Seratus Hari/Sama-sama Terluka

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Dengan napas terengah-engah sesosok bayangan tampak berlari terpincang-pincang di tengah kegelapan malam. Bulan yang tadinya ada samar-samar mulai tertutup awan sehingga semakin menghindari orang untuk melihat sosok itu berjalan tertatih-tatih.

Ia tampak berpikir sejenak di suatu simpang jalan, ke arah mana ia akan menuju. "Tak mungkin ke rumah Arme," gumamnya, ".. belum saatnya ia tahu kejadian ini.., tapi.." Akhirnya setelah sedikit lama bergulat dengan pikirannya ia memutuskan untuk menuju tempat di mana ia dan Arme, seorang anak yang diajarnya, berlatih. Sebuah hutan kecil yang di salah satu sisinya terdapat sungai yang mengalir.

Tak lama sampailah ia di tempat itu. Saat ini telah tengah malam lewat sejak pertarungan dengan lawannya tadi. Orang yang sudah lama ia kenal. Orang yang dulu dekat dengannya. Ia pun menghela napas saat mengingat waktu-waktu lalu di mana mereka berdua menghabiskan waktu belajar ilmu-ilmu dari guru mereka. Waktu yang indah menurutnya. "Sekarang bukan saatnya bernostalgia," tiba-tiba sebuah pikiran menyadarkannya. Segera ia beranjak dari situ, menyeberangi sungai melalui sebuah batang pohon yang melintang rebah dan segera tiba di tepi hutan di seberang sungai. Seperti memperhatikan dan mendengarkan sesuatu, kemudian ia pun bergerak dan lenyap di balik semak-semak yang tumbuh di dalam hutan itu.

Hening setelah desah napas terengah-engah itu lenyap di telan malam dalam kerimbunan hutan.

Sementara itu jauh dari sana di sebuah halaman rumah besar di daerah itu, seorang tua bertubuh subur dan besar tampak berjalan tertatih-tatih disanggah seorang pemuda yang memperhatikannya dengan kuatir. "Paman Panutu, apa yang terjadi? Dengan siapa paman bertarung tadi?"

Menggeleng-geleng saja orang tua yang dipapah itu sebagai tanggapannya atas pertanyaan sang pemuda. "Lupakan saja.. lupakan saja..," ucapnya pelan sambil menahan sakit di dadanya. Totokan-totokan Pambuka, lawannya tadi, melukai isi dadanya. Luka yang jelas tidak ringan saja.

"Perlu dipanggilkan tabib, paman?" tanya pemuda itu setelah merebahkan orang tua itu di atas dipannya.

"Tidak perlu.. Tinggalkan saja aku dulu..," ucapnya pelan, ".. nanti aku.. bila butuh bantuan.."

"Panggil saja aku bila paman Panutu butuh sesuatu," potong pemuda itu demi melihat sulitnya orang tua itu berbicara.

Panutu hanya mengangguk lemah. Ia kemudian menutup matanya dan mencoba beristirahat. Pemuda itu segera keluar dan menutup pintu kamar itu dengan perlahan.


Bila anda tidak berkenan dengan jalan cerita Seratus Hari yang dituliskan di sini, silakan anda mengubahnya!