Pembenahan Transportasi Jakarta/Otoritas Transportasi Jabodetabek
Pembentukan otoritas TransportasiJabodetabek diangkat sebagai salah satu solusi untuk memecahkan permasalahan transportasi diwilayah jabodetabek yang semakin parah saja, bahkan diperkirakan bahwa pada tahun 2014 nanti hampir semua jalan utama mencapaikejenuhan sehingga kecepatan lalu lintas drop ketitik terendah.
Salah satu langkah yang diperkirakan dapat memecahkan permasalah kemacetan lalu lintas adalah dengan membentuk suatu otoritas yang mencakup wilayah yanglebih luas dari DKI Jakarta dengan memasukkan wilayah Jabodetabek kedalam satuorganisasiyang menangani transportasi secara menyeluruh baik angkutannya, sarana transportasinya dan prasarana transportasinya. Dengan demikian tidak akan ditemukan hambatan birokrasi administrasi wilayah ataupun hambatan institusional dalam menciptakan suatu sistem transportasi yang handal.
Tanggap dan Saran
[sunting]Terhadap rancangan Peraturan Presiden Tentang OTORITA TRANSPORTASI Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi
1. Konsideran Menimbang esensinya merupakan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari suatu peraturan perundang-undangan. Dalam Konsideran Menimbang Raperpres ini hanya mengungkapkan perlunya mengembangkan sistem transportasi Jabodetabek yang efektif dan efisien. Dalam Konsideran Menimbang Raperpres ini sama sekali tidak mempertimbangkan kebutuhan kelembagaan dalam hal ini Otorita Transportasi Jabodetabek. Sedangkan Raperpres ini akan mengatur tentang kelembagaan transportasi Jabodetabek.
SARAN: Konsideran Menimbang:
- a.bahwa sistem transportasi di wilayah DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi perlu dikembangkan secara terpadu;
- b.bahwa pengembangan sistem transportasi yang terpadu di wilayah DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi perlu dikelola dengan membentuk Otorita Transportasi;
- c.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Otorita Transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
2. Raperpres ini tidak menjelaskan pengertian otorita, otorita transportasi, dan Otorita Transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Apakah otorita yang dimaksud Raperpres ini sama dengan lembaga otorita yang lain seperti Otorita Batam atau Otorita Asahan?
SARAN: Raperpres perlu menjelaskan pengertian Otorita; Otorita Transportasi; dan Otorita Transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi; yaitu dalam Pasal Ketentuan Umum.
3. Dalam Pasal 4 tentang Fungsi OTJ, sama sekali tidak menyebutkan tentang fungsi koordinasi. Fungsi OTJ yang disebutkan dalam Pasal 4 ini menjadi tidak konsisten dengan materi Pasal 25 yang menegaskan bahwa OTJ menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi. (Walaupun dalam Pasal 36 disebutkan bahwa: rincian lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja OTJ ditetapkan oleh Kepala OTJ setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara).
SARAN: Fungsi OTJ dalam Pasal 4 seharusnya dikaitkan dengan fungsi koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi.
4. Ketidakjelasan fungsi OTJ tersebut, tercermin dari salah satu fungsi yang disebutkan dalam Pasal 4 huruf e, yang menyebutkan bahwa OTJ menyelenggarakan fungsi penataan ruang yang berorientasi angkutan umum massal. Pertanyaannya: apakah OTJ menyelenggarakan fungsi penataan ruang? Bagaimana dengan rencana tata ruang wilayah masing-masing Daerah terkait (RTRW Provinsi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi)? Apakah dalam hal ini nantinya fungsi OTJ mengatur tata ruang masing-masing Daerah Jabodetabek?
SARAN: Seperti saran pada Nomor 3 fungsi OTJ dalam Pasal 4 perlu dikaitkan dengan fungsi koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi, termasuk dalam hal ini terkait penataan ruang.
5. Dalam Pasal 5 ayat (1) diatur bahwa “Untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan fungsi OTJ, Pemerintah melimpahkan kewenangan di bidang perizinan dan kewenangan lain di bidang transportasi yang diperlukan kepada OTJ”. Demikian pula pada ayat (2): “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OTJ menerima pendelegasian kewenangan di bidang perizinan, fasilitas, kemudahan dan kewenangan lain di bidang transportasi yang diperlukan OTJ dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Kota Depok, Kota Bogor, Kota Bekasi, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang”. Pelimpahan kewenangan dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) tersebut tidak jelas. Hal ini dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan kewenangan Pemda.
SARAN: Pelimpahan kewenangan harus dirinci dalam Perpres ini. Sehingga menjadi jelas antara kewenangan Pemda dan kewenangan OTJ.
6. Dalam Pasal 33 tentang Tim Koordinasi; dalam tim koordinasi tidak terdapat Kementerian BUMN. Seharusnya dalam Tim Koordinasi dimasukan Kementerian BUMN, karena Kementerian ini membawahi BUMN back bone transportasi Jabodetabek, yaitu PT. KAI, dan BUMN-BUMN lain yang mungkin akan terkait dengan pengadaan atau pembangunan Sarana Prasarana Transportasi Jabodetabek.
SARAN: Dalam Tim Koordinasi dimasukan Kementerian BUMN.
|