula! Tetapi teriak kemalangan kami ini, bagi orang tani menjadi suatu berkat! Bapakpun merasa dirinya beruntung karena hujan itu, sebab ia mendatangkan kebaikan untuk sekalian tanah yang kering dan kurus. Kepada hujan itulah bergantung'nya sekalian itu. Alangkah besar berkatnya hujan yang lebat itu! Menjadi kema'muran dan kesentosaan untuk beratus-ratus, ya, untuk beribu-ribu manusia!

6 Juni 1901 (V)

[sunting]

Hilda yang tercinta!

Marilah saya mulai, pun di atas nama adik-adikku, memberi selamat kepada tuan atas kelahiran anak laki-laki tuan yang kedua itu, dan berharap kami, supaya ia akan menjadi seorang anak yang séhat sebagai kakaknya, dan berangsur-angsur akan menjadi seorang anak laki-laki yang tangkas, sehingga tuan kedua karena itu boléh berhak akan bersombong diri.

Bagaimanakah tingkah laku sahabat kami yang kecil yang sekarang telah berpangkat "kakak?" Tidak maukah ia bermain-main dengan ségera dengan adiknya si Alfred itu? Bukankah itu nama si kecil itu?

Si anak dalam bulan Mei! Tuan de Genestet telah membuat syair yang amat bagus tentang anak-anak yang lahir dalam bulan Mei. Achir syair itu amat masygul, tetapi untuk anak Mei tuan, kami harap yang doa permintaan si tukang syair itu dalam dua buah syairnya pada bagian yang pertama, akan dikabulkan oléh Tuhan yang esa. Sungguhpun syair itu tuan kenal, tetapi amat suka hatiku akan menuliskannya sekali lagi dibawah ini:

Wahai déwata musim yang segar,
Taburkan dikakinya si bunga mawar,
Wahai déwata si cinta hati,
Kurniakan padanya setia sejati!
Selamatlah tuan ditaman ayah,
Bunda membimbing tidak tahu payah,
Tuan sebagai bunga melati,
Anak bulan Mei Allah berkati!

Saya dengar tuan mentertawakan diriku sendiri bila tuan membaca yang di atas ini, alangkah gilanya? janganlah tuan menghérankan diri dalam hal itu, karena segala bibit-bibit yang telah ber'umur, mémanglah selalu lekas berhati rindu, dan yang bertanda tangan dibawah inipun telah masuk menjadi bibit yang telah tua.

1 Augustus 1901 (VIII)

[sunting]

Bunga-bungaan dan dupa perasapan tidak boléh tinggal bagi kami bangsa Jawa dalam segala hal.

O, bau bunga dan bau dupa bangsa Bumiputera yang sedap itu mudah benar menerbitkan susunan pikiran dan perasaan kepadaku, tiap-tiap kali apabila saya membauinya, timbullah susunan yang tersebut dalam diriku. Sepanjang hari ia membangunkan kenang-kenanganku dan meneguhkan perasaanku ada berdarah Jawa yang mengalir diseluruh tubuhku.

O, nyawa bangsaku, yang mula-mulanya amat suci, bagus, mulia dan bersifat chidmat, apakah kejadian tuan sekarang? Dijadikan apakah tuan oléh waktu yang berzaman-zaman lamanya, waktu yang sia-sia itu?

Kerap kali orang mengatakan yang kami dalam hati lebih menyukai cara Belanda dari pada cara Jawa. Alangkah sayunya pikiran itu! Biarlah kami dikatakan orang berpikir dan berperasaan sebagai cara Eropa, tetapi darah Jawa kami yang sejati, yang hidup dan panas mengalir diseluruh tubuh kami tidak dapatlah disembunyikan. Kami rasai hal itu senantiasa, bila kamii membaui bunga dan asap dupa, mendengar bunyi gamelan dan desir angin dipuncak pohon nyiur, mendengar bunyi burung tekukur, bunyi puput batang padi dan bunyi den tam lesung padi..........................

Sungguh tidak sia-sialah kami akan tinggal se'umur hidup dalam suatu lingkungan, yang telah menjadikan adat lembaga yang sejati, tetapi dalam hal itu telah kami pelajari dan selidiki pula kehampaan adat lembaga itu, sehingga kuketahui benar-benar yang ia tidak ada berisi. Sekarang itulah sebabnya maka selalu kami mendengar ratap tangis dan suara putus-putus asa, yang keluar dari hati nurani kami: "Apa gunanya lembaga yang tidak berisi itu?" Suatu lembaga patutlah buatannya sempurna, tetapi yang terutama sekali ialah isinya. Sungguhpun demikian adalah banyak yang lain yang baik pada bangsa Jawa. O, kami suka benar bila nyonya datang kepada kami, akan melihat kebagusan yang terdapat pada bangsa kami. jika saya melihat barang sesuatu kebagusan yang sebenar-benamja kepunyaan bangsa Jawa, selalu saya berpikir: "Alangkah baiknya, bila nyonya A. bersama-sama diam dengan kami. Tentulah ia amat suka melihat sekaliannya itu, apalagi karena adalah orang disisinya, yang dapat menerangkan kepadanya barang sesuatu yang tidak dikenalnya itu, yang dipandangnya barangkali hanya sebagai teka-teki dan benda yang gaib saja. Ia tentulah akan merasa kelazatan dan kamipun akan berbesar hati dan menghormatinya, sebab ialah orang yang mempunyai penglihatan benar untuk segala benda yang bagus dan molék."

Si Jawa ahli ukir, demikian namanya nyonya sebutkan, sekarang telah pula mengukir apa-apa yang bagus, yaitu sebuah peti, penuh diukimja dengan ceritera wayang, tutup peti itu diluar dan didalam serta keempat dindingnya diukir dengan gambar-gambar wayang; dan lagi adalah pula sebuah kotak yang berguna untuk menyimpan barang perhiasan, itupun telah dihiasinya pula dengan ukir-ukiran. Peti itu akan saya lapisi dengan sutera kuning sebelah ke dalamnya serta diberi bertepi pérak; yang akan membuat itu ialah anak Bumiputera juga. Peti itu mestilah bagus sekali hendaknya, karena akan digunakan untuk menyimpan porterét regén-regén tanah Jawa dan Madura, yang akan dipersembahkan kepada Seri Baginda Maharaja Wilhelmina. Pikiran yang bagus itu keluarnya dari si pemesan kotak itu, yaitu regén Garut. Akan menghiasi kedua barang itu dipulangkan orang kepadaku, sa ya boléb mengeluarkan uang seberapa saja untuk mengerjakannya, asal peti dan kotak itu boléh bagus rupanya.

8—9 Augustus 1901 (VIII)

[sunting]

Sekarang saya lihat lagi ditepi laut yang bagus itu, ya, bukan buatan moléknya disinari oléh cahaya bulan yang ku­ning seperti emas, sinar yang mana sekarang berjuta-juta kali pancar-memancar di atas ombak dan alun dalam lautan yang luas. itu, sehingga kelihatanlah rupanya sebagai ular yang bercahaya-cahaya, yang dipalut dengan emas dan pérak!

Dan saya dengar lagi desir daun nyiur yang sedang bergoyang-goyang, dan melambai-lambai sebagai bulu-bulu pérak yang amat besar, ditiup oléh angin malam yang amat sedap terasa dipipi, dan desir lemah lembut kedengaran ditelinga kami. Amat merdu lagi bunyi itu karena dicampuri oléh bunyi ombak dan gelombang yang gagah dan mand ya, memalukan dirinya di atas pantai yang putih dan berkilat-kilat itu. Hal itu sekaliannya ialah mimpi kebagusan dan bahagia! Kami duduk waktu itu adalah dikelilingi oléh lautan mas dan pérak, dan ditudungi oléh langit berwania kilau-kilauan dan ditaburi lagi oléh bintang yang sedang memancarkan cahayanya kian kemari, sungguh serasa kami duduk dalam surga dunia, dengan penghabisan kelazatan dan keriangan hati; bertambah-tambah lagi karena kami mendengarkan suara yang merdu yang menceriterakan kabar yang bagus-bagus dari negeri-negeri asing, yang jauh, jauh dibalik lautan, lautan yang lébar dan bersinar-sinar dimuka kami, yakni kabar tentang tempat tumpah darahnya sendiri.

MENGUKIR KAYU DIKABUPATÉN JEPARA.

........................................................................................................................................

Masakan saya dapat melupakan perjalanan yang menggirangkan hati, ketika kami mengantarkan nyonya pergi kesetasiun? Waktu itu sampai sekarang telah setahun lamanya, tahun yang penuh dengan hidup rahim dan ni'mat, tahun pada waktu saya sangat bersuka raya, terkadang meratap dan menangis, dan berhati sedih, tahun pada waktu saya hidup dalam saat yang lazat cita, tetapi juga berputus asa dan berbimbang hati, saat kecelakaan, kesiksaan dan berpenanggungan yang menganguskan hati. Saya telah hidup dalam setahun ini lebih berharga dari pada dua puluh satu tahun yang sudah sama sekali bersama-sama! Sungguhpun demikian tiap-tiap hari dalam tahun ini masih terang tergaris diotakku. Hanyalah menit-menitnya saja yang telah saya lupakan, tetapi tidak 365 kali 24 jam! Sekarang hatiku masih gembira, dan nyawaku masih bergoyang, karena mengenal dan mengingatkan keberatan yang besar, yang telah mendatangi saya dalam hidupku! Alangkah terangnya sekalian itu, masih tertulis rasanya dimentagiku. ya, sekalian yang saya lihat pada nyonya, waktu nyonya disini, masih teringat oléhku. nyonya memakai pakaian yang kehijau-hijauan dengan molék dan sederhananya ............. Kamipun berpakaian yang kehijau-hijauan juga. Adalah seolah-olah telah dimupakatkan lebih dahulu akan memakai pakaian yang berwarna hijau, warna kesetiaan itu!

Setia, ialah sepatah kata yang kecil saja, tetapi artinya bukan buatan besarnya! Setia lebih besar artinya dari pada cinta; setia kerap kali menagih kekuatan yang amat besar. O, hati anak-anak muda! hati yang berdebak-debur, dibalik warna yang hijau yang melindunginya, moga-moga boléhlah hendaknya engkau kuat dan perkasa akan meninggikan arti warna yang tuan pakai itu selalu waktu, yaitu: "setia!"

Lihatlah disana adalah lalu kurnia Allah sebagai sebuah kendaraan yang penuh berisi dengan kiasan Allah yang tiada ternilai harganya; kendaraan itu menempuh jalan yang panas dan bercahaya, melalui jalan yang dipagari dengan kayu yang rindang dan padang yang luas yang berselimutkan terang cuaca seperti mas. Kurnia itu ialah: "setia" namanya. Alam ini sama sekali ialah kegirangan dan cahaya, telah menjadi satu dengan nyawa kami, pun sedang hidup dalam udara keriangan dan sukacita!

Patutkah pertemuan yang sebaik itu dengan lekas saja diperceraikan? tidak dapatkah pergaulan itu dilamakan beberapa hari lagi?

Waktu nyonya berangkat dari rumah kami, nyonya berkata kepada kami: "Tuan tidak tahu betapa suka hati kami lebih la­ma tinggal disini, lebih-lebih karena suamiku banyak lagi hen­dak memperkatakan apa-apa yang lain dengan bapak tuan, tetapi suamiku sayang tidak dapat tinggal lebih lama, sebab waktunya telah dihinggakan amat sedikit. Bila kami pandai memanterakan waktu itu tentu boléhlah kami tinggal...............cobalah jika sekiranya kami dapat membawa tuan ke Betawi, itulah yang sebaik-baiknya!" Kami menyahut: "Kami mengucap terima kasih akan tuan kedua, karena tuan telah datang kemari." Dengan tiada berkata sepatahpun lagi nyonya berjabat tangan dengan saya, dan sayapun tidak meiepaskan tangannia itu.

"Hati yang sederhana lekas mengerti suatu dengan yang lain," kata nyonya kepada dirinya sendiri, tatkala dilihatnya mulutku tidak sanggup menyembunyikan rahsia diam-diam, yang pada halnya tidaklah menjadi rahasia lagi kepada nyonya. "Amat beruntunglah saya dapat berkenalan dengan meréka kedua, dan mendapat kasih sayang dari padanya."

Waktu itulah saat yang berni'mat kepadaku, saat ketika saya bersama-sama dengan meréka itu! Saya mabuk rasanya waktu itu karena kekayaan, mabuk karena berbahagia dan saya merasa diriku seringan kapas, mudahlah dapat diembuskan oléh angin lalu kelangit yang hijau, kepada cahaya yang gilang-gemilang!

Apakah artinya untung bahagia, lain dari pada saat-saat yang bergirang hati, bersuka raya, sehingga tidak sadarkan diri, girang hati, gundah gulana?..................saat-saat yang menyesakkan dada karena debar-debur hati yang amat sangat, sehingga serasa melayanglah kami kelangit membawa kegirangan dan kesukaan tiada berhingga-hingga itu .................. saat-saat yang seperti kilat itu cepatnya, tetapi amat lama dan banyak mengandung kedermawanan pada hari kemudian! Kasih sayang baru dapat menjadikan orang berbahagia, jikalau sekiranya si penerimanya sendiri adalah pula mempunyai kasih sayang itu! ........................................................................................................................................

Penumpangpun segeralah pula naik, karena keréta mesti berangkat. O, binatang buas yang berteriak dan berbunyi hiruk-pikuk, lambatkanlah dan kurangkanlah larimu! jangan engkau terlalu lekas membawa kami sampai ketempat perceraian kami, yakni di tempat yang kemarin tempat kami berjumpa. Aduh! Si tukang menyalakan api tidak mendengar kataku itu, keréta terus berlari seperti biasa, meskipun didengarnya benar kataku itu, tentulah tidak akan dipedulikannya kehendak, keinginan anak perempuan gila ini. Dengan sabar melancarlah keréta itu sebagai biasa di atas réi besi yang terbentang itu; dan pada waktu yang telah tertentu keréta itupun masuklah kesetasiun yang kami takuti itu. Dengan perkasa saya surutkan kembali gelembung, yang terbekang dikerongkonganku, tanda hendak mencucurkan air mata. Saya gigitlah bibirku supaya ia jangan menggigil. Dengan hal yang demikianlah saya berdiri dihadapan nyonya, dan berdiam diri menéngok kepadanya. Dengan hati yang amat sedih, nyonya me­megang tanganku teguh-teguh, dan berkata dengan lemah lembut. "Tuan nanti akan hébat berjuang dalam peperangan, tangkaskan dan beranikanlah hatimu dengan gembira, jangan putus asa, dan percayalah tuan!"

Sekali lagi bersalam dengan tangannya yang halus itu, se­kali lagi ia memandang kami dengan matanya yang penuh cinta kasih sayang, dan nyonyapun berdirilah diberanda setasiun. "Marilah kita bersalam sekali lagi," katanya kepada kami sekalian dengan manisnya. "Lekas-lekas loncéng telah berbunyi! Wah, bunyi loncéng celaka itu sangat menyakiti hati ketika itu!

Kerétapun bergeraklah, mula-mula lambat, kemudian bertambah-tambah cepat.

Dari atas keréta nyonya melambai-lambaikan saputangannya dan tuan topinya. Kerétapun dalam itu selalu mempercepat perjalanannya. Sekarang meréka itu telah lenyaplah, sudah hilanglah, amat jauh dari kami. Meréka itu yang kemarin dahulu sedikitpun belum kami kenal, tahu-tahu sekarang meréka itu telah menjadi sebagian dari hati jantungku, yang tidak dapat dipisahkan dari hidupku.

O, hidup, hidup yang penuh dengan teka-teki, bilakah engkau akan membukakan segala rahasiamu kepada kami?

Siapakah yang dapat mengangkat tirai yang tiada bernyawa dan berbadan itu dari kami ini? Siapakah yang dapat menerangkan kepada kami akan keajaiban yang besar dan bagus yang tersembunyi dalam manusia itu, yaitu keajaiban yang bernama nyawa itu? Siapa dapat menyuluhi benda yang gelap yang disebutkan persaudaraan nyawa yang amat ajaib itu, karena semata-mata hidup meréka masing-masing tidak pernah kenal-mengenal, dan kemudian tahu-tahu dengan sepatah kata dan sekejap mata saja boléh menjadi suatu persahabatan yang amat kukuh, yang mempertalikan meréka itu dengan sekuat-kuatnya?

10 Augustus 1901 (IV)

[sunting]

Maafkanlah saya dahulu karena baru sekaranglah saya menjawab tentang kiriman dua buah porterét tuan, akan jadi anugerah tuan untuk kami. Anugerah itu sangat membesarkan hati kami, dan amat tinggi harganya kepada kami. Atas pemberian itu kami pohonkan banyak terima kasih kepada tuan.

Apakah yang tidak timbul dalam kenang-kenanganku, tatkala saya melihat porterét tuan itu. Kerap kali jika saya bermuram durja dan bersusah hati dan putus asa, karena melihat bermacam-macam kecelakaan, kecelakaan yang tidak kuasa saya menentangnya, serta melihat sekian banyaknya kelaliman dan sekian banyaknya orang yang tidak menaruh iba-kasihan, maka hatiku segera menjadi senang, jika ingatanku melayang kepada sahabat kami yang jauh itu. Saya sekarang boléh me nam ai tuan sahabat kami, bukan? Sahabat yang bertani membuang dirinya dari dunia kesendirian, karena kasihnya yang sejati kepada sesamanya manusia, dan gagah menempatkan dirinya dihutan rimba, ditengah-tengah bangsa yang biadab, memberi dan mengajar meréka itu arti kata kasih. ka­sih yang dirasainya sungguh-sungguh dalam hati sanubarinya.

Oléh karena hal itu maka kami bersukacita mendapat kedua porterét tuan itu. Melihat porterét itu menarik ha­tiku mengenang-ngenangkan tuan, orang yang kami muliakan, hormati dan sukai benar.

Apa chabar tuan kedua sekarang? Saya harap sungguh-sungguh, yang tuan kedua seperti kamilah hendaknya, kami adalah didalam séhat wa'lafiat. Saya sangat meminta sukur atas hal itu kepada Allah, lebih-lebih lagi karena dimana-mana saja sekarang adalah penyakit. tidak adalah tempat sekarang, yang tiada digoda oléh sesuatu penyakit, kebanyakan penyakit demam.

Dekat negeri kami, di kota Semarang, telah berjangkit pula penyakit koléra, yakni penyakit yang amat ganas, yang telah banyak sekali memusnahkan nyawa penduduk kota Betawi dan Surabaya.

Beruntunglah yang di Semarang penyakit itu hanyalan saja satu² yang dihinggapinya; tetapi koléra itu rupanya suatu penyakit yang sebuas-buasnya, karena hampir ta adalah orang yang kena penyakit itu yang sembuh kembali. Lain dan pada penyakit koléra itu, ialah penyakit demam kepialu pe­nyakit yang jahanam sekali yang ditanggung oleh penduduk beberapa negeri di tanah Jawa; penyakit itu asalnya karena:."tidak cukup makan." Kami berharap supaya Allah akan menjauhkan dari tanah kami segala suatu bahaya yang sangat kesengsaraan dan kecelakaannya dan yang cakap memusnah kan sebuah negeri, yaitu yang bernama: bahaya kelaparan.

