Seratus Hari/Masa Seratus Hari
"Paman...!" ucap Arme perlahan saat ia melihat sesosok tubuh yang dikenalinya tampak bersila dengan wajah yang pucat di sebuah batu di dalam hutan itu. Tempat di mana ia sering berlatih sendirian, sejak orang yang bersila di hadapannya itu berpisah dengannya. Tak dinyana ia kembali bertemu dengan orang tersebut, yang terlihat tidak dalam kondisi yang baik.
Ya, Arme sedikit banyak telah dapat membedakan antara seorang yang bersila menghumpulkan hawa murni dan seorang yang sedang dalam upaya mengobati dirinya. Orang di hadapannya ini sedang berada dalam keadaan kedua. Ini terlihat dari uap putih di atas ubun-ubunya, yang melayang halus, mukanya yang pucat dan bulir-bulir keringat yang terlihat membasahi sekujur tubuhnya. Orang yang sedang mengumpulkan hawa murni tidak akan berkeringat seperti itu. Dan yang pasti mukanya akan terlihat merah muda dan segar. Tidak pucat seperti ini.
Tidak mau mengganggu konsentrasi orang tersebut, yang dapat membahayakan diri orang yang sedang bersemedi, Arme pun beranjak dari situ. Tak terlalu jauh. Ia pun kemudian mulai melakukan latihan-latihan seperti yang dulu diajarkan. Perlahan-lahan dan kemudian semakin cepat. Berpindah dari satu kaki ke kaki lain. Merunduk, meloncat, berguling dan sebagainya. Setelah itu ia mulai melengkapi gerakan-gerakannya dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan sebagaimana diajarkan oleh seorang bertubuh subur dan besar yang mengajarnya bela diri bersama-sama dengan Reiche di rumah temannya itu.
Tak terasa waktu pun berlalu dan Arme semakin larut dalam latihannya. Tiba-tiba ia merasa ada yang mengusik rasanya. Serangkum hawa terasa menjelangnya dari belakang. Segaera ia bergeser untuk melihat apa atau siapa yang melakukan tersebut. Sekelebat bayangan tampak dari sudut matanya. Tapi saat ia berputar untuk matanya menangkap bayangan tersebut, kembali ia hanya melihat sisanya dari sudut mata. Begitu pula saat ia membalik arah putaran dirinya dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Si bayangan seolah-olah tahu di akan berputar ke arah mana.
Suatu ingatan akan seseorang mengusiknya. Segera ia mengalihkan pandangannya ke arah tempat orang yang dipanggilnya paman tadi bersila, sekilas terlihat kosong tapi kemudian berisikan orang yang tampak sedang berkonsentrasi. Segera saja Arme tersenyum, "Paman..., jangan bergerak terlalu keras! Paman 'kan sedang terluka.."
Sosok yang sedang bersila tersebut tampak menyunggingkan senyum dan lalu membuka matanya, "Cerdik juga engkau memeriksa kembali apa aku ada di tempat atau tidak. Jika tidak pasti engkau tidak bisa menebak siapa yang tadi mengusikmu."
Arme hanya mengangguk-angguk mengiyakan. Ia senang bahwa sang paman telah berbicara dan terlihat lebih baik dari tadi.
"Apa yang terjadi, paman?" tanyanya perlahan. Ia tahu bahwa orang yang mengajarnya ilmu Menanti Mata Berkedip ini menyimpan banyak rahasia darinya. Dan pertanyaan ini belum tentu dijawabnya dengan suka-rela.
Tampak orang itu terdiam mendengar pertanyaan tersebut. Ia tampak berpikir. Mungkin sedang memutuskan apa yang hendak dikatakan dan apa yang tidak hendak dikatakannya kepada Arme. "Aku berbenturan dengan seseorang.. bertarung..," ucapnya akhirnya.
"Ah!! Dan paman terluka karenanya?" ucap Arme.
Orang tua itu mengangguk. "Jangan tanya dengan siapa aku bertarung dan mengapa!" jelasnya sebelum Arme sempat membuka mulutnya untuk bertanya lebih lanjut. "Tapi aku minta engkau memperhatikan sesuatu," kata orang itu kemudian.
