Abad Pertengahan/Sejarah/Tinggi/Capet

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
<< Dinasti Karoling Wangsa Capet - Abad Pertengahan Perang Seratus Tahun >>
Kiri: Lambang Wangsa Capet Kanan: Lambang Raja Capet Kiri: Lambang Wangsa Capet Kanan: Lambang Raja Capet
Kiri: Lambang Wangsa Capet
Kanan: Lambang Raja Capet
Hugo Capet

Ketika Dinasti Karoling berakhir pada 987 M, para lord Prancis berkumpul untuk memilih raja baru. Mereka memilih seorang pria bernama Hugo Capet. Ia dipilih karena dianggap lemah, sehingga para lord merasa dapat memanfaatkannya untuk mencapai keinginan mereka. Penerusnya Robert II, Henry I, dan Philip I, juga tak memiliki banyak kekuasaan. Beberapa lotd di kerajaan mereka menguasai lebih banyak tanah daripada raja, dan lebih kuat. Para Capet (keturunan Hugo Capet) berhasil terutama karena mereka hidup lama dan selalu memiliki putra sebagai penerus, jadi tidak ada banyak kesempatan untuk menempatkan pihak lain sebagai penguasa tahta.

Sementara itu, para lord Prancis berupaya memerintah provinsi mereka sendiri, kurang lebih secara merdeka. Beberapa melakukannya lebih baik daripada yang lainnya, namun secara berangsur-angsur para lord menemukan suatu sistem yang bagus. Mereka memperoleh pendapatan dengan cara menarik bayaran untuk jalan, memasang tarif untuk pendirian pasar dan pameran, serta dengan menyewakan lahan mereka. Mereka mengharuskan dan memaksakan tugas militer dari para bawahan mereka. Pada 1100 M, sebagian besar Prancis damai dan makmur, bahkan tanpa kekuasaan raha. Beberapa lord cukup berkuasa untuk menyerang wilayah lainnya. Duke Normandy menaklukan Inggris pada 1066, dan mengirim beberapa putranya untuk merebut Italia selatan. Count Toulouse menaklukan Yerusalem pada Perang Salib Pertama. Karena Prancis mengalami masa damai, para tentara pergi ke tempat lain yang di mana terjadi peperangan. Beberapa terlibat dalam Perang Salib, namun banyak pula yang pergi ke Spanyol untuk memerangi Kekhalifahan Arab di sana. Para lord besar di Prancis nyaris sepenuhnya independen dari kekuasaan raja, namun hanya memiliki sedikit kekuasaan di luar tanahnya di sekitar Paris.

Louis VI

Akan tetapi pada 11000-an M, para raja Capet mulai menjadi lebih berkuasa. Louis VI atau disebut juga Louis Si Gemuk berhasil membuat tanahnya yang ada di sekitar Paris berada di barah kekuasaannya. Ia dikenal sebagai raja yang peduli terhadap rakyat jelata dan mendukung gereja. Untuk membantunya, gereja mengirimkan Biarawan Suger sebagai penasehat. Suger amat cerdas dan banyak membantu Raja Louis. Bahkan para lord kuat di Prancis mulai meminta Raja Louis untuk memimpin mereka dalam pertempuran melawan Henry V dari Jerman, serta untuk mengadili perkasa-perkasra penting.

Putra Louis, yang juga bernama Louis, menikahi Eleanor, putri salah seorang lord yang kuat. Eleanor sendiri menguasai Aquitaine, yang meliputi sebagian besar Prancis selaran. Dengan demikian, pernikahan mereka membuat Prancis menjadi kerajaan yang kuat. Namun Louis VII baru berusia enam belas tahun ketika naik tahta, dan Eleanor baru berusia lima belas tahun. Mereka terlalu muda untuk mengelola pemerintahan. Ketika mereka berangkat untuk melakukan Perang Salib Kedua, mereka malah bertengkar. Louis menuduh Eleanor berselingkuh dengan pria lain. Mereka tak pernah akrab lagi setelah itu. Pada 1152, ketika Louis berusia tiga puluh satu tahun, ia menceraikan Eleanor dengan tuduhan telah menggoda Henry dari Anjou. Akibatnya Louis kehilangan kendali atas Aquitaine, namun kekuasaannya semakin lama semakin kuat. Para lord sering meminta Louis menyelesaikan perkara di antara mereka.