Hampir tidak dapat dipercayai, bahwa di tanah Jawa, tanah yang ma'mur dan subur, boléh ditanami dengan bermacam macam tumbuh-tumbuhan, disana boléh kejadian kekurangan makanan. Hal itu sesungguhnya amat menyedihkan hati, kasihan! Bahaya yang sedemikian dengan hébat telah kejadian di Purwodadi, dan belum selang berapa hari ini saya telah membaca dalam surat kabar, yang membesarkan hati, bahwa Pemerintah telah mengeluarkan wang tiga ratus lima puluh ribu rupiah banyaknya, untuk pembeli sapi-sapi pembajak akan dipakai di Purwodadi dan Demak. Demak ialah sebuah negeri yang dibawah pemerintahan pamanku, regén Demak. Tiap-tiap tahun anak negeri amat takut melihat kedatangan musim hujan disana, sebab musim itu selalu menenggelamkan negeri itu. tidak tahulah saya telah beberapa ribu mas, yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah untuk belanja perkakas penahan air, tetapi sungguhpun demikian tiap-tiap musim hujan selalulah disana ada banjir besar. Bagaimana juga besarnya kecelakaan itu disini, tetapi orang disini masih beruntung, jikalau dibandingkan dengan saudarah-saudara kami yang miskin, laki-laki dan perempuan yang diam di tanah Eropa yang jauh itu, yang telah biasa menanggung kelaparan dan kedinginan dalam musim dingin. Padaku disini ada sebuah kitab tuan Fielding yang baru saya terima dari negeri Belanda. Kitab itu meriwayatkan hal ihwal agama Budha, dan menurut pemberi tahuan yang telah saya baca dalam beberapa surat-surat kabar, kitab itu amat bagus. Kitab itu diterjemahkan dari bahasa Inggeris ke dalam bahasa Belanda, oléh tuan Felix van Ort, juru kabar dari surat kabar "Waarheid en Vrede" (Kebenaran dan Damai). Tentu tuan telah mengenal pengarang itu. Ia seorang yang mempunyai banyak cita-cita yang hendak mengembangkan keyakinan pikirannya untuk"mengalahkan kejahatan dengan kesayangan." Hal itu amat bagus dalam kenang-kenangan, tetapi dalam hidup bersama-sama amat sukar melakukannya. Kami amat menyukai hal itu, dan kamipun telah membaca juga kitabnya yang bernama: "Naar het groote Licht" (Pergi kecahaya yang besar). Kitab itu isinya menguraikan berma cam-macam pertanyaan, yang biasa bertemu tiap-tiap hari dalam hidup hari-hari.

Telah hampir setahun lamanya, sesudah kita berjumpa di Dépok. Tatkala itu tidak adalah pikiran kami sedikit juga, yang perkenalan kita disana akan meriangkan hati sebagai sekarang ini. Hingga ini masih teringat kepadaku, tuan datang berdiri dekat keréta api, dan bertanyakan, kalau-kalau "regén Jepara datang pula bersama-sama." tidak dapat saya memikirkannya, bahwa hal itu telah kejadian pada tahun yang lalu. bagiku rasanya seakan-akan baru kemarin. Alangkah lekasnya terbang waktu itu!

Dari pada nyonya A. saya baru sebentar ini mendapat sepu cuk surat; nyonya dan tuan keduanya sekarang tidaklah begitu séhat..............................

Tiap-tiap hari, waktu kami tinggal di Betawi itu, sekaliannya hari suka raya bagi kami! Kami sahabat-sahabat tuan gadis-gadis Jawa ini, sangat tama' kepada persahabatan, kesayangan dan kesukaan itu. Ketiga perkara itu tidak pernah membosankan meréka itu. Sekaliannya itu didapatinya di rumah tuan amat banyak! Kemarin dulu cukuplah setahun lamanya, yang Tuhan rabbu'l'izati mendatangkan suka raya itu sehari-hari kepada kami, dan sejak itu tidak dapatlah kenang-kenangan kami, kami ceraikan dari hidup kami lagi. Pada hari tahun perkenalan kami itu, kami rayakanlah di Klein Scheveningen, ditepi pantai kami yang amat cantik; tempat itu amat kami kasihi, karena disitulah kami dapat memandang sekalian yang bagus-bagus dalam dunia hidup kami.

Lautpun waktu itu amat bagus, amat tenang, hening dan permai serta disinari oléh beberapa jenis warna yang di manterakan oléh matahari akan terbenam! Adalah rupanya seolah-olah orang melihat sebuah karang mutiara yang amat besar sekali. Disebelah barat langit warnanya amat menyala sebagai matahari sedang terbakar rupanya. Dipihak selatan tempat pertemuan langit dan laut warnanya keungu-unguan. Waktu itu betapalah pula énaknya melihat warna hijau tua yang bagus dan molék di atas kepala kami, sesudah memandangi segala yang bersinar-sinar yang merabunkan mata itu! Ditengah-tengah sekalian kebagusan itu duduklah kami di pantai putih yang suci itu dengan kaki kami terjuntai ke dalam air, dan hiduplah kami rasanya dengan hidup yang penuh dengan mimpi yang berbahagia!

Tuan tentulah berpikir, alangkah gilanya anak-anak itu! ya, muda dan kegila-gilaan, remaja dan asyik, selamanya di atas sejalan dan sepasang! Kami berharap sangat yang kami selalu boléh bergila-gila sebagai itu, dan tidak pernah menjadi arif dan bijaksana, yang akan menjadikan kami dan kaku! Kami gementar melihat si pendiam dan si kaku itu, tetapi lebih baik kaku dan pendiam dari pada ke palang kaku!

Sayang dan berdukacitalah kami yang kami sampai sekarang belum dapat mengunjungi sahabat kami, nyonya dan tuan Ovink di jombang. Kami sama-sama beringin hendak bertemu, tetapi acapkali jika kami hendak pergi kesitu selalu ada alangannya. jikalau kami datang kesitu, pestilah kami akan pergi ke Mojowarno, yaitu tempat yang telah banyak kami dengar ceriteranya. nyonya Ovink menceriterakan kepadi kami sekalian kebaikan nyonya dan tuan Bervuts, yang dimuliakannya tinggi. Pamanku regén dengan Demak dengan anak isterinya telah pergi pula ke Mojowarna, meréka sangat mengharumkan keadaan disitu. jika sekiranya tuan nanti hendak menggirangkanku dengan sepucuk surat, baiklah tuan banyak² menceriterakan hal keadaan tuan sendiri, kerja tuan dan meréka itu, yang hidup bersama-sama dengan tuan kedua disitu; karena sekalian itu suatu kelazatan yang amat sangat kepadaku hendak mendengarnya. Alangkah lamanya dijalan surat yang dikirim dari Gorontalo maka sampai ke Jawa! Hampir sama lama perjalanan surat itu dengan surat yang dikirim kenegeri Belanda. Dalam bulan Juli yang baru lalu berkumpullah kami sekalian sanak saudara, ipar bésan anak jucu, ya, segala kaum keluarga kami. O, sekaliannya kataku tidak benar, adalah lagi sebuah tempat, yang tinggal kosong dalam perkumpulan itu, yaitu tempat kakakku yang tercinta di tanah Belanda. Senang hati melihat wajah sekalian meréka itu bersama-sama, tetapi rawam pula hati kami mengenangkan, yang kakak yang dicinta itu tidak hadir déwasa itu. Kakandaku itu seorang yang baik hati, kami sekalian suka dan sayang kepadanya. Pastilah suatu kenang-kenangan yang merawankan hati bagi orang² tua, bahwa sekalian anak-anaknya, kasih sayangnya, darah dagingnya sendiri, pada suatu ketika nanti mestilah akan meninggalkannya dan tidaklah lagi menjadi hak miliknya, karena masing-masing perlu pergi menurut untung nasibnya sendiri-sendiri.

19 Augustus 1901 (V)

[sunting]

Tuan tentu akan berpikir bahasa laku tidak baik, karena berdiam diri sekian lama, dan tidak hendak membalas surat tuan yang merdu itu, apalagi tidak mau mengindahkan panggilan tuan serta tidak memberi kabar tentang kiriman porterét tuan yang bagus itu, yang amat menggirangkan hatiku. Berdiam diri itu bukanlah sekali-kali disebabkan oléh karena saya segan, tetapi karena Kartini yang mempunyai kesehatan sebaik itu, telah membuat dirinya pura² sakit untuk pertukaran hidup. Karena ia beringi hendak memanjakan sebagai orang sakit, sebab itula menurut pikiranku, tidak apalah sakit-sakit sedikit dilebih-lebihi menanggungkannya. Kalau sekiranya tidak ada mata dari belakang, yang saya takuti, yang melihat saya menulis dan membaca surat itu, sungguh amat banyak yang akan saya tuliskan. Wah betapalah marah adik-adikku kepadaku, bila maksud itu saya sampaikan! Adik-adikku mémang pandai pula memarahi orang, hal itu boléhlah saya sahkan kepada tuan! Tetapi apakah yang saya buat sekarang, hendak menceriterakan keburukan adik-adikku yang kucinta, itu tidak baik!

........................................................................................................................................

Tidak ada yang mustahil didunia ini! Apa-apa yang kita teriakkan mustahil pada hari ini, bésoknya telah kejadian. Dalam dunia bangsa Bumiputera telah ada gerakan, yang bermaksud hendak "maju.” Gerakan itu telah berurat dalam kenang-kenangan, dan mémanglah menggembirakan hati. Tetapi sayang gerakan itu mau bertumbuk dengan biji mata bangsa Jawa, ya‘ni ‘adatnya yang telah tua itu. Akan memperoléh kemajuan itu mestilah lebih dahulu banyak peperangan dengan diri sendiri, dan peperangan yang lain-lain, yang harus dilakukan untuk mengalahkan bermacam-macam buah pikiran dan ‘adat-‘adat lama yang tiada berpadanan dengan kemajuan, yang patut dikuburkan dengan sedalam-dalamnya, supaya tidak pernah lagi bangun kembali.

Augustus 1901 (VII)

[sunting]

Saya sangat yakin, bahwa dari perempuan boléhlah timbul kekuasaan besar yang berguna untuk hidup bersama-sama, karena itulah maka tidak ada keinginanku yang lain dari pada belajar untuk menjadi guru perempuan, supaya saya nanti sanggup mempergunakan diriku mendidik anak-anak perempuan kepala-kepala negeri. O, amat sangat keinginanku, supaya saya cakap membimbing hati anak-anak, memperbaiki tingkah laku, menajamkan otaknya yang masih muda itu, menjadikan meréka itu untuk perempuan yang akan diharap, perempuan yang kelak pandai menanam dan mengembangkan segala biji yang baik dalam hidup meréka itu.

Untuk perempuan-perempuan sendiri, kamipun sangat beringinkan pengajaran dan pendidikan itu, baginya tentulah suatu berkat dan rahmat yang tidak ternilai harganya.

Dalam dunia perempuan bangsa Jawa banyak benar hal-hal yang menyusahkan hati, dan amat banyak pula penanggungan yang sedih-sedih. jalan tunggal yang terbuka untuk anak-anak perempuan bangsa Jawa, lebih-lebih bagi anak-anak perempuan bangsawan ialah: "kawin”.

Adakah dibuat oléh kebisaan adat perkawinan itu sekarang, yang asalnya mula-mula perintah Allah, suatu rukun yang ujutnya akan meninggikan darajat perempuan? Kawin, yang seharusnya menjadi suatu darajat yang mulia, sekarang telah menjadi suatu kerja yang biasa saja! O, dengan perjanjian yang menghinakan dan merendahkan ke hormatan kemanusiaan, wajiblah perempuan Jawa mau tidak mau melakukan keja itu. Atas paksaan bapak, paman, atau kakak laki-laki, wajiblah si gadis buta tuli menurutkan seorang laki-laki asing yakni laki-laki, yang kerap kali telah mempunyai anak dan isteri di tempat lain. Pikiran si gadis itu tidaklah ditanya-tanya, kewajibannya hanyalah menurut perintah saja. Waktu perkawinan itu si gadis tidak perlu, demikian juga kabulnya tidak perlu diminta.

Jauh dan dekat kami ketahui penanggungan yang sengsara, yang disebabkan oléh rukun Islam, yang amat memudahkan kewajiban si laki-laki, tetapi sangat menyedihkan dan mencelakakan si perempuan! Perempuan-perempuan telah dibuat sedemikian dan hal itu tidak dirasanya, kata orang yang segala "tahu.” Kalau hal itu tiada setujoé dengan pikirannya, mengapa ia membiarkan hal yang sedemikian itu?

Biarlah saya ini seorang anak bangsa Jawa yang dibesarkan dalam pangkuan bangsa itu, dan selaMa hidupku tinggal didunia bangsa Jawa, berani menyatakan kepada tuan, bahasa perempuan-perempuan bangsa Bumiputera ada berhati manusia juga, hati yang dapat merasa dan menanggungkan, seperti hati perempuan yang berbudi pekerti dinegeri tuan. Tetapi disini hal itu tinggal ditanggungkan saja oléh perempuan-perempuan dengan diam-diam, berserah diri tidak kuasa dan tidak kuat sekali-kali, karena meréka itu tidak ada berkepandaian dan berpengetahuan.

Dalam hikayat nabi adalah diceriterakan begini: Suami Fatimah pergi kawin sekali lagi, waktu itu Fatimah ditanyai oléh nabi Muhammad, bagaimanakah perasaannya, karena suaminya beristeri seorang lagi. Fatimah menjawab: "Tidak ada apa-apa bapak, sekali-kali tidak adalah apa-apa perasaanku.” Waktu ia berkata itu Fatimah sedang bersandar pada sebatang pohon pisang yang mula-mulanya berdaun segar dan subur, tiba-tiba daun pisang itu menjadi layu dan pohonnya tempat ia bersandar itu menjadi angus.

Sekali lagi nabi bertanya akan perasaan Fatimah. Fatimah pun menjawab lagi: "tidak ada apa-apa, bapak, sekali-kali tidak apa-apa perasaanku!” Nabi lalu memberi Fatimah sebiji telur mentah, dan dimintanya meletakkan telur pada dada Fatimah. Kemudian nabi meminta telur itu kembali serta dipecahnya dan dilihatnya waktu itu telur itu telah masak!

Semenjak itu hati perempuan-perempuan sebelah timur tiadalah berubah-ubah. Hikayat yang di atas ini menerangkan juga kepada kita betapa pikiran kebanyakan perempuan, tentang hak si laki-laki yang amat bengis itu.

Banyak perempuan-perempuan memandang, bahwa menjadi suatu kehormatanlah kepadanya, pandai menyabarkan diri dengan tiada mengubah air muka, bila duduk berdekatan dengan isteri-isteri suaminya yang lain, tetapi janganlah ditanya apa yang tersembunyi dan terukir-ukir dalam dadanya yang terluput sama sekali dari pada mata orang banyak, ialah: hati perempuan yang sangat disakiti, dan nyawa sebagai nyawa kanak-kanak yang tidak patut berpenanggungan dan kena siksa hidup-hidup.

Sekali lagi saya berkata, bahwa amat banyak penanggungan yang ditanggung dengan kesedihan dan dahsyat dalam dunia perempuan bangsa Bumiputera yang membawa meréka melarat. Penanggungan meréka itu yang saya pandang ketika saya masih kecil itulah yang mula², yang menerbitkan dan membangunkan keinginanku hendak memerangi kebiasaan hina itu, yang rupanya terpandang adil, karena telah berurat berakar dari dulu kala. usaha kami adalah dua maksudnya, pertama akan bekerja bersama-sama untuk meninggikan darajat bangsa kami dan menebas jalan untuk saudara-saudara kami yang perempuan kepadang keadaan yang lebih bagus, keadaan hak kemanusiaan.

Kepada tuan sekalian yang menaruh kasih dan cinta bagi tanah Jawa dan kepada penduduknya, anak Jawa, kami pohonkan permintaan yang amat sangat: "Tolonglah kami menyampaikan cita-cita kami, kaum perempuan.”

Berilah perempuan-perempuan pendidikan, bukakan hati dan pikirannya; dan tuan sekalian yang menjadi sahabat tanah Jawa, tentulah tuan akan mendapat penolong-penolong yang tangkas dalam pekerjaan tuan yang berat, bagus dan mulia itu, yakni: kesopanan, pengetahuan dan darajat yang tinggi dari suatu bangsa!

Ajarlah meréka sesuatu kepandaian, supaya meréka itu tidak lama lagi tinggal menjadi barang rampasan, tidak ada berdaya, bila orang yang melindunginya, berkehendak akan mengawinkannya. Perkawinan itu kalau sekiranya ia beranak, akan menghamburkan dia dan anak-anaknya itu ke dalam lurah kecelakaan itu. Kami telah banyak melihat kemelaratan dalam dunia perkawinan bangsa Jawa, hal itu ialah disebabkan oléh kare­na hak laki-laki orang Islam yang sangat bengis itu. Duka hati perempuan dalam perkawinan yang demikian dan kemelaratan anak-anak yang tumbuh sebab perkawinan yang demikian, membakar hati kami, dan jalan itu mencambuk kami akan melawani hal keadaan itu!

Hanya sebuah saja jalan tempat kami lari akan melepaskan diri dari pada hidup yang sedemikian, yaitu si gadis itu wajib sanggup berperang mencari penghidupan sendiri.

Belum seorang juga perempuan yang membuat sedemikian, ataupun yang berani membuat sedemikian! Karena malu besar, bila anak gadis tidak dikawinkan, demikianpun jika seorang perempuan tinggal tidak bersuami.

Cita-cita kami ialah apabila kami ada berkepandaian yang cukup boléh mengadakan sebuah sekolah untuk anak-anak gadis kepala-kepala negeri, maka disekolah itu akan kami ajarkan lain dari pada pengetahuan biasa yang berguna untuk hidup setiap hari, ialah 'ilmu kesopanan, yang meninggikan pikiran dan menyucikan hati.

Dapatkah akan terdiri sebuah sekolah yang sedemikian? Kami berani mengatakan "boléh”. Meskipun kebanyakan kepala-kepala negeri yang telah mengirim anak-anak gadisnya sekarang pergi belajar kesekolah, hanyalah untuk pemujikan dirinya saja, karena meréka tidak mau kalah oléh kawan sejawatnya yang lain, dan sekali-kali bukanlah sebab ia insaf akan guna pelajaran perempuan-perempuan untuk si punya diri sendiri dan orang sekaliannya; tetapi hal itu tiadalah kiranya mendatangkan kerugian bagi dunia perempuan, karena makin lama makin banyak pula kepala-kepala negeri dan orang besar-besar yang betul-betul berkehendak akan pendidikan yang bébas untuk anak-anak gadisnya. Sekolah-sekolah Gubernemén dan partikulir dapat menyatakan kebenaran perkataan yang di atas ini. Sedangkan Susuhunan Solo telah mengi­rim anak-anak gadisnya kesekolah. di tanah Priangan yang suka maju itu, yaitu di tempat anak-anak perempuan sekarang sudah menjadi kebiasaan pergi bersekolah, telah dibuka orang lagi sebuah sekolah partikulir untuk anak-anak pe­rempuan bangsawan, yang dibantu oléh Pemerintah. Disitulah anak-anak gadis regén-regén bersekolah beramai-ramai, terpisah dari rumah orang tua meréka itu.

