Manajemen Lalu Lintas/Retribusi pengendalian lalu lintas
Manajemen lalu lintas |
---|
Pendahuluan |
Definisi: Lalu lintas · Manajemen lalu lintas • Permasalahan lalu lintas • Prinsip pengendalian lalu lintas |
Keselamatan lalu lintas |
Penegakan hukum • Keselamatan lalu lintas • Pembatasan Kecepatan • Pelambatan lalu lintas • Tempat istirahat |
Manajemen Prioritas |
Prioritas angkutan umum Jalur bus • Bus Rapid Transit • Fasilitas pendukung |
Manajemen Pembatasan |
Pengendalian kendaraan pribadi • Retribusi pengendalian lalu lintas • Pengendalian parkir • Sel Lalu Lintas |
Manajemen Kapasitas |
Jaringan jalan • Kapasitas jalan • Kawasan lalu lintas terpadu • Sistem satu arah • Simpang susun • Jalur berlawanan arah • Jalan pintas |
Pengembangan transportasi yang berkelanjutan |
Prinsip transportasi yang berkelanjutan • Transit Oriented Development • Transportasi hijau |
Pendanaan |
Pendanaan sistem transportasi • Kemitraan pemerintah dengan swasta |
Status: |
Retribusi pengendalian lalu lintas atau yang dalam bahasa Inggris lebih dikenal sebagai road pricing atau disebut juga congestion pricing yang merupakan pungutan, Kebijakan Road Pricing Untuk Mengurangi Kemacetan Lalu Lintas, Jakarta 2010.yang diberlakukan kepada pengguna jalan yang memasuki suatu koridor atau kawasan yang dilakukan untuk membatasi jumlah kendaraan yang melewati koridor atau kawasan sehingga diharapkan akan terjadi peningkatan kinerja lalu lintas dan peningkatan kualitas pelayanan angkutan umum.
Menurut Prasetyo [1] kerugian finansial akibat pemborosan bahan bakar adalah sebagai berikut: data statistik jumlah kendaraan di DKI Jakarta pada tahun 2005 adalah sekitar 7,2 juta unit (Jakarta Dalam Angka, 2006), tidak termasuk kendaraan yang masuk dari wilayah Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi. Dari jumlah tersebut, kalau diambil gampangnya, 4 juta saja yang beroperasi, dengan asumsi setiap unit kendaraan memboroskan 0,5 liter bahan bakar (setara premium) per hari akibat kemacetan, maka total pemborosan adalah sebesar 2 juta liter/hari atau sama dengan 2 juta x Rp. 4.500,- sama dengan Rp. 9 Milyar per hari, atau sekitar Rp. 3,2 Triliun per tahun. Kerugian ini tidaklah sedikit sehingga kebijakan retribusi pengendalian lalu lintas mendesak untuk diterapkan di kota-kota besar Indonesia.
Sejarah perkembangan
[sunting]Singapura merupakan salah satu negara yang pertama sekali menerapkan sistem ini, yang diawali pada tanggal 2 Jun1 1975 dengan Area Licencing Scheme (ALS) yang pada awalnya merupakan suatu sistem dimana kendaraan yang masuk kawasan ALS diwajibkan berpenumpang 4 atau lebih dan kalau kurang dari itu pengendara wajib membayar Sing $ 3 untuk setiap kali masuk pada jam pembatasan lalu lintas diterapkan atau dapat dilakukan dengan pembayaran bulanan sebesar Sing $ 60. Untuk mengawasi sistem ini, disetiap akses masuk ke kawasan yang dikendalikan ditempatkan dua orang petugas yang memperhatikan stiker pembayaran road pricing ini, bila ada kendaraan yang tidak memiliki stiker ataupun stiker telah kedaluwarsa maka masing-masing petugas mencatat nomor kendaraan, nomor ini kemudian dicocokkan kembali antara kedua petugas. Bila kedua petugas mencatat nomor kendaraan yang sama maka kendaraan tersebut akan mendapatkan kiriman denda yang harus dibayarkan pemilik kendaraan.
