Seratus Hari/Mengendalikan Air
"Arme, bangunlah! Engkau harus sekolah!" ujar Pambuka perlahan menggugah tubuh Arme yang masih tampak meringkuk tertidur tak jauh dari bekas api unggun di tengah lapangan kecil tersebut.
"Sekolah?? Di mana aku??" ucap Arme perlahan dengan nada bingung. Ia lupa bahwa sejak malam kemarin ia telah tinggal bersama Pambuka, gurunya di dalam hutan di luar desanya.
"Engkau berada di dalam hutan bersamaku," jelas gurunya sambil tersenyum demi melihat Arme yang masih mengantuk itu.
"Ah iya.. aku lupa..," ucapnya malu. Setelah duduk dan mengucak-ucak matanya ia kemudian berkata, "Saya pikir tidak harus bersekolah saat menemani guru di hutan ini?"
"Tentu saja tidak! Engkau harus tetap sekolah," ucap gurunya. "Hanya saja engkau bermalam di sini. Malam nanti akan kita mulai sesuatu yang harus segera dilakukan. Dan bagaimana bisa engkau mendengarkan kabar-kabar dalam seratus hari ini bila engkau tidak pergi ke sekolah?"
"Ah, betul! Mendengar kabar-kabar," ucapnya lagi. Teringat akan cerita gurunya kemarin malam.
"Ini, sudah kubuatkan sarapan untukmu. Makanlah!" ucap Pambuka seraya menunjuk sebuah mangkok kayu kosong dan sebuah kuali besi yang di dalamnya tampak semacam bubur masih mengepulkan asap. Baru saja dimasak.
"Apa itu paman?" tanyanya ingin tahu.
"Bubur dari umbi dan buah yang kutemukan di sekitar sini. Makanlah! Baik untuk kesehatanmu yang mulai hari ini tidak akan tidur larut malam," ucapnya seraya mengisi mangkoknya sendiri dengan bubur tersebut.
Keduanya kemudian makan tanpa berkata-kata lagi.
Setelah itu Arme pun pamit dan berangkat ke sekolah seperti biasanya. Belajar di perguruan tulis-menulis, mendengarkan kabar-kabar dan sebentar pulang menengok ayahnya. Menjelang senja kembali ia ke hutan tempat ia akan kembali menemani gurunya yang sedang terluka.
"Guru!" panggilnya.
"Di sini Arme, di balik pohon besar itu!" ucap gurunya dari kejauhan.
Bergegas Arme mengikuti suara itu dan sampailah di suatu lapangan kecil lain yang tampaknya baru dibuat gurunya. Lebih kecil dari tempat mereka bermalam. Di sekeliling tanah tersebut terdapat secarik-carik aliran air.
"Tempat yang cocok untuk mulai berlatih," kata gurunya. "Cukup banyak air, tapi tidak terlalu banyak."
Arme hanya terdiam memperhatikan apa yang akan selanjutnya dilakukan oleh gurunya.
"Sudah siap?" tanya Pambuka kemudian setelah ia mempersiapkan kayu bakar dan mulai menyalakannya. Saat itu matahari telah mulai pergi dari kaki langit. Menghilang dan meninggalkan kegelapan di atas kepala.
Arme hanya mengangguk. Lalu ia pun kemudian duduk setelah gurunya memerintahkan.
Keduanya duduk berhadapan bersila dan saling memandang. "Aku akan tunjukkan dengan apa yang disebut Mengendalikan Air," jelas gurunya, "memanfaatkan air yang ada di sekeliling kita melepaskannya mengambang di udara dan menggerakkannya sesuka hati kita."
"Mungkinkah itu, guru?" tanya Arme tidak percaya bahwa hal tersebut dapat dilakukan.
"Lihat saja!" ucap gurunya tersenyum. Lalu ia pun mulai memperagakan bagaimana air yang ada di carik-carik di dekat mereka mulai perlahan mengambang membentuk kumpulan titik-titik di udara dan kemudian bersatu. Dengan memutar-mutar tangannya Pambuka mengendalikan titik-titik tersebut sehingga bergerak ke sana-ke mari seperti angin. Menggumpal, menyebar, naik, turun dan semacamnya.
Setelah selesai memperagakan mulailah Pambuka mengajari Arme bagaimana mula-mula ia merasakan adanya air, mengeluarkan hawa tubunya untuk mencapai air yang ia rasa dan 'memanggil' air tersebut agar mau mengikuti kehendaknya.
"Pertama-tama memang selalu sulit," ucap gurunya, "tapi cobalah terus.. pusatkan pikiranmu!"
Dan waktupun berlalu saat guru dan murid berlatih bersama-sama itu. Angin bergemerisik di sela-sela daun dan burung-burung malam mulai berbunyi.
kemudian Arme pum marah dan kabur..selesai