Banyak orang tua-tua yang suka sekali hendak menyuruh anak-anak gadisnya belajar kesekolah, tetapi tidak membiar menyampaikan maksud itu, karena meréka itu tidak senang hatinya mengirim anak-anak perempuannya kesekolah, yang dalamnya anak-anak perempuan belajar bersama-sama saja dengan anak-anak laki-laki.

Akan menggaji seorang guru perempuan Belanda datang kerumah terlampau mahal untuk orang kebanyakan, dan hanyalah satu-satu orang saja yang sanggup melakukan pekerjaan yang semahal itu; sungguhpun demikian adalah seorang wedana, tidak "terpelajar" dan tidak kaya, telah berani menggaji seorang guru perempuan Belanda untuk mengajar cucunya yang perempuan dalam rumahnya.

Dulu adalah seorang ibu yang muda yang telah menyuruh suaminya berjanji, waktu ia sedang sakit keras dan hendak meninggalkan dunia, bahwa bila si suami berpangkat yang lebih tinggi kelak, si suami akan menyampaikan cita-cita si isteri, yakni: "Akan menyerahkan anaknya perempuan pergi kesekolah Belanda."

Kami telah beberapa kali memperkatakan perkara itu dan cita-cita untuk perempuan-perempuan yang boléh tegak sendiri, dan yang sanggup mencari penghidupan sendiri, dengan isteri kepala-kepala negeri. Sekaliannya itu memperteguh pengharapan dan kepercayaan kami, bahwa akan menyampaikan cita-cita itu; pokoknya, hanyalah melangkahkan langkah yang pertama, artinya wajiblah ada hendaknya suatu contoh yang bermula sekali dahulu dan apabila hal itu rupanya betul-betul berguna entuk hidup bersama-sama dan dapat disesuaikan dengan hal yang lain-lain, pastilah keadaan itu akan dituruti oléh orang lain.

Tentu adalah anak-anak gadis lain yang berpikir dan merasa seperti kami, dan yang suita juga mematah dan memusnahkan rantai dan belenggu yang meneguhkan adat, yang mengikat perempuan-perempuan orang Islam. Meréka itupun sekaliannya sedang berhenti pula sekarang dimuka pintu: "Belum ada lagi perempuan yang membuat sedemikian?"

Sebab itu mestilah ada satu contoh yang pertama!

Sekarang adalah seorang kepala negeri yang telah memohonkan permintaan kepada Directeur v. O. E. en N., supaya anaknya yang perempuan boléh diterima disekolah dokter. Bapa dan anak yang berbahagia! Si anak itu tentulah akan menjadi suatu kebajikan besar nanti untuk tan ah airnya. Saya harap, yang si anak itu akan menyampaikan maksudnya dengan sungguh-sungguh!

Adikku Rukmini, suka benar gambar-menggambar; citacitanya yang besar, ialah hendak memasuki sekolah tinggi menggambar, supaya dapat ia mempergunakan dirinia kelak, buat menghidupkan kembali segala kepandaian anak Bumiputera. Bukankah kepandaian anak negeri itu suatu jalan pula pergi kepadang kemajuan dan keselamatan anak negeri?

Jikalau sekiranya disekoiah tinggi menggambar itu ia tidak duduk pada tempatnya, artinya tidak cukup kecakapannya untuk belajar disana, ia akan pergi belajar kesekolah mengurus rumah-tangga, supaya nanti ia dapat mengajarkan harga wang kepada anak-anak gadis yang akan menjadi perem­puan, yakni suatu pelajaran yang sangat berguna sekali untuk dunia bangsa Bumiputera. Sedangkan Pemerintah telah bermaksud hendak mengajar pegawai-pegawai Bumipu­tera berhémat. Tetapi apakah paédahnya Pemerintah memaksa si laki-laki menyimpan wang, kalau isterinya, orang yang meme­gang urusan rumah-tangga, tidak tahu akan harga wang itu?

Adikku dan saya akan bekerja bersama-sama.

Yang kami sukai lagi, supaya dalam sekolah yang kami kehendaki itu diajarkan pula: pengajaran keséhatan dan penyakit, dan kepandaian palut-memalut orang luka!

Pengetahuan itu suatu pengetahuan yang layak kepada kami dan sangat berguna dalam hidup bersama-sama. Tiaptiap orang lambat launnya mestilah akan melayani orang sakit, dan mémanglah menjadi suatu kesedihan kepada kita melihat kekasih kita menanggung kesakitan, sedang kita dalam hal itu tidak tahu bagaimana ichtiar akan meringankan kesakitan itu. Pengajaran tentang keséhatan, penyakit dan palut-mema­lut orang luka, itulah pengajaran yang wajib dimasukkan ke dalam bagian pendidikan. Berapa banyak kecelakaan yang tidak akan terjadi, atau banyak yang boléh dikurangi kesakitannya, jikalau sekiranya dari dahulu-dahulu orang telah mengajarkan pengetahuan yang berguna itu kepada laki-laki atau perempuan-perempuan yang mau mempelajarinya.

Kami sekali-kali tidak bermaksud akan menjadikan bangsa Jawa bangsa Jawa-Eropa oléh karena meréka diberi pen­didikan yang bébas; cita-cita kami hanyalah hendak memberi meréka itu barang yang bagus, yang asalnya dari bangsabangsa lain, akan penambah sipat-sipat yang bagus, yang ada pada meréka sendiri, dan bukanlah pula akan penghalau sipat-sipat meréka yang telah lazim, tetapi terutama akan memperbaiki sipat-sipat yang ada itu! ........................................................................................................................................

Alangkah besar sukacitaku membaca permulaan kata tuan dalam karangan tuan yang bernama "Land en Volk van Java" (Tanah dan bangsa Jawa).

Hal itu sangat meriang dlan membesarkan hatiku, tatkala saya membaca kata-kata yang gembira, yang menguraikan dan memaparkan kebagusan tanah airku dan............dan membukakan guci wasiat yang berisi dengan keburukannya. Perasaan yang berbahagia lagi berkuasa kerap kali baru dapat menghiburkan kami, apabila kami ada diluar, dipadang yang luas dan bébas, kurnia Allah.

Terjauh, jauh dari tutur kata orang banyak yang dungu dan bebal. Berhati dan berpikiran sendiri dalam udara yang sedap, dibawah langit yang hijau, dekat lautan yang lébar dihadapan kami, dan di belakang kami daun nyiur yang melambai-lambai. O, disitulah perasaan kami yang berbahagia berlipat ganda!

Kerap kali terbit dalam pikiranku yang sangat loba: "ya Allah, biarkanlah saya sendiri hidup dalam udara yang suci, jauh dari riuh dan rendah, jauh dari berjenis-jenis perkara, hanya sendiri saja dengan alam dan kalbuku! Itulah loba, sebenar-benarnya loba! Salah sekali, sebab kemauan yang demikian bukanlah maksud hidup kami, kami wajib hidup bersama-sama dan bertolong-tolongan dengan sesama manusia yang lain. Memperbagus hidup, itulah hajat kami sebenarnya.

Tetapi sekarang saya telah terlalu lama menggoda tuan, tuan tentu adalah bekerja yang lain, yang lebih berguna dari pada mendengarkan percakapan seorang gadis Jawa, yang bersedih hati berlebih-lebihan.

4 September 1901 (VIII)

[sunting]

O, kami tidak dapat, kami tidak mau percaya, bahwa hidup kami akan berpenghabisan yang biasa dan susah seperti hidup beribu-ribu orang yang lain yang dahulu dan yang kemudian dari pada kami. Tetapi kadang-kadang rupan ya sebagai barang yang mustahil! Kadang-kadang maksud yang kami cintai benar-benar itu rupan ya seakan-akan sampai, dan tiba-tiba bu­kan buatan jauh antaranya dari kami.

Sekali-sekali adalah hati manusia yang sedang diayun dan diempaskan kian kemari oléh syak dan waham, bertanya: "O, Allah, apakah artinya kewajiban?"

Mengurbankan diri bernama kewajiban, dan memenangkan diri bernama juga kewajiban. Bukankah mustahil dua perkara yang mémang berlawanan, keduanya sama-sama ber­nama dan berarti kewajiban?

"Terus", teriak suatu suara yang nyaring dalam hatiku "Teruslah perangi kehendak dan keinginan tuan, karena menurut kemauan meréka yang tuan cinta dan sayangi, dan karena meréka yang mencinta dan menyayangi tuan, sebab peperangan tuan yang seperti itu memuliakan kemanusiaan. Teruslah!"

Kemudian berbunyi pula suatu suara yang lain, sama-sama kuat dan keras: "Pergilah bekerja untuk menyampaikan cita-cita tuan, bekerjalah untuk waktu yang akan datang, bekerjalah untuk keselamatan beribu-ribu hamba Allah, yang telah bungkuk dliimpit oléh bermacam-macam undang yang tidak adil dan oléh pengertian yang lancung tentang buruk dan baik, pergilah, pergilah, tanggungkan dan berperanglah, ya, bekerjalah sungguh-sungguh untuk keselamatan yang kekal!" Kewajiban manakah yang tertinggi? Kewajiban yang pertama atau yang achir?

Kelobaan selalu saya pandang sebagai kejahatan yang sekeji-kejinya, yang terdapat didunia ini, dan yang saya bencii benar, demikian pula bersipat tidak terima kasih. Dan hal yang lain yaitu cita-cita kami, telah menjadi satulah dengan hidup kami. Kami tidak dapat hidup dengan tidak ada bercita-cita, dan kamipun tidak dapat pula hidup dengan ketiadaan cinta kasih sayang dari meréka yang kami cinta dan sayangi itu.

Bilangan meréka tidaklah banyak, yang sebenar-benarnya mengerti dan ma'lum suatu dengan yang lain, sebagai bapaku mengerti dan ma'lum kepadaku, biarpun meréka itu berhubung sedekat-dekatnya, karena sedarah dan sedaging. Amat banyak kesesuaian dan kesamaan sipat-sipat dan kemauan ka­mi berdua, dalam segala hal kami suka-menyukai dan sayangmenyayangi, dan hanyalah dalam suatu hal saja kami tidak da­pat sesuai. O, mengapa maka sedemikian, dan apakah sebabnya itu? Agaknya benarkah seperti kata orang, bahasa didalam alam yang luas dan lébar ini tidak adalah didapat dua buah benda yang serupa benar², dan tidak adalah pula dua orang manusia yang semata-mata sama sipatnya? O, bapakku yang tercinta, kita kedua sama-sama mengetahui betapa kita timbal balik kasih-mengasihi, kami tahu benar-benar, bahasa jalan yang telah dipilih oléh anak-anak perempuan tuan banyak bertabur dengan duri, tetapi tuanpun tahu juga, o, kekasihku, bahwa dalam hal itu bukanlah kegilaan hati yang membimbing kami, dan yang kami pergantungi ialah cita² kami dengan tulus ichlas kami, seumpama kami mempergantungi tuan; mengapa, mengapakah kiranya maka jalan yang telah sukar dan susah itu, tuan persusah lagi dengan keizinan tuan, yang selalu tuan tahan untuk kami itu?

Bahwa hidup kami tiada akan beruntung, kalau sekiranya kami tiada mendapat berkat dari tuan, tuanpun telah tahu, demikianpun kalau cita-cita kami tidak dapat kami sampaikan.

Berkat rahmat tuan, tentulah dimuka kami selalu akan bercahaya, dan jalan yang sangat sukarnya niscaya akan tertempuhlah! Bapak, bapakku, mengapakah tuan tidak mau mengizinkan kami dalam hal yang satu itu? cinta itu mahakuasa, dan telah berzaman-zaman diingat dan dimasyhurkan. cinta antara kita kedua amat besar. O, cinta yang sangat mulia, dan yang telah acap kali menjatuhkan air mataku, berilah kami berkat kerjamu: hapuskanlah perselisihan sipat kami itu, padulah sipat itu menjadi satu!

Saya sangat mengasihi bapaku, nyonyapun tahu sendiri, tetapi kasih bapak kepada kami lebih besar lagi. Saya lekas kesal, tidak sabar, ya, pandaknya: "perajuk." Tetapi betapa sabar bapakku menahan tingkah ragamku! tidak pernah saya mendengar sepatah kata yang kasar atau pedih. Bapak selalu berkata manis dan lemah lembut! Oléh karena itulah dapat saya merasai kasihnya yang tiada berhingga itu! Betapa lamanya telah lalu, tatkala saya menyesakkan keputusan perkara kami, melihatlah bapak kepada ku dengan pemandangan yang amat berdukacita. Matanya yang bersusah hati itu adalah seolah-olah seperti hendak bertanya: "Hendak lekas benarkah engkau mau meninggalkan daku, o, anakku?"

Ketika itu segeralah saya palingkan mukaku, saya tidak mau menéngok mata yang setia dan yang kukasihi itu, saya hendak menegapkan dan tidak mau melemahkan diri.

Hati sayapun hampir hancurlah rasanya, tatkala kami berdua duduk berhadapan, sambil bapak memangkuku dengan kedua belah tangannya dan bertanya: "Wajibkah diperbuat benar-benar sedemikian? tidak dapatkah diubah lagi? Wajibkah meréka itu semua seperti engkau? tidak boléh diubah lagi?" Sekaliannya terasalah kepada kami masing-masing dengan air mata berlinang-linang dipipi, pada waktu kami bertentangan itu.

Tatkala itu sangatlah beratnya penanggunganku di atas dunia. Hal itu kejadian beberapa hari sebelum bapak sakit. Kemudian setelah bapak sembuh, berkatalah bunda kepadaku: "Wahai anakku, sabarkanlah dirimu!" "Saya tidak dapat menyabarkannya," jawabku dengan suara yang pilu.

Sejak itu bundapun tidak pernah lagi memperkatakan hal itu diengan saya. Asal saja bapak mengizinkan kami, maka bundapun turutlah pula memberikan berkat dan rahmatnya kepada kami. Meréka sekalian kasih dan sayang kepada kami, karena hal itulah pula maka peperangan kami menjadi lebih dahsyat.

Penanggungan............penanggungan............tidak lain dari pada penanggungan yang kami masukkan ke dalam segala hati meréka, yang amat setia dan kasih itu!

30 September 1901 (VIII)

[sunting]

Di tanah Priangan banyak perempuan-perempuan dan gadis-gadis yang telah bersekolah dan pandai bercakap bahasa Belanda. Kebanyakan meréka yang berkenalan dengan kami ber­cakap bahasa Belanda dengan kami. Senang sekali! Betul amat bersukacita kami disitu berkenalan dengan bangsa dan kaum kami sendiri. Pergaulan dengan meréka itu membesarkan hati, bébas dan tiada kaku. Meréka itu gemar bersuka-sukaan, bersenda gurau dan tersenyum-senyum!

Apa yang saya lihat dan saya dengar dalam perjalananku itu, senantiasa menguatkan pikiranku, bahwa kalau manusia itu hanya berpikiran tinggi saja, belum cukup untuk hidup bersama-sama, lain dari pada itu manusia wajiblah pula ada mempunyai suatu 'ilmu yang lebih dalam yang akan menolong dan membawa manusia ketempat yang harus diturutnya. Dekat ketajaman otak wajiblah hadir kesucian hati, kalau tidak demikian, tentulah adat kesopanan tidak dalam, melainkan tinggal dikulit saja.

..............................................................

O, janganlah dibangunkan juga cita-cita, sia-sia saja, karena pasti ia akan mati, dan demikian juga janganlah dikenangkan pula hendak bermimpi, karena mimpi itu telah kita ketahui boléh tiba-tiba menyadarkan orang dengan bengis. Itu suatu lial yang bengis dan ganas! O, alangkah besarnya niatku hendak mempunyai kepandaian yang sempurna hanya dalam suatu bahasa saja, yaitu bahasa sendiri atau bahasa Belanda, supaya dapat saya benar-benar menguraikan segala yang saya pikirkan dan rasai, tentang sekalian yang menyukakan menghérankan saya, atau tentang sekalian yang menyakiti hatiku, seperti kecelakaan yang dimuliakan dan dipergantungi oléh bangsaku yakni: kelobaan si laki-laki dalam hal memiliki dan memerintah perempuan, dan kelemahan si perempuan da­lam hidup bersama-sama, karena kurang pengetahuan meréka itu, dan supaya dalam segala hal itu dapat diberi keadilannya! Saya adalah mempunyai pikiran yang keras dan tajam tentang cita² itu. Kadang-kadang amat gatal jari saya héndak menulis segala buah pikiranku itu kepada orang tempat kepercayaanku, demikian pula hendak menampalkannya kemuka orang yang patut mengetahuinya. Tetapi apakah paédahnya sekalian itu? Tentulah orang akan mengangkat bahunya saja mendengarkan itu, yang lain lagi akan mentertawakan, dan yang kebanyakan tentulah tidak akan mengindahkan hal itu. Sebab dikiranya pekerjaan orang gila atau pusung!

Barangkali lebih baik saya tiada mengetahui bahasa itu dengan sepertinya, supaya tidak dapat saya membuat citacita, yang saya sukai dengan bahasa itu. Siapa tahu betapa kejahatan yang akan diterbitkan oléh péna orang yang keras kepala, yang belum banyak penanggungannya, dan dalam hal itu maksud yang baik boléh jadi buruk.

Mengetahui bahasa itu dengan sebenar-benamja tiadalah akan banyak gunanya bagiku déwasa ini, karena saya tidak boléh berseru keras-keras.

Setelah segala kesengsaraan yang tersebut di atas ini, hendak saya kabarkan pula, yang akan menyenangkan hati nyonya.

Belum berapa lamanya yang lalu datanglah bertandang nyonya dan tuan Quartero dengan seorang kemendur lain kerumah kami. Waktu itu tuan-tuan itu memperbincangkan seorang regén yang dikenal baik oléh kemendur lain itu. "Seorang yang sangat terpelajar,” katanya kedengaran oléh kami dan sebentar lagi ia berkata: "Tidak, ia tidak beristeri, tetapi ia ada beristeri seorang perempuan yang bukan jodohnya, tidak dapat dibawanya kemédan, sebab isterinya itu seorang perempuan anak orang kebanyakan saja, dan dengan perempuan itu ada beranak dua orang. Ia tidak bermaksud lagi akan beristeri, ia tidak suka mengawini radèn ayu, karena ia tidak mau menceraikan perempuan itu, atau tidak sudi menjadikan isterinya itu seorang perempuan yang tidak berhak dalam rumah.