Sistem ini kemudian diperbaharui menjadi Electronic Road Prizing (ERP) pada tahun 1998 untuk mengatasi permasalahan pencacatan manual yang dilakukan oleh petugas serta memerlukan tenaga pencatat yang besar. Pada sistem ini digunakan perangkat gerbang electronic yang menangkap sinyal yang dipancarkan dari Unit di Kendaraan yang dilengkapi dengan kartu prabayar. Unit yang berada didalam kendaraan ini kemudian mengurangi nilai uang yang ada didalam kartu prabayar tersebut setiap kali melewati gerbang elektronik.
Keberhasilan Singapura dalam menerapkan retribusi pengendalian lalu lintas dianggap sebagai keberhasilan dalam pengendalian permintaan lalu lintas kesuatu kawasan yang kemudian diikuti oleh beberapa kota didunia seperti kota Bergen di Norwegia pada tahun 1986, di London pada tahun 2003, Stockholm di Swedia dan beberapa kota lainnya. Pada saat akan menerapkan sistem ini di Stockholm didahului terlebih dahulu dengan referendum untuk menerima pendapat masyarakat dalam menerapkan sistem ini.
Bentuk-bentuk pungutan atas penggunaan jalan
[sunting]Ada beberapa bentuk yang sekarang dikembangkan dan sudah digunakan untuk melakukan pengendalian lalu lintas. Menurut Bambang Susantono[2] bentuk-bentuk tersebut berupa:
- Road toll (fixed rates) merupakan metode road pricing dalam bentuk Pengenaan biaya atas penggunaan jalan-jalan tertentu dengan tujuan untuk mendanai investasi pembangunan jalan tersebut secara keseluruhan atau sebagian dari seluruh investasi.
- Congestion pricing merupakan Pengenaan biaya yang didasarkan atas kepadatan lalu lintas, jika lalu lintas padat maka biaya yang dikenakan akan tinggi, namun sebaliknya jika lalu tidak padat maka biaya yang dikenakan akan rendah.
- Cordon fees merupakan pengenaan biaya atas penggunaan jalan-jalan dikawasan tertentu, dipungut pada saat memasuki kawasan tersebut, seperti yang dilakukan di Singapura.
- Distance based fees merupakan pungutan yang dikenakan kepada pengguna jalan yang besarnya tergantung jarak yang ditempuh.
- Pay as you drive merupakan salah satu pendekatan terbaru dimana setiap kendaraan dilengkapi dengan perangkat elektronik (GPS dan telekomunikasi) dan kendaraan tersebut harus membayar sejumlah uang tertentu berdasarkan seberapa jauh kendaraan tersebut berjalan. Untuk itu disiapkan pusat kendali yang dilengkapi dengan perangkat pemantau perjalanan setiap kendaraan. Untuk mengatasi kemana saja suatu kendaraan berjalan maka pengelola merahasiakannya.
Perkembangan di Indonesia
[sunting]Dengan diundangkannya Undang-undang No 22 Tahun 2009 tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dalam pasal 133 ayat (3) dicantumkan bahwa: Pembatasan Lalu Lintas dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi pengendalian Lalu Lintas yang diperuntukkan bagi peningkatan kinerja Lalu Lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian penerapan Retribusi Pengendalian lalu Lintas sudah dapat diterapkan di Indonesia. Jakarta merupakan kota pertama di Indonesia yang sedang mempersiapkan skema retribusi pengendalian lalu lintas dalam rangka melancarkan arus lalu lintas dan sekaligus dapat mengurangi pemborosan akibat kemacetan yang cukup significant.
Sedang untuk jalan tol telah dimulai pada Jalan Tol Jagorawi yang merupakan jalan tol pertama di Indonesia yang mulai dibangun pada tahun 1973, menghubungkan Jakarta - Bogor - Ciawi sepanjang 60 km dan diresmikan pertama sekali pada bulan Maret 1978 oleh Presiden Suharto yang kemudian dilanjutkan dengan berbagai jalan tol lainnya dan pada tahun 2009 telah mencapai 692 km[3] yang masih jauh dari kebutuhan yang diperkirakan sepanjang 3100 km.