Sejarah Internet Indonesia/Pembebasan Frekuensi 2.4Ghz/POSTEL harus mundur, rapor anda merah berdarah!!
Oleh: Onno W. Purbo
Rakyat Indonesia Biasa
Terima kasih Djamhari Sirat CS. Anda telah memberikan hadiah tahun baru paling menyakitkan banyak pejuang Internet grass root di Indonesia. Anda-anda telah membuat rapot anda merah berdarah-darah di mata saya. Sebaiknya POSTEL mundur sajalah karena tidak mampu membangun per-telekomunikasi-an dan Internet bangsa ini.
Strategi penjajah dengan melakukan misleading informasi melalui advetorial berjudul "Pemanfaatan Pita Frekuensi Radio 2.4GHz untuk Keperluan Internet" di beberapa media cetak nasional tanggal 30 Desember 2003 dengan mengacu Keputusan DIRJEN No. 241/2000. Sialnya berbasis KEPDIRJEN 241/2000, POSTEL tampaknya menginstruksikan sweeping besar-besaran secara nasional dengan ancaman penyitaan peralatan. Alasan utama tidak ada frekwensi yang tidak berizin termasuk 2,4 GHz tanpa terkecuali.
Padahal jelas-jelas saat ini sedang dilakukan pembahasan rancangan Keputusan Menteri (KEPMEN) tentang penggunaan frekuensi 2.4GHz untuk keperluan akses wireless LAN internet bagi penggunaan di luar gedung. Sebagian besar masukan dari luar justru meminta pembebasan frekuensi 2.4GHz & 5GHz bagi penggunaan Internet.
Dengan logika sederhana, artinya, KEPDIRJEN 241/2000 merupakan produk hukum yang gagal dan tidak layak. Eh koq malah dipakai dasar men-sweeping?? Terima kasih POSTEL, anda-anda memang keterlaluan. Terus terang, saya dan banyak teman-teman tidak setuju dengan KEPDIRJEN 241/2000 sejak awal di terbitkan hingga detik ini. Sialnya di klaim oleh advetorial POSTEL merupakan kesepakatan dengan komunitas.
Layaknya penjajah yang arogan, banyak misleading informasi kepada rakyat dilakukan di advetorial "Pemanfaatan Pita Frekuensi Radio 2.4GHz untuk Keperluan Internet". Advetorial mengklaim interferensi wireless LAN internet sulit di atur. Padahal dengan teknik disain jaringan wireless MAN yang bisa di ambil gratis di http://www.apjii.or.id/onno/the-guide/wifi, interferensi dapat di minimalisasi dengan mudah. Teknik ini bahkan di kuasai oleh banyak pejuang internet grass root di Indonesia, karena mereka memang meminimalkan interferensi yang ada. Memang berbeda dengan solusi POSTEL yang lebih suka melakukan sweeping untuk meminimalkan interferensi.
Advetorial mengklaim bahwa kebijakan tarif biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi Rp. 2.7 juta per tahun per Base Transmitter Station (BTS) dan, berlindung di balik peraturan International Telecommunication Union (ITU), memberi kesan bahwa wireless internet tidak mungkin berstatus primer adalah kebijakan yang mendukung peningkatan penetrasi internet di masyarakat. Kenyataan yang ada di lapangan menunjukan bahwa kebijakan yang ada dengan di sambi sweeping, hanya mampu meningkatkan pengguna internet wireless sebanyak satu (1) juta pengguna saja.
Hal sangat fatal yang tidak tersurat di Advetorial POSTEL adalah bahwa HANYA Internet Service Provider (ISP) yang dapat memperoleh ijin frekuensi 2.4GHz dan membayar Rp. 2.7 juta / tahun tersebut. Jangan harap sebuah kantor yang ingin menyambungkan beberapa kantor cabang, sekolah yang ingin menyambung antar sekolah seperti di DIKMENJUR (SMK), jaringan antar WARNET, jaringan Internet ke pedesaan seperti di Bali atau jaringan perumahan RT/RW-net akan dapat memperoleh ijin penggunaan frekuensi 2.4GHz tersebut. Padahal pengguna jenis ini mendominasi wireless Internet di Indonesia. Jadi tidak benar klaim POSTEL meningkatkan penetrasi internet.