Salah suatu dari perkara itu tentulah akan menyakiti hati perempuannya itu, dan ia tidak suka memperbuat pekerjaan yang sedemikian.”

Hatiku terbuka tatkala saya mendengar ceritera itu, sambil berpikir, kalau demikian adalah juga rupan ya laki-laki yang baik dalam dunia bangsa Jawa! Patut dipuji, bukan? nyonya Quartero menceriterakan kemudian dari itu kepada kami, bahwa ia dan suaminya tiba-tiba memandang kepada kami, tatkala meréka itu mendengar ceritera itu, dan keduanya sama-sama berpikir: "Adakah percakapan itu didengar oléh anak-anak gadis itu? Alangkah tingginya kehormatan regén yang tersebut dalam hati meréka itu!" ya, kamipun sangat menghormati regén yang seperti itu. Kami berharap sungguh-sungguh yang regén itu akan tinggal tetap seperti itu dan sedikitpun tidak akan suka mengubah keputusan pikirannya yang bagus itu.

Sekarang kami dengan girang hati hendak berkenalan dan bercampur gaul dengan regén itu, kami berharap yang maksud itu akan lekas sampai.

Kaum muda yang berpikir demikian, baik laki-laki atau perempuan wajib lekas memperhubungkan tali salatu'rrahim suatu dengan yang lain. Tiap-tiap orang mémang dapatlah membuat sesuatunya, untuk meninggikan nama dan kesopanan bangsa kami, tetapi apabila kami sepakat serta menyatukan kekuatan dan bekerja bersama-sama, tentulah akan mendapat hasil lebih banyak. Dalam kata sepakat itulah tersembunyi kekuatan dan kekuasaan.

11 October 1901 (I)

[sunting]

Hai sahabatku yang setia, sekaranglah akan saya ceriterakan kepadamu tentang hal ihwal maksud kami, memaparkan hal itu tentulah karena kepercayaanku penuh kepadamu.

Jalan-jalan yang terbuka bagi kami untuk mencari penghidupan sendiri sambil boléh mempergunakan diri kami untuk hidup bersama-sama, ialah menjadi dokter, dukun beranak, guru, pengarang, ahli dalam perkara membuat patung-patung. Mémang adalah lagi jalan-jalan lain, yang terbuka bagi kami untuk mencari penghidupan diri sendiri, tetapi jalan itu tiadalah kami mau turut dan ingini, karena ia tidak berguna untuk bangsa kami. Apalah gerangan paédahnya untuk bangsa kami, jika kami perempuan-perempuan jadi pembantu apotheker, tukang buku, tukang kawat, jurutulis pada bermacam-macam kantor dan lain-lain sebagainya?

Kerja-kerja dan hidup yang berhubung dengan kerja itu tiadalah menarik hati kami. Kami mau bekerja hendak mencari penghidupan sendiri sambil hendak mempertinggi kedudukan kemanusiaan bangsa kami, dan budi pekertinya. Kami ingin hidup yang cukup dan sempurna. Engkau telah tahu, bahwa pada Pemerintah ada bermaksud lagi, yang sedang diuraikan oléh Directeur van O. E. en N. yaitu maksud akan mendirikan sekolah-sekolah urusan rumah-tangga untuk anak-anak perempuan Bumiputera dan untuk percobaan akan didirikan saja dahulu sebuah sekolah bagi anak-anak gadis kepala-kepala Bumiputera. Pada tahun yang lalu, tatkala kami sendiri mendengar maksud yang baik itu, dari mulut paduka tuan itu sendiri, maka bertanyalah isterinya, kalau-kalau saya suka menjadi guru pada sekolah yang tersebut itu. Saya menjawab, bahasa saya menyukai benar pekerjaan itu, tetapi saya tidak sanggup menjabatnya, sebab saya belum belajar untuk menjabat pekerjaan itu, itulah saja alangannya. Waktu itu nyonya yang tersebut menjawab, yang suaminya suka mengangkat saya menjadi guru disekolah itu, terutama ialah akan membimbing hati anak-anak itu dan membangunkan tingkah laku meréka itu yang baik. Disekolah itu saya wajib bercampur gaul dengan anak-anak itu sebagai saudaranya yang tertua, dan akan menjadi contoh kepada meréka itu. Itu suatu pangkat yang mulia, tetapi saya tidak boléh disalahkan, sebab saya tidak mau menjabat pangkat itu; alangannya sebab saya tiada berkepandaian yang disahkan (menurut undang-undang). untuk menjalankan jabatan guru itu, nyonya itu berkata pula, kalau sekiranya saya suka benar hendak belajar untuk jadi guru itu, maka saya harus pergi belajar pada salah satu sekolah Normaal di Betawi atau di tempat yang lain, barang beberapa lamanya untuk mengambil diploma. Dan hal itu bukanlah menjadi suatu keberatan. Sekarang bergantunglah pekerjaan itu kepada kemauanku lagi.

Yang bapakku menyukai hal itu, engkaupun telah tahu. Tentu saya akan pergi ke Betawi, disitu segala bantuan dan pertolongan untuk menyampaikan hajatku itu, sudahlah pula dijanjikan oléh directie[2] sekolah menengah untuk anak-anak perempuan kepadaku. Dengan directie itu baru sekali saja kami bertemu dan bercakap-cakap. Kebaikan hatinya, seorang yang baru kami kenal, sangat meriangkan hati kami. yang ia lekas menyayangi pergerakan kami itu sangatlah pula menguatkanku. syukurlah! Dimanakah saya boléh dapat bantuan dan pimpinan, yang lebih baik lagi dari pada seorang nona, yang telah menjadi kepala pada sebuah sekolah menengah? Tiada dicari dan tidak disangka-sangka, telah jatuhlah suatu pertolongan yang amat besar di atas pangkuanku. Saya amat gembira, merasa diriku sebagai terbang diawan yang tinggi dan menyangka bahwa saya akan berangkat ke Betawi tidak lama lagi, boléh jadi dalam sepekan dua pekan ini atau selambat-lambatnya dalam sebulan dua lagi.....

Sayapun telah menceriterakan kepadamu, bahwa kami sekali-kali bukanlah orang berada, sungguhpun bapaku bergaji besar, tetapi ia wajib lagi banyak mengeluarkan belanja, sehingga gajinya yang besar itu hanya cukup untuk kami hidup sederhana, dan akan memberi saudara-saudaraku laki-laki pendidikan yang baik. Anak laki-laki dalam segala hal wajib ditolong lebih dahulu! Sayapun telah memikirkan juga tentang keberatan dalam perkara wang itu, karena itulah saya telah bermaksud hendak mengubah tujuan dan haluanku, yaitu hendak pergi ke Sekolah Dokter di Betawi, sebab keberatan untuk belajar menjadi guru itu terlalu besar; untuk menyampaikan maksud itu harus bapakku mengeluarkan wang dalam setahun kira-kira seribu dua ratus rupiah, yakni sebanyak gaji bapakku dalaam sebulan; hal itu bukanlah perkara kecil menilik keperluan untuk rumah tangga kami, yang sebesar itu. Akan belajar jadi dokter tidak guna orang mengeluarkan wang sedikit juapun, tetapi sayang murid-murid yang diterima disitu hanyalah anak laki-laki saja; murid-murid perempuan sampai sekarang belum pernah diterima. Sekalian keperluan pelajaran untuk jadi dokter, semua ditanggung oléh Pemerintah. Murid-murid mendapat rumah tempat tinggal, dan diberi uang tiap-tiap bulan untuk membayar makan, pembeli pakaian dan mendapat pertolongan dokter dengan tiada membayar.

Ketika saya di Betawi saya tanyakan kepada Directeur van O. E. en N., kalau-kalau anak-anak perempuan boléh diterima disekolah yang tersebut, karena sekolah itu masuk penjagaan Departeménnya. Tuan Mr. A. bukan tidak suka, melainkan suka benar, ia bergirang hati akan maksudku itu; keberatannya murid² perempuan wajiblah hendaknya tinggal diluar sekolah. cita-citaku meminta kepada Pemerintah, supaya saya diterima di Sekolah Dokter, dengan perjanjian yang saya akan mendapat hak, betul-betul seperti hak yang diperoléh murid-murid laki-laki dalam sekolah itu. Tiap-tiap orang mudahlah memikirkan, kegunaan dokter perempuan itu, apalagi untuk perempuan-perempuan anak negeri, karena bodohnya, lebih suka ia mati dari pada badannya diraba oléh seorang dokter. Kepala Departement van Onderwiys dengan segala suka hati akan menolong permintaanku itu, tentu besarlah harapanku, yang Pemerintah akan mengabulkan permintaanku itu.

Saya selalu menyukai kepandaian dokter itu, hanyalah saya takut, karena lamanya belajar disitu. untuk orang yang belum ber'umur dua puluh tahun, bila belajar lamanya tujuh tahun, menurut timbanganku, tidak adalah alangannya; tetapi bila 'umur orang itu telah léwat dari dua puluh tahun, menurut pikiranku adalah agak lama waktu itu. Dan lagi anak gadis yang telah sampai 'umur wajib setiap hari duduk di antara anak-anak laki-laki yang ber'umur 13-18 tahun, dan beberapa lamanya kemudian akan menjadi seorang perempuan tunggal dalam laki-laki yang sebanyak itu, kuranglah menarik hatiku. Tetapi sekalian hal itu, hanyalah perkara kecil saja, mudah dapat saya hapuskan. Tetapi adalah lagi alangan yang lain. Bapak dan sahabat kenalanku tidak menyukai hal itu; masing² adalah dengan sebabnya. Bapak mengatakan tidak mau, karena saya sajalah nanti seorang anak perempuan didalam kumpulan laki-laki dan bujang² yang banyak itu — hal yang seperti itu belum pernah terjadi disini; dan sahabat kenalankupun tidak suka, sebab meréka itu chawatir, bahwa perasaan yang kuat untuk pelajaran itu, barangkali tidak ada kepadaku. Menjadi dokter mémanglah satu kerja yang baik, tetapi kerja itu tidak dapatlah dikerjakan oléh tiap² orang. Meréka yang belajar menjadi dokter perlu ada kepadanya, kemauan yang kuat, kekerasan hati dan perasaan yang tetap. Itulah yang dikuatirkan oléh sahabat kenalanku, tetapi saya dalam hal itu tiadalah takut. Menurut pikiran bapak, pekerjaan gurulah yang sebagus-bagusnya untuk kami, demikian pula pikiran sahabat-sahabatku di Betawi. Menurut timbangan meréka itu lagi, kerja guru itulah yang amat bagus dan pantas sekali untukku, sepadan benar dengan cita-citaku. Dan dimanakah lagi saya boléh lebih baik, dapat memaparkan cita-citaku, lain dari pada menjadi seorang pendidik anak² gadis, yang kelak akan menjadi perempuan dan bunda dalam hidup bersama-sama. Dalam tangan si anak itulah terletak keadaan yang akan datang, dan ditangan si bunda tergenggam keadaan si anak itu. Bila saya menjadi pengarang tentulah banyak dapat saya bekerja untuk penjelmakan cita-citaku dan mempertinggi kedudukan kesopanan bangsaku; dan kalau saya menjadi guru hanyalah sedikit saja padang tempat saya bekerja, tetapi saya boléh dengan segera dapat mendidik meréka itu, dan padang yang sedikit itu tentulah lama-lama boléh menjadi luas dan kembang, dan diturut orang, asal saja contoh yang diberikan disitu contoh yang baik.

Engkau tahu yang kesukaanku ialah membaca kitab-kitab dan dalam itu kenang-kenanganku, supaya kesukaanku itu dapat menjadikan saya seorang yang berarti tentang usaha dalam 'ilmu bahasa. Tetapi orang tidak dapat mengerjakan dua kerja dalam suatu waktu, itulah sebabnya maka tidak ada harapanku akan menjadi guru, yakni guru yang saya kehendaki, yang sanggup menajamkan pikiran si anak, dan menimbulkan budi pekerti yang baik, guru yang sepanjang hari mestilah mengindahkan si anak itu, dan dalam itu hendak berusaha lagi untuk 'ilmu bahasa. Saya suka bekerja satu saja, tetapi saya' mau membuat kerja itu dengan sebaik-baiknya. Sekarang kedudukanku antara dua benda yang suci, Stella. Bila saya menjadi dokter atau yang lain, agaknya tidak usahlah saya meninggalkan kerja yang sangat saya sayangi itu yakni: "penjilat péna!”

Tetapi menurut pikiranku pengajaran dan pendidikan yang dipercayakan orang kepadaku, itulah kerja yang amat suci dan memberi berkat, sehingga karena itu saya tidak bersenang hati mengerjakannya, bila saya merasa, bahwa saya tidak cakap melakukan kewajiban itu........ yakni kewajiban yang saya sendiri tahu, mestilah dilakukan oléh seorang pendidik yang cakap. Sekiranya menjadi guru disekolah urusan rumah tangga, tentulah sepanjang hari saya mesti berjinak-jinakan dengan anak-anak, dan malam haripun, ya, sampai larut malam, tentulah saya belum akan bébas, karena anak-anak itu telah dipercayakan kepadaku. Kepercayaan mendatangkan kewajiban yang besar, dan menjadi guru disekolah itu artinya menerima penanggungan yang amat berat. Barangkali menurut pikiranmu ingatanku dalam hal itu terlampau panjang, tetapi tidak dapat saya ubah ingatan itu dan saya kira menjadi suatu kesalahanlah, bila saya berani memikul pendidikan anak-anak, yakni meréka yang menggenggam keadaan yang akan datang, sebab saya mengingatkan, bahwa saya tidak cakap berbuat kerja yang sebesar itu, mulia dan suci pada pemandanganku. Sayapun tiadalah pula akan bersenang hati akan mendapat pujian dari pada kepala-kepalaku, bila kerjaku itu tiada sesuai menurut kehendak hatiku.

Cita-cita bapakku dan sahabat kenalanku, ialah jika sekiranya saya benar-benar hendak menjabat sesuatu jabatan dan mau bekerja untuk keperluan orang banyak, maka wajiblah saya menjadi guru kepala pada sebuah sekolah perempuan. Dan engkau, Stella, untuk menjadi apakah saya, yang baik dalam pikiranmu? Dan jalan mana yang patut saya turut? Katakan kepadaku dengan hati yang tulus ichlas, keluarkanlah pertimbanganmu seterang-terangnya dalam hal ini, dan dari padamu tidak lain yang saya harapkan hanyalah sekalian yang baik saja. Engkau selalu menyatakan kepadaku yang engkau seorang sahabatku yang baik dan tulus hati, sekarang engkau buatlah juga sedemikian itu.

Adalah jalan lain lagi yang terbuka untuk kami. Adalah seorang dokter pendéta belum berkenalan benar dengan kami, yang ternama lagi amat mulia, telah kerap kali men­dengar hal kami dari sahabat kenalan kami. Pada suatu hari atas kemauannya sendiri, telah mengunjukkan dirinya kepada kami, menerangkan, bila mana kami suka hendak belajar kepadanya untuk menjadi dukun beranak, maulah ia mengajar kami dengan tiada membayar uang seko­lah. Pada pihak lainpun adalah datang pula pertolongan yang sedemikian kepada kami. Dalam hal itu sangatlah kami mengucapkan terima kasih! Engkau tentu telah mendengar atau membaca peri hal orang Bumiputera yang beragama Nasrani di Mojowarno dalam residénsi Surabaya? Dalam rapor "Maatschappeliyk Werk in Indië” (Pekerjaan bersama-sama di Hindüa), dari rapat-rapat Pertunjukan perusahaan. Perempuan, hanyalah tersebut nama dokter pendéta[3] itu, demikian pula di Mojowarno amat mashur namanya. Engkau tentu telah kerap kali mendengar, bahasa dukun beranak amat berguna sekali di tanah Hindia. Pada tiap-tiap tahun jika dipukul rata-rata, adalah kira-kira 20.000 perempuan di tanah Hindia yang mati beranak, dan adalah kira-kira 30.000 anak-anak mati waktu lahir, karena tiada mendapat pertolongan dari dukun beranak. Dalam hal itu masih banyaklah usaha yang boléh kami kerjakan, untuk berbuat jasa dan paédah bagi saudara-saudara kami dalam hidup bersama-sama.

Kami sungguh menyukai sekali kerja dukun beranak itu; tetapi tentulah kami akan berdusta bila kami berkata, bahwa menjadi dukun beranak itu telah suatu cita-cita kami. Sungguhpun demikian menjadi dukun beranak itu mémanglah seribu kali lebih baik dari pada tinggal bergantung saja kepada kaum keluarga, apalagi dari pada perkawinan yang terpaksa.

Dari bapak kami telah mendapat izin pergi ke Mojowarno, untuk belajar menjadi dukun beranak, kalau sekiranya jalan-jalan yang lain tidak dapat kami tempuh lagi. Kaum keluarga yang lain sekali-kali tidak menyukakan kerja itu, karena menurut pikiran meréka itu kerja dukun beranak itu amat hina bagi tangan kami, anak orang bangsawan!!! Sahabat kenalan kamipun tiada akan bersukacita, bila kami menurut jalan itu, tetapi meréka ada mempunyai sebab yang lebih mulia, ya, sebab yang lebih tinggi. Menurut timbangan meréka, sangat susah bagi kami bekerja seperti itu, karena kami ada menaruh cita-cita yang lain. Pada hal yang sebenarnya bukanlah meréka tidak suka yang kami pergi ke Mojowarno, sekali-kali tidak, menurut pemandangannya kerja dukun-dukun itu suatu kerja yang tinggi dan mulia, tetapi maksud kami hendak menjadi contoh dan menjadi suri teladan itu, boléhkah dapat kami sampaikan dengan cara demikian? Sedangkan di Eropa yang penduduknya telah terpelajar, disanapun orang masih menghinakan kerja dukun beranak itu, apalagi di tanah Hindia, yang penduduknya masih gila akan kehormatan dan kemuiiaan, tentulah meréka itu tidak dapat menghargakan kerja yang baik itu dengan sepatut-patutnya.

Tentulah meréka itu akan memandang pangkat itu hina; apa-apa yang tidak tinggi, tidak bercahaya dan tidak harum selalu dipandang oléh bangsaku kurang, tidak ada berharga. Engkau tentu mengerti yang kami sendiri tiada akan menghinakan kerja itu, tetapi untuk diri kami haruslah kami mengindahkan keadaan itu jangan menjadi sesalan kelak. Kami yang mau membukakan jalan untuk kebébasan dan hidup tegak sendiri untuk perempuan-perempuan bangsa Jawa! contoh yang akan kami berikan wajib sesuai dan sepadan dengan orang lain. Barang sesuatu yang dipandang orang hina tentulah tidak akan diturut orang. Bila kita berniat yang orang lain hendaknya menuruti jejak kita, haruslah contoh yang kita berikan itu suatu benda yang baik dan menghérankan orang, serta memberahikan orang akan menirunya. Dalam hal itu bukanlah kita mengingatkan kehendak kita sendiri saja, tetapi patutlah kita ingat benar akan keadaan bangsa, yang hendak kita ajari dan kita beri contoh itu.