"Apa itu, paman? Harus memperhatikan apa?" tanya Arme tidak mengerti.
"Bahwa dalam seratus hari ke depan kabarkan padaku bila ada hal-hal aneh, luar biasa atau apa saja yang tidak umum, yang engkau dengar. Boleh dari mana saja, ayahmu, gurumu di perguruan tulis-menulis, rekanmu Reiche, guru beladirimu di rumah gedong itu, orang-orang desa. Pokoknya siapa saja," ucap orang itu sambil sesekali menahan napas. Terlihat bahwa berbicara banyak menimbulkan rasa sakit di dadanya.
"Baik, paman!" ucap Arme patuh. Ia semakin tidak mengerti apa hubungannya antara kabar yang luar biasa dengan terlukanya orang itu. Tapi ia diam saja dan menanti penjelasan atau percakapan selanjutnya.
"Aku lihat engkau telah berkembang pesat dalam gerakan. Serangan-serangan barusan itu hasil pengajaran gurumu di rumah gedong itu?" tanya sang paman.
"Iya, paman! Semoga paman tidak keberatan..," ucapnya. Ia tahu bahwa ia belum meminta ijin pada orang itu untuk berguru pada orang lain.
"Tidak... tidak!! Sudah pasti aku tidak berkeberatan..!" ucap orang itu cepat. "Engkau harus belajar ilmu apa saja dari siapa saja. Meramunya dan menciptakan ilmumu sendiri suatu saat. Itu baru pengkristalan ilmu sejati."
"Ya, paman!" jawabnya tak mengerti perihal 'pengkristalan ilmu sejati'.
"Dan engkau boleh memanggilku sekarang dengan nama Pambuka..," ucapnya pelan.
"Ya, paman... Pambuka," ucap Arme pelan. Agak aneh, karena biasanya ia hanya memanggil 'paman' saja kepada orang itu.
"Sekarang tolonglah aku untuk mencari bahan-bahan ini untuk mengobati lukaku ini," katanya sambil mengangsurkan sebuah catatan, yang di atasnya tertulis bahan-bahan obat berupa daun-daun, akar dan biji-bijian.
"Dibeli atau dicari, paman Pambuka?" tanya Arme mengingat ia tak punya banyak uang untuk membeli apapun.
"Ah, aku lupa!" ucap orang itu. Segera ia merogoh sakunya dan mengeluarkan segenggam tigaan perunggu. "Gunakan ini, dan juga beli makanan untuk beberapa hari!"
Lalu ia menjelskan di mana sebaiknya Arme membeli bahan-bahan dan makanan agar tidak dicurigai orang. Di desa sebelah mungkin lebih baik, di mana Arme tidak begitu dikenal. Dan ia meminta Arme untuk beberapa hari ini bermalam bersamanya di hutan itu. Ada hal yang harus diselesaikan dan diceritakan. Dan sudah mepet waktunya jelas orang itu.
Arme hanya menggangguk dan berkata bahwa ia harus meminta ijin dari ayahnya dulu. Jika tidak bisa mencurigakan bahwa ia beberapa hari tidak pulang. Untuk itu Pambuka mengatakan bahwa tidak akan ada masalah, ia bisa membuatkan surat kepada guru Arme di perguruan tulis menulis agar mengadakan semacam 'kegiatan diskusi malam'. Paginya sudah tentu Arme bersekolah seperti biasa.
Arme kembali hanya mengangguk. Ia masih bingung bagaimana bisa Pambuka meyakinkan gurunya di sekolah bahwa ia akan memberikan surat keterangan kepada ayahnya bahwa ia boleh bermalam di hutan ini. Tapi ia hanya diam saja dan menerima saat Pambuka memberikan sebuah batu putih pipih berukir lambang-lambang. Kecil hanya selebar dua ibu jari dan berpanjang dua kali lebarnya.
"Tunjukkan saja ini!" kata Pambuka, "sedangkan soal suratnya, engkau karang sendiri saja. Lebih bagus engkau yang menulis kiranya."
Arme kembali hanya mengangguk mengiyakan walaupun hatinya masih menyimpan banyak pertanyaan.
Bila anda tidak berkenan dengan jalan cerita Seratus Hari yang dituliskan di sini, silakan anda mengubahnya!