Sayang POSTEL tak terlalu pandai untuk dapat melihat bahwa justru pembebasan pita ISM 2.4GHz dan 5GHz dari berbagai ijin, lisensi maupun kewajiban pembayaran BHP akan menyebabkan (1) lonjakan pengguna Internet ISM band dari satu (1) juta menjadi 17.8 juta pengguna, (2) kenaikan BHP Jasa Internet dari Rp. 1 Milyard/tahun menjadi Rp. 21 Milyard/Tahun, (3) kenaikan PPh Jasa dari Rp. 7 Milyard/tahun menjadi Rp. 128 Milyard/tahun, (4) masukan PPN dari Investasi peralatan dari Rp. 18 Milyard menjadi Rp. 600 Milyard, (5) lonjakan tambahan kebutuhan komputer dari 50.000 unit menjadi mendekati 2 juta unit, (6) lonjakan tambahan kebutuhan peralatan ISM band dari 5.500 unit menjadi mendekati 130.000 unit dan (7) justifikasi migrasi industri antenna & tower menjadi manufaktur peralatan ISM band senilai US$4.5 juta dengan nilai komponen US$650.000 saja. Belum terhitung berbagai efek spin-off di perekonomian Indonesia.
Pengorbanan pemerintah hanya memigrasi existing 2900 microwave link senilai Rp. 626 Milyard yang tercover masukan PPN investasi peralatan yang mendekati Rp. 600 Milyard dan PPh Jasa & BHP Jasa Telekomunikasi. Semua detail perhitungan ada di file impact-ism-unii.xls di bagian file mailing list mastel-anggota, telematika, genetika, indowli di yahoogroups.com. Atau silakan meminta copy file kepada saya di onno @ indo.net.id.
Saya pribadi (dan saya yakin banyak rekan komunitas) tetap berpendapat bahwa (1) band ISM & UNII (2.4 GHz, 5.2GHz dan 5.8GHz) harus dibebaskan (2) pengguna ISM & UNII band tidak perlu lisensi maupun registrasi, (3) mengacu pada Mutual Recognition Agreement (MRA) semua peralatan yang digunakan tidak perlu di approve oleh POSTEL / Pemerintah, jika sudah di approve oleh FCC & ESTI regulator di negara maju, (4) pengguna di batasi daya pancar pada EIRP 30-36 dBm untuk minimalisasi interferensi dengan ancaman pasal 38 Undang Undang 36 Tahun 1999 dan (5) koordinasi penggunaan frekuensi bersama (frequency sharing & reuse) maupun disain Wireless Metropolitan Area Network (MAN) dilakukan secara lokal oleh komunitas.
Terus terang, di World Summit on Information Society (WSIS) Geneve Geneve 9-12 Desember 2003, banyak rekan-rekan negara lain terkagum, terinspirasi pengalaman Indonesia yang real di lapangan, bertumpu swadana & swadaya masyarakat, praktis hampir tidak di danai oleh pemerintah sama sekali. Alhamdullillah, tidak menambah utangan negara ke World Bank dan IMF. Bahkan masyarakat melakukan investasi sendiri infrastruktur informasinya, yang mereka juluki "RebelNet" the Indonesian community based infrastructure.
Teknologi Wireless Internet di 2.4GHz & 5GHz menjadi tulang pungggung utama-nya. Teknologi ini demikian mudah dan murah untuk di operasikan menyebabkan kemungkinan penetrasi Internet menjadi sangat mudah. Semua investasi dari rakyat, tanpa campur tangan investor asing; tanpa menaikan tarif Telkom.
Pada World Summit on Information Society (WSIS), Indonesia telah berhasil menunjukan dirinya sebagai salah satu pemimpin dunia pembangunan ICT berbasis masyarakat, yang mampu membangun masyarakat informasi-nya menjadi jutaan orang pada tahun 2003 dari nihil pada tahun 1993. Indonesia adalah satu-satunya negara, tidak ada negara lain di dunia, yang mampu membangun system dalam sekala besar secara swadana & swadaya masyarakat. Tidak heran jika banyak peserta WSIS mengatakan "Indonesia is inspirational!!".
Sayang semua hal yang membanggakan di WSIS harus dilakukan dibawah tindakan represif pemerintah, kejaran aparat, sweeping, penyitaan peralatan, berbagai tuduhan pencurian pulsa oleh Telkom. Barangkali memang nasib kita mempunyai regulator telekomunikasi yang tidak cerdas??
Teman-teman seperjuangan mari lanjutkan terus berjihad & berjuang tegakan keadilan, hancurkan kemaksiatan & kebathilan. Mari kita bangun wireless Internet di semua pelosok, di setiap sekolah, di setiap RT/RW, di setiap rumah. Semoga Allah SWT bersama kita. Amien.