JALAN KE JEPARA DENGAN POHON KENARI SEBELAH-MENYEBELAH.

Pada masa sekarang di tanah Belanda dan terutama di den Haag telah timbul suatu gerakan, yang hendak menghidupkan dan menerbitkan kembali kepandaian anak Hindia yang telah lenyap. Perserikatan "Oost en West”, ialah tunas dari "Pertunjukan perusahaan Perempuan.” Engkau tentu telah mendengar hal keadaan perserikatan itu, yang terutama kerjanya ialah hendak memperhatikan rupa² keadaan Hindia. Perserikatan itu ada mempunyai suaióe afdleeling untuk 'ilmu kepandaian dan afdeeling itu dipimpin oléh beberapa orang pandai-pandai, ahli dalam 'ilmu kepandaian.

Afdeeling 'ilmu kepandaian itu bermaksud hendak mengirim orang pandai-pandai (tentang perkara patung) pergi ketanah Hindia, akan membantu dan memperbaiki 'ilmu kepandaian anak Hindia, terutama kepandaian membatik, yang sekarang tidak sejati lagi, karena telah dicampuri oléh kepandaian bangsa asing, bangsa Eropa dan lain-lain, yang merusakkan dan meruntuhkan kepandaian asal bangsa Hindia itu. Kesukaan orang di tanah Belanda, supaya kepandaian bangsa Hindia diterbitkan oléh kemajuan pertunjukan kepandaian bangsa Timur dan Barat. di tanah-tanah yang lain kepandaian bangsa Hindia, lebih-lebih kepandaian batik-membatik, mulailah dikenali dan diketahui orang.

Saya menyangka, yang saya telah menceriterakan kepadamu, bahwa Rukmini ada berotak baik dan cakap untuk mempelajari perkara gambar-menggambar; cita-citanya senantiasa hendak menjadi pandai-gambar. untuk pekerjaan itu harus ia belajar di tanah Eropa, tetapi sayang hal itu tidak dapat dilakukannya.

Dengan wang kami sendiri tidak sangguplah kami menolong menyampaikan cita-cita adikku itu. Tahukah engkau kemana kami hendaknya meminta tolong? Kami bermaksud hendak memperhubungkan tali salatu'rrahim dengan perserikatan "Oost en West” dan meminta pertolongan perserikatan itu, supaya adikku dapat menyampaikan cita-citanya yang bagus itu, sehingga ia dengan pertolongan perserikatan "Oost en West”, atau perserikatan yang lain dapat memasuki sekolah tinggi gambar-menggambar, lukis-melukis di den Haag, dan nanti setelah tammat pelajarannya ia boléh mengusahakan dirinya untuk kepandaian bangsa kami. Siapakah yang boléh lebih baik mengusahakan dirinya untuk hal keadaan kepandaian bangsa Jawa, lain dari pada anak bangsa itu sendiri, yang mémang ada menaruh cinta sejak kecilnya, akan kepandaian bangsa Bumiputera?

Karena Rukmini seorang anak dari pada bangsa Jawa sendiri, maka dapatlah ia memasuki sekalian tempat, yang tidak dapat dimasuki oléh bangsa Eropa, biarpun orang itu berniat baik kepada bangsa Jawa. Kami adalah mengenal beberapa orang di antara pengurus-pengurus "Oost en West” dan afdeeling 'ilmu kepandaian itu. Bila percobaan kami ini tidak berhasil, maka Rukmini bermaksud hendak belajar menjadi dukun beranak. Ia mau menjadi pandai gambar atau dukun beranak, tetapi apa juapun yang akan dibuatnya, ia mau memperbuat kerja itu dengan sebaik-baiknya. Oléh sebab itu bila nasibnya telah menyuruhnya menjadi dukun beranak, untuk mencari penghidupannya, dan akan memberi paédah kepada orang banyak, ia amat suka berjerih payah mempeladcari 'ilmu itu di tanah Eropa. Dinegeri Belanda tentulah dapat 'ilmu itu dipelajarinya dengan secukup-cukupnya, dan apabila tammatlah pelajarannya, tentulah 'ilmunya itu besar sekali faédahnya bagi perempuan-perempuan disini.

Dokter-dokter disini dapat mengajarnya hanyalah untuk menjadi dukun beranak, yang selalu mesti bekerja dibawah pengajaran seorang dokter. Pada pemandangan bangsa kami, yang belum mempunyai cita-cita yang besar dan buah pikiran yang tinggi, yakni bangsa yang hanya pandai memuliakan keindahan dan kebagusan saja, besarlah perbédaannya bagi meréka, bila Rukmini belajar disini atau belajar di Eropa untuk menjadi dukun beranak itu. Bila ia berdiploma dari Eropa, orangpun tiadalah akan memandang rendah kerjanya, dan meréka itu tentulah suka menurut kerjanya itu. Dalam hal itu kami hendak meminta pertolongan kepada Professor Hector Treub di Amsterdam dan Dr. Stratz di den Haag, yaitu meréka yang kerap kali telah memperbincangkan tentang pertolongan yang patut diberikan kepada perempuan-perempuan yang sakit beranak di Hindia, supaya karena pertolongan itu beribu-ribu manusia tiap-tiap tahun akan terlepas dari pada bahaya maut. Dalam majelis persidangan Tweede Kamer, kalau saya tidak salah perkara itu telah diuraikan juga oléh tuan van Kol. Kabarnya tuan itu akan datang ketanah Hindia, saya berharap supaya saya diapat bertemu dan bercakap-cakap dengan dia. Kakakku tahu benar kepadanya.

Pemerintah di tanah Hindia telah berhajat akan mengadakan perubahan yang baik atas hal keadaan yang buruk itu. Segala dokter di tanah Jawa yang suka mengajar perempuan-perempuan yang mau belajar untuk menjadi dukun beranak akan mendapat uang bantuan tiap-tiap bulan dari Pemerintah. Dan perempuan-perempuan itu selama belajar itu, mendapat pula uang bantuan dari Pemerintah untuk pembayar séwa rumah dan lain-lain, dan setelah meréka itu membuat ujian, maka diberilah gaji oléh Gubernemén.

Maksud adikku Rukmini, jika telah tammat pelajarannya di Eropa untuk dukun beranak itu, akan mendirikan sebuah sekolah untuk mengajarkan kepandaian dukun itu. Akan kepandaian dokter-dokter yang memberi pelajaran tentang hal itu disini, tentulah tidak dapat dicacat, tetapi apakah gunanya dan artinya kepandaian itu, kalau dokter-dokter itu tidak dapat menerangkan pelajarannya kepada murid-muridnya dengan sempurna, karena si guru dan si murid masing-masing hanya mengerti dalam bahasanya sendiri-sendiri? Hampir sekalian dokter-dokter disini betul mengetahui bahasa anak negeri yakni bahasa Melayu, tetapi sedikit, ya, amat sedikit benar, bahasa itulah juga yang dipakai dokter-dokter itu bila ia bercakap-cakap dengan anak negeri. Bahasa Jawa hampir tidak ada seorangpun dokter yang mengerti. Di antara orang-orang Jawa yang sebanyak itu, hanyalah amat sedikit pula, yang mengerti bahasa dan bercakap Melayu. Tahukah engkau sekarang betapa kesusahan dokter-dokter itu bercakap bahasa Melayu, yakni bahasa yang amat sedikit diketahuinya, akan menerangkan apa-apa kepada murid-muridnya, perempuan-perempuan dan anak-anak gadis dari désa, yang sejak dari kecilnya tidak pernah mendapat pengajaran, dan tidak kenal serta tidak mengerti suatupun bahasa asing, kecuali bahasanya sendiri?

Sekalian kesusahan itu tentulah akan hilang lenyap, bila orang yang menjabat pangkat untuk mengajar perempuan-perempuan Jawa menjadi dukun beranak itu, mengerti benar-benar bahasa anak negeri.

Karena Rukmini sendiri anak Jawa, itupun boléh pula menolong menyampaikan maksud itu lebih lekas. Bangsa Bumiputera selalu setia kepada orang-orang bangsawan bangsanya, dan apa-apa yang dibuat oléh bangsawan, yang dihormati oléh anak negeri, mudah diterima dan dipercayai oléh meréka itu.

Pada 24 hari bulan October berhentilah saya menulis surat ini, sekarang saya mulai lagi menghubungnya. Kartupos yang saya kirimkan sementara itu kepadamu, telah mengabarkan betapa susah hal keadaan yang telah menggoda kami, dan sekarang beruntung kami karena kesusahan itu tidak ada lagi. yang Rukmini dahulu sakit keras, engkaupun telah tahu. Telah dua kali nyawanya seakan-akan bergantung pada sehelai rambut, tetapi sekarang dengan pertolongan Allah ia telah mulai sembuh, dan setiap hari adalah bertambah séhat, sehingga pada hari ini ia telah pergi keluar. Bagaimana kami bersukacita dan betapa kami meminta terima kasih karena kesembuhannya itu, tidak dapatlah saya katakan kepadamu. Adikku Kardinahpun telah berjalan-jalan pula sampai-sampai seperempat jam lamanya, dan mukanya yang pucat dan kurus dahulu itu, sekarang telah mulailah berwarna. Sungguh banyak benar kesusahan kami sekali ini.

Dimana-mana juapun sekarang hawa negeri kurang séhat, karena musim panas yang amat sangat. Wahai tanah yang malang, itulah yang tuan tanggungkan, lain dari pada bermacam-macam penyakit yang berbahaya? Oléh karena musim panas yang amat sangat itu hampir sekalian sawah diseluruh negeri kami menjadi rusak binasa. Di Grobogan tidak jauh dari sini dalam kesusahan yang besar sekali, sebab dilanggar bahaya kelaparan, dan anak negeri Demak sekarang takut bukan buatan menanti kedatangan musim penghujan, yang menenggelamkan negeri itu tiap-tiap tahun; dan disana sawah yang tidak menjadi, karena dilanggar panas, tidak kurang 26000 H.A.; dan dalam hal itu dinegeri itu sekarang berjangkit pula penyakit koléra amat sangat. O, tanah yang malang, dalam musim kemarau, engkau celaka karena kekurangan air, dan musim penghujan engkau melarat terbenam karena kebanyakan air! tidak usah saya panjangkan lagi tentang kesengsaraan itu, biarlah saya hubung terus ceriteraku pada empat belas hari yang lalu. Adikku Kardinahpun mau menjadi guru juga dan pengajaran yang disukainya, ialah kepandaian urusan rumah-tangga dan masak-memasak. Maksud kami selalu akan tinggal bersama-sama dan bekerja bersama-sama, supaya kami dapat sekutu menyampaikan hajat kami yaitu: hendak meninggikan kesopanan bangsa kami. Bila nasib kami baik, kami bersama-sama akan membuka sebuah sekolah, tempat mengajarkan segala pengajaran seperti disekolah rendah dan ditambah lagi dengan kepandaian: jahit-menjahit, urusan rumah-tangga dan lain-lain sebagainya; lagi pula akan diajarkan disitu kepandaian membatik, menggambar dl1. atau 'ilmu dukun beranak.

Untuk belajar menjadi guru dalam 'ilmu urusan rumah-tangga dan masak-memasak haruslah orang pergi kenegeri Belandla. Sekolah yang sedemikian tidak ada disini. Keinginan Kardinah yang terutama sekali ialah musik dan itulah cita-citanya yang dihati kecilnya benar dan itulah sebabnya maka ia selalu asyik mengusahakan dirinya mempelajari musik itu, tetapi maksud itu sekali-kali tidak dapatlah disampaikannya. Adikku yang bungsu itu telah membuangkan cita-citanya itu, dan mengambil maksud yang lain. Ia akan merasa beruntung, bila cita-citanya yang lain itu dapat menjelmakan dirinya. Ia berkehendak benar-benar akan menolong meninggikan kedudukan kehormatan bangsanya. jika ia menjadi guru dalam pelajaran urusan rumahtangga, banyaklah yang akan dapat dibuatnya. Makin lama makin banyak Pemerintah memperlihatkan kesukaannya, supaya anak negeri dan pegawai-pegawainya bersipat hémat.

Karena hal keadaan urusan rumah-tangga tergenggam dalam tangan perempuan, maka patutlah orang lebih dahulu mulai mengajar perempuan bersipat hémat, supaya sipat itu boléh kembang dalam bangsanya. Apakah paédahnya laki-laki diajar berhémat itu, kalau sekiranya perempuan yang menjaga rumah-tangga tidak mengenal harga wang? Itulah sebab yang akan kami hadapkan kepada Pemerintah, bila kami memohonkan permintaan supaya Kardinah diajar menjadi guru dalam urusan rumah-tangga, supaya nanti sangguplah ia memberi pengajaran tentang kepandaian itu di tanah Jawa. Adikku itu mau memikul beban yang berat itu dengan bahunya, akan mengajar perempuan-perempuan dan ibu-ibu pada waktu yang akan datang, di tanah Jawa, supaya meréka itu pandai berhémat dan tahu akan harga uang.

Untuk diriku sendiri saya boléhlah maju disini, artinya mengambil diploma disini saja; tetapi belajar di Eropa tentulah lebih baik dari pada di Hindia, karena di Eropa orang dapat lebih mudah mempertinggi pikiran dan memperluas pemandangan dan sebagainya.

Lebih-lebih masa sekarang Pemerintah telah memperlihatkan betapa ia mengindahkan kesopanan dan kepandaian pegawai-pegawainya, hal itu nyata sekali waktu mengangkat regén-regén baru-baru ini, yakni Pemerintah telah memilih dua orang muda, meskipun menurut sepanjang aturan yang biasa, meréka itu tidaklah masuk bilangan waris, karena meréka bukanlah kaum keluarga regén yang digantikan itu ...............menurut sepanjang aturan biasa bapak digantikan oléh anaknya, dan bila si bapak tidak beranak laki-laki atau tidak beranak yang cakap untuk menggantikannya, maka boléhlah diangkat seseorang dari kaum keluarga regén yang berhenti itu............ Tetapi regén-regén yang baru diangkat itu, karena terpelajar dan telah menerima pendidikan di tanah Eropa.

Sekalian itu menyatakan, bahwa pada Pemerintah adalah tersimpan maksud yang mulia hendak memajukan dan mempertinggi kedudukan kehormatan tanah Hindia, terutama untuk bangsa Jawa dan lebih-lebih bangsawan-bangsawan Bumiputera, yang kebanyakan akan menjadi pegawai negeri, diberi lebih dahulu 'ilmu kepandaian dan pengajaran yang harus ditaruhnya.

Tuan Abendanon telah berkata: "tidak usahlah diperkatakan lagi, bahwa dunia Bumiputera tidaklah akan lekas maju kemuka, kalau sekiranya perempuan-perempuan bangsa Bumiputera selalu tertinggal di belakang. Setiap hari sepanjang waktu telah nyata, bahwa kemajuan perempuan itu suatu perkara yang penting untuk kemajuan suatu bangsa.”

Kebanyakan bangsa Bumiputera masih enggan menyuruh anak-anaknya perempuan pergi kesekolah, karena disana laki-laki yang mengajar. Sebab itu guru-guru perempuanpun haruslah pula ada disitu.

Lima belas tahun yang telah lalu Pemerintah mengirim empat orang anak muda-muda bangsa Bumiputera dengan ongkos Pemerintah pergi belajar kenegeri Belanda, dengan penjagaan seorang guru kepala yang pandai; disana meréka itu diajar untuk menjadi guru. Meréka itu suka sekali pergi kenegeri Belanda untuk belajar menjadi guru itu, karena belajar disana lebih banyak mendatangkan faédah dari pada jika meréka belajar di tanah Hindia, dan supaya nanti sangguplah meréka bekerja untuk kesopanan dan kemajuan bangsanya, bukanlah kemauan meréka sendiri, hanyalah kemauan yang datangnya dari pada seseorang yang benar-benar suka hendak memajukan tanah Hindia.

Keadaan kami berlainan dengan hal meréka itu. Bagi kami ialah suatu kemauan, keinginan hendak mempunyai "cahaya” kemajuan, yang keluar dari hati yang yakin, yang diterbitkan oléh kedukaan hati sendiri, karena kasihan memikirkannya dan sama-sama merasa sedih dengan meréka yang sengsara dalam hidup bersama-sama.

..................................................................

Akan melakukan cita-cita kami itu hanyalah kami menantikan izin bapak saja lagi. Maafkanlah bapakku dalam hal itu, Stella, karena ia chawatir melepaskan anak-anaknya ke dalam suatu hal yang akan datang, yang belum nyata kepadanya. Orang yang menjadi pembuka jalan seperti kami ini, wajiblah memerangi dan mena'lukkan segala syak dan waham itu lebih dahulu; bahwa hal itu tidak mudah dan akan mendatangkan banyak kecéwa dan dukacita bagi kami, kamipun ma'lumlah pula. Dan orang-orang tua dimanakah yang tidak gemar melindungi anak-anaknya dari pada kedukaan? Orang-orang tua dimanakah pula yang tidak akan berhati kecut dan berat membiarkan anak-anaknya ke dalam dunia yang penuh dengan peperangan dan kecéwaan? Demikianlah nasibnya sekalian meréka yang menjadi orang pembuka jalan.

Saya tidak tahu yang saya nanti betul-betul mau pergi belajar ketanah Belanda. bila sekiranya adalah orang menyuruh saya kesana. Hal itu dahulu suatu cita-cita padaku, dan sekarang iapun masih demikian juga, hendak pergi belajar kenegeri Belanda itu. Tahun yang sudah tatkala kenang-kenangan itu diperkatakan, dan saya akan disuruh belajar di rumah, maka saya melawani maksud itu dengan sekuat-kuatnya. Bila saya belajar, saya mau belajar baik-baik, belajar baik-baik itu hanya dapat saya lakukan dinegeri Belanda atau di Betawi. Negeri Belanda tidak dapat saya capai, kalau saya wajib belajar disana dengan uang sendiri; akhirya negeri Betawilah yang tinggal dikepalaku.

Di rumah tentulah tidak dapat belajar sebaik-baiknya, artinya sekali-kali tidak dapatlah saya mengusahakan diriku benar-benar untuk pelajaranku; hal itu sangat, ya, sangat berguna sekali untuk meréka yang telah ber'umur seperti saya ini. Kewajiban dalam rumah dan kewajiban menerima jamu, tentulah banyak akan merintangku dalam pengajaranku. Apabila saya ada di rumah, tetapi tiada bekerja untuk keperluan rumah, itulah pula pekerjaan yang mustahil. jadi dengan hal yang demikian niscayalah amat susah. Hal itu terjadinya tahun yang lalu, tatkala bapakku séhat dan kuat; sekarang bapakku tidaklah seséhat dan sekuat itu lagi, sayang!