Philippe II

Putra Louis VII, Philippe Auguste atau disebut juga Philippe II, jauh lebih ambisius dan cerdas daripada ayahnya. Philippe naik tahta pada 1180 M pada usia 13 tahun. Ia menikahi seorang perempuan bernama Artois yang menguasai suatu wilayah yang kaya di Prancis. Ini membuat Philippe menjadi amat kaya dan berkuasa. Kemudian Philippe mendorong Richard dan John dari Inggris untuk menentang ayah mereka, Henry, dengan tujuan melemahkan kendali Inggris atas wilayah Normandy di Prancis. Philippe ikut serta dalam Perang Salib Ketiga pada 1188 M, pada usia 22 tahu, tapi ia pulang cepat untuk melanjutkan upayanya mendesak pihak Inggris keluar dari Prancis. Richard mati muda sehingga mempermudan upaya Philippe, apalagi John bukanlah pemimpin perang yang cakap. Philipe mendirikan layanan sipil yang mengelola dan mengawasi semua provinsi di seluruh Prancis. Ia meninggal pada 1223 M pada usia 61 tahun.

Putra Philippe, Louis VIII, naik tahta setelah ayahnya meninggal. Ia melanjutkan kebijakan ayahnya tanpa banyak melakukan hal baru, dan hanya memerintah selama tiga tahun sebelum akhirnya meninggal Louis meningkatkan kekuasaan raja Prancis di wilayah selatan Prancis melalui Perang Salib Albi. Pada akhirnya Count Raymond dari Toulouse terpaksa mengizinkan putrinya untuk menikah dengan salah seorang putra Louis. Dengan demikian Raja Prancis memperoleh kendali langsung atas Toulouse.

Louis VIII mati muda pada 1226 M sementara putranya, Louis IX, baru berusia 12 tahun, sehingga ibu Louis IX, Blanche dari Castilia, memerintah atas namanya hingga ia tumbuh dewasa. Akan tetapi sejumlah orang di Prancis tak menyukai Blanche karena ia adalah orang Spanyol. Permasalahan ini juga yang akhirnya memicu beberapa lord untuk memberontak dan menuntut kemerdekaan. Meskipun demikian, pemberontakan itu gagal karena pasukan kerajaan terlalu kuat bagi mereka, dan karena persatuan para lord tidak terlalu kuat.

Louis IX

Louis IX adalah orang yang agamis sehingga ia dijadikan santo setelah meninggal, dan dikenal sebagai Santo Louis. Ia membangun kapel terkenal di Paris yang disebut Sainte Chapelle. Ia adalah seorang raja yang dicintai oleh sebagian besar rakyat Prancis sehingga tidak terjadi banyak pemberontakan melawannya. Louis terlibat dalam dua perang salib, yaitu Perang Salib Ketujuh dan Perang Salib Kedelapa, yang dua-duanya berakhir dengan kegagalan. Ia meninggal di Tunis dalam Perang Salib Kedelapan pada 1270 M, kemungkinan akibat disentri.

Tak seperti Louis, para penerusnya tidak begitu disukai oleh rakyat. Mereka menetapkan pajak yang tinggi, dan tidak terlalu memperhatikan keadilan. Akan tetapi rakyat Prancis masih bersedia tunduk kepada putra Louis, Philippe III (1270-1285), dan cucu Louis, Philippe IV (1285-1314), yang membangun Conciergerie. Sementara para lord tidak pernah mampu bersatu melawan para raja.

Philippe IV memiliki tiga orang putra, yaitu Louis X (1314-1316), Philippe V (1316-1322), dan Charles IV (1322-1328), namun ketiganya mati dengan tak memiliki putra. Ketiganya memang memiliki anak perempuan, tapi para lord Prancis tidak mau dipimpin oleh seorang ratu, bahkan mereka menolak dipimpin oleh putra dari perempuan-perempuan tersebut, yaitu cucu Philippe IV dari pihak ibu. Akhirnya mereka memilih salah satu sepupu Charles, Philippe dari Valois, sebagai raja berikutnya. Ia adalah cucu Philippe IV dari pihak ayah. Raja Inggris, Edward III, juga merupakan cucu Philippe IV dari pihak ayah, sehingga ia juga merasa berhak atas tahta Prancis. Akibatnya Edward menyerang Prancis untuk merebut tahta, dan dimulailah Perang Seratus Tahun.