Maafkanlah seorang anak gadis, Stella, kalau-kalau ia melepaskan maksudnya, bilamana ia ditolong orang akan menyampaikan hajatnya itu, yang mémang bertali kemudian hari dengan keselamatan orang-orang lain, karena hati si gadis itu tidak melepaskan bapaknya yang se'umur hidupnya menjadi suatu kecintaan dan keberkatan kepadanya. Ia selalu mengucapkan terima kasih kepada si bapak, si jantung hatinya itu, sekarang didalam 'uzur dan kerap kali sakit-sakit, jadi yang wajib dijaga dan disayangi oléh si anak lipat ganda dari yang sudah-sudah.

Stella, saya ini seorang anak, saya ini seorang anak gadis dan bukanlah saja perempuan yang semata-mata amat beringin memberikan dan mengusahakan dirinya untuk kerja yang bagus dan mulia, yang berguna dan berkat bagi orang banyak; tetapi saya inipun seorang anak yang yakin dan sangat sayang kepada bapakku yang sekarang telah tua dan berambut putih, yang telah menjadi tua dan berambut putih karena memeliharakan anak-anaknya, dan di antara anak-anak itu, sayalah barangkali yang sangat menyayanginya, karena tingkah laku kami banyak yang bersamaan, sebab kami sepikiran dan seperasaan.

Stella, engkau yang telah mengetahui betapa kasih sayangku kepada bapakku dan lagi mengetahui pula, bahwa cinta itu saya pandang sebagai seruan Allah kepada kita, dan engkau tahu juga betapa persangkutanku dengan adik-adikku, yang sangat kuatnya, tentulah engkau akan mengerti pula betapa hébat peperangan dalam hatiku, bila saya mesti memilih salah suatu dari pada dua jalan yang hendak kuturut: pertama tinggal dengan bapakku, bercerai dengan adik-adikku dan mengabaikan sebagian besar dari seruan Allah itu atas diriku, atau saya tinggalkan bapakku dan pergi bersama-sama dengan adikku, serta menyerahkan diriku benar-benar kepada seruan itu!

Bapakku sekarang kurang kuat, ia harus selalu dijaga dan selalu dipelihara; menjaga dan memeliharanya itulah suatu kewajiban bagiku.

Katakanlah itu perkara kecil, tetapi o, Stella, saya sekali-kali tidaklah akan bersenang hati barang sekejap mata juapun dalam mengerjakan suruh Allah, jauh dari bapakku, sedang sayapun tahu, bahwa bapakku yang kutinggalkan itu dalam sakit-sakit dan selalu wajib ditolong!

Suci, mulia kerja yang ditakdirkan Allah kepada kami itu, sebab menyuruh kami mengusahakan diri untuk hal keadaan yang besar-besar, untuk meninggalkan kedudukan kemanusiaan bangsa perempuan Bumiputera yang senantiasa dalam teraniaya, ya, ringkasnya supaya dunia Bumiputera boléh berarti, dan arti itu akan tinggal selama-lamanya; tetapi saya sekali-kali tidak dapatlah menanggungkan kesedihan dalam hatiku, apabila saya bekerja dan berusaha untuk orang lain, dan dalam itu bapakku yang telah tua itu, yang terutama berhak akan diriku, akan kubiarkan saja menanggung kesakitan dan kesusahan.

Satu dari pada cita-citaku yang hendak saya kembangkan ialah: hormati segala yang bernyawa, hormati hak dan perasaannya. Takutilah menyakiti orang lain, biar sedikit sekalipun, dan takutilah pula menyakiti itu, meski dipaksa atau tidak dipaksa mengerjakannya. cita-cita itu semata-mata dapatlah melindungi sesama kita manusia, yakni dengan sedapat-dapatnya kita melindungi dia dari pada segala sengsara, dan dengan hal yang demikianlah kita boléh menolong memperbagus hidup meréka itu. Itulah suatu kewajiban yang suci dan mulia, yang bernama terima kasih. Maukah bangsaku mempercayai cita-citaku itu jikalau sekiranya saya sendiri orang yang menasihatkannya, tidak mengerjakan sebagai nasihat itu?

Kewajiban anak kepada bapaknya tidak boléh saya mungkirkan, tetapi saya tidak boléh pula menyangkal kewajiban yang wajib saya lakukan atas diri sendiri, lebih-lebih lagi jikalau kewajiban itu paédahnya bukanlah untuk saya sendiri, tetapi bertali pula dengan paédah untuk orang-orang lain. Adalah dua buah kewajiban besar yang berlain-lainan lagi wajib saya kerjakan; sekarang upayaku ialah akan menyatakan kedua kewajiban itu dengan seboléh-boléhnya. upaya itu untuk sementara ialah, yang saya akan tinggal disisi bapakku, dan sementara itu belajarpun tiadalah pula akan saya abaikan.

Di rumah dengan sedapat-dapatnya saya mau belajar sendiri untuk menjadi guru, yakni seberapa yang dapat dibantu oléh kemauan hati dan pikiran tetap. Akan mengambil diploma guru kepala wajib orang menaruh diploma guru bantu serta surat keterangan yang menyatakan, bahwa ia telah dua tahun mengajar disekolah. Saya sendiri telah lama memikirkan maksud itu, tetapi ketetapan maksud itu baru saya dapat tatkala nyonya Abendanon baru-baru ini telah menimbulkan pula maksud itu kepada kami. Sementara menanti keputusan nasib kami yang bimbang itu, maka kami bertigapun telah mulailah belajar sendiri. Bagaimana juapun nasib adik-adikku itu nanti, sekalian yang dipelajarinya adalah gunanya untuk hari kemudian.

Telah dua bulan lamanya kami mendapat seorang guru perempuan diinegeri ini, yang telah bersahabait baik dan cinta-mencintai dengan kami. Ia masih muda, seorang anak gadis yang cakap dan baik hati, yang telah meninggalkan kaum keluarganya, kampung halamannya dan pergi kemari mencari penghidupannya sendiri. Ia kerap kali datang kepada kami, dan tatkala saya menceriterakan maksud kami kepadanya, dengan segera ia sudi menolong kami dengan sedapat-dapatnya dalam segala hal. Lain dari pada diploma guru bantu, ia ada pula mempunyai diploma bahasa Perancis. Dengan segera ia pergi menanyakan kitab-kitab yang dipakai orang di Sekolah Normaal di Surabaya dan di Betawi untuk ujian guru bantu. Sekalian kitab-kitab yang ada padanya boléh kami pakai, dan kitab-kitab yang tidak ada padanya, akan kami terima dari nyonya dan tuan A.

Nanti saya mau pula membuat ujian dalam bahasa-bahasa Bumiputera, bahasa Jawa dan bahasa Melayu.

Tetapi sayang sementara itu datanglah penyakit menggoda kami, kalau tidak karena itu tentulah sekarang kami sedang asyik belajar, dan didalam sakit itu tidak dapatlah saya membuka kitab-kitab itu. Annie Glaser, itulah nama guru yang tersebut tadi, tidak berapa lama lagi akan pindah dari rumah makan kerumah lain disini. Kalau tempatnya nanti telah teratur, maka ia akan membantu kami atau saya sendiri bekerja. Adik-adikku yang malang itu tidak dapat dan tidak boléh lagi bekerja dengan tangan, apalagi bekerja dengan otak. Meréka itu tidak bersenang hati, bila ia tidak dapat mengerjakan barang sesuatunya; tetapi apa yang hendak dikata, tangan dan otaknya masih lemah. Apa pikiranmu mendengarkan sekalian maksud-maksud yang terbang tinggi itu?

Janganlah hendaknya engkau berkata: "Ni, Ni, pikiranmu terbang terlampau tinggi”, kalau demikian senanglah hatiku. Tahukah engkau apa yang telah saya perhatikan bagi kebanyakan sahabat-sahabat kami? Meréka itu mempunyai pengharapan terlalu banyak kepada kami. Meréka mengarangkan bermacam-macam kepandaian kami, tetapi meréka membenarkan pula yang kami tidak mempunyainya. Kadang-kadang kami harus tertawa, karena keriangan hati meréka itu. Pepatah Belanda yang mengatakan bahwa: cinta itu buta atau membutakan, sebenarnyalah. Sesungguhnyalah amat banyak pada sangka-sangka meréka itu sanggup boléh kami kerjakan! Kami merasa benar-benar kekecilan kami, apabila sahabat kenalan kami itu menganjungkan kami sampai kelangit. Kecil, tetapi, o, betapa terima kasih kami atas kesayangan meréka yang terbit dari hati kecilnya itu. Seorang sahabat kami suka sekali melihat saya bekerja dengan péna untuk meninggikan kedudukan kemanusiaan bangsa kami. Saya harus, katanya, mengeluarkan surat mingguan atau surat bulanan, yang isinya teruntuk bagi hal-ihwal anak negeri saja, dan pada surat kabar itu haruslah saya hendaknya yang menjadi juru-kabarnya; atau kalau tidak hendaklah saya menjadi pembantu surat-surat kabar atau surat-surat mingguan yang ternama di tanah Hindiia ini, dan dalam surat-surat kabar itu mestilah saya mengarangkan rupa-rupa hal, yang wajib membangunkan dan menyadarkan bangsaku yang masih tidur nyenyak itu!!! Tidak benarkah apa yang saya katakan tadi, yang cinta itu membutakan?

Jika saya telah mempunyai diploma guru bantu, tentulah saya wajib keluar rumah akan pergi belajar untuk mengambil diploma guru kepala dan pergi mengajar juga kesekolah. Akan menyampaikan maksud itu, saya telah mendapat izin dari sekolah-sekolah geréja di Betawi. Disitu nanti saya memberi pengajaran disekolah rendah, dan pembalas jasaku saya dapat pengajanan ujian guru kepala, dan lagi dapat rumah, makan, pertolongan dokter, serta pakaianpun dicucikan orang pula. Tetapi untuk itu belum ada waktunya. Mula-mula mesti diambil diploma guru bantu, dan kemudian............ datanglah waktu itu, datanglah pula akal!

Suatu kenang-kenangan yang amat merawankan hati akan bercerai dengan adik-adikku. Meréka itu tidak bersenang hati karena itu, dan sayapun demikian pula, lebih-lebih jika memikirkan kalau-kalau permintaannya itu diperkenankan. Tentulah ia akan jauh dari pada kami, jauh dinegeri orang. Beruntunglah karena ada kakak laki-lakinya disana, amat kasih kepada adik-adiknya, tidak ubahnya seperti saya. Kakak kami itu amat menyukai dan setuju dengan cita-cita kami, karena didalam cita-cita kami itulah didapatnya kembali cita-citanya sendiri. Kami telah membuat perjanjian yaitu, kalau ia telah tammat belajar, ia akan tinggal didekat kami, akan bekerja bersama-sama menyampaikan cita-cita kami itu!

Kami berbesar hati mendengar, yang ia bercita-cita juga seperti adik-adiknya perempuan. Hal itu tambah memberanikan hati dan meninggikan nafsu serta menolak kita kemuka, sungguh seperti kekuatan kegirangan dan kesayanganmu pula kepada kami. Adalah pula seorang anak muda, orang Eropa, yang kenal kepada kami karena bundanya sahabat kami. Ia bergirang hati dan bersukacita pula dengan maksud-maksud kami itu. Keriangan hati yang tulus dan kesukaan yang sungguh dari sahabat kenalan kami, jauh dan dekat, itulah yang menjadi suatu bantuan yang besar bagi kami. Bantuan kesucian hati itu amat berguna kepada kami! Berilah saya selalu bantuan itu, o, Stella!

18 October 1901 (VIII)

[sunting]

Kadang-kadang kejadianlah dalam hidup kami, seolah-olah sekaliannya berkumpul, akan mematahkan kekuatan hidup kami. Semuanya sama-sama tiba, guruh dan topan turunlah dengan hébat serta kencahgnya menimpa kami, seolah-olah ia berkata: "Sujud engkau, hai machluk yang hina, sujud sampai ketanah!” Hanyalah meréka yang keras hati dan tajam pikiran yang sanggup berdiri dalam angin topan yang sedemikian, dan yang dapat melawani kegalakan dan kekerasan kekuatan dunia itu.

Rupanya sekalian meréka yang keras hati dan tajam pikiranlah yang kerap kali didatangi oléh sesuatu hal yang dinamakan orang: "buruk nasib!” Bah, mengapakah saya berdukacita sekarang? Itu tentulah disebabkan karena saya dalam beberapa hari ini banyak melihat dan memandang kesengsaraan. O, diriku, orang yang hina ini, saya lekas menggigil dan gementar, jika saya seakan-akan merasa pukulan tongkat yang tiba dibadanku; bagaimanalah akalku akan meenyenangkan dan meriangkan diriku?

Nyonya tidak boléh meninggalkan tanah airku sebelum kami sekali lagi berjumpa dengan nyonya dan sebelum..........nyonya tahu, bahwa anak-anak nyonya ketiga ini.................beruntung, sebelum kami sebenar-benarnya mendapat kemenangan dari meréka, yang hendak merendahkan kami ketanah, dan mau menjadikan kami manusia yang bodoh dan tidak berharga. Tetapi kemauan meréka itu tiadalah akan lalu; meréka tentu dapatlah mematahkan hati anak-anak nyonya, tetapi membujuk kami sekali-kali tidak. Dengan pertolongan tu­an kedua, kami mesti sampai ketempat yang kami tujui!

Disini adalah tiga orang anak gadis, yang hatinya mencintai dan menyayangi tuan, serta setianya teguh kepada tuan, hati ketiganya sungguh-sungguh mempercayakan dirinya kepada tuan! Tentulah tuan tidak sekali-kali akan mening­galkan kami, bukan? Meskipun perantaraan yang menceraikan kita itu amat jauh, tetapi perantaraan itu mémanglah dapat diseberangi oléh kapal yang tangkas dalam beberapa pekan saja. Waktu ini, karena iapun akan datang jua, lebih baik tidaklah kami pikirkan.

Kami tidak dapat bersenang hati memikirkan, yang tuan akan sekian jauhnya dari kami, jauh yang tidak dapat kami capai lagi. Rukmini dan Kardinah telah bermaksud tidak akan memperhubungkan tali salatu'rrahim lagi; meréka tidak mau menyayangi orang lain lagi, lain dari pada tuan kedua. Adik-adikku yang gila, siapakah orang yang boléh mengatakannya lebih dahulu bagaimana hendaknya kemauan hatinya? cinta dan sayang datangnya tidak oléh sebab dipanggil; mau tidak mau cinta dan sayang itu mengikat hati kita dengan sekuat-kuatnya.

20 November 1901 (VIII)

[sunting]

Yang sebenarnya sekali-kali tidak boléh kita menjanjikan apa-apa, kecuali dengan dirinya sendiri, karena manusia itu tidak dapat mengetahui lebih dahulu, apa yang akan terjadi. Dengan hal yang demikian tidak adalah kita akan mengecéwakan hati orang lain. Bagaimana sekalipun tulus dan ichlas perjanjian itu, dan bagaimanapun kemauan hati kita hendak menepati janji itu, tetapi alangan yang tidak disangka-sangka, ump. sakit, boléhlah menghambat kita menepatinya. Bagi kami bangsa Jawa ada suatu kepercayaan yaitu sipat yang tiada menepati janjinya, ia nanti akan didatangi oléh ular weling namanya. ular itulah yang akan mengingatkan kepada meréka yang telah berjanji itu akan janjinya. Bila meréka tidak lekas menepati janjinya, maka datanglah pula kepadanya ular welang namanya, yaitu ular yang sangat bisa, yang gigitnya boléh membunuh. Bila hal itu terjadi, janganlah nanti menyesal, jika meréka masih enggan juga akan menepati janjinya, karena tentu adalah sesuatu kecelakaan yang akan menimpa meréka yang mungkir janji itu. Hal itu boléh kejadian bilamana orang berjanji di tempat-tempat keramat atau kepada orang keramat. Misalnya jika orang berjanjikan bunga, dupa, kenduri dll. kepada arwah orang-orang keramat. ular-ular itu ialah disuruh oléh arwah meréka akan mengingatkan orang, supaya menepati janjinya. Tetapi apalah gunanya saya menceriterakan kepercayaan orang Jawa kepada nyonya? Maaflah saya, sekalian itu teringat saja dalam hatiku sedang menulis.

Seharusnya saya kena marah, karena saya telah lama berdiam diri, hal itu terutama ialah karena kelalaianku. Saya tidak bersenang hati atas diriku sendiri! Apa sebabnya saya boléh menjadi semalas itu dan tidak ada bernafsu untuk bekerja, saya sendiripun tidak mengerti. Hanyalah yang saya ketahui, bahwa badanku ngeri-ngeri saja rasanya. Sakit benar-benarpun saya tidak, betul-betul séhatpun tidak pula, malas, segan, lelah dan jemu, kosong saja! — dukacita — itu dia!

Saya harus mengusahakan diriku dan bekerja banyak-banyak. Itulah yang sebenarnya; kerja yang berguna ada padaku, demikianpun kerja yang kucintai. Sekarang kebodohanku ialah: karena saya tidak boléh mendapat barang yang kukehendaki, maka merajuklah saya berpaling diri, dan duduk termenung-menung memikirkan sekalian hal itu. Semuanya itu mémanglah kelemahanku, kelemahan yang besar sekali. O, alang-alangan merusakkan diriku, yang setiap hari datang berulang-ulang, sangat melelahkan sendi anggota! Lebih baik saya dipukul dengan tongkat dari pada menanggungkan tusuk-tusukan jarum, yang tidak berhenti-hentinya itu. Dalam beberapa hari ini banyak benar penanggungan dan perasaanku. Urat-urat saraf saya menjadi tidak berketentuan jalannya, dokterpun mengatakan: "bekerja”. Sifatku yang manjapun meninggalkan saya, sekarang apa-apa yang telah timbul dikepalaku, tidak mudah saya hilangkan, mestilah saya pikirkan selalu.

29 November 1901 (VIII)

[sunting]

Kami tahu bahasa kabar yang diberitakan oléh suratku ini akan mendukacitakan hati tuan kedua. Tuan kedua tentu akan bersuka hati mendengar, yang kami sekarang telah menjadi sabar, meskipun kedudukan hal ihwal kami belum berubah. Sekarang dikalbu kami tidak gelap lagi, damai dan sentosa telah merayap disitu. Dalam gelap gulita itu kami melihat suatu badan yang amat bagus dan bercahaya-cahaya, sambil melambai-lambai kami dengan tangan yang ramah: hai cita-cita kami!

Sekarang tahulah kami benar-benar, bahwa hal itu tidak dapat kami jauhi lagi, ia telah menjadi satu dengan kami. Bercerai dengan dia menenggelamkan kami. Bukanlah hari ini, bukanlah pula kemarin saja kami telah memikirkan, merasai, menanggungkan dan hidup bersama-sama dengan hal keadaan kami itu.

Supaya kami boléh mengubah pikiran dan perasaan kami, hendaklah orang memberi kami hati yang baru, otak dan darah yang baru untuk tubuh kami. Siapa yang telah mengenal nyawanya yakni suatu benda yang hidup dalam tubuh manusia serta telah mendengar dan mengerti akan seruan nyawa itu meminta "cahaya” kemajuan, tidak dapatlah lagi melupakannya.

Apa yang telah nyonya tuliskan kepadaku, semuanya telah saya pikirkan, rasai dan cobai. Telah lama, lama dulu sebelum perjumpaan kita, telah beberapa kali saya katakan kepada adik-adikku, meminta dan memohon kepada mereka, melepaskan diriku, dan sedikitpun jangan hatinya bergantung kepadaku.

Apakah saya, siapakah saya, saya anak gila yang tinggi hati, apakah sebabnya maka saya sabarkan memandang dan membiarkan adik-adikku pergi bersama-sama dengan saya? Saya yang menjalani jalan-jalan yang ajaib dan belum dikenal, yang mulanya harus membawa saya kesurga, tetapi yang sebenarnya sekarang membawa saya kenaraka. Pergi kenaraka mémang lebih lekas dari pada kesurga, karena naraka itu lebih dekat dan mudah dicapai, tetapi surga amat jauh dan sukar didekati.

"Betul” kata adik-adikku: "Meski tuan sendiri, meskipun orang lain, tidak sangguplah memasukkan bermacam-macam perasaan dengan sempurna dan sampai tinggal diotak dan dikepala kami, jikalau sekiranya kami sendiri tidak telah ditakdirkan Allah akan mendapatnya. Biarlah kita sama-sama pergi kesurga ataupun kenaraka!”

Wahai, kekasihku yang setia, yang sebenarja tidaklah engkau yang belajar kepadaku hanya saya sejak dahulu sampai sekarang masih menjadi moëridmu. O, alangkah banyaknya yang telah engkau ajarkan kepadaku!

Dimanakah boléh jadi sekalian itu kalau sekiranya kami tiada sepikiran dan seperasaan? Sekaliannya, lahir dan batin bekerja bersama-sama menyatukan kami. Selama hidup kami selalu kami bersama-sama. Sebagian besar dari pada bilangan usia kami itu harus dibuangkan, karena waktu itu hidup percampuran kami, hanya rupanya saja yang baik; tetapi enam tahun yang kesudahannya amat besar harganya dan baik diperhatikan benar. Hati meréka yang telah sayang-menyayangi amat sangat, biarpun dalam sekejap mata, tidak dapat ia dilupakan; apalagi waktu yang lamanya enam tahun, selalu hidup dengan setia dan sepakat dan berkasih-kasihan. Keenam tahun itu sepuluh kali lebih harganya dari pada harga yang sebenarnya.

Setiap hari kami sama-sama melihat, dan sama-sama mendengar barang sesuatunya, dan sama-sama pula memperkatakannya. Dalam segala hal kami sepikiran, sekesukaan dan seperasaan. Kami membaca surat-surat kabar, surat-surat bulanan dan kitab-kitab yang sama dan serupa. Kami perkatakan, paparkan dan bertukar pikiran tentang segala hal yang telah kami baca. Orang-orang tua kami bergirang hati melihat kami sepakat, serta memberanikan hati kami benar-benar, supaya tiap-tiap buah pikiran itu, bukannya diperkatakan saja, tetapi lebih-lebih harus diperbuat dan dilakukan juga. Kesukaan hatinya atas sepakat kami itu amat besar, sehingga orang-orang tua itu kadang-kadang telah berlaku yang kurang adil kepada orang-orang lain, karena hendak melebihkan kami bertiga dari pada meréka itu.

Betul-betul suatu adat yang amat siallah, perkawinan pada bangsa kami terjadinya tidak dengan setahu si anak gadis. Kalau seorang perempuan akan kawin, yang berguna ialah izin dari bapa, paman atau saudara yang laki-laki perempuan itu. Apabila tunangannya akan menjabat kabul, sekali-kali tidak guna dihadirinya. Hanyalah diminta ia datang menghadiri itu, kalau ia tiada berbapak, berpaman atau bersaudara laki-laki.

Meréka yang melindungi kami boléhlah mengawinkan kami dengan siapa yang disukainya, dan hanyalah dalam suatu hal saja orang tua kami tidak boléh memaksa kami kawin, yaitu apabila si laki-laki itu bangsanya kurang dari pada kami. Ibu bapa tidak boléh memaksa anak-anaknya perempuan kawin dengan laki-laki yang kurang bangsanya dari pada bangsanya.

Itulah suatu senjata kami yang boléh melawani kehendak meréka yang melindungi kami itu.

Untuk sesuatu perkawinan, yang perlu hanyalah si laki-laki yang menjadi tunangan dengan bapak atau paman atau saudara laki-laki si gadis pergi kepada penghulu atau orang lain, disitu dikawinkanlah si laki-laki itu, biarpun hal itu sekali-kali tiada disukai oléh si gadis itu. Ia mesti kawin, bila orang tuanya telah menyukakan.

Mamak adalah mengenal seorang perempuan yang tidak mau dikawinkan. Lebih baik ia mati, dari pada dikawinkan dengan laki-laki yang telah diuntukkan orang tuanya baginya. Allah, Tuhan yang pengasih, tiga bulan lagi ia akan dikawinkan, maka nyawapun melayanglah, karena penyakit koléra. Bila ia masih hidup tentulah orang tiada akan mengindahkan bantahan si gadis itu; sungguhpun ia tidak suka, tentulah ia mesti dikawinkan juga. Hal itu bukannya keadaan baharu, dari dahulu adalah juga anak-anak gadis yang melawani perkawinan meréka itu.

Senantiasa orang mengatakan ketelinga kami, bahwa kami harus menurut saja segala yang dikatakan orang tua kami kepada kami. Dan demikianlah pula kata orang kepada seorang perempuan muda, mestilah menyerahkan diri kepada laki-laki yang jadi suaminya dan menurut segala perintahnya, sebab itu si perempuan merasa dirinya celaka dengan laki-laki itu: "Kosong, banyak tingkah, mengapakah maka perempuan itu mau kawin? Bila orang telah kawin, tandanya ia telah mendapat kesukaannya.” jika si perempuan menurutkan suaminya, mémanglah sebab kesukaannya; tentang apa-apa yang disukai, tidakboléh mengumpat.

Tatkala saya menerima surat dan dua buah karangan tuan kami telah siap akan pergi menghadiri suatu alat kawin. Bukanlah adatnya, anak-anak gadis pergi kealat yang seperti itu, dan duduk bersama-sama dalam perkumpulan yang demikian, tetapi meskipun demikian mama' telah mengizinkan kami pergi kesitu. Seorang perempuan sahabat lama kami bunda anak dara, meminta kami dengan seboleh-boléhnya menghadiri peralatan besar itu, karena kedatangan kami disitu, katanya menjadi suatu "kehormatan bagi meréka itu; kalau tidak demikian, kami dengan segala sukacita akan tinggal di rumah. Waktu kami hendak berangkat telah kami lihat perarakan mempelai pergi kemesjid. Hujan waktu itu sangat lebatnya; keréta tempat mempelai duduk bertutup, demikian pula keréta lain yang mengiringkannya Payung-payung keemasan yang beragi-ragi telah meléwati alun-alun. Perarakan itu rupanya amat muram, kamipun menaruh kasihan melihat hal itu. Karena perarakan pengantin itu rupanya seakan-akan perarakan orang mati.

MESJID DI JEPARA.

Waktu kami sampai kerumah anak dara itu, kami dapati si anak dara itu sedang duduk dengan sikapnya di atas suatu kedudukan yang bernama dalam bahasa Jawa "kwade", menantikan mempelai yang masih ada dimesjid. Bapaku pergi pula bersama-sama dengan kami dan rupanya amat pucat! Kasihan, bapaku yang malang itu!

Kami duduk di atas tikar dekat pintu, ma' di antara adikku kedua. Bau dupa dan bunga-bungaan memenuhi bilik anak dara tempat kami duduk itu. Bunyi gamelan dan suara yang lemah lembut datang dari luar masuk ketelinga kami. Dalam hal itu saya pandangkanlah mataku kepada anak-dara, kemudian kepada anak gadis yang duduk dekat saya, dan setelah itu kepada bapak yang sedang duduk diluar. Gamelan berbunyilah berlagu selamat datang, dan mempelaipun datanglah.

Dua orang perempuan memegang tangan anak-dara dan membawa serta membimbing dia pergi menyongsong mempelai itu, yang dibimbing pula oléh dua orang datang mendekati anak-dara. Beberapa langkah antaranya, maka anakdara dan mempelai masing-masing melémparkan sirih bergulung, beberapa langkah lagi meréka itupun berdekatanlah, dan keduanya duduklah berlutut bsrhadap-hadapan di atas tikar. Dengan lutut anak-dara itu pergilah mengingsutingsutkan dirinya mendekati mempelai itu dan menunjukkan kerendahannya kepada mempelai itu dimuka orang banyak. Setelah mempelai itu dekat benar, maka anak-dara itu menyembah dan kemudian mencium kaki mempelai itu dengan sabarnya. Sekali lagi menyembahkan sembah yang menyayukan hati itu, lalu berdiri keduanya berpegang-pegangan tangan pergi kekursi kayangan yang jahat itu, serta duduk lah disana.

"Yu, yu," bisik Kardinah ketelingaku dengan matanya yang bercahaya-cahaya dan gerakan yang jenaka dimulutnya: "Wah, alangkah sukaku kalau dapat melihat pengantin yang bertemu itu masing-masing tersenyum-senyum dan melémparkan sirih dengan mata yang gembira. Tentulah pengantin yang sedemikian itu, ialah meréka yang masuk kaum muda, yang telah berkenalan dengan isterinya itu lebih dahulu. Alangkah bagusnya jika begitu, bukan, yu? Boléhkah nanti terjadi sedemikian itu? Saya suka benar melihat keadaan yang serupa itu."

"Waktu yang sedemikian, tentulah akan datang juga," jawabku dengan lekas dan tersenyum-senyum, tetapi dalam hatiku, o, hatiku ketika itu seakan-akan ditikam dengan keris.

Dan disisiku yang sebelah lagi duduklah adikku Rukmini dengan mukanya berseri-seri dan matanya bercahaya-cahaya!

Sesudah saya memandang seorang muda yang bersikap halus, yang duduk disebelahku itu, maka pemandangankupun jatuhlah kepada seorang yang kukuh badannya lagi besar, yang sedang duduk dilingkungi oléh kepala kepala negeri. Kebetulan waktu itu orang itu menéngok kepihak kami. Saya lihat muka orang besar itu pucat dan muram. Penglihatan itu menyedihkan hatiku pula. O, apakah sebabnya maka demikian? Sebabnya? beginilah seruan dalam hatiku, dengan putus asa dan kecéwa.

Esok harinya saya ambillah sebuah kitab, sembarang saja hendak saya baca untuk merintang-rintang hatiku. Saya bukalah kitab itu, dan apalah kiranya yang terbaca oléhku? Ialah "Gebed van onwetende” (Doa orang yang tidak ber'ilmu), karangan Multatuli. Pada beberapa hari yang lalu terambil pula oléhku, sebuah kitab karangan Multatuli juga, dan saya buka pula kitab itu, maka terlihatlah oléhku bermula sekali "Thugater.” Sampai sekarang masih mendencing ditelingaku segala kata-katanya: "Bapak, katakan kepada si ga­dis, bahwa mengetahui, mengerti dan berkehendak semata-mata dosalah kepada anak perempuan.”

Penulis yang ternama itu tentulah tiada menyangka-nyangka, tatkala ia menuliskan kata-kata itu, bahwa kata-kata itu akan dirasai sungguh sungguh akan kebenarannya oléh anak-anak perempuan bangsa Bumiputera, bangsa yang disayanginya dan dikasihinya itu, dan lagi karena bangsa itulah maka pengarang itu berperang, ya, berperang dengan hébatnya.

Kamipun tahu juga seperti Barthold Meryan, apakah yang akan menantikan kami, apabila kami selalu tinggal sujud, dimuka mimbar cita-cita kami yang suci dan mulia, yakni mimbar yang hanyalah bersendikan onggok-onggok batu, yang asalnya rumah dari rumah tua yang terbuat dari pada segala benda yang sesuci-sucinya dan sebagus-bagusnya di atas dunia ini.

Adalah seorang perempuan bangsa orang kebanyakan menjadi isteri yang kedua dari seorang pegawai. Isterinya yang pertama kegila-gilaan lari meninggalkan suaminya dan beberapa orang anaknya pada suaminya itu. Isterinya yang kedua itulah yang menjadi isteri yang sebenarnya bagi pegawai itu, ia telah menjadi bunda yang pengasih, lagi hati-hati menjaga anak-anak tirinya itu; ia sangat rajin dan bekerja keras untuk menambah gaji suaminya, supaya dapat memberi anak-anak tadi pendidikan yang baik. Anak-anaknya yang laki-laki semuanya menjadi ,orang baik-baik, ialah karena usaha ibu tiri itu. Sekarang datanglah rahmat terima kasih dari suaminya kepadanya. Pada suatu hari pergilah suaminya kekota dan waktu larut malam barulah ia pulang. Pegawai itu lalu memanggil isterinya keluar, karena adalah seorang jamu datang bersama-sama, yang harus dijagainya, dan harus diberinya sebuah bilik untuk jamu itu dll. Tatkala isterinya itu tiba diluar, maka tampak oléhnya bahwa jamu itu ialah seorang perempuan muda. Dan tatkala itu............... tatkala itu suaminya menceriterakan kepadanya, yang jamu itu............... ialah isteri mudanya dan dia isterinya yang tua, haruslah hingga ini keatas hidup bersama-sama dengan perempuan itu.

Héran serta tercengang, berdirilah ia mermandang suami­nya, karena tidak mengerti akan perbuatan si laki itu; tetapi sesudah kebenaran yang sangat pilu masuk kedaliam hatinya, maka iapun jatuh pingsanlah dan tiada berkata-kata. Setelah ia sadar akan dlirinya, sebentar itu juga ia meminta cerainya. Mula-mula suaminya itu tidak mau mendengarkan hal itu sedikit juapun, tetapi isterinya itu menyesakkan dan memaksanya, sehingga suaminya akhirya téwas, lalu memberi isterinya surat yang diminta itu. Malam itu juga ia keluar dari rumah itu berjalan kaki, melalui hutan rimba, semak belukar pergi kerumah orang tuanya di kota. cara bagaimana ia sampai kesana tiadalah diketahuinya. Ketika ia telah pandai berpikir lagi, maka iapun tahulah bahwa ia sekarang di rumah kaum keluarganya, dan meréka itu mengatakan kepadanya, bahwa ia telah lama sakit terbaring.

Kemudian ketika ia telah sembuh benar, maka dibacanyalah surat yang diterimanya dari suaminya pada tengah malam perbantahan dahulu; rupanya ia belum bercerai dengan suaminya. Karena isi surat itu hanyalah menerangkan yang ia lari dari suaminya itu.

Suaminya itu sekali-kali tiadalah bermaksud hendak mengembalikan kebébasan isterinya itu. Kemudian ia berbaik kembali dengan suaminya itu. Perempuan yang lain itu keluarlah dari rumahnya, dan pergi diam kerumah yang lain. Isterinya yang tua dalam hal itu mendapat kekuasaannya yang lama kembali. Pada tengah malam perbantahan itu ia bersumpah dengan nama Allah, sambil menelan pasir, yang ia sekali-kali tidak akan menolong meréka yang hendak merusakkan hak orang lain. Waktu kecilnya ia telah bersumpah demikian itu. Orang tuanya teiah mengawinkannya ketika ia ber'umur empat belas tahun. Ia dahulu tidak tahu apa yang akan dibuatnya, ia hanya menurut kata orang tuanya, dan.......... sebab itulah ia sekarang mendapat hukumannya. Sekarang ia tahu betapa kesakitan api naraka, bila seorang perempuan diusir oléh seorang perempuan yang lain, isteri suaminya yang baru. Ia selalu setia akan sumpahnya itu. Belum berapa lama ini suaminya mengawinkan adiknya perempuan dengan seorang laki-laki yang teah beristeri. Ia sekali-kali tidak suka mengunjukkan tangannya menolong perkawinan itu dan ditahannyalah kemarahan suaminya. Peralatan itu tiadalah dirumahnya dikerjakan orang. Kami tahu benar kepada perempuan itu dan sangat menghormatinya. Hidupnya seperti sekarang, sekaliannya ialah karena usahanya sendiri. Ia telah bekerja sendiri meninggikan kedudukan kemanusiaannya. Dari kecilnya tidak ada yang dipelajarinya, hanyalah ia belajar membaca saja dan lapun telah membaca bermacam-macam kitab dengan berhasil. Kerap kali kami héran mendengarkan bicaranya yang menyaksikan kepada kami, bahwa ia menaruh pikiran yang dalam dan berotak yang tajam. Ia betul-betul seorang perempuan yang ajaib (tentulah ada lagi perempuan-perempuan yang lain, yang seperti itu) yang tidak sedikit juga belajar dan tidak jauh pemandangannya, tetapi pandai berpikir dan merasa seperti kami. Sahabat kami itu telah banyak penanggungannya yang amat dahsyat. Sebagai penanggungannya itu bukanlah ia seorang sahaja yang menanggungkan itu, tetapi banyak lagi perempuan-perempuan yang lain, yang telah menanggung seperti dia itu. Dimanakah saya dapat berhenti menulis, jikalau saya selalu menceriterakan kepada tuan sekalian penanggungan dalam dunia perempuan Bumiputera? Siapa yang tidak buta matanya tidak pekak telinganya, tahulah ia betapa penanggungan itu didalam alam kami. Hélakan hati kami dari dalam tubuh, dan otak dari kepala kami, jikalau sekiranya sungguh-sungguh orang hendak mengubahi nasib kami.

Beberapa antaranya sebelum nyonya mengirimkan kepadaku buah pikiran Sangwill yang keluar dari kitabnya: "Droomen van het Ghetto” (Mimpi-mimpi dari tanah Ghetto), maka Rukminipun telah mengeluarkan juga pikiran. yang hampir serupa dengan itu, sungguhpun kata-katanya itu tidak sebagus itu benar. Pada suatu hari kami sedang memakan kué bolu dan kué yang lain-lain, adikku itu datang dan mau pula sedikit. Ketika itu tidak ada tersedia piring yang bersih, dan Kardinahpun berkata: "Makanlah dalam piring yu, yu, dan boléhlah engkau nanti pandai seperti dia pula.” Rukmini menjawab dengan tangkasnya: "Tidak, saya tidak suka, biarlah saya tinggal bodoh. Pandai itu bukanlah untung bahagia bagi tiap-tiap orang. Pandai ialah celaka bagi seorang yang tajam pikiran, tetapi ia tidak sanggup melakukannya. Dan lebih celaka lagi, apabila kita dapat merasa bahwa kita cakap dan mau; tetapi tidak boléh mengerjakannya. Biarlah saya tinggal bodoh." Dalam kata-kata itu tersembunyilah seruan yang memutuskan pengharapan.

........................................................................................................................................

Pada suatu hari saya bersandar didindling dengan tiada bergerak-gerak, karena kesedihan hati: waktu itu mata saya membelalak, tetapi tidak dapat melihat, memandang terus keudara, dan pada telingaku terdengar suara yang menyedihkan hati, suara yang membawa hatiku ketempat kebenaran. Bapakpun melindungi saya dengan tangannya memangku saya, dlan iapun menghiburkan hatiku, tetapi mukanya dipalingkannya melihatku. Hal itulah suatu seruan yang sedih dari hati yang luka, yang berkata dengan gementar: "Ah, bukan, bukannya begitu, Ni, bapak bermaksud akan mempercakapkan hal ini dengan orang lain, sabarlah dahulu!"

"Sétan iblis," teriak dalam hatiku, "mengapakah engkau suruh bapakku menanggung seperti itu, jahanam?"

Dengan tangannya memeluk saya, pergilah saya dengan bapak keserambi belakang mendapatkan orang lain-lain yang ada disana.

Suatu perasaan yang amat pilu terasalah diseluruh tubuhku!

O, bapakku, mengapa tuan tidak mendengarkan suara hati tuan sendiri dan tidak mau mengikutnya? Mengapa tuan mau mendengarkan suara orang lain? Mengapa orang lain, orang yang tidak sedikit juga berhati baik kepada kami, yang tiada mengindahkan kami dipanggil memperkatakan perkara ini, perkara yang wajib diputus d!an diselesaikan oléh tuan sendiri, sedang orang yang bersangkutan dalam perkara ini hanyalah ia meminta suara tuan saja!

O, cukuplah suatu perbuatan, cukuplah suatu perbuatan yang berani saja, dan tanah yang ternganga yang hendak menelan kami itu, tentulah tadi boléh tertimbun!

Bapak mengatakan cita-cita kami bagus dan mengiakan, yang kami senantiasa beringin akan 'ilmu dan keadilan. Hal itu bukanlah main-main, tahun yang lalu bapak telah mengizinkan kami, boléh bekerja mencari penghidlupan untuk tegak sendiri. Sekalian itu mengasut pikiran kami menjadi huru hara, bila kami pikiri mengapakah maka kami selalu dianiaya dan mengapakah maka kami harus surut kembali? Mengapakah maka kami direndahkan serta dihinakan sedemikian? Lain tidak karena bicara meréka, yang cemburulah maka kami dibuat demikian.

Oléh karena itulah maka karni harus meninggalkan cita-cita kami, supaya dapatlah kami menyenangkan hati orang banyak yang cemburu itu. jika hal itu perlu, ya, sungguh amat perlu, yang kami mesti meninggalkan cita-cita kami itu, ya, tentulah wajib kami buangkan; tetapi hal itu sebenarnya bukan begitu, sekaliannya berputar pada suatu sumbu, dan sumbu itu ialah pikiran orang banyak. Oléh sebab itulah maka hal itu semuanya menjadi rusak! Sekalian hal itu harus kami kurbankan.

Orang banyak itu tentulah akan berkata ini dan itu, kalau kami membuat sesuatu yang kami sukai. Siapakah orang banyak itu? Bah, oléh karena orang banyak itu, haruslah rupanya kesukaan kami dihambat dan dimatikan, dan kami wajiblah kembali kedunia yang gelap gulita?

Bila kami memikirkan sekalian hal itu, maka darah kamipun mendidihlah.

Kesayangan meréka yang memakai pikiran alam yang luas, mémanglah banyak harganya, ya, hal itu benar sekali. Kami tahu benar betapa besar hati meréka itu, bila kami dipuji dan dikasihi oléh meréka yang terpelajar dan pandai-pandai, tetapi gelak senyum meréka yang bodoh, manusia yang ba­nyak di atas dunia ini, rupanya amat banyak dihargai orang, lebih dari pada pikiran yang tersisip dihati. Dapatkah kiranya kami menyabarkan hati kami dalam hal itu?

Telah banyak diperkatakan dan dikarangkan orang tentang kemajuan kaum keluarga kami, yakni kemajuan keturunan conderonegoro. Nénékanda telah lama meninggal dunia, tetapi namanya masih hidup, betapa hormat dan kasih orang yang tahu akan dia menyebut nama marhum itu, atau yang mendengar ceriteranya. Nénékandalah yang pertamatama sekali membei'i anak-anaknya laki-laki dan perempuan pendidikan bangsa Eropa. Nénékanda ialah seorang yang menebas jalan, ia seorang yang tinggi pikiran.

Sebab itulah maka tidak adalah hak bagi kami akan menjadi bodoh.

Bapakku seorang yang dimalui dian dihormati bangsa Eropa dan oléh bangsanya sendiri, apakah sebabnya? Seorang regénpun tidak adalah yang diambil oléh bapak menjadi menantu, tetapi bapak menjadikan anak-anaknya laki-laki dan perempuan orang yang berpikiran. Itulah kebaikan, yakni kebaikan yang menyebabkan bapak dipandang dan dihormati oléh orang banyak. Kehormatan dan kesayangan meréka yang berpikiran tiadalah akan berkurang-kurangan, tetapi selalu akan bertambah, apabila bapaku menghiasi pekerjaannya dengan memberi kami izin meinyampaikan cita-cita hati kami yang dibangunkan oléh bapakku sendiri. Tetapi sayang tertawa orang banyak, yang tidak mengerti itu, itulah yang lebih berharga, o, Allah!

Pendiidikan kami samalah dengan suatu komidi, karena maksudnya hanyalah keindahan saja. Kami wajib senantiasa tinggal bercahaya-cahaya, biarpun karena mengenakan intan permata, ataupun mengenakan intan lancung rupa-rupanya. Hal yang seperti itu tidak boléh menjadikan kami berkecil hati; demikian juga dalam dunia yang telah kami kenal, yang memandang tinggi sekalian yang pura-pura. Malang, malang, karena kami anak-anak yang menyayangi kebenaran, lebih kami sayangi dari pada raja yang berkuasa, yang bernama: "Pura-pura itu." Kamipun terpaksa akan bermain komidi pula, komidi, yang mewajibkan kami mempermainkannya, ialah untuk meninggikan hati kami ka­rena kami tidak mau memperlihatkan luka dan kesedihan hati kami kepada orang banyak.

31 December 1901 (VIII)

[sunting]

Kami tidak suka lama berlayar dengan kapal yang telah rusak binasa itu. Patut benar dikerjakan sungguh-sungguh akan pengubah perkara yang buruk itu. Alangkah besar hati kami, kalau orang pandai-pandai memikirkan hal itu. Kerap kali saya berbicara dengan isteri-isteri kepala negeri dan perempuan-perempuan dikampung tentang hal kemerdékaan, membanting tulang sendiri serta dengan jerih, peluh, mencahari penghidupan bagi anak gadis Bumiputera, dan putuslah pikirannya begini: "Haruslah ada seorang, yang akan memberi contoh." Kami percaya sungguh, sekiranya ada seorang yang berani memulai pekerjaan itu, banyaklah orang yang akan menurutnya. Sebenarnyalah pekerjaan itu bukan pekerjaan yang sia-sia. Pokoknya asal: seorang maju kemuka, dan yang menurutinya orang-orang baik dan sejati. Sekarang yang seorang menanti yang lain: tidak seorang juga yang berani mula-mula, yang pertama membuatnya: orang-orang tua nanti-menantikan. Siapa yang berani sungguh-sungguh akan mengasuh anaknya perempuan, supaya menjadi perempuan yang merdéka, tahu berdiri sendirinya? Kami kenal se­orang gadis anak regén, yang se'umur dengan kami, yang juga berhati gembira untuk kemerdékaan. Ia suka benar hen­dak menambah pengajarannya, lagi pandai berbahasa Belanda dan telah banyak kitab-kitab yang dibacanya. Ia seorang ga­dis, anak regén Kutoarjo: ada dua orang anaknya perem­puan, yang amat baik budi bahasanya. Kami amat sayang kepadanya. Saya tahu dari seorang sahabatku, seorang guru perempuan, bahwa anak gadis regén itu yang tua, suka benar hendak belajar lebih lanjut. Dari guru perempuan itu sendiri saya dengar, bahasa anak gadis itu suka benar hendak melihat tanah Eropa. Anak gadis yang kedua, seorang anak, yang bagus dan cantik. Beberapa tahun yang lalu, ia menumpang di rumah kami. Ketika ia kembali kerumahnya, segeralah ia belajar menggambar dan sekarang amat pandai ia. Ayahnya berkata, bahwa pertolongan besar bagi laki-laki, sekiranya perempuan terpelajar. Dihargainya benar perem­puan yang beradat baik dan terpelajar. Kamipun telah bercakap-cakap dengan anaknya yang telah kawin. Sungguhpun ia tiada pandai berbahasa Belanda, tetapi pandai berbincang dalam segala hal, dan ia juga suka akan kemerdékaan sebagai perempuan Eropa. Itulah niat dan kenang-kenangannya, supaya Bumiputera Hindia merdéka sebagai bangsa Eropa.

Ada pula anak regén kemari dahulu, anak gadis dari tanah Sunda, yang tidak tahu berbahasa Jawa, tetapi bercakap-cakap dengan kami dalam bahasa Belanda.

Pertanyaannya yang pertama kepadaku: "Berapa orang ibumu?" sayapun melihatnya dengan sedih hati. (Ia dipeliharakan di rumah orang Belanda). Sudah itu ia menyambung perkataannya (janganlah pembaca terkejut): "Ibuku 53 orang banyaknya dan anak bapak kami 83 orang. (Bacalah sekali lagi delapan puluh tiga). Saya tidak kenal akan saudara-saudaraku yang laki-laki dan perempuan semuanya. Saya anak yang bungsu, ayahku tiada pula kukenal, karena ia telah meninggal dunia sebelum saya lahir. Tidaklah hal itu menyedihkan hati yang amat sangat?"

Pada beberapa tempat diresidénsi Priangan, anak-anak gadis bangsawan dapat memilih, dan kebanyakan meréka itu kenal akan jodohnya. Anak-anak muda disana kenal seorang dengan yang lain, dan bertunangan sebagai adat Eropa. Itulah tanah yang berbahagia, tetapi, tetapi............! Disana adalah seorang anak gadis, cucu tunggal dari seorang regén (orang tuanya telah mati). Ia telah menerima pemeliharaan dan pendidikan yang baik. Menurut pengajaran yang diterimanya, ten tu ia anak yang berkepandaian yang tiada tepermanai: ia berpidato, dll. Ia bertunangan sebagai adat-adat Belanda dan kawin dengan seorang — yang beristeri banyak dan telah mempunyai anak satu pasukan. di antara anaknya itu; ada yang telah balig. Saya telah berkenalan dengan menantunya, seorang perempuan yang pandai berbahasa Belanda, ibu oléh seorang anak yang ber'umur dua tahun; ketika itu perempuan itu ber'umur 17 tahun — setahun dua lebih muda dari pada isteri mentuanya yang laki-laki. Ia sendiri telah memilih suaminya itu, katanya kepadaku bahwa hidupnya amat beruntung.

........................................................................................................................................

Buah pikiran dalam segala hal yang telah kupikirkan dan kurasai tentang perkara yang buruk-buruk, yang harus dihapuskan dari alam perempuan Islam, telah lama hendak kusiarkan. Pikiranku hendak mengeluarkan sebuah kitab, yang menceriterakan dua orang anak regén, seorang perem­puan Sunda dan seorang Jawa, berkirim-kiriman surat. Telah beberapa pucuk surat sudah kutulis akan jadi pendahuluan kitab itu, dan lagi banyaklah pula kubuat peringatannya. Kenang-kenangan itu tiadalah akan saya buangkan, meskipun pekerjaan itu baru beberapa tahun lagi dapat kusudahkan. Maksud itu tiada akan saya hilangkan, apalagi karena saya tahu, bahasa tuan bermaksud begitu pula. Kesusahan yang besar ialah karena bapak tidak mengizinkan saya menyiarkan karang-karangan itu. "Saya pandai berbahasa Belanda itu bagus," kata bapak; "tetapi kepandaian itu tidak boléh saya pergunakan akan menyatakan pikiranku."

Kami anak perempuan tidak boléh mengeluarkan pikiran, kami harus mengatakan, ya dan amin saja, kami harus membenarkan apa yang dikatakan orang baik bagi kami. Beberapa tahun yang telah sudah, adalah seorang penulis bangsa Be­landa, yang kukasihi, juru kabar dari sebuah surat kabar untuk perempuan, tempat saya berkirim-kiriman surat, meminta kepadaku akan menyiarkan surat-suratku dalam su­rat kabarnya. Dalam surat itu saya ceriterakan seperti hal yang tersebut di atas. Boléh jadi, kalau hal yang begitu disiarkannya, akan mengajak ahli pikiran mengeluarkan pikirannya, dan dengan hal itu boléh pula akan memperbaiki pikiran itu. juru kabar itu akan merahsiakan benar-benar: nama saya, tempat tinggal, dll. Sekalian hal tentang dirikupun akan disembunyikannya, dan hanyalah fasal adat istiadat yang akan diwartakannya. Surat karangan itu dikirimnya ke Jawa, supaya bapak dapat memikirkannya. Bapak tidak sudi memperkenankan — nantilah............??............Saya tahu apa artinya kata nanti itu, nantikan kalau saya tiada berbahaya lagi, kalau namaku Radèn Ajeng berganti dengan Radèn Ayu. Encik sitti si pengarang itu meminta beberapa kali lagi, tetapi (selalu) tidak boléh.

Baru-baru ini ia merundingkan pula perkara itu sekali lagi. nyonya Ter Horst, pengarang dan yang mengeluarkan surat kabar untuk perempuan Hindia "de Echo", menyediakan tempat disurat kabarnya untukku. nyonya itu tahu benar dan melihat dengan mata sendiri bagaimana kehidupan perempuan Bumiputera, dan ia merasa kasihan akan gadis-gadis bangsawan di jokja dan di Solo. Surat kabar itu disiarkannya kemana-mana, menjadi anugerah kepada yang suka. Diajarnya saya mengarang percakapan antara dua orang perempuan anak-anak regén. Apa yang patut dirahsiakan, akan ditanggungnya. juga ceritera yang boléh mempeibaiki kehidupan bangsa baik juga dikarangkan. Saya bacakan surat itu kepada bapak, lalu dapatlah izin: tetapi sebelum saya sempat mengarang apa-apa, izin itu ditarik kembali. Belum boléh saya mengeluarkan buah pikiranku ............sekali lagi bapak berkata............nantilah.

Tuan Bus di Probolinggo berkirim surat kepada bapak, dan meminta pertolonganku untuk surat kabamja yang bernama_: "de Nederlandsche Taal" yaitu surat kabar untuk Bumiputera. Permintaan itu adalah dikabulkan. Tuan Bus meminta karanganku tentang: "Pengajaran untuk anak perempuan Bumiputera", "Apa-apa tentang kepandaian Bumi­putera" dan "Suatu peraturan anak negeri yang berpaédah."

Ketika itu kami pergi ke Betawi. Lagi pula banyak perkara yang mengganggu saya mengarang, hari ini saya mau menulis karangan itu, tetapi bésok tiada lagi, sehingga akhirya putuslah harapanku, dan kertas-kertas itupun kucabi'klah. Alangkah bodohnya pekerjaanku itu. Sekali-sekali saya keras kepala dan marah sebagai ini, karena itu putuslah harapanku. Saya hanya boléh menulis karangan yang tiada berarti saja, perkara yang sukar-sukar tidak boléh saya ganggu.

Ketika itu saya bei'pikir: jikalau saya mengarang perkara yang penting-penting, tentulah sekalian Bumiputera akan jadi musuhku, dan sekiranya saya jadi guru, siapakah yang akan menyerahkan anaknya kepadaku? Tentulah saya dikatakan orang gila. Sungguhpun demikian ingin benar hatiku akan memperkatakan segala hal itu didalam surat-surat kabar. cobalah pikirkan, sekolah jiug tidak ada bermurid-— guru-guru yang tiada bermurid— tetapi harapanku masih teguh. Kami harus mencari akal dahulu, bagaimana akan dapat terus belajar. Baiklah bapak kami bujuk akan membantu permintaan kami kepada tuan besar Gubernur-jenderal.

Tidak baiklah kami lekas bergirang hati mengatakan, bahwa permintaan kami itu akan dikabulkan. ya Allah, kalau tiada diperkenankan, bagaimanakah nanti? Hanyalah sebuah jalan untuk kami yang terbuka, yakni: baik menjadi dukun beranak. Tentulah kami harus menghapuskan peringatan, yang maksud kami hendak menjadi contoh dan pedoman itu: tentoalah kami hanya sanggup menolong manusia kadar beberapa orang saja, tetapi itupun baik juga, lebih baik dari bekerja ditoko atau di rumah obat umpamanya, karena dalam pekerjaan itu tentulah kehidupan kami kosong, tiada berharga. Tentulah hidup sedemikian untuk diri sendiri, tetapi kami suka hidup untuk tanah air, dan mauyah kami mengurbankan diri untuk keselamatan kemanusiaan yang seperti kami cintai itu.

Telah banyak saya dapat keterangan tentang sekolah dukun beranak di Amsterdam. Disana orang boléh belajar dengan tiada membayar. jikalau kami hendak pergi kesana, tentulah harus meminta pertolongan tuan Prof. Hector Treub. Anak negeri bangsa kami kelak dapat membédakan, dimana kami telah belajar menjadi dukun beranak itu. Tiadalah meréka itu akan menghinakan kami, jikalau sekiranya kami belajar di Eropa.

Belajar disana dua tahun lamanya. Bagaimanakah akal kami akan dapat pergi ke Eropa? tidak tahulah kami, tetapi kami harus mencari akal dahulu. tidaksuka kami membuang maksud itu, sebelum sekalian ichtiar, yang boléh kami harap akan menyampaikan maksud kami, kami coba menjalankannya. ............................................................................................................................................

Wahai, alangkah baiknya, kalau dapat kami berkenalan dengan anak-anak muda bangsa kami yang telah terpelajar, dan yang mencintai kemajuan, seperti Abdul Rivai dll. Alangkah baiknya kalau dapat kami mengambil hati meréka itu akan menolong memajukan maksud kami yang mulia itu. Adóeh, apabila gerangan waktunya anak-anak muda, laki-laki dan perempuan, dapat bercampur gaul seperti bersaudara yang sama haknya?

Seperti sekarang didalam dunia bangsa Bumiputera, bah! bukan buatan rasanya kami perempuan-perempuan dihinakan, selalu, setiap hari!

Désa ciputri dekat Pacet (Priangan).
  1. Tuan Adriani, bukannya doktor orang, tetapi doktor bahasa-bahasa tanah Hindia.
  2. Nona E. van Loon.
  3. yaitu Dr. H. Bervuts.